Seminar Psikologi Transpersonal

Seminar Psikologi Transpersonal.

Asesmen Pegawai

Asesmen Pegawai.

Proses Rekrutmen Karyawan

Proses Rekrutmen Karyawan.

Pelatihan Pembelajaran Bahasa Inggris Menggunakan Flash Card

Pelatihan Pembelajaran Bahasa Inggris Menggunakan Flash Card.

Pelatihan Psikologi Transpersonal Dalam Menjawab Realita Kehidupan

Pelatihan Psikologi Transpersonal Dalam Menjawab Realita Kehidupan.

Jumat, 15 Juni 2018

Fatwa Shalat Jumat di Hari Raya

Berikut adalah fatwa Lajnah Daimah tentang peristiwa hari raya yang bertepatan dengan hari jumat.

Fatwa no. 21160 diterbitkan tanggal 8 Dzulqa’dah 1420 H.

Alhamdulillah wahdah, was shalatu was salamu ‘ala man laa nabiyya ba’dah, amma ba’du,

Terdapat banyak pertanyaan terkait peritiwa hari raya yang bertepatan dengan hari jumat. Baik idul fitri maupun idul adha. Apakah jumatan tetap wajib dilaksanakan bagi mereka yang telah melaksanakan shalat id? Bolehkah mengumandangkan adzan di masjid yang diadakan shalat dzuhur? Dan beberapa pertanyaan terkait lainnya. Untuk itu, Lajnah Daimah menerbitkan fatwa berikut:

Dalam permasalahan ini, ada beberapa hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dana keterangan sahabat yang menjelaskan hal itu. Diantaranya:

Pertama, hadis Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepadanya: “Apakah anda pernah mengikuti hari raya yang bertepatan dengan hari jumat di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” “Lalu apa yang beliau lakukan?” Jawab Zaid:

صلى العيد ثم رخص في الجمعة، فقال: من شاء أن يصلي فليصل

“Beliau shalat id, dan memberi keringanan untuk tidak shalat jumat. Beliau berpesan: ‘Siapa yang ingin shalat jumat, hendaknya dia shalat.’” (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasai, ibn Majah, Ad-Darimi).

Kedua, hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قد اجتمع في يومكم هذا عيدان، فمن شاء أجزأه من الجمعة، وإنا مجمعون

“Pada hari ini terkumpul dua hari raya (jumat dan id). Siapa yang ingin shalat hari raya, boleh baginya untuk tidak jumatan. Namun kami tetap melaksanakan jumatan.” (HR. Abu Daud, Ibn Majah, Ibnul Jarud, Baihaqi, dan Hakim).

Ketiga, hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan:

اجتمع عيدان على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فصلى بالناس ثم قال: من شاء أن يأتي الجمعة فليأتها ومن شاء أن يتخلف فليتخلف

Pernah terkumpul dua hari raya dalam sehari di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau mengimami shalat id, dan berkhutbah: “Siapa yang ingin jumatan, silahkan datang jumatan. Siapa yang ingin tidak hadir jumatan, boleh tidak hadir.” (HR. Ibn Majah).

Sementara dalam riwayat At-Thabrani di Al-Mu’jam Al-Kabir, dinyatakan bahwa Ibnu Umar menceritakan:

اجتمع عيدان على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم: يوم فطر وجمعة، فصلى بهم رسول الله صلى الله عليه وسلم العيد، ثم أقبل عليهم بوجهه فقال: يا أيها الناس إنكم قد أصبتم خيراً وأجراً وإنا مجمعون، ومن أراد أن يجمع معنا فليجمع، ومن أراد أن يرجع إلى أهله فليرجع

“Pernah terkumpul dua hari raya dalam sehari di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, idul fitri dan hari jumat. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami shalat id, lalu berkhutbah di hadapan para sahabat: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah mendapatkan kebaikan dan pahala, namun kami akan tetap melaksanakan jumatan. Siapa yang ingin ikut jumatan bersama kami, silahkan ikut. Siapa yang ingin pulang ke keluarganya, silahkan pulang.”

Keempat, hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اجتمع عيدان في يومكم هذا فمن شاء أجزأه من الجمعة وإنا مجمعون إن شاء الله

“Terkumpul dua hari raya pada hari ini. Siapa yang ingin shalat id, maka boleh baginya untuk tidak ikut jumatan. Dan kami akan tetap melaksanakan jumatan, insyaaAllah.” (HR. Ibn Majah, kata Al-Bushiri: Sanadnya shahih dan perawinya tsiqat).

Kelima, riwayat dari Atha bin Abi Rabah, beliau menceritakan:
“Abdullah bin Zubair pernah mengimami kami shalat id pada hari jumat di pagi hari. Kemudian (si siang hari) kami berangkat jumatan. Namun Abdullah bin Zubair tidak keluar untuk mengimami jumatan, sehingga kami shalat (dzuhur) sendiri-sendiri. Ketika itu, Ibnu Abbas sedang di Thaif. Ketika kami datang ke Thaif, kami ceritakan kejadian ini dan beliau mengatakan, ‘Dia (Ibn Zubair) sesuai sunah.’” (HR. Abu Daud). Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah terdapat tambahan, bahwa Ibnu Zubair mengatakan:

رأيت عمر بن الخطاب إذا اجتمع عيدان صنع مثل هذا

“Saya melihat Umar bin Khatab, ketika ada dua hari raya yang bersamaan, beliau melakukan seperti itu.”

Keenam, riwayat dari Abu Ubaid, bekas budak Ibnu Azhar, bahwa beliau pernah mengalami kejadian berkumpulnya dua hari raya di zaman Utsman bin Affan. Ketika itu hari jumat. Kemudian beliau shalat hari raya, lalu berkhutbah:

يا أيها الناس إن هذا يوم قد اجتمع لكم فيه عيدان، فمن أحب أن ينتظر الجمعة من أهل العوالي فلينتظر، ومن أحب أن يرجع فقد أذنت له

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya pada hari ini terkumpul dua hari raya. Siapa diantara penduduk pedalaman yang ingin menunggu jumatan maka hendaknya dia menunggu (tidak pulang). Dan siapa yang ingin pulang, aku izinkan dia untuk pulang.” (HR. Bukhari dan Malik dalam Al-Muwatha’)

Ketujuh, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa terkumpul dua hari raya di hari jumat, beliau berkhutbah setelah shalat id:

من أراد أن يجمع فليجمع، ومن أراد أن يجلس فليجلس

“Siapa yang ingin menghadiri jumatan, silahkan datang. Siapa yang ingin tetap di rumah, silahkan duduk di rumahnya (tidak berangkat jumatan).” (HR. Ibn Abi Syaibah dan Abdur Razaq).

Berdasarkan beberapa hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, keterangan dan praktek sejumlah sahabat radhiyallahu ‘anhum, serta pendapat yang dianut oleh mayoritas ulama, maka Lajnah Daimah memutuskan hukum berikut:

Orang yang telah menghadiri shalat id, mendapat keringanan untuk tidak menghadiri jumatan. Dan dia wajib shalat dzuhur setelah masuk waktu dzuhur. Akan tetapi jika dia tidak mengambil keringanan, dan ikut shalat jumat maka itu lebih utama.

