Seminar Psikologi Transpersonal

Seminar Psikologi Transpersonal.

Asesmen Pegawai

Asesmen Pegawai.

Proses Rekrutmen Karyawan

Proses Rekrutmen Karyawan.

Pelatihan Pembelajaran Bahasa Inggris Menggunakan Flash Card

Pelatihan Pembelajaran Bahasa Inggris Menggunakan Flash Card.

Pelatihan Psikologi Transpersonal Dalam Menjawab Realita Kehidupan

Pelatihan Psikologi Transpersonal Dalam Menjawab Realita Kehidupan.

Tampilkan postingan dengan label Psikologi Umum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Psikologi Umum. Tampilkan semua postingan

Kamis, 28 April 2016

Intensi Menyontek dalam Pelajaran Matematika dengan Persepsi Siswa dan Efektifitas mengajar Guru

 Intensi Menyontek dalam Pelajaran Matematika
a. Pengertian Intensi Menyontek
Intensi diartikan sebagai niat seseorang untuk melakukan suatu perilaku yang didasari oleh sikap dan norma subjektif terhadap perilaku tersebut. Norma subjektif muncul dari keyakinan normatif terhadap akibat perilaku, dan keyakinan normatif akibat perilaku terbentuk dari umpan balik yang diberikan oleh perilaku itu sendiri (Fishbein dan Ajzen, 1975, h. 288). Norma subjektif ditentukan oleh persepsi individu tentang harapan yang diinginkan oleh kelompok atau individu acuan dan oleh motivasi individu yang bersangkutan untuk mematuhinya.
Intensi dapat didefinisikan sebagai maksud, keinginan, atau suatu perjuangan guna mencapai satu tujuan, ciri – ciri yang dapat dibedakan dari proses – proses psikologi, yang mencakup referensi atau kaitannya dengan suatu objek (Chaplin, 1999,h.254). Intensi secara sederhana diartikan sebagai niat individu untuk melakukan perilaku tertentu. Intensi bersifat spesifik dan memiliki unsur kesiapan, dalam arti merupakan kecenderungan individu untuk mewujudkan perilaku tertentu (Dayakisni dan Hudaniah, 2006, h.142). Intensi dikatakan sebagai prediktor yang paling dekat dengan terwujudnya perilaku nyata.
Intensi didefinisikan sebagai  niat atau keinginan individu untuk melakukan suatu perilaku demi mencapai tujuan tertentu yang didasarkan pada sikap dan keyakinan individu tersebut maupun keyakinan dan sikap individu lain yang mempengaruhi mengenai suatu perilaku tertentu.
Intensi yang akan diukur dalam penelitian ini adalah intensi untuk melakukan perilaku menyontek. Perilaku menyontek seringkali terjadi selama proses pembelajaran di kelas, khususnya saat ujian berlangsung.
Sujana dan Wulan (1994, h.1) mengemukakan bahwa menyontek adalah tindakan kecurangan dalam tes melalui pemanfaatan informasi yang berasal dari luar secara tidak sah. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (Hoetomo, 2005, h.264), menyontek diartikan sebagai mengutip tulisan sebagaimana aslinya.
Menyontek menurut Indarto dan Masrun (2004, h.411) adalah perbuatan curang, tidak jujur, dan tidak legal dalam memperoleh jawaban pada saat ujian atau tes. Sheard dan Markham (dalam Kilian, 2006, h.378) menyatakan bahwa menyontek merupakan istilah dalam rangkaian perbuatan yang melanggar, tidak sesuai etika, tidak bermoral atau melawan peraturan lembaga. Menyontek menurut Ehrilch (dalam Anderman dan Murdock, 2006, h.34) adalah suatu perilaku tidak jujur atau tidak adil dalam memperoleh suatu keuntungan.
Menyontek dapat diartikan sebagai segala macam kecurangan yang dilakukan pada saat tes dengan cara – cara yang bertentangan dengan peraturan dalam memperoleh suatu keuntungan, yaitu memperoleh jawaban untuk mendapatkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan nilai yang mungkin diperoleh dengan kemampuan sendiri.
b. Pelajaran Matematika SMP
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib di sekolah, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah. Reys (dalam Jihad, 2008, h.152) mengartikan matematika sebagai ilmu tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berfikir, seni, bahasa dan suatu alat. Matematika bukan ilmu yang mandiri, tetapi keberadaannya membantu individu dalam memahami permasalahan sosial, ekonomi, dan alam. Matematika merupakan salah satu bidang studi sekolah yang berkembang dari masalah – masalah konkret sampai masalah – masalah abstrak, pengkajian logis mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep yang berkaitan.
Matematika memiliki dua objek yaitu objek langsung, yang terdiri dari fakta, konsep, prinsip, dan prosedur operasi. Sementara objek tidak langsung adalah implikasi dari proses pembelajaran matematika, yaitu kebiasaan bekerja secara sistematis, penggunaan nalar yang logis, kritis dan cermat dalam memecahkan masalah (Jihad, 2008, h.153).
Mata pelajaran matematika bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut (Jihad, 2008, h.153):
  1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah
  2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika
  3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh
  4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah
  5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Matematika pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) memiliki tingkat kesulitan yang lebih kompleks dibandingkan pada saat siswa di Sekolah Dasar (SD). Mata pelajaran matematika pada tingkat SMP terdiri dari beberapa aspek, yaitu bilangan, aljabar, geometri, pengukuran, statistika dan peluang.
Matematika merupakan pelajaran yang dianggap paling sulit bagi para siswa, baik bagi siswa yang tidak mengalami kesulitan belajar maupun siswa yang berkesulitan belajar (Abdurrahman, 2003, h.252). Kendala yang terjadi dalam pembelajaran matematika berkisar pada karakteristik matematika yang abstrak, masalah media, masalah siswa atau guru. Kendala tersebut melahirkan kegagalan pada siswa, hal ini bisa terjadi karena:
a. siswa tidak dapat memahami konsep matematika secara benar
b. siswa tidak menangkap arti dari lambang – lambang
c. siswa tidak memahami asal usul suatu prinsip
d. siswa tidak secara lancar menggunakan operasi dan prosedur
e. pengetahuan siswa tidak lengkap.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan mata pelajaran wajib di sekolah menengah pertama yang keberadaannya dapat membantu siswa dalam memahami permasalahan sehari – hari. Proses belajar matematika dapat berjalan dengan lancar jika tumbuh perasaan senang dan cinta belajar matematika pada diri siswa.
c. Pengertian Intensi menyontek dalam Pelajaran Matematika
Berdasarkan pemaparan yang dikemukakan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa intensi menyontek dalam pelajaran matematika adalah niat atau keinginan individu untuk melakukan kecurangan dengan cara – cara yang bertentangan dengan peraturan dalam memperoleh jawaban untuk mendapatkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan nilai yang mungkin diperoleh dengan kemampuan sendiri pada saat ujian matematika.
2. Aspek – Aspek Intensi Menyontek dalam Pelajaran Matematika
a. Aspek – Aspek Intensi
Fishbein dan Ajzen (1975, h.292) mengemukakan empat aspek intensi, yaitu:
1)      Perilaku (behavior), yaitu perilaku spesifik yang nantinya akan diwujudkan secara nyata
2)      Sasaran (target), yaitu objek yang menjadi sasaran perilaku. Objek yang menjadi sasaran dari perilaku spesifik dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu orang/objek tertentu (particular object), sekelompok orang/sekelompok objek (a class of object), dan orang/objek pada umumnya (any object).
3)      Situasi (situation), yaitu situasi yang mendukung untuk dilakukannya suatu perilaku. Situasi dapat pula diartikan sebagai lokasi atau suasana terjadinya perilaku.
4)      Waktu (time), yaitu waktu terjadinya perilaku yang meliputi periode waktu yang telah tertentu, dan periode waktu yang tidak dibatasi.
Sejalan  dengan Fishbein dan Ajzen, Smet (1994, h.166) juga mengemukakan  bahwa intensi memiliki empat aspek, yaitu:
1)      Tindakan (action), bahwa intensi akan menimbulkan suatu perilaku
2)      Sasaran (target), merupakan objek yang menjadi sasaran dari perilaku
3)      Konteks (context), menunjukkan pada situasi yang mendukung munculnya perilaku
4)      Waktu (time), menunjukkan kapan suatu perilaku akan diwujudkan
Berdasarkan aspek – aspek intensi dari kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa intensi memiliki empat aspek, yaitu perilaku atau tindakan, sasaran, situasi, dan waktu.
b. Bentuk – Bentuk Perilaku Menyontek
Menurut Klausmeier (1985, h.388), menyontek dapat dilakukan dalam bentuk – bentuk sebagai berikut:
