Seminar Psikologi Transpersonal

Seminar Psikologi Transpersonal.

Asesmen Pegawai

Asesmen Pegawai.

Proses Rekrutmen Karyawan

Proses Rekrutmen Karyawan.

Pelatihan Pembelajaran Bahasa Inggris Menggunakan Flash Card

Pelatihan Pembelajaran Bahasa Inggris Menggunakan Flash Card.

Pelatihan Psikologi Transpersonal Dalam Menjawab Realita Kehidupan

Pelatihan Psikologi Transpersonal Dalam Menjawab Realita Kehidupan.

Sabtu, 19 Januari 2013

Portofolio Psikologi Klinis


Assesmen

Menurut Kendall, 1982, Assesmen klinis merupakan proses pengumpulan informasi mengenai klien atau  subyek untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai seseorang.
Alasan penyelenggaraan assesmen adalah
1.             Penyaringan dan diagnosis, fungsi penyaringan dalam assesmen meliputi kegiatan memilih dan mengelompokkan orang, menggunakan kemampuan klinikus untuk mengembangkan metode(assesmen), mengumpulkan data dan membuat keputusan yang canggih. Diagnosis adalah ditentukan atau ditemukannya gangguan dan termasuk kelompok atau jenis apakah penyakitnya itu.
2.             Evaluasi dan intervensi klinis, melalui assesmen data dapat dihimpun melalui assesmen untuk menentukan kekuatan, kelemahan dan keparahan permasalahan psikologis klien, pada sebelum saat dan setelah intervensi diselenggarakan.
3.             Riset, dalam riset assesmen dimaksudkan untuk menguji hipotesis yang spesifik dalam menangani baik perilaku normal maupun abnormal atau mengalami disfungsi psikologis, dan dirancang untuk mendapatkan informasi baru yang dapat meningkatkan pemahaman kita mengenai pemfungsian manusia.

Sasaran Assesmen
1.             Disfungsi (psikologis) individual, memperhatikan abnormalitas atau kekurangan dalam aspek pikiran, emosi atau tindakannya.
2.             Kekuatan klien, dalam hal kemampuan, ketrampilan atau sensitifitas yang menjadi target evaluasi.
3.             Kepribadian subyektif. Dalam hal ini bisa jadi psikolog klinis akan menyelenggarakan tes, observasi dan interview untuk membantu menemukan kebutuhan, motivasi, pertahanan dan pola perilaku subyek.

Metode Assement
1)             Wawancara
Definisi menurt sullivan adalah suatu situasi yang pertama-tama adalah komunikasi vokal dalam suatu dwi kelompok, kurang lebih dintergrasikan secara volunter,mengenai rentang progesif atas dasar ahli-klien denga tujuan membentangkan pola hidup seseorang yang dialami sebagai masalah atau gangguan yang mempunyai nilai khusus.
Dalam wawancara klinis pertama-tama yang harus diwaspadai adalah vokal,tetapi juga harus waspada mengenai pesan non verbal (postur,gestur dan exspressi wajah).
Empat tujuan umum wawancara klinis ialah:
1.        memperoleh informasi tentang klien yang bersangkutan.
2.        memberikan informasi selama dianggap perlu dan sesuai dengan tujuan wawancara
3.        memeriksa kondisi psikologis klien
4.        mempengaruhi ,merubah dan memodifikasi perilaku klien.

Beberapa jenis wawancara :
a.         Wawancara mengenai status mental, yang bertujuan untuk mendeskripsikan setepat mungkin sejarah masa lalu dan masa depan dari penyakit psikiatrik pasien.
b.        Wawancara sosial klinis, yang bertujuan menentukan asal dan keparahan masalah seperti yang dikemukakan klien.
c.         Wawancara yang difraksikan yaitu wawancara yang substansinya bervariasi tergantung pada gaya teori dan pribadi pewawancara.
d.        Wawancara terstruktur, yang bermaksud mencapai hasil yang lebih baik. Dimana pertanyaan bersifat terstruktur,menggunakan kata yang baku.