Orang yang tidak menghadiri shalat id maka tidak termasuk yang mendapatkan keringanan ini. Karena itu, kewajiban jumatan tidak gugur baginya, sehingga dia

wajib berangkat ke masjid untuk melaksanakan shalat jumat. Jika di masjid tempatnya tidak ada shalat jumat maka dia shalat dzuhur.

Wajib bagi takmir masjid atau petugas jumatan untuk mengadakan jumatan di masjidnya, untuk menyediakan sarana bagi mereka yang tidak shalat id atau orang yang ingin melaksanakan jumatan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam khutbahnya: “Namun kami tetap melaksanakan jumatan” sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis di atas.

Orang yang shalat id dan mengambil keringanan untuk tidak jumatan, dia wajib shalat dzuhur setelah masuk waktu dzuhur.

Tidak disyariatkan mengumandangkan adzan di hari itu, kecuali adzan di masjid yang diadakan shalat jumat. Karena itu, tidak disyariatkan melakukan adzan dzuhur di hari itu.

Pendapat yang menyatakan bahwa orang yang shalat id maka gugur kewajibannya untuk shalat jumat dan shalat dzuhur pada hari itu, adalah pendapat yang tidak benar. Oleh sebab itu, para ulama menghindari pendapat ini, dan menegaskan salahnya pendapat ini, karena bertentangan dengan ajaran dan menganggap ada kewajiban yang gugur tanpa dalil.

Allahu a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa aalihii wa shahbihii wa sallam..


Senin, 26 Maret 2018


STRATEGI PEMBIAYAAN EKSTRAKURIKULER

DI SMP MUHAMMADIYAH AL-AMIN KOTA SORONG

E-Therapy untuk Meningkatkan Efikasi Akademik dan Menurunkan Stres Pada Remaja dengan Konflik Orangtua-Anak


E-Therapy untuk Meningkatkan Efikasi Akademik dan Menurunkan Stres Pada Remaja dengan Konflik Orangtua-Anak


          Aswendo  Dwitantyanov                                        Neila Ramdhani
            Universitas Gadjah Mada                                                   Universitas Gadjah Mada

ABSTRAK

Efikasi diri sebagai keyakinan terhadap kemampuan yang dibutuhkan pelajar untuk dapat memenuhi tuntutan akademiknya. Permasalahan hubungan orangtua-anak merupakan stresor yang dapat menurunkan efikasi akademik yang kemudian menghambat pencapaian tujuan akademis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran etherapy berbasis humanistik dalam meningkatkan efikasi akademik serta menurunkan stres pada remaja yang mengalami konflik hubungan orangtua-anak. Hipotesis dalam penelitian ini yaitu etherapy dapat meningkatkan efikasi akademik dan menurunkan stres pada remaja yang mengalami konflik hubungan orangtua-anak. Partisipan dalam penelitian ini adalah 5 orang remaja yang mengalami konflik hubungan dengan orangtua. Penelitian ini menggunakan desain subjek tunggal B-A-B. Data diukur dengan menggunakan skala efikasi akademik (α= 0,862), Depression Anxiety Stress Scale atau DASS-21 (α= 0,720), dan behavioral checklist untuk memantau perkembangan klien setiap sesi terapi. Observasi dan wawancara digunakan untuk melengkapi data penelitian secara kualitatif. Analisis data menggunakan teknik inspeksi visual dan analisis kualitatif berdasarkan rekam percakapan terapi dan wawancara tindak lanjut. Penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh etherapy dalam meningkatkan efikasi akademik dan menurunkan stres remaja yang mengalami konflik hubungan orangtua-anak.

Kata Kunci : e-therapy, efikasi akademik, stres, konflik orangtua-anak

Every student needs to have self-efficacy of their own abilities to cope with burdens and academic demands. Relationship problem between parent-children can be the stressor that will affect self-efficacy and academic achievement. The aim of this research is to find out the role of internet support group therapy based on humanistic approach method for improving self-effication and reducing stress level on adolescent who have parent-children conflict. The participants of this research are five adolescents who have parent-children conflict. This research will use single-case subject method with B-A-B desing. All datas will be collected by self-efficacy’s scale (α= 0,862, DASS-21 (α= 0,720), Ana checklist as additional tools to control individual’s complaint between sessions of the intervention. For getting more richer result from qualitative data, this research will be equipped with interview and observation technique. Hypothesis was tested by using visual inspection and qualitative analysis based on documents during the process of therapy and follow-up interview. The results showed a change in the dependent. Stress levels in each participant has decreased and academic self-efficacy in each participant experiencing an increase.