1)      Menggunakan catatan kecil atau kertas contekan saat ujian
2)      Mencontoh jawaban siswa lain
3)      Memberi jawaban pada siswa lain atau menyelesaikan pekerjan siswa lain
4)      Melanggar peraturan – peraturan
Bentuk – bentuk perilaku menyontek menurut Ebel dan Frisbie (1986, h. 148), yaitu:
1)      Melihat hasil kerja siswa lain
2)      Membuat dan menggunakan kertas contekan
3)      Membuka buku saat tes
4)      Bertanya kepada teman
5)      Mencari bocoran bahan yang akan diujikan
6)      Menggunakan orang lain (joki) untuk mengerjakan ujian
7)      Kerjasama yang dilakukan oleh dua atau lebih siswa dalam memperoleh jawaban tes
8)      Memperbanyak atau mencuri soal tes sebagai antisipasi terhadap kemungkinan soal tersebut digunakan kembali pada tes berikutnya
9)      Mencuri atau membeli soal tes sebelum tes dilaksanakan untuk digunakan sendiri atau bersama – sama dengan siswa lain.
Cizek (dalam Anderman, 2006, h.34) mengemukakan bahwa perilaku menyontek terbagi menjadi tiga kategori, yaitu:
1)      Memberi atau menerima informasi dari luar
2)      Menggunakan alat bantu yang tidak diperbolehkan
3)      Memanfaatkan kelemahan orang lain, prosedur, atau proses pelaksanaan tes untuk memperoleh keuntungan.
Berdasarkan uraian mengenai bentuk – bentuk perilaku menyontek, dapat disimpulkan perilaku menyontek terbagi menjadi beberapa bentuk, yaitu memberi atau menerima informasi dari luar; menggunakan alat bantu yang tidak diperbolehkan; dan memanfaatkan kelemahan oranglain, prosedur, atau proses pelaksanaan tes untuk memperoleh keuntungan.
c. Aspek – Aspek Intensi Menyontek dalam Pelajaran Matematika
Aspek – aspek intensi menyontek diperoleh dari aspek – aspek intensi yang digabungkan dengan bentuk – bentuk perilaku menyontek. Intensi menyontek terdiri dari beberapa aspek, yaitu perilaku, sasaran, situasi, dan waktu, kemudian setiap aspeknya diwujudkan dalam bentuk memberi atau menerima informasi dari luar; menggunakan alat bantu yang tidak diperbolehkan; dan memanfaatkan kelemahan oranglain, prosedur, atau proses pelaksanaan tes untuk memperoleh keuntungan.
3. Faktor – Faktor  yang Mempengaruhi Intensi Menyontek dalam Pelajaran Matematika
a. Fakor – Faktor yang Mempengaruhi Intensi
Intensi perilaku menurut Fishbein dan Ajzen (dalam Baron dan Donn, 2004, h.133) dapat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu:
1). Sikap terhadap perilaku
Sikap terhadap perilaku yang akan dilakukan dipengaruhi oleh keyakinan individu tentang kemungkinan timbulnya konsekuensi tertentu bila melakukan suatu perilaku dan evaluasi pribadi terhadap konsekuensi tersebut. Keyakinan tentang konsekuensi perilaku terbentuk berdasarkan pengetahuan individu mengenai perilaku tersebut, yang diperoleh dari pengalaman masa lalu dan informasi dari orang lain.
Sikap terhadap perilaku merupakan derajat penilaian positif dan negatif terhadap perwujudan perilaku tertentu. Individu memiliki sikap positif terhadap perilaku bila memiliki keyakinan dan penilaian yang positif terhadap hasil dari perilaku tersebut, sebaliknya sikap negatif terhadap perilaku jika memiliki keyakinan dan penilaian yang negatif terhadap hasil dari perilaku (Ajzen, 2005, h.123).
2). Norma subjektif terhadap perilaku
Norma subjektif merupakan persepsi individu terhadap norma sosial untuk menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu. Norma subjektif ditentukan oleh keyakinan normatif mengenai harapan – harapan individu atau kelompok acuan dan motivasi untuk memenuhi atau menuruti harapan tersebut. Semakin banyak individu yang mempengaruhi untuk melakukan suatu perilaku dan semakin besar motivasi untuk memenuhi harapan – harapan dari individu yang berarti bagi dirinya, maka akan semakin diterima perilaku tersebut sebagai suatu norma subjektif  bagi individu.
3). Persepsi terhadap kontrol perilaku
Persepsi terhadap kontrol perilaku merupakan penilaian mengenai sejauhmana taraf kesulitan atau kemudahahan untuk mewujudkan perilaku tertentu serta  penilaian terhadap kemampuan atau ketidakmampuan untuk menampilkan perilaku. Individu tidak membentuk intensi untuk melakukan suatu perilaku jika perilaku tersebut nampa melampaui kemampuannya.
Intensi mencerminkan keinginan individu untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan persepsi terhadap kontrol perilaku sangat memperhatikan beberapa kendala realistis yang mungkin ada. Persepsi terhadap kontrol perilaku bersama dengan sikap terhadap perilaku dan norma subjektif akan membentuk intensi, persepsi terhadap kontrol perilaku dengan intensi akan mempengaruhi terwujudnya suatu perilaku. Semakin positif  persepsi individu terhadap kemampuannya untuk menampilkan perilaku, semakin besar kemungkinan intensi terwujud menjadi perilaku.
Hubungan antara sikap terhadap perilaku, norma subjektif, persepsi terhadap kontrol perilaku, dan intensi untuk  berperilaku sampai dengan perilaku tersebut ditampilkan adalah sebagai berikut:
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi intensi adalah sikap terhadap perilaku, norma subjektif terhadap perilaku, dan persepsi terhadap kontrol perilaku.
b. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Menyontek
Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi perilaku menyontek terbagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal atau lingkungan.
1)      Faktor internal
a)      Takut pada kegagalan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Schab (dalam Klausmeier, 1985, h.388), diperoleh hasil bahwa salah satu alasan yang menyebabkan siswa menyontek adalah ketakutan akan terjadinya kegagalan dalam mencapai prestasi yang diharapkan.
b)      Malas belajar
Kemalasan siswa untuk belajar menjadi salah satu penyebab terjadinya kasus menyontek. Siswa tidak menguasai materi yang akan di ujikan, sehingga lebih memilih cara singkat yaitu dengan menyontek (Klausmeier, 1985, h.388).
c)      Pemahaman mengenai menyontek
Montor (dalam Klausmeier, 1985, h.388) menyimpulkan bahwa siswa menyontek karena siswa tidak mengerti dan memahami alasan tidak diperbolehkannya melakukan perilaku menyontek.
d)     Harga diri
Aronson (1973, h.183) menyatakan bahwa siswa yang memiliki harga diri rendah cenderung melakukan kecurangan yang lebih tinggi dibandingkan siswa dengan harga diri yang tinggi.
e)      Perasaan tidak mampu
Thorpe ( dalam Blair, Jones dan Simpson, 1975, h.416) mengemukakan bahwa siswa yang merasa tidak memiliki kemampuan tetapi menuntut dirinya untuk menampilkan hasil yang baik, maka akan melakukan perilaku menyontek.
f)       Kecenderungan pusat kendali atau Locus of control siswa
Kecenderungan pusat kendali terdiri dari internal dan eksternal. Internal yaitu  keberhasilan dalam ujian adalah hasil usaha yang dilakukan. Eksternal yaitu keberhasilan ditentukan oleh keberuntungan, nasib atau individu diluar dirinya (Sujana dan Wulan, 1994, h.5).
2)      Faktor eksternal atau Lingkungan
a)      Faktor situasional terdiri dari beberapa faktor, yaitu:
(1)   Bentuk dan tingkat kesulitan tes
Bentuk tes yang sering dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya perilaku menyontek adalah tes objektif. Menurut Whitley (dalam Anderman, 2006, h.209) penggunaan terhadap tes objektif  dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya perilaku menyontek.
Thorpe (dalam Blair, Jones, dan Simpson, 1975, h.416) menyatakan bahwa siswa mulai berlaku curang pada tes dengan derajat kesulitan tinggi. Tes yang terlalu mudah atau terlalu sulit akan memancing munculnya kecurangan dibandingkan tes dengan tingkat kesulitan sedang.
(2)   Penekanan yang berlebihan terhadap nilai daripada pemahaman materi
Thorpe (dalam Blair, Jones, dan Simpson, 1975, h.416) mengemukakan bahwa standar yang terlalu tinggi yang dianut orangtua, guru, ataupun siswa memungkinkan perilaku menyontek dilakukan. Schab (dalam Klausmeier, 1985,  h.388) mengindikasikan bahwa tekanan untuk mendapatkan nilai tes yang baik untuk memperoleh peringkat yang tinggi merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya perilaku menyontek.
(3)   Resiko terdeteksi
Anderman (2006, h.209) menyatakan bahwa kebanyakan siswa melakukan perilaku menyontek bila kemungkinan terdeteksinya perilaku tersebut oleh pengawas adalah kecil. Resiko terdeteksi yang kecil memungkinkan siswa memiliki kesempatan besar untuk melakukan perilaku menyontek dengan aman.
b)      Tekanan dari orang tua
