1. Cinta dan Komitmen
Dalam kehidupan seringkali kita mendengar istilah “Cinta itu buta”. Benarkah istilah itu? Jawabannya mungkin beragam bagi setiap orang. Tapi bagi saya itu tergantung dari pribadi yang tengah mengalami cinta itu. “Cinta itu buta” bermakna cinta itu tidak mengenal alasan. Mungkin sebagian itu benar, tapi akankah juga tanpa komitmen yang jelas. Ketimpangan dalam hal cinta yang kita temui dalam kehidupan di sekitar kita salah satunya disebabkan “cinta itu buta”. Cinta selayaknya memiliki tujuan, komitmen, dan kejelasan yang positif.
Tujuan yang positif berarti cinta antara kedua insan itu semestinya dilandaskan pada rasa sayang dan saling menjaga satu sama lain. Kebanyakan di sekeliling kita terlihat cinta yang tanpa tujuan positif, misalnya cinta karena “pandangan pertama”. Tujuan positif lahir dari adanya pemahaman karakter seseorang bagi pasangannya. Kesamaan prinsip hidup, ideologi, agama, dan harapan merupakan bagian di dalamnya. Cinta pada pandangan pertama dapat disebut sebagai cinta karena nafsu kefisikan. Hal ini bisa berakibat fatal, karena antara insan yang saling jatuh cinta belum saling memahami satu sama lain.
Komitmen yang positif berarti cinta itu memiliki arah kesepakatan cita-cita kedepan dari cinta itu seperti apa. Apabila komitmen antara kedua pasang insan telah terjalin kuat, maka godaan sebesar apapun yang muncul tidak dapat menggoyahkan cinta mereka. Komitmen merupakan kesepakatan antara kedua pihak terhadap cinta yang mereka jalin untuk “mau dibawa kemana”. Ini berkaitan dengan kejelasan yang positif. Kejelasan positif bermakna bahwa kedua pihak saling tahu dan tidak ada yang ditutup-tutupi baik itu mengenai keluarga, masa lalu, maupun kelemahan pada diri pasangannya. Menutup-nutupi sesuatu pada pasangan bisa berakibat fatal apabila pasangannya suatu saat mengetahui sendiri dari pihak ketiga. Tentunya ini tidak seperti yang dibayangkan. Lebih tepatnya istilah “biarlah engkau tahu sendiri suatu saat” kurang baik untuk diterapkan. Alangkah baiknya antara pasangan saling terbuka dan mejaga komunikasi yang positif, sehingga terjalin hubungan yang langgeng.
2. Cinta VS Nafsu
Bagi beberapa orang “cinta itu muncul dalam pandangan pertama” mungkin 100% benar. Akan tetapi, perlu ditegaskan bahwa antara cinta dan nafsu dalam kasat mata sangatlah tipis perbedaannya. Seseorang yang cinta terhadap pasangannya akan menjaga pasangannya dan tidak mau menyusahkan pasangannya. Kalau beberapa orang mengatakan cinta identik dengan ciuman, mungkin itu salah kaprah. Secara sosial, ciuman merupakan lambang kasih sayang antara pasangan yang telah terikat sah oleh ikatan perkawinan, tidak untuk yang belum terikat oleh perkawinan yang sah. Seseorang yang belum menikah dan meminta ciuman dari pasangannya itu merupakan nafsu, bukan cinta. Cinta tetap berada pada garis-garis norma sosial dan agama yang dipatenkan dalam lingkungan sosial tempat dirinya berada. Apabila masyarakat di sekitar tempat tinggalnya menganggap ciuman bagi pasangan belum menikah itu aib, maka itulah norma cinta yang berlaku. Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa apabila seseorang cinta terhadap pasangannya maka sudah barang tentu ia akan menjaga cinta mereka agar tetap sejalan dengan konsensus masyarakat, bukan mengabaikannya.
Cinta yang positif itu terlihat dari adanya rasa saling percaya, terbuka, menghargai, saling membahagiakan, dan saling memotivasi terhadap pasangan. Apabila cinta dikuasai oleh nafsu maka sudah barang tentu nantinya terjalin hubungan yang tidak sehat bahkan menimbulkan sikap posesif dan rasa cemburu berlebihan terhadap pasangan. Sekalipun demikian, memang cinta membutuhkan nafsu, tetapi dalam ambang batas kewajaran dan dapat diterima secara sosial. Karena Steinberg dalam teori segitiga cintanya menyebutkan tiga aspek cinta, salah satunya yaitu hasrat (nafsu). Nafsu dalam batas kewajaran memediasi seseorang untuk saling mencurahkan perasaan satu sama lain, bukan mengarahkan pada perilaku asosial. Kesalahan dalam memaknai cinta terlihat jelas dalam lingkungan sekitar kita. Tidak dapat dipungkiri banyak remaja-remaja putri kita yang hamil di luar nikah yang bagi mereka mungkin “efek dari cinta”, tetapi lebih tepatnya adalah “efek dari nafsu”.
0 komentar:
Posting Komentar