Keywords : e-therapy, academic self-efficacy, stress, parent-children conflict






E-therapy dengan Perspektif Psikologi Humanistik
E-therapy merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses terapi yang dilakukan melalui media perantara, sehingga tidak terjadi tatap muka langsung antara terapis dan klien. Kemajuan ilmu pengetahuan mendorong semakin besarnya kebutuhan terhadap layanan kesehatan mental (Kidd & Keengwe, 2010). Sekitar 47,7% individu mencari informasi kesehatan dan bantuan profesional melalui internet dan 50% diantaranya remaja usia sekolah (Maples & Han, 2008; Cline & Haynes, 2001). Berkembangnya model etherapy mengurangi kendala demografis dan ketersediaan waktu baik dari terapis maupun klien (Maples & Han, 2008; Riva, 2004).
Penelitian mengenai e-therapy menunjukkan efektivitas dan manfaatnya untuk diterapkan dalam bidang psikologi, misalnya terkait masalah fobia (Riva, 2004), stres (Houghton, 2008, Riva, 2004), gangguan kecemasan serta depresi (Spek, Cuijpers, Nyklícek, dkk, 2007; Marks, Kenwright, McDonough, dkk, 2004; Riva, 2004), dan masalah terkait keluarga (King, Bambling, Reid, dkk, 1998; Wang, Zhou, Lu, dkk, 2011).
Pendekatan humanistik dalam terapi kelompok berbasis internet cukup efektif untuk mengatasi masalah-masalah emosional dan stres, terutama pada remaja (Gackenbach, 2011). Rogers (1959) menekankan pendekatan humanistik berfokus untuk memfasilitasi perasaan klien melalui genuineness, realness or cogruence; acceptance or caring or prizing – unconditional positive regard, serta  empathic understanding. Etherapy dalam penelitian ini menekankan proses di dalam kelompok, sehingga klien mampu mengekspresikan pengalaman dan perasaannya, serta mampu menilai sendiri makna di balik kejadian tersebut dan menghadapinya.
Efikasi Akademik
Efikasi  diri merupakan  keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk mengatur dan melakukan tindakan-tindakan yang  seharusnya  dilakukan  untuk  mendapatkan  hasil  yang  diharapkan (Bandura, 1997).  Individu dengan efikasi akademik yang tinggi cenderung memotivasi dirinya, memusatkan perhatian dan mengerahkan usaha serta berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialami.
Efikasi diri berkaitan dengan level proses yang kompleks yaitu kognitif, motivasional, afeksi dan seleksi perilaku (Bandura, 1997). Studi menunjukkan efikasi diri dapat ditingkatkan melalui penerapan komunikasi di dalam keluarga yang terbuka, memberikan dukungan emosional, serta monitoring dan manajemen emosional (Caprara, Scabini, & Regalia, 2006). Remaja yang mengalami konflik dengan orangtua rentan terhadap masalah penyesuaian diri, kecemasan, depresi, perilaku agresif, perilaku antisosial, rendahnya kepercayaan diri, rendahnya efikasi diri, dan masalah-masalah psikososial lainnya (Qin, Rak, Rana, dkk, 2012; Yeh, Tsao, & Chen, 2010; ; Gerard, Krishnakumar, & Buehler, 2009; Buehler & Gerard, 2002). Efikasi akademik remaja berhubungan dengan kedekatan emosional terhadap keluarganya (Bandura, 1997). Konflik yang terjadi di dalam keluarga menyebabkan orangtua kurang toleran terhadap anak, sehingga anak mudah mengalami kondisi distres dan berpotensi menumbuhkan perasan tidak bahagia yang menyebabkan remaja cenderung memiliki efikasi yang rendah.
Stres
Stres didefinisikan sebagai kondisi tekanan atau tuntutan yang dialami individu agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di lingkungan (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Stres bersumber dari primary appraisals, yaitu penilaian terhadap suatu kejadian dan secondary appraisals, yaitu potensi dalam diri untuk menanggulangi stres (Lazarus & Folkman, 1984).
Stres berarti suatu mekanise fisiologis yang biasanya dialami sebagai kondisi emosi negatif yang melibatkan perilaku, perubahan neuroendokrin, dan respons fisiologis akibat penilaian situasi yang dianggap mengancam, bahaya, atau penuh ketegangan (Lazarus & Folkman, 1984). Konflik yang terjadi di dalam keluarga menyebabkan remaja kurang mendapatkan dukungan emosional, sehingga berpengaruh pada tingginya tingkat stres remaja (Auerbach, Bigda-Peyton, Eberhart, dkk,  2011; Nevid, Rathus, & Greene, 2005; Lazarus & Folkman, 1984). Konflik yang dirasakan anak berkaitan dengan  buruknya strategi coping dalam menghadapi masalah (Watzlawick, 1967) serta rendahnya efikasi akademik (Caprara, Scabini, & Regalia, 2006).
Model terapi dalam penelitian ini berfokus pada dinamika kelompok dalam membantu partisipan menemukan insight terhadap masalah dan saling memotivasi menghadapi masalah, serta mengaktualisasikan diantara para klien (Corey, Corey, & Corey, 2010). Proses ini dilakukan dengan bantuan media internet, yaitu chatroom. Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh Etherapy untuk meningkatkan efikasi akademik dan menurunkan stres remaja yang mengalami konflik hubungan orangtua-anak.
Metode Penelitian
Variabel
Penelitian ini memiliki tiga variabel, yang terdiri dari satu variabel bebas yaitu Etherapy berbasis humanistik serta dua variabel tergantung yaitu stres dan efikasi akademik.
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah 5 orang remaja yang menempuh pendidikan sekolah menengah pertama (usia 15-18 tahun) yang berdomisili di wilayah Sleman, Yogyakarta. Kriteria pemilihan partisipan adalah (a) mengalami konflik dengan orangtua, baik ayah maupun ibu; (b) belum menikah dan secara finansial masih bergantung dari orangtua; (c) partisipan juga harus memenuhi kriteria tingkat stres yaitu minimal dalam kategori sedang (skor DASS-21 yaitu 8-9) dan efikasi akademik dalam kategori minimal sedang (skor skala efikasi akademik yaitu 13-38).
Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan beberapa instrumen penelitian yaitu (a) DASS-21 (n=21 item, α= 0,720) merupakan instrumen yang digunakan untuk melihat tingkat stres dan merupakan versi ringkas dari DASS-42. (b) Skala efikasi akademik (n=13 item, α= 0,862) disusun berdasarkan aspek-aspek efikasi diri yang dikemukakan oleh Bandura (1997) yaitu level, strength, dan generality. (c) Behavioral checklist berisi indikator perilaku yang menunjukkan kondisi stres dan rendahnya efikasi akademik.


Pengukuran
Pengukuran yang dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu pra observasi, sebelum dan sesudah intervensi, selama proses intervensi, serta follow-up 2 minggu dan 4 minggu. Pengukuran pra observasi merupakan pengukuran yang digunakan untuk melihat kondisi variabel yang diukur yang berguna sebagai data awal klien. Pengukuran pra observasi dilakukan 2 kali. Pengukuran pra observasi, sebelum dan sesudah intervensi, serta follow-up menggunakan skala efikasi akademik, DASS-21, dan behavioral checklist. Sedangkan, pengukuran selama proses intervensi hanya menggunakan behavioral checklist.
Desain Penelitian
Penelitian ini menerapkan BAB single-case experiment design (n= 5 partisipan), yaitu diawali dengan pemberian intervensi (fase B1), kemudian mengganti dengan kondisi baseline (fase A), hingga pemberian intervensi kembali (fase B2).
Analisis Data
Analisis data menggunakan inspeksi visual, yaitu metode yang digunakan pada penelitian single-case dengan tujuan untuk melihat perubahan kondisi selama proses pemberian terapi secara terus menerus dengan melakukan analisis perubahan level, stabilitas level, serta trend (Sunanto, Takeuchi, & Nakata, 2005; Creswell, 2002; Barlow & Hersen, 1984). Analisis didukung oleh data kualitatif yaitu rekaman percakapan proses terapi dan wawancara tindak lanjut.
Prosedur Penelitian
1.      Uji coba skala efikasi akademik pada remaja dengan karakteristik serupa dengan partisipan dalam penelitian (n=60). Dari hasil uji coba, jumlah item yang gugur untuk skala efikasi diri yaitu sebanyak 7 item dari 20 item yang disusun (rix > 0,3; α =0,862), sehingga jumlah item total skala efikasi akademik yaitu 13 item. Tabel 1 menunjukkan item skala efikasi akademik sebelum dan sesudah seleksi, dan tabel 2 menunjukkan kategorisasi skor skala efikasi akademik berdasarkan norma hipotetik:


Tabel 1: Item Skala Efikasi Akademik Sebelum dan Sesudah Seleksi
No
Aspek
Item Sebelum
Item Sesudah
Favorabel
Unfavorabel
Favorabel
Unfavorabel
1
Level
3, 14, 20
1, 15,17
6
3, 10, 13
1, 12
5
2
Generality
2, 18, 19
7, 8, 10, 12
7
2
5, 7, 9
4
3
Strength
4, 6, 11
5, 9, 13, 16
7
4, 8
6, 11
4