Schab (dalam Klausmeier, 1985, h.388) mengemukakan bahwa tuntutan orangtua terhadap siswa untuk mendapatkan peringkat (nilai)  tinggi dibandingkan dengan pemahaman materi menjadi salah satu penyebab siswa melakukan perilaku menyontek. Siswa tidak lagi mementingkan proses belajar, melainkan berusaha mendapat nilai baik dengan cara apapun, termasuk menyontek.
c)      Pengaruh teman sebaya
Teman sebaya merupakan kelompok yang penting saat anak berada pada masa remaja, termasuk siswa SMP (Hurlock, 1980, 213). Persetujuan teman sebaya untuk menyontek akan mempengaruhi siswa untuk melakukan hal yang sama (Sujana dan Wulan, 1994, h.6).
d)     Lingkungan sekolah
Lingkungan sekolah yang kompetitif dan lebih terfokus pada prestasi akan menekan siswa untuk memperoleh hasil yang baik, sehingga persaingan menjadi tidak sehat dan memungkinkan dilakukannya perilaku menyontek.
e)      Pengajaran yang dilakukan oleh guru
Murdock (1999, h.587) mengungkapkan bahwa perilaku menyontek semakin meningkat ketika siswa memiliki guru yang tidak kompeten atau tidak mampu menjalankan peran dengan baik, serta memiliki perhatian yang lemah terhadap penguasaan siswa pada suatu materi.
Faktor – faktor  yang mempengaruhi perilaku menyontek terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi takut pada kegagalan, malas belajar, pemahaman mengenai menyontek, harga diri, perasaan tidak mampu, dan kecenderungan pusat kendali. Faktor eksternal yang mempengaruhi menyontek adalah faktor situasional, tekanan dari orang tua, pengaruh teman sebaya, lingkungan sekolah dan pengajaran yang dilakukan guru.
c. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Intensi Menyontek dalam Pelajaran Matematika
Berdasarkan uraian mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi intensi dan faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku menyontek, maka faktor – faktor yang mempengaruhi intensi menyontek dalam pelajaran matematika adalah:
1)      Sikap terhadap perilaku menyontek, yaitu penilaian positif atau negatif terhadap perwujudan perilaku menyontek yang ditentukan oleh keyakinan mengenai konsekuensi perilaku menyontek dan evaluasi terhadap konsekuensi tersebut.
2)      Norma subjektif terhadap perilaku mencntek, ditentukan oleh keyakinan normatif mengenai harapan orang – orang yang dianggap penting atau kelompok acuan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku menyontek
3)      Persepsi terhadap kontrol perilaku menyontek, yaitu penilaian terhadap kemampuan atau ketidakmampuan untuk menampilkan perilaku menyontek, serta persepsi kendala yang mungkin ada dalam memunculkan perilaku menyontek.
4)      Faktor internal siswa yang meliputi takut pada kegagalan, malas belajar, pemahaman mengenai perilaku menyontek, harga diri, keputusasaan, perasaan tidak mampu dan kecenderungan pusat kendali (locus of control).
5)      Faktor eksternal siswa yang meliputi faktor situasional, tekanan dari orang tua, pengaruh teman sebaya, lingkungan sekolah dan pengajaran yang dilakukan guru.
Faktor – faktor yang mempengaruhi intensi menyontek adalah sikap terhadap perilaku menyontek, norma subjektif terhadap perilaku menyontek, persepsi terhadap kontrol perilaku menyontek, takut pada kegagalan, malas belajar, pemahaman mengenai menyontek, harga diri, keputusasaan, perasaan tidak mampu, kecenderungan pusat kendali, faktor situasional, tekanan dari orang tua, pengaruh teman sebaya, lingkungan sekolah dan pengajaran yang dilakukan guru.
Persepsi terhadap Efektifitas Mengajar Guru
1. Pengertian Persepsi terhadap Efektifitas Mengajar Guru
Secara umum, persepsi dimengerti sebagai pandangan individu. Individu menangkap berbagai gejala dari luar melalui panca inderanya. Proses penerimaan rangsang ini disebut dengan penginderaan, namun pengertian individu akan lingkungan bukan hanya merupakan hasil penginderaan. Ada unsur interpretasi terhadap rangsang – rangsang yang diterima, sehingga individu memiliki suatu pengertian terhadap lingkungan. Proses diterimanya rangsang hingga rangsang itu disadari dan dimengerti disebut sebagai persepsi.
Persepsi dalam pengertian psikologi menurut Sarwono (1997, h.94) adalah proses penerimaan informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan, sedangkan alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Indrawijaya (2002, h.45)  mengungkapkan bahwa persepsi merupakan suatu proses individu mengorganisasikan dalam pikirannya, menafsirkan, mengalami, dan mengolah pertanda atau segala sesuatu yang terjadi di lingkungannya.
Persepsi merupakan pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti. Persepsi merupakan suatu keadaan yang bersifat individual sebab persepsi melibatkan perasaan, kemampuan berpikir, serta pengalaman individu terhadap objek atau stimulus tertentu  (Walgito, 2004, h.88).  Pengertian tersebut menjelaskan bahwa persepsi melibatkan proses kognitif dan proses afektif.
Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan – hubungan yang diperoleh  dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Rakhmat, 2005, h.51). Individu dalam proses persepsi akan memberikan penilaian terhadap suatu objek , yang melibatkan aspek kognitif atau pengetahuan yang nantinya dapat mempengaruhi perilaku. Persepsi dipengaruhi oleh faktor – faktor peniruan, pemilihan, konsep diri, situasi, kebutuhan dan emosi seseorang, sehingga dengan adanya perbedaan - perbedaan tersebut menyebabkan adanya tingkah laku dan penyesuaian diri yang berbeda antara satu individu dengan individu lain.
Dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan cara pandang atau proses yang memungkinkan individu untuk menginterpretasi, menilai, dan mendeskripsikan suatu stimulus yang diindera sehingga memiliki makna bagi individu. Persepsi melibatkan proses kognitif dan proses afektif. Objek persepsi dalam penelitian ini adalah efektifitas mengajar guru.
Tyson dan Caroll (dalam Syah, 2004, h.182) mendefinisikan mengajar sebagai sebuah cara dan sebuah proses hubungan timbal balik antara siswa dan guru yang sama-sama aktif melakukan kegiatan. Menurut Tardif (dalam Syah, 2004, h.182), mengajar merupakan perbuatan yang dilakukan oleh guru dengan tujuan membantu atau memudahkan siswa melakukan kegiatan belajar.
Biggs (dalam Syah, 2004, h.183) memiliki tiga konsep mengenai definisi mengajar, yaitu pengertian kuantitatif, pengertian institusional dan pengertian kualitatif. Dalam pengertian kuantitatif, mengajar berarti penyampaian pengetahuan, menyangkut jumlah pengetahuan yang diajarkan. Berdasarkan pengertian institusional, guru dituntut untuk selalu siap mengadaptasikan berbagai teknik mengajar untuk bermacam-macam siswa yang berbeda bakat, kemampuan dan kebutuhannya. Menurut pengertian kualitatif, mengajar merupakan upaya membantu memudahkan kegiatan belajar siswa, yaitu dalam membentuk arti dan pemahamannya sendiri.
Mengajar pada dasarnya adalah suatu proses, yaitu suatu proses mengatur, mengorganisasikan lingkungan yang ada disekitar siswa, sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan proses belajar. Pada tahap berikutnya, mengajar adalah proses memberikan bimbingan atau bantuan kepada siswa dalam melakukan proses belajar ( Djamarah dan Zain, 2006, h.39).
Mengajar melibatkan empat komponen dasar, yaitu guru, siswa, materi dan suasana belajar (Elliot,et.al. 2000, h.520). Guru merupakan individu  yang membantu individu lain belajar, yaitu siswa. Guru berperan sebagai pembimbing yang mampu menghidupkan dan memberikan motivasi, agar terjadi proses interaksi yang kondusif. Guru tidak hanya memberikan pengetahuan atau materi pelajaran kepada siswa, tetapi melibatkan siswa dalam aktivitas belajar. Proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik jika guru mampu mengoptimalisasi kemampuan siswa dalam belajar, oleh karena itu diperlukan guru efektif dalam mengajar.
Efektifitas didefinisikan sebagai ketepatgunaan atau menunjang  suatu tujuan (Hoetomo, 2005, h.76). Efektifitas mengajar guru didefinisikan sebagai ketepatgunaan aktivitas guru dalam membantu siswa melakukan kegiatan belajar.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi terhadap efektifitas mengajar guru merupakan cara pandang atau proses yang memungkinkan siswa untuk menginterpretasi, menilai, dan mendeskripsikan ketepatgunaan pengajaran yang dilakukan oleh guru dalam membantu siswa melakukan proses belajar.