Jumlah
9
11
20
6
7
13
Tabel 2: Kategorisasi Skor Skala Efikasi Akademik Berdasarkan Norma Hipotetik
Skor Sub Skala
Skor Total Skala
Kategori
X < (µ-SD)
0-12
Rendah
(µ-SD) ≤ X < (µ+SD)
13-25
Sedang
(µ+SD) ≤ X
26-39
Tinggi
*. µ = (39/2) dan SD= (39/6).
2.      Professional judgement modul etherapy humanistik dan checklist yang dilakukan oleh 2 orang psikolog. Skor pada behavioral checklist dikategorisasikan sebagai berikut.
Tabel 3: Rentang Kategori Skor Behavioral Checklist
Rumus
Rentang Skor
Kategori
X < (µ-SD)
0-20
Rendah
(µ-SD) ≤ X < (µ+SD)
21-41
Sedang
(µ+SD) ≤ X
42-63
Tinggi
3.      Peneliti melatih seorang terapis dan observer penelitian. Terapis dalam penelitian ini yaitu psikolog di sebuah Puskesmas di Kabupaten Sleman, Yogyakarta menguasai teknik psikoterapi humanistik serta terampil menggunakan media internet dan komputer. Observer adalah seorang mahasiswa Magister Profesi Psikologi dan telah berpengalaman sebagai pengamat dalam penelitian serta terampil menggunakan media internet.
4.      Uji coba modul dilakukan oleh terapis terhadap 3 orang partisipan yang memiliki karakteristik serupa dengan partisipan.
5.      Seleksi partisipan dilakukan terhadap sejumlah remaja. Proses ini dilakukan melalui konseling psikologis dan mengukur tingkat stres dan efikasinya. Dari calon partisipan yang memenuhi kriteria tersebut, kemudian inform consent dilakukan untuk meminta persetujuan individu untuk terlibat dalam kegiatan kelompok. Dari hasil seleksi, diperoleh 5 partisipan sebagai partisipan penelitian.
6.      Membangun jalinan kepercayaan (rapport) melalui pertemuan antara terapis dan partisipan. Panjangnya proses rapport dilakukan selama 4 sesi pertemuan dengan alokasi waktu 30-45 menit tiap sesinya.
7.      Proses intervensi dilakukan (fase B1) selama 4 sesi yang dilakukan dengan jarak persesi adalah 3 hari. Alokasi waktu setiap sesi disesuaikan dengan proses psikoterapi humanistik pada umumnya yaitu 50-60 menit (Rogers, 1959). Setelah fase B1 berakhir, intervensi ditarik dan memasuki fase A, hingga intervensi diberikan kembali (fase B2).  Pada awal memasuki fase B1 dan diakhir fase B2, terapis mengadministrasikan skala efikasi akademik dan DASS-21. Dalam setiap sesi (fase A dan B), terapis mengadministrasikan checklist untuk memantau perkembangan partisipan. Terapi diakhiri dengan tatap muka sebagai bentuk evaluasi dan sharing proses yang dilakukan dalam penelitian. Dalam sesi terakhir, peneliti mengadministrasikan kembali skala efikasi akademik dan DASS-21. Follow-up dilakukan 2 minggu dan 4 minggu setelah proses penelitian berlangsung.