2. Aspek – Aspek Persepsi terhadap Efektifitas Mengajar Guru
a. Aspek – Aspek Persepsi
Indrawijaya (2002, h.45) menyatakan bahwa persepsi memiliki aspek-aspek  sebagai berikut:
1)      Proses kognisi
Individu dalam mengorganisasikan, menafsirkan dan memberi arti terhadap suatu rangsang selalu menggunakan inderanya. Peristiwa tersebut melalui proses melihat, mendengar, meraba dan mencium yang dapat terjadi secara terpisah atau bersamaan. Individu akan melakukan persepsi berdasarkan informasi yang diterima oleh panca indera.
2)      Proses belajar
Belajar adalah proses yang membuat informasi diterima melalui proses pengamatan menjadi mempunyai arti dan makna terhadap pemilihan tindakan. Persepsi dilakukan berdasarkan pengalaman baik secara langsung maupun tidak langsung.
3)      Proses pemecahan masalah
Individu selalu dihadapkan pada pengambilan keputusan yang penting karena menentukan tindakan dan perilaku berikutnya. Dua hal yang penting dalam pemecahan masalah adalah pentingnya informasi dan pelaksanaan pemecahan masalah.
Schiffman (dikutip Sukmana, 2003, h.55) menyebutkan bahwa persepsi individu terhadap lingkungan tidak hanya didasarkan pada ingatan tentang pengalaman masa lampau dan kemampuan menghubungkan pengalaman sekarang dengan pengalaman masa lalu (proses kognitif) saja, akan tetapi juga melibatkan unsur perasaan (proses afektif). Aspek Persepsi menurut Schiffman adalah:
1)      Aspek kognisi, meliputi pandangan dan pemaknaan individu mengenai objek sosial dan kejadian – kejadian yang dialami dalam lingkungan sosial.
2)      Aspek afeksi, meliputi perasaan individu terhadap objek sosial dan kejadian – kejadian yang dialami dalam lingkungan sosial.
Persepsi merupakan bagian dari aktivitas kognisi, kegiatan atau proses tersebut sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh individu, dan individu mengadakan respon terhadap stimulus yang mengenainya. Aktivitas individu merupakan suatu kesatuan yang bulat, bagian satu tidak terlepas dari bagian lain, selalu saling terkait. Aktivitas kognitif tidak bisa terlepas dari afeksi dan konasi. Berdasarkan pemahaman tersebut, Walgito (2004, h.86)  mengungkapkan aspek – aspek persepsi, yaitu:
1)      Aspek kognitif, yaitu meliputi pandangan, penafsiran, dan penilaian terhadap objek yang dipersepsi. Aspek ini berhubungan dengan pengertian, pengetahuan, dan pengenalan terhadap stimulus tertentu yang dipengaruhi oleh pengalaman individu. Persepsi pada dasarnya merupakan proses kognitif yang berbeda satu dengan yang lain. Individu yang berbeda akan melihat sesuatu yang sama dengan cara yang berbeda karena pengalaman hidup yang berbeda.
2)      Aspek afektif, yaitu meliputi perasaan individu dalam menghadapi objek persepsi, yang dapat muncul karena adanya pendidikan moral dan etika yang didapatkan sejak kecil. Pendidikan tentang moral inilah yang akhirnya menjadi landasan individu tersebut dalam memandang sesuatu yang terjadi di sekitarnya.
3)      Aspek konatif, yaitu menyangkut sikap, perilaku, aktivitas dan motif. Individu dalam mempersepsikan sesuatu bisa melalui aspek konasi, yaitu pandangan individu terhadap sesuatu yang berhubungan dengan motif atau tujuan timbulnya suatu perilaku yang terjadi di sekitarnya yang diwujudkan dalam sikap atau perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari.
Aspek – aspek persepsi yang digunakan adalah aspek kognisi dan afeksi. Kedua aspek tersebut dapat menentukan persepsi individu terhadap objek yang dikenai persepsi, dalam penelitian ini adalah efektifitas mengajar guru.
b. Karakteristik Efektifitas Mengajar Guru
Efektifitas mengajar guru dapat dinilai berdasarkan perilaku guru dalam mengajar. Karakteristik yang berhubungan dengan efektifitas mengajar guru adalah:
1)      Kejelasan pengajaran
Kejelasan pengajaran berhubungan dengan cara guru menyampaikan suatu materi di kelas, sehingga siswa mampu memahami pesan yang disampaikan oleh guru. Menurut Boyer (dalam Elliot, 2000, h.6), salah satu yang mempengaruhi kejelasan pengajaran adalah bahasa yang digunakan oleh guru. Kata-kata yang diucapkan tidak mengandung kata asing yang tidak dapat dimengerti oleh siswa, sehingga komunikasi dapat berjalan lancar antara siswa dan guru.
Calfee dan Berliner (dalam Elliot, 2000, h.6) mengemukakan bahwa kejelasan pengajaran dapat dilakukan dengan pengaturan materi secara sistematis dan penggunaan strategi pengajaran yang sesuai dengan usia serta daya tangkap siswa. Materi yang disampaikan secara sistematis akan membantu siswa memahami materi dengan mudah, penyampaian materi secara tidak beraturan bisa menyebabkan siswa bingung. Strategi yang sesuai dengan usia serta daya tangkap siswa akan memudahkan siswa memahami suatu materi.
2)      Variasi dan fleksibilitas pengajaran
Variasi dan fleksibilitas pengajaran meliputi bervariasinya materi, perlengkapan, alat peraga dan metode yang digunakan dalam menyampaikan materi. Menurut Lysakowski dan Wolberg (dalam Slavin, 1994, h.376) variasi dalam penyampaian materi berpengaruh terhadap perhatian siswa di dalam kelas, sehingga siswa tidak mengalami kejenuhan dalam belajar. Boyer (dalam Elliot, 2000, h.6)  mengungkapkan bahwa selain memberikan teori, guru juga harus mampu menyampaikan aplikasi teori dalam kehidupan nyata agar siswa lebih memahami materi yang disampaikan.
3)      Pemberian tugas
Menurut Calfee dan Berlinger (dalam Elliot, 2000, h.7), guru yang efektif  mampu membuat siswa terlibat aktif dalam mempelajari suatu materi.  Salah satu cara yang dapat digunakan untuk melibatkan siswa dalam proses pembelajaran adalah dengan memberikan tugas secara individual maupun berkelompok.
4)      Orientasi serta komitmen guru terhadap tugas
Borich (dalam Elliot, 2000, h.520) mengungkapkan bahwa orientasi guru terhadap tugas ditunjukkan oleh waktu yang dihabiskan guru dalam bertugas dan memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar. Semakin banyak waktu yang didedikasikan oleh guru terhadap tugasnya mengajar akan memberikan kesempatan kepada siswa belajar dengan lebih mendalam.
5)      Penggunaan pedoman kelas yang tepat
Menurut Calfee dan Berlinger (dalam Elliot, 2000, h.8), guru yang efektif  menghindari norma ganda. Aturan yang diberlakukan bagi siswa juga berlaku bagi guru, misalnya, siswa dilarang mengaktifkan ponsel didalam kelas, hal ini juga berlaku bagi guru. Peraturan dan pedoman kelas berpengaruh terhadap efisiensi penggunaan waktu belajar di dalam kelas.
6)      Pemberian umpan balik
Siswa perlu mengetahui sejauh mana pemahaman serta hal-hal yang perlu diperbaiki dalam proses belajar mereka. Calfee dan Berlinger (dalam Elliot, 2000, h.8), mengungkapkan bahwa guru efektif mampu memberikan umpan balik kepada siswa mengenai usaha serta penampilan mereka. Umpan balik dilakukan secara berkala, sehingga siswa dapat bertanya jika mereka menemui kesulitan dalam proses belajar. Umpan balik dapat digunakan sebagai pedoman guru untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap suatu materi dan memperbaiki pengajaran yang telah dilakukan agar siswa lebih mudah memahami materi yang disampaikan. Umpan balik juga merupakan bentuk penghargaan guru terhadap usaha yang telah dilakukan siswa, yaitu dengan pemberian pujian.
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa karakteristik yang berhubungan dengan efektifitas mengajar guru adalah kejelasan pengajaran, variasi dan fleksibilitas pengajaran, pemberian tugas, pemberian pujian, orientasi terhadap tugas, pedoman kelas yang sesuai, serta pemberian umpan balik yang dilakukan oleh guru.
c. Aspek – Aspek Persepsi terhadap Efektifitas Mengajar Guru
Aspek – aspek persepsi terhadap efektifitas mengajar guru diperoleh dari aspek – aspek persepsi dan karakteristik yang berhubungan dengan efektifitas mengajar guru. Aspek – aspek tersebut adalah:
1)      Aspek kognisi, meliputi pemberian arti siswa terhadap kejelasan pengajaran, variasi dan fleksibilitas penyampaian materi, pemberian tugas, orientasi terhadap tugas, pedoman kelas yang sesuai, serta pemberian umpan balik yang dilakukan oleh guru.
2)      Aspek afeksi, menyangkut perasaan siswa terhadap kejelasan pengajaran, variasi dan fleksibilitas penyampaian materi, pemberian tugas, orientasi terhadap tugas, pedoman kelas yang sesuai, serta pemberian umpan balik yang dilakukan oleh guru.
3. Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Siswa SMP berada dalam rentang usia 11 – 15 tahun yang termasuk dalam kategori remaja awal. Masa remaja awal ditandai dengan adanya pemasakan seksual, salah satunya adalah munculnya tanda-tanda kelamin sekunder (Monks, 2002, h.267). Pertumbuhan seksual pada remaja diikuti dengan perubahan fisik. Pertumbuhan anggota-anggota badan lebih cepat daripada badannya, hal ini membuat remaja untuk sementara waktu memiliki proporsi tubuh yang tidak seimbang (Monks, 2004, 268). Keadaan fisik tersebut menimbulkan kegusaran dalam diri remaja, karena remaja memiliki perhatian yang sangat besar terhadap penampilan dirinya.
Pada perkembangan sosial remaja terdapat dua macam gerak, yaitu memisahkan diri dari orangtua dan menuju ke arah teman-teman sebaya (Monks, 2002, h.276). Remaja berusaha untuk melepaskan diri dari orangtua dengan maksud untuk menemukan dirinya. Usaha remaja untuk mencapai identitas menunjukkan pertentangan terhadap orang dewasa sekaligus solidaritas terhadap teman-teman sebaya. Permulaan masa remaja ditandai dengan kohesi kelompok yang begitu kuat, hingga tingkah laku remaja sering dipengaruhi oleh norma kelompok atau teman-teman sebaya. Kohesi kelompok bertambah dengan bertambahnya frekuensi interaksi, ditunjukkan oleh banyaknya waktu yang dihabiskan remaja di sekolah.
Sekolah menengah mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan remaja dalam peralihannya dari kanak-kanak menjadi dewasa (Hamalik, 1995, h.83). Siswa SMP umumnya menghabiskan waktu 6 - 7 jam sehari di sekolah, berarti seorang remaja SMP menghabiskan hampir sepertiga dari waktunya dalam sehari di sekolah. Sekolah Menengah Pertama (SMP) terbagi menjadi tiga tingkat, yaitu tingkat VII, VIII, dan IX.
Remaja yang duduk dibangku SMP mengalami masa transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah Banyak perubahan yang terjadi selama siswa berada di SMP dan terkadang menimbulkan tekanan bagi siswa. Menurut Eccles dan Midgely (dalam Santrock, 2002, h.16) tekanan ini terjadi akibat transisi berlangsung pada suatu masa ketika banyak perubahan pada individu, baik dalam keluarga maupun sekolah.
Perubahan-perubahan yang terjadi dari sekolah dasar menjadi sekolah menengah meliputi perubahan struktur kelas yang kecil dan penuh menjadi struktur kelas yang lebih besar, perubahan dari seorang guru menjadi banyak guru, dan sekelompok teman sebaya yang kecil dan homogen menjadi lebih besar dan heterogen, serta meningkatnya fokus pada prestasi dan unjuk kerja, serta pengukurannya (Santrock, 2002, h.16).
Remaja merasa lebih menyukai sekolah menengah dibandingkan dengan sekolah dasar disebabkan karena di sekolah menengah lebih banyak kegiatan, lebih banyak kesempatan untuk memperoleh teman, dan mendapatkan lebih banyak hak-hak istimewa (Hamalik, 1995, h.85). Pada umumnya, remaja di sekolah menengah memperlihatkan penurunan dalam minatnya terhadap program akademis. Remaja di sekolah menengah lebih sering menyatakan tidak senang terhadap guru, program sekolah, disiplin dan bermacam-macam peraturan (Santrock, 2002, h.16). Namun, masih terdapat beberapa kelompok remaja sekolah menengah yang menekankan pada hal-hal yang bersifat akademis.
Coleman (dalam Sarwono, 2002, h.39) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa kelompok remaja yang menekankan pada prestasi sekolah, dalam kelompok ini nilai yang dominan ditunjukkan dengan nilai ulangan atau ujian semata. Terjadi persaingan untuk mendapat nilai bagus dan hanya yang terbaik dalam angka ujian yang mendapat penghargaan dari kawan-kawannya.
Hubungan antara Intensi Menyontek dalam Pelajaran Matematika dengan Persepsi Siswa terhadap Efektifitas mengajar Guru
Siswa SMP merupakan bagian dari remaja dengan rentang usia 11 – 15 tahun. Masa remaja merupakan masa belajar di sekolah (Monks dkk, 2004, h.286). Sekolah menjadi lingkungaan pendidikan sekunder bagi remaja setelah lingkungan keluarga (Sarwono, 2002, h.124). Siswa SMP umumnya menghabiskan waktu sekitar 6 – 7 jam sehari di sekolah, berarti seorang remaja SMP menghabiskan hampir sepertiga dari waktunya dalam sehari di sekolah.
Tugas utama siswa di sekolah adalah mengikuti proses belajar-mengajar. Proses belajar-mengajar di sekolah terdiri dari empat komponen penting yaitu siswa, guru, materi pelajaran serta suasana belajar (Elliot, 2000, h.520). Pada dasarnya, proses belajar-mengajar ialah sebuah kegiatan yang utuh terpadu antara siswa sebagai pelajar yang sedang belajar dengan guru sebagai pengajar yang sedang mengajar (Syah, 2004, h.237).
Guru merupakan individu pertama yang melakukan interaksi langsung dengan siswa dalam proses belajar-mengajar. Guru memiliki peran sebagai pembimbing dalam kegiatan belajar-mengajar, oleh karena itu guru harus berusaha menghidupkan dan memberikan motivasi agar terjadi interaksi yang positif antara siswa dan guru. Guru merupakan director of learning, artinya setiap guru harus pandai mengarahkan kegiatan belajar siswa agar mencapai keberhasilan belajar (Syah, 2004, h.250).
Keberhasilan belajar ditandai dengan tercapainya tujuan belajar, yaitu hasil yang ingin dicapai setelah mempelajari suatu materi (Djamarah, 2006, h.43). Agar tujuan belajar dapat dicapai, maka guru dan siswa perlu sama – sama menciptakan suasana belajar yang kondusif. Suasana belajar yang kondusif dapat terbentuk jika siswa mampu terlibat aktif  dalam proses belajar, baik secara fisik maupun mental. Keterlibatan siswa dalam proses belajar berhubungan erat dengan kemampuan guru dalam memainkan perannya, oleh karena itu dalam proses belajar diperlukan seorang guru yang efektif dalam mengajar.
Efektifitas mengajar guru dapat terlihat dari perilaku guru saat mengajar di dalam kelas. Perilaku yang mencerminkan guru efektif meliputi kejelasan pengajaran, variasi dan fleksibilitas pengajaran, pemberian tugas guna melibatkan siswa dalam proses pembelajaran, orientasi terhadap tugas, penggunaan pedoman kelas yang sesuai, serta pemberian umpan balik secara berkala kepada siswa.
Siswa memperoleh berbagai informasi mengenai pengajaran yang dilakukan oleh guru melalui pengalaman langsung maupun pengalaman siswa lain, hal ini melibatkan proses penginderaan. Berdasarkan informasi yang diterima, siswa melakukan penilaian terhadap ketepatgunaan aktivitas guru dalam membantu siswa melakukan kegiatan belajar. Proses penilaian ini disebut dengan persepsi. Persepsi yaitu pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan – hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Desiderato, dalam Rakhmat, 2005, h.51).
Setiap perilaku individu ditentukan oleh pemahaman dan pengertian individu mengenai suatu hal. Persepsi seseorang nantinya akan mempengaruhi perilaku yang akan dipilihnya (Indrawijaya, 2002, h.45). Persepsi siswa mengenai efektifitas mengajar guru dapat berupa persepsi positif dan persepsi negatif, yang kemudian akan mempengaruhi sikap siswa terhadap guru yang dipersepsi.
Siswa dengan persepsi positif cenderung akan memberikan penilaian yang baik mengenai guru sebagai objek persepsinya. Penilaian ini kemudian akan menimbulkan perasaan hormat, tertarik dalam menerima pengajaran yang dilakukan guru serta mampu menerima materi secara baik pula, sehingga tujuan belajar tercapai dengan baik.
Siswa dengan persepsi negatif cenderung memberikan penilaian yang buruk pada guru yang dipersepsi. Perasaan tidak suka terhadap guru yang dimaksud kemudian muncul. Proses belajar menjadi tidak menarik, sehingga suasana belajar tidak terbentuk dan akhirnya menimbulkan kebosanan pada siswa untuk mengikuti pelajaran. Siswa tidak memperhatikan guru saat menerangkan materi, menyalahkan guru karena tidak mampu mentransfer materi dengan baik sehingga tujuan belajar menjadi tidak tercapai.
Tidak tercapainya tujuan belajar menyebabkan siswa menjadi tidak memahami materi yang telah dipelajari, padahal siswa selalu dihadapkan pada situasi penilaian keberhasilan belajar. Nilai diperoleh dari tes atau evaluasi belajar terhadap materi yang diberikan sebelumnya untuk menunjukkan sejauhmana kemajuan dan pemahaman siswa terhadap suatu materi (Indarto dan Masrun, 2004, h.413). Siswa dituntut untuk memperoleh nilai yang tinggi, baik oleh orangtua, guru, lingkungan, maupun siswa itu sendiri. Nilai rendah menjadi ancaman bagi siswa.