Hasil Penelitian
Analisis Kuantitatif
Tingkat Stres
Efek pemberian intervensi terapi terhadap variabel tergantung stres pada masing-masing secara kuantitatif dilihat dari perubahan skor pengukuran sebagai berikut:
Tabel 4: Perubahan Skor Tingkat Stres Partisipan
Skor tingkat stres pada pengukuran sebelum dan sesudah intervensi mengalami penurunan dari kategori tinggi menjadi rendah pada kelima partisipan. Skor pada pengukuran follow up 2 minggu juga relatif stabil, meskipun terjadi penurunan skor stres pada partisipan Bil dan Al yaitu masing-masing 2 poin. Grafik perbandingan skor stres pada masing-masing remaja antara pra observasi, sebelum intervensi, sesudah intervensi, dan follow-up 2 minggu digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1: Grafik Perubahan Skor Tingkat Stres Partisipan
Efikasi Akademik
Efek pemberian intervensi terapi terhadap variabel tergantung efikasi akademik pada masing-masing partisipan secara kuantitatif dilihat dari perubahan skor pengukuran sebagai berikut:
Tabel 5: Perubahan Skor Efikasi Akademik Partisipan
Skor pada pengukuran sebelum dan sesudah intervensi mengalami peningkatan dari kategori rendah menjadi tinggi pada semua partisipan. Dari data skor follow-up penelitian, terlihat bahwa masing-masing partisipan mengalami peningkatan skor. Akan tetapi, peningkatan skor tersebut tidak signifikan dari skor perolehan pada sesudah intervensi, sehingga masih dikatakan cukup stabil. Grafik perbandingan skor stres pada masing-masing remaja antara pra observasi, sebelum intervensi, sesudah intervensi, dan follow-up 2 minggu digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2: Grafik Perubahan Skor Efikasi Akademik Partisipan
Perubahan yang terjadi pada masing-masing partisipan baik pada tingkat stres maupun efikasi akademik juga didukung oleh data pengukuran behavioral checklist yang dilakukan secara berkala dalam setiap sesi terapi. Berikut adalah perubahan skor behavioral checklist pada masing-masing partisipan.
Gambar 3: Skor Checklist Partisipan Pra Observasi, Fase B1, Fase A, Fase B2, dan Follow-up
Berdasarkan hasil analisis level, terlihat data masing-masing partisipan selama pra penelitian (o1 dan o2) cenderung stabil. Pada fase intervensi pertama (B1, B2, B3, dan B4) data cenderung variabel atau tidak stabil, dengan level stabilitas masing-masing partisipan adalah 50%. Hal ini dapat diartikan bahwa intervensi memiliki efek terhadap tingkat stres dan efikasi akademik masing-masing partisipan. Hal ini didukung dengan data perbandingan hasil pengukuran checklist pada pra penelitian (o1 dan o2) dan fase intervensi pertama, yaitu B1, B2, B3, dan B4, terlihat bahwa skor masing-masing partisipan pada o1 dan o2 mengalami penurunan saat memasuki fase intervensi pertama yaitu B1 hingga B4. Penurunan skor ini berarti adanya penurunan tingkat stres dan peningkatan efikasi akademik partisipan. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh proses terapi terhadap tingkat stres dan efikasi akademik partisipan.
Lebih lanjut, selama fase pemberhentian sementara intervensi (A1, A2, dan A3), level stabilitas masing-masing partisipan adalah 100% yang menunjukkan data cenderung stabil yang menunjukkan tidak adanya perubahan yang signifikan pada tingkat stres dan efikasi akademik masing-masing partisipan.
Memasuki fase intervensi kedua (B5, B6, B7, dan B8), pada masing-masing partisipan terlihat bahwa level data cenderung variabel atau tidak stabil. Variasi level beragam mulai dari 0% (pada partisipan Al) hingga 50% (pada partisipan Ade dan Fe). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian terapi memberikan efek pada tingkat stres dan efikasi akademik partisipan.
Analisis terhadap trend (kecenderungan arah) dengan menggunakan metode Split-middle yaitu menggunakan nilai median masing-masing belahan data, terlihat bahwa trend masing-masing partisipan menunjukkan efek intervensi proses terapi.
Pada pengukuran follow-up terlihat bahwa data masing-masing partisipan relatif stabil. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa etherapy berbasis humanistik berpengaruh positif untuk menurunkan tingkat stres dan meningkatkan efikasi akademik partisipan.
Analisis Kualitatif
Berikut ini adalah bahasan mengenai perubahan pada masing-masing partisipan selama proses intervensi terapi diberikan.
Partisipan Al
Al mengalami perubahan pada tingkat stres sebesar 20 poin dan efikasi akademik sebesar 23 poin. Sebelum mengikuti proses terapi, Al dalam menghadapi masalahnya cenderung menggunakan pola perilaku membangkang dan membantah. Perilaku ini muncul sebagai bentuk mencari perhatian yang disebabkan perasaan diabaikan oleh kedua orangtuanya. Selama proses terapi, Al belajar dan menemukan pemahaman bahwa perilaku membangkang dan membantah ini adalah bentuk coping stress yang kurang efektif, sebab dengan membangkang dan membantah, Al hanya akan mendapatkan masalah baru lainnya.
Melalui proses terapi, Al menyadari dan belajar menemukan coping stress yang lebih efektif. Partisipan Al mampu mengalihkan rasa tidak nyamannya dengan mencoba memaafkan perilaku orangtuanya dan mengatur jadwal  kegiatan sehari-hari. Dengan belajar memaafkan, Al mampu menciptakan unconditional positif self-regardnya sendiri. Pengaturan jadwal harian, mengarahkan pencapaian harapan pribadi. Al merasa setelah mengikuti proses terapi dirinya lebih merasa rileks yang membantunya lebih mudah berkonsentrasi dalam belajar. Al juga lebih mudah tidur, sehingga di pagi hari dirinya merasa lebih segar dan bersemangat.  Perubahan ini didukung oleh skor perolehan checklist Al yang menurun 45 poin, sebagai indikasi menurunnya tingkat stres dan meningkatnya efikasi akademik.
Partisipan Bil
Bil mengalami perubahan pada tingkat stres sebesar 20 poin dan efikasi akademik sebesar 30 poin. Bil merasa tidak nyaman saat berada di rumah, sebab kedua orangtuanya sering bertengkar. Jika sedang marah, orangtua Bil sering turut memarahinya meskipun Bil tidak melakukan kesalahan. Kondisi ini menyebabkan Bil memendam rasa marah kepada orangtuanya. Saat memendam masalah, Bil merasa tidak nyaman karena jantungnya sering berdebar-debar. Selain itu, Bil mengeluhkan sering pusing dan susah berkonsentrasi saat belajar, terutama saat berada di rumah.
Saat Bil merasa tidak nyaman di rumah, Bil sering menghabiskan waktu untuk bermain di luar rumah. Melalui proses terapi, Bil mendapatkan pemahaman bahwa rasa pusing dan jantung berdebar-debar yang dirasakan Bil selama ini disebabkan dirinya memendam rasa marah terhadap orangtuanya selama ini. Perasaan marah partisipan terhadap orangtua menjadi tidak tersalurkan dan menubuhkan Lack of unconditional positif regard. Melalui proses kelompok, Bil menyadari perlunya keterbukaan untuk menyatakan perasaan yang dipendamnya selama ini. Setelah mengikuti proses terapi, Bil menyatakan dirinya lebih banyak mengabaikan pertengkaran orangtuanya dan menghabiskan waktu belajar di rumahnya dengan belajar kelompok bersama teman-temannya. Keluhan mudah pusing dan jantung mudah berdebar-debar yang dirasakan sebelum proses terapi, dirasakan berkurang selama proses terapi. Perubahan didukung oleh skor checklist Bil yang menurun 45 poin, yang mengindikasikan menurunnya tingkat stres dan meningkatnya efikasi akademik pada Bil. Penurunan pada Bil merupakan penurunan yang terbesar dibandingkan pada partisipan lainnya. Hal ini disebabkan tingkat keterlibatan Bil selama proses terapi dan keterbukaan diri Bil untuk bercerita di dalam kelompok yang tinggi dibandingkan dengan partisipan lainnya.
Partisipan Pan
Pan mengalami perubahan pada tingkat stres sebesar 14 poin dan efikasi akademik sebesar 25 poin. Pan menceritakan bahwa dirinya merasa kurang diperhatikan oleh kedua orangtuanya, karena mereka sibuk bekerja. Pan juga sering menemukan kedua orangtuanya bertengkar di rumah yang membuatnya jenuh berada di rumah sehingga Pan lebih banyak menghabiskan waktu bermain di luar hingga larut malam. Sepulangnya ke rumah, Pan dimarahi oleh orangtuanya. Pan merasa orangtuanya tidak bertanggung jawab terhadap dirinya, karena mengabaikan dirinya selama ini. Pan merasa kecewa dan marah pada kedua orangtuanya, tetapi dipendamnya, karena saat Pan menyatakan kekecewaannya, orangtua justru memarahinya. Pan juga mengeluhkan saat tidur dirinya mudah terbangun di malam hari, sehingga saat bangun pagi badannya terasa kurang bugar.
Selama proses terapi, Pan belajar untuk memahami bahwa di balik perilaku orangtuanya yang dianggap mengabaikan dirinya, Pan menyadari orangtuanya sibuk bekerja agar Pan bisa bersekolah. Meskipun dirinya merasa kecewa dan marah terhadap perilaku orangtuanya, Bil berusaha memaafkan dan memahaminya. Dinamika kelompok terapi membantu Pan untuk memandang masalah dengan lebih optimis dan berfokus pada cita-citanya, yaitu menjadi sukses untuk membahagiakan orangtuanya yang telah berusaha keras bekerja untuk dirinya selama ini. Pan berusaha menyusun jadwal harian, sehingga dirinya mampu mengatur waktu bermain dan belajar. Setelah mengikuti proses terapi, Pan merasa lebih mudah tidur dan nyenyak dalam tidur, serta lebih bersemangat terutama dalam belajar. Perubahan didukung oleh skor checklist Pan yang menurun 41 poin.