Tuntutan untuk memperoleh nilai tinggi dan kurangnya pemahaman siswa terhadap materi menimbulkan masalah dalam diri siswa. Ada berbagai respon yang dilakukan siswa untuk memperoleh nilai baik, misalnya mempelajari materi secara teratur atau berlatih mengerjakan soal – soal latihan yang diberikan guru. Ada pula siswa yang memberikan respon menghindari ancaman kegagalan dengan jalan pintas, yaitu dengan menyontek (Sujana dan Wulan, 1994, h.1).
Matematika sebagai pelajaran yang dinilai sulit oleh sebagian besar siswa, pada proses belajarnya diperlukan seorang guru yang mampu mengajar secara efektif agar materi dapat tersampaikan dengan baik. Jika siswa tidak memperoleh pengajaran yang efektif dari guru, akan memperkuat intensi siswa untuk menyontek saat ujian. Tidak efektifnya pengajaran yang dilakukan guru dijadikan sebagai pembenaran untuk dilakukannya perilaku menyontek. Siswa merasa bahwa guru tidak peduli dengan proses belajar yang dilakukan siswa (Anderman, 2006, h.209).
Intensi tidak dengan sendirinya menjadi perilaku, karena masih tegantung pada faktor lain yang diperkirakan dapat menghambat atau mendukung perwujudan perilaku (Sarwono, 1997, h.249). Intensi siswa untuk menyontek akan semakin kuat jika berada dalam situasi yang mendukung untuk memunculkan perilaku menyontek. Situasi mendesak dapat mendukung dilakukannya perilaku menyontek, misalnya pelaksanaan ujian secara mendadak, penyelenggaraan ujian pada hari yang sama untuk beberapa pelajaran, atau materi ujian yang dianggap terlalu banyak sehingga siswa kurang memiliki waktu untuk belajar. Selain itu, menurut Klausmeier (1985, h.388) siswa akan terdorong untuk menyontek apabila merasa perilakunya tidak akan ketahuan atau jika ketahuan, hukuman yang diterima tidak terlalu berat.
Menyontek sering dilakukan oleh siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP), hal ini berhubungan dengan perubahan keadaan lingkungan belajar siswa (Anderman, 2006, h.12). Pada masa ini siswa mengalami transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah. Perubahan ini meliputi perubahan struktur kelas yang kecil dan penuh menjadi struktur kelas yang lebih besar, sehingga lingkungan sekolah menjadi lebih kompetitif. Siswa juga mengalami peningkatan fokus pada prestasi dan unjuk kerja, serta pengukurannya (Santrock, 2002, h.16). Tanggung jawab siswa terhadap sekolah sedikit berkurang, sehingga siswa cenderung memperhatikan hasil yang mereka peroleh dibandingkan proses belajar yang dilakukan.
Menyontek dapat diwujudkan dalam bentuk – bentuk: memberi atau menerima informasi dari luar; menggunakan alat bantu yang tidak diperbolehkan; memanfaatkan kelemahan oranglain, prosedur, atau proses pelaksanaan tes untuk memperoleh keuntungan; dan melanggar peraturan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa persepsi terhadap efektifitas mengajar guru berpengaruh dalam pembentukan intensi menyontek. Persepsi negatif terhadap efektifitas mengajar guru akan menghambat proses belajar, sehingga siswa menjadi tidak memahami materi yang dipelajari, ketika menghadapi tes atau ujian siswa menjadi tidak mampu mengerjakan soal dengan baik. Intensi siswa untuk menyontek cenderung menjadi kuat. Sebaliknya, bila persepsi terhadap efektifitas mengajar guru positif akan terjadi interaksi yang positif antara siswa dan guru, sehingga proses belajar berjalan dengan baik dan akhirnya siswa mampu memahami materi yang dipelajari. Ketika ujian, siswa lebih siap dan mampu mengerjakan soal, sehingga intensi untuk menyontek melemah.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, N. 2007. Hubungan Antara Minat terhadap Profesi Guru. Jurnal Inovasi Provinsi Gorontalo. Vol 2 (1), 19-25.
Abdurrahman. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Ajzen, I. 2005. Attitudes, Personality, and Behavior. New York: Open University Press.
Amstrong, T. 2003. Setiap Anak Itu Cerdas. Jakarta: Gramedia.
Anderman, E.M., Tripp G., dan Gloria W. 1998. Motivation and Cheating During Early Adolescence. Journal of Educational Psychology. Vol 90 (1), 84 – 93.
Anderman, Eric M., dan T.B. Murdock. 2006. Psychology of Academic Cheating. New York: Academic Press
Aronson, E. 1973. Reading About The Social Animal. San Fransisco: W.H.Freeman & Co.
Azwar, S. 2004. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
_______. 2004. Dasar – Dasar Psikometri. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
_______. 2006. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Baron, A.R. dan Donn B. 2004. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.
Blair, M.G., Jones S.R., dan Simpson R.H. 1975. Educational Psychology 4th edition. New York: McMillan Publishing Co.
Chaplin, J.P. 1999. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Dayakisni, T. dan Hudaniah. 2006. Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.
Djamarah, Syaiful B., dan Aswan Z. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Ebbel, R.L., Friesbie, D.A.1986. Essential of Educational Measurement. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Elliot.et.al. 2000. Effective Teaching Educational Psychology 3rd edition. Singapore: Mc Graw-Hill.
Firngadi, S. 1997. Mengatasi Gangguan Belajar Pada Anak. Kliping Pendidikan. Salatiga: UKSW.
Fishbein, M dan Ajzen, I.1975. Belief, Attitude, Intention, and Behavior: An Introduction to Theory and Research. London: Addison Wesley Publishing Company.
Gomez, D.S. 2001. Putting The Shame Back in Student Cheating. The Education Digest. Vol. 67 (4), 15 – 21.
Hamalik, O. 1995. Psikologi Remaja “Dimensi-Dimensi Perkembangan”. Bandung: Mandar Maju
Haryono, W., Hardjanta, G., dan Eriyani ,P. 2001. Perilaku Menyontek Ditinjau dari Persepsi terhadap Intensitas Kompetisi dalam Kelas dan Kebutuhan Berprestasi. Psikodimensia. Kajian Imiah Psikologi, 2, 1, 10-16.
Hoetomo. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya: Mitra Pelajar
Hurlock, E.B. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga
Indarto, Y., dan Masrun. 2004. Hubungan Antara Orientasi Penguasaan dan Orientasi Performansi dengan Intensi Mencontek. Sosiosains, 17, 3, Juli, 411 – 421.
Indrawijaya, A. 2002. Perilaku Organisasi. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Jihad, Asep. 2008. Pengembangan Kurikulum Matematika Tinjauan Teoretis dan Historis.  Bandung: Multi Pressindo.
Kilian, C.M., dan David E.M. 2006. Do Accounting Student Cheat? A Study Examining Undergraduate Accounting Students’ Honesty And Perceptions of Dishonest Behavior. Journal of Accounting, Ethics & Public Policy. Vol. 5 (3), 375 – 393.
Klausmeier, H.J.1985. Educational Psychology 5th edition. New York: Harper & Row Publisher.
Kohn, A. 2007. Who’s Cheating Whom?. Diambil dari: http://www.alfiekhon.org%2Fteaching%2Fcheating.htm. 15 Mei 2008.
Monks, F.J. et.al. 2004. Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Murdock, T.B. 1999. Discouraging Cheating in Your Classroom: The Mathematics Teacher. Vol. 92 (7), 587. Academic search Elite. Diambil dari: http://pqdweb?did=45201741&sid=1&Fmt=3&clientId=27979&RQT=309&VName=PQD. 21 Mei 2008.
Poedjinoegroho, B. (2005, 7 Januari). Biasa Mencontek Melahirkan Koruptor. Kompas, hal 19.
Rakhmat, Jalaludin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Santrock, John W. 2002. Life Span Development Jilid II (Alih Bahasa: Adelar, S.B., Saragih, S.). Jakarta: Erlangga
Sarwono, S.W. 1997. Psikologi Sosial: Individu dan Teori – Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka.
____________. 2002. Psikologi Remaja. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Simanjuntak, L., dkk. 1992. Metode Mengajar Matematika. Jakarta: Rineka Cipta.
Slavin, R.E. 1994. Educational Psychology Theory and Practice 4th. Massachussetts: Allyn and Bacon.
Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Grasindo.
Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian. Cetakan keempat. Bandung: CV Alfabeta.
Sujana, YE., Wulan R.1994. Hubungan antara Kecenderungan Pusat Kendali dengan Intensi mencontek. Jurnal Psikologi Universitas Gadjah Mada. No 2, 1-8.
Sukardi. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara.
Sukmana, O. 2003. Dasar – Dasar Psikologi Lingkungan. Malang: UMM Press
Syah, M. 2004. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Walgito, B. 2004. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Wert, J. 2001. How Students Cheat. Diambil dari: http://www. millersville.edu%2F%7Ejccomp%2Facadintegrity%2Fjeffcheating.html.15 Mei 2008.
Winarsunu, T. 2004. Statistik dalam Penelitian Psikologi dan Pendidikan. Malang: UMM Press.