Partisipan Ade
Ade mengalami perubahan pada tingkat stres sebesar 16 poin dan efikasi akademik sebesar 23 poin. Ade menceritakan dirinya menyimpan perasaan marah terhadap ayah yang telah mengabaikan ibu, dirinya, dan saudara-saudaranya. Selama proses terapi, Ade memahami bahwa dirinya terlalu memikirkan masalahnya, sehingga mengganggu aktivitasnya, terutama dalam belajar. Ade juga belajar memaafkan figur ayah dan berfokus pada harapan pribadinya, yaitu membahagiakan orangtuanya dengan sukses meraih prestasi di sekolah. Melalui proses terapi, Ade mendapatkan dukungan emosional yang membuat dirinya lebih bersemangat dan lebih percaya diri. Perubahan dirasakan disambut baik oleh guru-guru dan beberapa temannya di sekolah, sehingga membuat dirinya semakin termotivasi dalam belajar. Perubahan didukung oleh skor checklist Ade yang menurun 37 poin, sebagai indikasi menurunnya tingkat stres dan meningkatnya efikasi akademik.
Partisipan Fe
Fe mengalami perubahan pada tingkat stres sebesar 10 poin dan efikasi akademik sebesar 19 poin. Klien menyatakan bahwa dirinya merasa marah terhadap ayahnya yang dianggap tidak bertanggung jawab kepada keluarga, karena sering berjudi dan marah di rumah. Fe juga sering dimarahi oleh ayahnya karena kesalahan kecil, misalnya saat membantah perintah ayahnya. Saat marah, ayah Fe mengumpat dan menggunakan kata-kata kasar kepadanya. Untuk menghindari ayahnya, Fe menghabiskan waktu untuk bermain di luar rumah hingga larut malam. Sepulang dari bermain, klien tetap dimarahi oleh ayahnya. Klien merasa tidak berdaya melawan ayahnya, sehingga menutupi rasa marahnya dengan keluar dari rumah. Masalah ini dirasakan klien terus-menerus termasuk saat di sekolah, sehingga dirinya sukar berkonsentrasi saat belajar.
Selama proses terapi, Fe untuk menerima masalah yang dirasakan dan menemukan aktivitas yang menunjang proses belajarnya. Fe belajar untuk memandang masalah sebagai proses untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik. Fe merasa lebih lega setelah menceritakan masalahnya di dalam kelompok terapi, karena sebelumnya dirinya memendam masalah sendiri. Fe menyatakan dirinya makin bersemangat belajar untuk membahagiakan ibu yang selama ini memberikan kasih sayang kepadanya. Fe merasa perasaannya lebih nyaman, sehingga dirinya dapat berkonsentrasi dalam belajar. Terbentuknya perasaan nyaman ini tidak lepas dari peranan dukungan emosional yang diberikan oleh anggota kelompok yang lain melalui refleksi empati selama proses terapi berlangsung. Perubahan ini didukung oleh skor checklist yang menurun 45 poin, sebagai indikasi menurunnya tingkat stres dan meningkatnya efikasi akademik pada Ade. Penurunan skor Fe yang lebih rendah dibandingkan partisipan lain disebabkan tingkat keterlibatan selama proses terapi dan keterbukaan diri untuk bercerita di dalam kelompok yang cenderung rendah dibandingkan dengan partisipan lainnya.
Diskusi
Secara umum, etherapy humanistik yang dilaksanakan terbagi dalam empat tahapan, yaitu self-disclosure, menerima, pemaknaan diri, dan memperdalam. Dalam tahap self-disclosure, partisipan dipandu untuk mengungkapkan diri dan masalah yang dirasakannya dan menyadari mengenai pengaruh masalah tersebut terhadap aktivitasnya sehari-hari serta memahami emosi yang menyertai masalah tersebut. Selama proses terapi, anggota kelompok terapi terlihat saling memberikan dukungan emosional dan feedback, sehingga membantu proses penerimaan diri.
Para partisipan di dalam keluarga merasa tidak nyaman, kurang diperhatikan, sedih, benci, dan tidak berdaya. Perasaan-perasaan seperti ini bervariasi pada masing-masing partisipan, misalnya pada partisipan Fe yang merasa tidak nyaman karena sering dimarahi oleh ayahnya dan Al yang merasa benci kepada kedua orangtuanya karena dirinya merasa dianggap seperti anak tiri. Perasaan seperti ini dapat menghadirkan conditional positive regard, sehingga mempengaruhi kehidupan partisipan yang lebih luas, diantaranya sekolah. Pada dasarnya, partisipan memiliki keingnan yang kuat untuk menyelesaikan masalah yang dirasakannya selama ini, tetapi belum menemukan cara yang efektif, sehingga menumbuhkan lack of unconditional positive regard terhadap figur orangtuanya.
Pola penyelesaian masalah pada tiap individu berbeda-beda, misalnya memendam sendiri. Memendam secara terus-menerus menyebabkan munculnya rasa tidak nyama, sehingga mengganggu aktivitas partisipan sehari-hari.
Gambar 4: Dinamika Masalah Partisipan
Lebih lanjut, tumpukan perasaan kesal, marah, benci, dan kecewa yang tidak tersalurkan menyebabkan gejala fisik pada tubuh partisipan, misalnya pada Pan, ketika merasa jengkel kepada orangtuanya, tubuhnya merasa gemetar dan seperti mau pingsan. Di sini terlihat hubungan antara masalah yang dirasakan partisipan, kondisi emosional, dan kondisi fisik partisipan. Gejala yang dirasakan merupakan indikator perilaku stres secara umum. Lack of unconditional positive regard membuat partisipan merasa kurang percaya diri dan takut akan kegagalan, serta melihat peristiwa yang terjadi dari sisi buruk.
Pada masing-masing partisipan, terlihat bahwa tingkat stres berkorelasi terhadap efikasi akademik. Tingkat stres yang tinggi menandakan rendahnya efiaksi  akademik. Efikasi diri bersumber pertama kali dari keluarga sebagai modal persuasi sosial bagi individu (Bandura, 1997). Konflik di dalam keluarga dapat menjadi predikator rendahnya efikasi  akademik individu. Rendahnya efikasi  akademik masing-masing partisipan, terlihat dari skala efikasi  akademik, yang termainfestasi dalam perilaku membolos di sekolah, sukar berkonsentrasi, dan rendahnya motivasi belajar. Dalam hal ini, terlihat hubungan antara konflik yang dirasakan partisipan, tingkat stres dan rendahnya efikasi diri partisipan di sekolah. Reaksi stres juga memunculkan beberapa masalah fisik seperti pusing, pingsan, gangguan dalam pola tidur, dan mudah lelah.
Pendekatan humanistik dalam terapi kelompok berbasis online terlihat efektif dalam membantu partisipan untuk menurunkan tingkat stres dan meningkatkan efiaksi akademik. Membangkitkan motivasi dengan menanyakan keinginan pribadi partisipan saat ini mampu memotivasi partisipan untuk melihat masalah dari perspektif yang berbeda, yaitu potensi yang ada di dalam dirinya. Partisipan belajar untuk mengambil manfaat di balik masalah dan menjadikannya bahan pembelajaran pribadi.
Refleksi empati, penerimaan tanpa syarat di dalam kelompok terapi, serta saling memberikan dukungan emosional memberikan rasa nyaman, memunculkan insight, serta menciptakan unconditional positif regard pada klien dalam menghadapi masalahnya. Terciptanya unconditional positif regard menumbuhkan rasa berdaya dan nyaman partisipan dalam menghadapi masalahnya. Rasa berdaya dan nyaman berkorelasi positif dengan keyakinan akan kemampuan diri sendiri untuk dapat mencapai harapan-harapan pribadi terutama berkaitan dengan akademik, sehingga gejala-gejala stres yang terjadi dapat direduksi. Insight yang diperoleh dari proses kelompok terapi membantu partisipan dalam menemukan coping stress yang lebih efektif dan potensi diri serta mendukung tercapainya harapan-harapan pribadi.
Dari perkembangan para partisipan, peneliti melihat adanya perubahan dalam pola coping stress yang dilakukan oleh para partisipan. Perubahan ke pola yang lebih adaptif dengan berfokus pada harapan-harapan pribadi menimbulkan efek positif yaitu menurunnya gejala stres dan meningkatnya efikasi akademik.  Perubahan yang terjadi seperti yang disampaikan oleh partisipan selama proses terapi didukung oleh data pengukuran skala dan checklist penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan variabel dependen tingkat stres dan efikasi akademik, yang terlihat dari hasil pengukuran kuantitatif berdasarkan hasil skala pengukuran. Tingkat stres pada masing-masing partisipan mengalami penurunan dan efikasi akademik pada masing-masing partisipan mengalami peningkatan. Berdasarkan analisis kualitatif, partisipan menyatakan perubahan yang dialami selama proses terapi terlihat cukup signifikan dirasakan oleh dirinya, misalnya lebih bersemangat dalam belajar dan berkurangnya gejala fisik yang mengganggu seperti mudah pusing.


Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini sangat tidak dapat dilepaskan dari keterbatasan. Berikut adalah keterbatasan penelitian ini.
1.      Keterbatasan kemampuan terapis dalam memfasilitasi partisipan sejumlah 5 orang dalam satu sesi kelompok terapi.
2.      Keterbatasan yang paling nyata dalam melakukan penelitian menggunakan desain single-case (jumlah partisipan yang terbatas) adalah tidak dapat dilakukan generalisasi atas hasil penelitian (Barlow & Hersen, 1984).
3.      Keterbatasan yang terdapat pada skala penelitian, yaitu tidak tercantumnya instruksi terkait rentang waktu yang relevan dengan simtom atau pernyataan pada masing-masing item skala DASS-21 dan efikasi akademik. Instruksi ini secara lisan disampaikan saat terapis memandu pengisian skala, tetapi tidak tertulis di dalam petunjuk pengisian skala. Hal ini dapat mengancam integritas penelitian terkait variabel tergantung.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan variabel dependen tingkat stres dan efikasi diri ke arah yang lebih baik. Hal ini terlihat dari hasil pengukuran kuantitatif berdasarkan data skala efikasi akademik, DASS-21, dan checklist penelitian. Berdasarkan uraian di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa hipotesis penelitian terbukti, yaitu:
E-therapy dapat menurunkan tingkat stres pada remaja yang memiliki konflik hubungan orangtua-anak.
Etherapy dapat meningkatkan efikasi diri pada remaja yang memiliki konflik hubungan orangtua-anak.
Saran
Bagi peneliti selanjutnya
1.      Peneliti selanjutnya yang ingin melakukan generalisasi hasil penelitian dapat menggunakan jumlah partisipan yang lebih banyak.
2.      Pengukuran tindak lanjut dilakukan dalam jeda yang lebih panjang atau lebih dari 2 kali pengukuran.
3.      Peneliti selanjutnya diharapkan lebih memperhatikan hal-hal rinci yang dapat mengancam integritas penelitian, seperti instruksi alat ukur secara tertulis yang tidak sesuai dengan saat pelaksanaan intervensi.
Bagi praktisi
1.      Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan psikologi.
2.      Kalangan profesional dapat menerapkan intervensi ini terbatas pada konteks yang sesuai dengan penelitian.
3.      Terapis perlu membekali diri dengan konsep etherapy humanistik secara menyeluruh, mengikuti tahapan secara runtut, sehingga dapat menjaga kesinambungan antar sesi.
4.      Terapi dapat dilakukan dengan jumlah sesi yang fleksibel sesuai dengan proses yang dijalani partisipan.



















Daftar Pustaka
Amichai-Hamburger, Y. (Ed.). (2009). Technology and psychological well-being. Cambridge University Press.
Auerbach, R. P., Bigda-Peyton, J. S., Eberhart, N. K., Webb, C. A., & Ho, M. H. R. (2011). Conceptualizing the prospective relationship between social support, stress, and depressive symptoms among adolescents. Journal of abnormal child psychology39(4), 475-487.
Bakar, A., Noh, W., & Arifin, M.Y. (2011). Hubungan Komunikasi Keluarga Dalam Menangani Konflik Dalam Kalangan Remaja. Jurnal Pengajian Media Malaysia, 13(1), 73-89.
Bandura, A. (1997). Selfefficacy. John Wiley & Sons, Inc.
Barlow, D. H., & Hersen, M. (1984). Single case experimental designs. New York: Pergamon Press.
Baron, J., Bierschwale, D., & Bleiberg, J. R. (2006). Clinical implications of students' use of online communication for college psychotherapy. Journal of College Student Psychotherapy20(3), 69-77.
Bee, P., Bower, P., Lovell, K., Gilbody, S., Richards, D., Gask, L., & Roach, P. (2008). Psychotherapy mediated by remote communication technologies: a meta-analytic review. BMC psychiatry8(1), 60-70.
Bosmans, G., Braet, C., Van Leeuwen, K., & Beyers, W. (2006). Do parenting behaviors predict externalizing behavior in adolescence, or is attachment the neglected 3rd factor?. Journal of Youth and Adolescence, 35(3), 354-364.
Buehler, C., & Gerard, J.M. (2002). Marital conflict, ineffective parenting, and children's and adolescents' maladjustment. Journal of Marriage and Family64(1), 78-92.
Buchanan, T., & Smith, J. L. (1999). Using the Internet for psychological research: Personality testing on the World Wide Web. British Journal of Psychology90(1), 125-144.
Caprara, G. V., Scabini, E., & Regalia, C. (2006). The impact of perceived family efficacy beliefs on adolescent development. Self-efficacy beliefs of adolescents, 97-116.
Castelnuovo, G., Gaggioli, A., Mantovani, F., & Riva, G. (2003). From psychotherapy to e-therapy: the integration of traditional techniques and new communication tools in clinical settings. CyberPsychology & Behavior, 6(4), 375-382.
Cline, R. J., & Haynes, K. M. (2001). Consumer health information seeking on the Internet: the state of the art. Health education research16(6), 671-692.
Cook, T. D., Campbell, D. T., & Day, A. (1979). Quasi-experimentation: Design & analysis issues for field settings. Boston: Houghton Mifflin.
Corey, M.S., Corey, G., & Corey, C. (2010). Groups. Belmont, CA: Cengage Learning.
Corey, G., (2010). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.
Creswell, J. W. (2002). Educational research: planning, conducting, and evaluating quantitative & qualitative research. New Jersey: Pearson Education.
Elgán, T. H., Hansson, H., Zetterlind, U., Kartengren, N., & Leifman, H. (2012). Design of a Web-based individual coping and alcohol-intervention program (web-ICAIP) for children of parents with alcohol problems: study protocol for a randomized controlled trial. BMC public health12(1), 35-58.
Faber, A. J., Edwards, A. E., Bauer, K. S., & Wetchler, J. L. (2003). Family structure: Its effects on adolescent attachment and identity formation. The American Journal of Family Therapy31(4), 243-255.
Finn, J., & Barak, A. (2010). A descriptive study of e-counsellor attitudes, ethics, and practice. Counselling and Psychotherapy Research10(4), 268-277.
Geldard, K., & Geldard, D. (2010). Konseling Remaja; Pendekatan Proaktif untuk Anak Muda. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gackenbach, J. (Ed.). (2011). Psychology and the Internet: Intrapersonal, interpersonal, and transpersonal implications. London: Elsevier Academic Press.
Gerard, J. M., Krishnakumar, A., & Buehler, C. (2006). Marital Conflict, Parent-Child Relations, and Youth Maladjustment A Longitudinal Investigation of Spillover Effects. Journal of Family Issues27(7), 951-975.
Haug, S., Sedway, J., & Kordy, H. (2008). Group processes and process evaluations in a new treatment setting: Inpatient group psychotherapy followed by Internet-chat aftercare groups. International Journal of Group Psychotherapy58(1), 35-53.
Houghton, V. T. (2008). A quantitative study of the effectiveness of mindfulness-based stress reduction treatment, using an internet-delivered self-help program, for women with generalized anxiety disorder. United States of America: UMI Microform.
Juariyah, L. (2011). Pengaruh Konflik Pekerjaan-Keluarga terhadap Perilaku Withdrawal Pasangan Suami Istri yang Bekerja. Jurnal Ekonomi Bisnis, 16(1), 53-62.
Kidd, T. T., & Keengwe, J. (2010). Adult Learning in the Digital Age: Perspectives on Online Technologies and Outcomes. United States of America: IGI Global.
King, R., Bambling, M., Reid, W., & Thomas, I. (2006). Telephone and online counselling for young people: A naturalistic comparison of session outcome, session impact and therapeutic alliance. Counselling and Psychotherapy Research6(3), 175-181.
Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York, NY: Springer Publishing Company.
Luxton, D. D., McCann, R. A., Bush, N. E., Mishkind, M. C., & Reger, G. M. (2011). mHealth for mental health: Integrating smartphone technology in behavioral healthcare. Professional Psychology: Research and Practice, 42(6), 505.
Maltby, J., & Day, L. (2004). Forgiveness and defense style. The Journal of Genetic Psychology, 165(1), 99-109.
Maples, M. F., & Han, S. (2008). Cybercounseling in the United States and South Korea: Implications for counseling college students of the millennial generation and the networked generation. Journal of Counseling & Development, 86(2), 178-183.
Marks, I. M., Kenwright, M., McDonough, M., Whittaker, M., & Mataix-Cols, D. (2004). Saving clinicians' time by delegating routine aspects of therapy to a computer: a randomized controlled trial in phobia/panic disorder. Psychological medicine34(1), 9-18.
Martin, G. W., & Rehm, J. (2012). The Effectiveness of Psychosocial Modalities in the Treatment of Alcohol Problem in Adults: A Review of the Evidence. Canadian Journal of Psychiatry, 57(6), 350-358.
Mattison, M. (2012). Social Work Practice in the Digital Age: Therapeutic E-Mail as a Direct Practice Methodology. Social work57(3), 249-258.
Maxwell, S. E., & Delaney, H. D. (2004). Designing experiments and analyzing data: A model comparison perspective. United States of America: Lawrence Erlbaum Associates.
Mustanski, B., Lyons, T., & Garcia, S. C. (2011). Internet use and sexual health of young men who have sex with men: A mixed-methods study.Archives of Sexual Behavior40(2), 289-300.
Naito, A. (2007). Internet suicide in Japan: implications for child and adolescent mental health. Clinical Child Psychology and Psychiatry12(4), 583-597.
 NevidJ. S., Rathus, S. A., & Greene, B. (2005). Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga.
Niven, N. (2000). Psikologi Kesehatan. Jakarta: EGC.
Pajares, F., & Schunk, D. (2001). The development of academic self-efficacySan Diego: Purdue University Academic Press.
Postel, M. G., De Haan, H. A., & De Jong, C. A. (2010). Evaluation of an e-therapy program for problem drinkers: a pilot study. Substance Use & Misuse45(12), 2059-2075.
Qin, D. B., Rak, E., Rana, M., & Donnellan, M. B. (2012). Parent–child relations and psychological adjustment among high-achieving Chinese and European American adolescents. Journal of adolescence35(4), 863-873.
Ragusea, A. S., & VandeCreek, L. (2003). Suggestions for the ethical practice of online psychotherapy. Psychotherapy: Theory, Research, Practice, Training40(1), 94-102.
Reivich K., Shatte, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Keys to Finding Your Inner Strength and Overcoming Life's Hurdles. London: Broadway Books.
Reynolds, D. A. J., Stiles, W. B., & Grohol, J. M. (2006). An investigation of session impact and alliance in internet based psychotherapy: Preliminary results. Counselling and Psychotherapy Research6(3), 164-168.
Riva, G. (Ed.). (2004). Cybertherapy: Internet and virtual reality as assessment and rehabilitation tools for clinical psychology and neuroscience. New York: IOS Press.
Rogers, Carl. (1959). A Theory of Therapy, Personality and Interpersonal Relationships as Developed in the Client-centered Framework. In S. Koch (Eds.), Psychology: A Study of a Science: Formulations of the Person and the Social Context (pp. 184-256). New York: McGraw Hill.
Rogers, V. L., Griffin, M. Q., Wykle, M. L., & Fitzpatrick, J. J. (2009). Internet versus face-to-face therapy: Emotional self-disclosure issues for young adults. Issues in mental health nursing30(10), 596-602.
Sánchez-Ortiz, V. C., Munro, C., Stahl, D., House, J., Startup, H., Treasure, J., & Schmidt, U. (2011). A randomized controlled trial of internet-based cognitive-behavioural therapy for bulimia nervosa or related disorders in a student population. Psychological medicine41(2), 407-421.
Santrock, J. W. (2003). Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga.
Shadish, W. R., Cook, T. D., & Campbell, D. T. (2002). Experimental and quasi-experimental designs for generalized causal inference. Boston: Houghton Mifflin Company.
Skinner, A. E., & Latchford, G. (2006). Attitudes to counselling via the Internet: A comparison between in-person counselling clients and Internet support group users. Counselling and Psychotherapy Research6(3), 158-163.
Snyder, C. R., & Lopez, S. J. (2007). Positive psychology: the scientific and practical explorations of human strengths. California: Sage Publications, Inc.
Spek, V., Cuijpers, P. I. M., Nyklícek, I., Riper, H., Keyzer, J., & Pop, V. (2007). Internet-based cognitive behaviour therapy for symptoms of depression and anxiety: a meta-analysis. Psychological medicine37(3), 319-328.
Stummer, G. (2009). Client contact styles in online therapeutic work via e-mail. Counselling Psychology Review24(2), 14-29.
Stutzman, S. V., Bean, R. A., Miller, R. B., Day, R. D., Feinauer, L. L., Porter, C. L., & Moore, A. (2011). Marital conflict and adolescent outcomes: A cross-ethnic group comparison of Latino and European American youth. Children and Youth Services Review33(5), 663-668.
Sunanto, J., Takeuchi, K., & Nakata, H. (2005). Pengantar penelitian dengan subjek tunggal. Retrieved from http://archive.criced.tsukuba.ac.jp/data/doc/ pdf/2005/10/TEXT.685.pdf.
Tate, D. F., & Zabinski, M. F. (2004). Computer and Internet applications for psychological treatment: update for clinicians. Journal of clinical psychology60(2), 209-220.
Wang, H., Zhou, X., Lu, C., Wu, J., Deng, X., & Hong, L. (2011). Problematic internet use in high school students in Guangdong province, China. PloS one6(5), 133-151.
Wangberg, S. C., Gammon, D., & Spitznogle, K. (2007). In the eyes of the beholder: exploring psychologists' attitudes towards and use of e-therapy in Norway. Cyber Psychology & Behavior10(3), 418-423.
Watzlawick, P., Beavin, J. & Jackson, D. (1967). Family communication and delinquency. New York: Free Press.
Yeh, K. H., Tsao, W. C., & Chen, W. W. (2010). Parent–child conflict and psychological maladjustment: A mediational analysis with reciprocal filial belief and perceived threat. International Journal of Psychology45(2), 131-139.

jadwal-sholat