Stress

Setiap perubahan kehidupan atau serangkaian situasi menyebabkan perubahan respon yang meningkatkan resiko terjadinya penyakit atau mempercepat berkembangnya penyakit tersebut.  Terdapat beberapa perubahan hidup yang menyebabkan keadaan stres, antara lain : kematian, perkawinan, pertengkaran, penyakit, pekerjaan, perubahan status ekonomi, dan sebagainya.  Berbicara mengenai stres yang disebabkan oleh penyakit, disini akan dijabarkan mengenai stres pada penderita diabetes mellitus yang merupakan salah satu penyakit cukup ditakuti.
Salah satu contoh di bawah ini yang diungkapkan oleh Bapak Susilo dalam wawancara dengan penulis pada tanggal 18 Februari 2007 dapat memberikan gambaran bahwa penyakit diabetes mellitus ini juga membutuhkan pemikiran yang cukup serius. Penyakit diabetes mellitus yang diidap sejak 20 tahun yang lalu membuat kehidupan Bapak Susilo berubah.  Walaupun diabetes mellitus yang diidap beliau adalah diabetes mellitus tipe II (tidak tergantung insulin) tetapi rutinitas-rutinitas untuk menjaga kesehatan tubuhnya pun tidak kalah rumitnya dengan diabetes tipe I (tergantung insulin).  Bapak Susilo harus menjaga pola makannya seperti tidak banyak mengkonsumsi gula maupun makan-makanan yang manis, menjalani diet, banyak berolahraga minimal berjalan kaki, banyak minum air putih dan buah-buahan, tidak lupa pengecekan gula darah minimal 1 bulan sekali.  Hari-hari yang terkadang membuat beliau sulit adalah jika harus menghadiri pesta dan bepergian jauh.  Beliau harus lebih selektif memilih makanan yang akan dikonsumsinya karena salah memakan makanan dapat menyebabkan gula darahnya naik.  Jika hal tersebut terjadi, beliau langsung menjalani pengecekan gula darah.  Sepertinya rutinitas-rutinitas tersebut mudah untuk dijalani tetapi terkadang beliau mengalami kejenuhan, seperti ingin bebas dalam mengkonsumsi jenis makanan dan minuman.  Aktivitas lain yaitu pekerjaan terkadang menambah beban beliau dalam menjaga kesehatannya.  Aktivitas pekerjaan dan pikiran yang terlalu berat akan meningkatkan glukosa dalam darah sehingga beliau harus lebih serius dalam menjaga pola makannya dan mengkonsumsi obat-obatan.  Beliau memang jarang mengkonsumsi obat diabetes, beliau lebih cenderung menjaga kesehatannya tanpa bergantung dengan obat-obatan.  Maka dari itu, beliau harus lebih optimal dalam menjalani larangan-larangan dan menghindari pikiran berat.
Perlu diingat bahwa Diabetes Mellitus yang kita kenal sebagai penyakit kencing manis, merupakan penyakit keturunan yang menyebabkan gangguan produksi hormon insulin, yaitu suatu zat yang bekerja sebagai petugas pengolah gula.  Sebenarnya Diabetes Mellitus tidaklah menakutkan bila diketahui lebih awal, tetapi kesulitan diagnostik timbul karena Diabetes Mellitus datang tenang dan bila dibiarkan akan menghanyutkan pasien kedalam komplikasi fatal.  Lebih rumit lagi Diabetes Mellitus tidak menyerang satu alat tubuh saja, tetapi berbagai komplikasi dapat diidap bersamaan dalam satu tubuh (Ranakusuma, 1982).
Miller (Soehardjono, Cokroprawiro, Adi, 2002) menyatakan bahwa penyakit ini merupakan suatu penyakit kronis, sebagaimana lazimnya penyakit kronis sering menimbulkan perasaan tidak berdaya pada diri penderitanya, suatu perasaan bahwa dirinya sudah tidak mampu lagi mengubah masa depannya.  Perasaan tidak berdaya timbul karena berbagai macam sebab antara lain karena kondisi kesehatan penderita yang tidak menentu yang diwarnai dengan kesembuhan dan kekambuhan dan kemungkinan juga karena terjadinya kemunduran fisik.  Hal tersebut dapat memicu timbulnya stres dalam kehidupan penderita sehingga dapat meningkatkan sakit penderita menjadi bertambah parah dan prognosis menjadi jelek.
Wilkinson G (Soeharjono, Tjokroprawiro, Margono, Tandra, 1993) dalam tulisannya mengatakan bahwa seringkali ditemui adanya gangguan psikologis dan psikiatris pada penderita diabetes mellitus dan biasanya dalam taraf ringan serta seringkali terabaikan dalam pemeriksaan rutin pada klinik diabetes.  Dikatakan pula bahwa stres psikologis dan psikososial dapat memberatkan kontrol metabolit pada diabetes ataupun dapat pula merupakan presipitasi (mempercepat) bagi timbulnya diabetes mellitus.  Hal tersebut terbukti dari hasil penelitian dalam Soeharjono dkk menyatakan bahwa mereka yang mempunyai kepribadian introvert menunjukkan hasil pengendalian diabetesnya yang lebih baik daripada yang ekstrovert karena mereka lebih sensitive terhadap hukuman atau hadiah yang diberikan oleh orang tua (terutama pada anak) sehingga mereka cepat mencapai pengendalian diabetes dengan baik.
Lustman dkk. (Soeharjono, Tjokroprawiro, Margono, Tandra, 1993) menemukan bahwa penderita dengan gangguan psikiatrik ternyata mengalami metabolik kontrol lebih jelek daripada penderita-penderita yang tidak mempunyai riwayat gangguan psikiatrik.  Perubahan psikologis yang disebabkan oleh kontrol metabolik yang dipengaruhi oleh stres antara lain : gangguan pergerakan usus, penyerapan makanan, peredaran darah subcutan dan absorbsi insulin.
Dalam penelitian lain terlihat bahwa stres yang dialami oleh 4 orang subjek remaja penyandang DM TI terkait dengan kedisiplinan dalam melaksanakan menejemen diabetes yang meliputi pelaksanaan diet, suntik insulin, periksa darah, olah raga dan rutinitas pemerikaan kondisi kesehatan oleh tenaga medis professional.  Terlihat juga adanya stress yang terkait dengan penerimaan mereka terhadap kondisi yang mereka sandang, perasaan terhadap lingkungan sekitar mereka yang tidak menyandang diabetes dan pandangan mereka  terhadap masa depan terkait dengan diabetes mellitus yang mereka sandang (Tanumidjojo, Basoeki, dan Yudiarso, 2004).
Bertolak dari kenyataan bahwa perasaan stres yang dialami seseorang ternyata lebih disebabkan oleh pikiran dan perasaan yang tidak menyenangkan dalam menghadapi stresor kehidupan, kecenderungan berpikir seseorang baik positif maupun negatif akan membawa pengaruh terhadap penyesuaian dan kehidupan psikisnya.
Orang yang cenderung berpikir negatif, pesimis dan irasional akan lebih mudah mengalami stres daripada mereka yang cenderung berpikir positif, rasional dan optimis (Hardjana, 1994).  Dengan membentuk sikap positif terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan, akan membuat seseorang melihat keadaan tersebut secara rasional, tidak mudah putus asa ataupun menghindar dari keadaan tersebut, tetapi justru akan mencari jalan keluarnya. Dengan demikian orang tersebut mempunyai mental yang kuat, yang akan membantunya dalam menghadapi stresor kehidupan (Chaeruni, 1995).
Penelitian Cridder dkk (Chaeruni, 1995) menemukan bahwa dengan memusatkan perhatian pada sisi positif dari suatu keadaan yang sedang dihadapi, akan membuat seseorang menjadi lebih mampu mempertahankan emosi positifnya dan mencegah emosi negatif serta membantu dalam menghadapi situasi yang mengancam dan menimbulkan stres.
Bila stres terus berlanjut pada penderita Diabetes Mellitus akan menimbulkan perubahan-perubahan hemodinamik berupa rasa gelisah, hipertensi, gangguan metabolisme glukosa dan dyslipidemia (Jatno, 1995).
Penyandang diabetes memang dituntut untuk melaksanakan pelbagai rutinitas yang berkaitan dengan pengaturan makan, penyuntikan insulin setiap hari dan pengontrolan glukosa darah.  Maka, bila seseorang telah menyandang Diabetes Mellitus akan terjadi perubahan-perubahan pada rutinitis kehidupannya, apalagi apabila sudah dialami dalam waktu cukup lama, biasanya perubahan-perubahan tersebut akan lebih dirasakan.  Dalam menghadapi perubahan tersebut, setiap individu akan berespons dan mempunyai persepsi yang berbeda-beda tergantung pada kepribadian dan ketahanan diri terhadap stres, konsep diri dan citra diri, serta penghayatan terhadap menjalani penyakit tersebut, misalnya ada yang merasa marah karena merasa tidak beruntung sehingga cenderung menyalahkan hal-hal atau orang lain disekitarnya atau menyesali nasibnya mengalami Diabetes Mellitus, adapula yang merasa bersalah pada diri sendiri, sehingga merasa sedih dan merasa masa depannya suram. Respon-respon tersebut merupakan beberapa ciri dari seseorang yang memiliki penilaian terhadap diri sendiri yang buruk, penerimaan diri sendiri pun menjadi negatif.  Di lain pihak banyak pula individu yang dapat menerima kenyataan bahwa Diabetes Mellitus yang dialami sebetulnya tidak berbahaya, namun tetap harus dihadapi agar tetap hidup lebih nyaman.
Hjelle dan Ziegler (Izzaty, 1996) menyatakan bahwa toleransi terhadap stres yang tinggi merupakan salah satu ciri dari individu yang mampu menerima dirinya.  Penerimaan diri ini terbentuk karena individu yang bersangkutan dapat mengenal dirinya dengan baik.  Hurlock mengatakan bahwa penerimaan diri inilah yang membuat perilaku individu menjadi well-adjusted yang pada akhirnya memiliki daya tahan yang tinggi terhadap stres (Izzaty, 1996).
Penelitian Tanumidjojo, Basoeki danYudiarso dikatakan bahwa subjek dengan kepribadian yang puas dengan diri sendiri, mudah dituntun, namun memiliki fungsi ego yang lemah dan cenderung menyerah terhadap tekanan, cenderung mengalami stres yang terkait dengan penerimaan diri.  Subjek dengan kepribadian yang cemas akan diri sendiri, mudah dituntun, memiliki ego yang cukup kuat namun cenderung menghindar dari tekanan juga mengalami stres yang terkait dengan penerimaan diri (Tanumidjojo, Basoeki, dan Yudiarso, 2004).
Sartain (Andromeda. 2006) mendefinisikan penerimaan diri sebagai kesadaran seseorang untuk menerima dirinya sebagaimana adanya dan memahami dirinya seperti apa adanya.  Individu yang memiliki penerimaan diri berarti telah menjalani proses yang menghantarkan dirinya pada pengetahuan dan pemahaman tentang dirinya sehingga dapat menerima dirinya secara utuh dan bahagia.
Karp menambahkan bahwa berbagai masalah psikologis yang dihadapi penderita akan menimbulkan stres bagi penderita.  Kehidupan yang penuh stres akan berpengaruh terhadap fluktuasi glukosa darah meskipun telah diupayakan diet, latihan fisik maupun pemakaian obat-obatan dengan secermat mungkin, oleh karena itu masalah-masalah psikologik yang dihadapi penderita diabetes mellitus akan dapat mempersulit pengendalian gula darahnya.  Hal tersebut disebabkan terjadinya peningkatan hormon-hormon glucocorticoid, cathecolamine, growth hormon, glicagon dan betaendorphine (Soeharjono, Tjokroprawiro dan Adi, 2002).
Berbagai masalah di atas dapat dilihat adanya hubungan yang erat antara penerimaan diri seseorang dan kemampuan individu dalam menghadapi stressor. Kemudian timbulah assumsi bahwa individu yang memiliki penerimaan diri yang jelek akan mudah mengalami stress, sedangkan individu yang memiliki penerimaan diri yang baik tidak mudah untuk mengalami stres.
Kata “stres” bisa diartikan berbeda bagi tiap-tiap individu.  Sebagian individu mendefinisikan stres sebagai tekanan, desakan atau respon emosional. Parapsikolog juga mendefinisikan stres dalam pelbagai bentuk.  Definisi stres yang paling sering digunakan adalah definisi Lazarus dan Launier (Ognen dalam Tanumidjojo, Basoeki, Yudiarso, 2004) yang menitikberatkan pada hubungan antara individu dengan lingkungannya.  Stres merupakan konskuensi dari proses penilaian individu, yakni pengukuran apakah sumber daya yang dimilikinya cukup untuk menghadapi tuntutan dari lingkungan.
Pengertian stres menunjukkan variasi antara ahli yang satu dengan ahli yang lainnya.  Folkman dan Lazarus (Chaeruni, 1995) mendefinisikan stres sebagai suatu akibat dari interaksi antara seseorang dengan lingkungannya yang dinilai membahayakan dirinya.  Gibson (Chaeruni, 1995) mendefinisikan stres sebagai interaksi antara stimulus dan respon.  Stres sebagai stimulus adalah kekuatan atau dorongan terhadap individu yang menimbulkan reaksi ketegangan atau menimbulkan perubahan-perubahan fisik individu.  Stres sebagai respon yaitu respon individu baik respon yang bersifat fisiologik maupun respon yang bersifat psikologik, terhadap stresor yang berasal dari lingkungan.  Stresor tersebut merupakan peristiwa atau situasi dari luar yang bersifat mengancam individu.
Selye (Saseno,2001) mendefinisikan stres adalah respon tubuh yang tidak spesifik terhadap setiap kebutuhan yang terganggu. Davis, dkk (Saseno,2001) mendefinisikan stres adalah kejadian kehidupan seharian yang tidak dapat dihindari.  Kozier, dkk (Saseno,2001) mendefinisikan stres adalah fenomena universal, setiap orang mengalaminya. Stres memberi dampak secara total pada individu yaitu fisik, emosi, intelek, sosial, dan spiritual.  Stres fisik mengancam keseimbangan fisiologis.  Stres emosi dapat menimbulkan perasaan negatif atau destruktif terhadap diri sendiri.  Stres intelektual akan mengganggu persepsi dan kemampuan menyelesaikan masalah.  Stres sosial akan menggangu hubungan individu dengan orang lain.  Stress spiritual akan merubah pandangan individu terhadap kehidupan (Saseno, 2001).
Stres adalah perasaan tertekan, perasaan tertekan ini membuat orang mudah tersinggung, mudah marah, konsentrasi terhadap pekerjaan menjadi terganggu.  Stres merupakan reaksi tubuh terhadap situasi yang tampak berbahaya atau sulit.  Stres membuat tubuh untuk memproduksi hormon adrenalin yang berfungsi untuk mempertahankan diri.  Stres merupakan bagian dari kehidupan manusia.  Stres yang ringan berguna dan dapat dapat memacu seseorang untuk berpikir dan berusaha lebih berpikir dan berusaha lebih cepat dan keras sehingga dapat menjawab tantangan hidup sehari-hari.  Stres ringan bisa merangsang dan memberikan rasa lebih bergairah dalam kehidupan yang biasanya membosankan dan rutin.  Tetapi stres yang terlalu banyak dan berkelanjutan, bila tidak ditanggulangi, akan berbahaya bagi kesehatan (duel.melsa.ned.id).
Stres dibedakan menjadi dua yaitu stres yang merugikan dan merusak yang disebut distress, dan stres yang positif dan menguntungkan, yang disebut eustres.  Setiap individu mempunyai reaksi yang berbeda terhadap jenis stres,  dalam kenyataannya stres menyebabkan sebagian individu menjadi putus asa tetapi bagi individu lain justru dapat menjadi dorongan baginya untuk lebih baik (Tanumidjojo, Basoeki, Yudiarso, 2004).
Lebih lanjut Hans Selye (Subekti D.A, 1993), menyatakan bahwa ada tiga tahap respon sistematik tubuh terhadap kondisi yang penuh stres, yaitu reaksi alarm, tahap perlawanan dan penyesuaian, dan tahap kepayahan (exhaustion).  Reaksi alarm dari sistem saraf otonom, dalam reaksi ini tubuh akan merasakan kehadiran stres dan tubuh akan mempersiapkan diri melawan atau menghindar, persiapan ini akan merangsang hormon dari kelenjar endokrin yang akan menyebabkan detak jantung dan pernapasan meninggi, kadar gula dalam darah, berkeringat, mata membelalak dan melambatnya pencernaan.  Pada tahap perlawanan dan penyesuaian yang merupakan bentuk respon fisiologik, tubuh akan memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh stres.  Jika penyebab stress tidak hilang, maka tubuh tidak bisa memperbaiki kerusakan dan terus dalam kondisi reaksi alarm.  Tahap yang ketiga yaitu kepayahan (exhaustion), yang terjadi apabila stres yang sangat kuat, stres berjalan cukup lama, usaha perlawanan maupun penyesuaian terhadap stres gagal dilakukan.  Jika berlanjut cukup lama maka individu akan terserang dari “penyakit stres”, seperti migren kepala, denyut jantung yang tidak teratur, atau bahkan sakit mental seperti depresi.  Apabila stres ini berlanjut selama proses kepayahan maka tubuh akan kehabisan tenaga dan bahkan fungsinya jadi terhenti.
Beranjak dari beberapa definisi beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa stres merupakan respon spesifik dari organisme terhadap stresor yang dapat berakibat negatif maupun positif.  Bila organisme tidak kuat menghadapi dan menganggap stresor tersebut sebagai tuntutan dari lingkungan yang menekan, maka stresor dapat menyebabkan ketegangan yang selanjutnya dapat mengakibatkan gangguan pada fisik dan psikisnya.  Namun, bila individu tersebut mampu menghadapi dan mengelola stresor dengan baik, maka akan timbul hal-hal yang positif.
1.      Aspek-aspek Stres
Menurut Crider, dkk (1983), gangguan-gangguan stress dibagi menjadi tiga yaitu:
gangguan emosional
Gangguan emosional biasanya berwujud keluhan-keluhan seperti tegang, khawatir, marah, tertekan dan perasaan bersalah.  Secara umum, hal tersebut diatas adalah sesuatu hal yang tidak menyenangkan atau emosi negatif yang berlawanan dengan emosi positif seperti senang, bahagia dan cinta.
Hasil stress yang sering timbul adalah kecemasan dan depresi.  Kecemasan akan dialami apabila individu dalam mengantisipasi yang akan dihadapi mengetahui bahwa kondisi yang ada  adalah sesuatu yang menekan (stressful event), seperti hendak ujian, diwawancara dan sebelum pertandingan.
gangguan kognitif
Gejalanya tampak pada fungsi berpikir, mental images, konsentrasi dan ingatan.  Dalam keadaan stress, ciri berpikir dalam keadaan normal seperti rasional, logis dan fleksibel akan terganggu karena dipengaruhi oleh kekhawatiran tentang konsekuensi yang terjadi maupun evaluasi diri yang negatif.
 Mental images diartikan sebagai citra diri dalam bentuk kegagalan dan ketidakmampuan yang sering mendominasi kesabaran individu yang mengalami stress, seperti mimpi buruk, mimpi-mimpi yang menimbulkan imajinasi visual menakutkan dan emosi negatif.
Konsentrasi diartikan sebagai kemampuan untuk memusatkan pada suatu stimulus yang spesifik dan tidak memperdulikan stimulus lain yang tidak berhubungan.  Pada individu yang mengalami stres, kemampuan konsentrasi akan menurun, yang akhirnya akan menghambat performansi kerja dan kemampuan pemecahan masalah (problem-solving).
Memori pada individu yang mengalami stres akan terganggu dalam bentuk sering lupa dan bingung.  Hal ini disebabkan karena terhambatnya kemampuan memilahkan dan menggabungkan ingatan-ingatan jangka pendek dengan yang telah lama.
gangguan fisiologik
Gangguan fisiologik adalah terganggunya pola-pola normal dari aktivitas fisiologik yang ada.  Gejala-gejalanya yang timbul biasanya adalah sakit kepala, konstipasi, nyeri pada otot, menurunnya nafsu sex, cepat lelah dan mual.
Beranjak dari gangguan-gangguan stres yang diungkapkan oleh Crider di atas dapat diambil kesimpulan bahwa stres yang diderita dalam waktu lama atau singkat dapat berpengaruh terhadap cara berpikir, kesabaran, emosi, konsentrasi, daya ingat dan bahkan kesehatan tubuh.  Bagi individu yang telah mengidap suatu penyakit, stres dapat memperlambat penyembuhan dan mungkin dapat pula memperparah penyakit tersebut.
2.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres
Menurut Sue dkk (Izzaty, 1996) ada tiga faktor yang menyebabkan timbulnya stres, yaitu:
Faktor biologik
Faktor ini berasal dari adanya kerusakan atau gangguan fisik atau organ tubuh individu itu sendiri.  Misalnya : infeksi, serangan berbagai macam penyakit, kurang gizi, kelelahan dan cacat tubuh.
Faktor psikologik
Faktor ini berhubungan dengan keadaan psikis individu.  Selanjutnya ditambahkan oleh Maramis (2004) yang mengatakan bahwa sumber-sumber stres psikologik itu dapat berupa:
1)  Frustasi, timbul bila ada aral melintang antara keinginan individu dan maksud atau tujuan individu.  Ada frustasi yang datang dari luar, misalnya: bencana alam, kecelakaan, kematian seseorang yang dicintai, norma-norma dan adat-istiadat.  Sebaliknya frustasi yang berasal dari dalam individu, seperti: cacat badaniah, kegagalan dalam usaha dan moral sehingga penilaian diri sendiri menjadi tidak enak, merupakan frustasi yang berhubungan dengan kebutuhan rasa harga diri.
2)  Konflik, bila kita tidak tahan memilih antara dua atau lebih macam kebutuhan atau tujuan.  Misalnya: memilih mengurus rumah tangga atau aktif di kegiatan kantor.
3)  Tekanan, yaitu sesuatu yang dirasakan menjadi beban bagi individu.  Tekanan dari dalam dapat disebabkan individu mempunyai harapan yang sangat tinggi terhadap dirinya namun tidak disesuaikan dengan kemampuannya sendiri atau tidak mau menerima dirinya dengan apa adanya, tidak berani atau bahkan terlalu bertanggung jawab terhadap sesuatu tetapi dilakukan secara berlebih-lebihan.  Tekanan dari luar, misalnya: atasan di kantor menuntut pekerjaan cepat diselesaikan sementara waktu yang disediakan sering mendesak.
4)  Krisis, bila keseimbangan yang ada terganggu secara tiba-tiba sehingga menimbulkan stres yang  berat.  Hal ini bisa disebabkan oleh kecelakaan, kegagalan usaha ataupun kematian.\
Faktor sosial
Faktor ini berkaitan dengan lingkungan sekitar, seperti kesesakan (crowding), kebisingan (noise) dan tekanan ekonomi.
Berpijak dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa stres dapat muncul jika individu tidak dapat mengatasi masalah-masalah dalam kehidupannya seperti tekanan dalam pekerjaan, konflik dengan orang sekitar, harapan yang tidak sesuai dengan keinginan, tidak dapat menyadari atau menerima dirinya dengan apa adanya, dan kesehatan yang tak kunjung-kunjung sembuh pun dapat menimbulkan stres.

jadwal-sholat