2)             Tes Terstruktur
          Tes ini meminta subjek untukmenjawab pertanyaan secara tegas, ya atau tidak. Tes terstruktur membutuhkan standarisasi yang berhati-hati dan norma yang representatif. Standarisasi adalah prosedur pengetesan dan keadaan klien serta tempat dan suasana dimana tes berlangsung. Yang dimaksud dengan norma adalah suatu set skor yang didapat dari sekelompok orang yang telah mengikuti tes melalui metode sampling.
3)             Tes tak Terstruktur
          Disebut tes tidak terstruktur karena tesnya tidak membutuhkan jawaban yang ditentukan secara tegas dan jelas. Faktor pribadi testee sangat menentukan.
4)             Assesment keperilakuan
          Observasi ni merupakan observasi sistematik yang dimaksudkan untuk:
a.         Mendapat informasi yang tidak diperoleh dari wawancara.
b.        Mengevaluasi ketepatan komunikasi verbal dan konsistensinya dengan komunikasi non verbal.
c.         Membuat kesimpulan mengenai keadaan yang perlu mendapat perhatian khusus yang memunculkan perilaku klien.
5)             Kunjungan Rumah
Diperlukan dalam rangka persiapan penyelenggaraan terapi keluarga. Terdapat 6 keuntungan yaitu:
a.         Fungsi keseluruhan keluarga terlihat sebagaimana adanya.
b.        Setiap anggota keluarga berpeluang melaksanakan peran sehari-harinya.
c.         Terdapat lebih sedikit kemungkinan untuk tidak hadirnya anggota keluarga.
d.        Terdapat peluang untuk melohat seluruh keluarga dalam permasalahan.
e.         Terdapat kemungkinan untuk tidak cemas dalam lingkungan keluarga sehingga meminimalisir perilaku yang dibuat-buat.
f.         Terapi berlaku terbebas dari hubungan formal dokter-pasien.
6)             Catatan Kehidupan
Biasanya dalam bentuk buku harian yang berisi catatan peristiwa kehidupan dan kesan-kesan pribadi.



7)             Dokumen Pribadi
Apapun yang tercatat dalam dokumen pribadi adalah proyeksi yang dapat ditafsirkan. Penting untuk mengetahui motif utama klien, maupun hal-hal yng disembunyikan.
8)             Pemfungsian Psikofisiologis
Hubungan psikis, mental dan faal tubuh sangat erat. Misalnya tekanan darah sering berhubungan dengan adanya kecemasan dan juga merupakan reaksi atas tekanan psikologis.

Tahap-Tahap Dalam Proses Assesmen
Sundberg dan Tyler menjelaskan assesmen klinis dalam emapt proses besar yaitu
1.             Persiapan : Mempelajari masalh pasien, merundingkan penyerahan pertanyaan-pertanyaan dan merencanakan langlah-langkah lebih lanjut dalam assesmen.
2.             Input : Data dan situasi tentang pasien. Ada 4 cara untuk mendapat inforasi tentang pasien:
a.         Bertanya pada yang bersangkutan.
b.        Bertanya pada orang yang mengenal pasien.
c.         Mengamati perilaku individu.
d.        Observasi individu berdasar tes
3.             Proses : Pengumpulan materi dengan terorganisasi, analisis dan interpretasi.
4.             Output : Hasil belajar dari orang yang mengkomunikasikannya dan keputusan sebagai tindakan klinis yang lebih lanjut.

Laporan Psikologi
Hasil dari macam-macam metode assesmen itu dioranisasikan,diintegrasikan dan dikomunikasikan dalam laporan psikologi. Laporan itu dapat dibuat dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
a.              Format umum
Laporan psikologi bisa berbagai bentuk, gaya dan panjangnya. Tergantung pada maksud dan tujuan serta kepada siapa laporan akan diberikan. Untuk laporan yang kurang lebih sama untuk setiap yang dilapori, disebut format umum.
b.             Mengintregasikan data assestment
Pendekatan yang bermanfaat atas integrasi data asesment membutuhkan 3 langkah berikut:
1.        Pemeriksaan seluruh tes dan membuat daftar pernyataan sesuai maksud melakukan asesment.
2.        Pemeriksa mengambil setiap alat asesement dan membuat pertanyaan singkat sehingga yang dimaksudkan sebagai jawaban tiap pertanyaan.
3.        Pemeriksa kembali pada pertanyaan singkat dari setiap tes dan mengintegrasikan bahan tersebut dihubungkan dengan rancangan laporan.
Nilai Ilmiah Asesment
Nilai ilmiah yang dimaksudkan adalah reliabilitas dan validitas. Reliabilitas adalah taraf yang menunjukkan tes atau deretantes atau observasi yang digunakan bersifat stabil, saling tergantung, dan memiliki konsistensi diri. Validitas menyangkut taraf dimana suatu pengukuran psikologi, baik tes, observasi, maupun hasil wawancara memberikan gambarn tentang apa yang sebenarnya mau diukur.
Assesment dalam Intelektual
Intelegensi menurut Wechsler merupakan pembangkit atau kapasitas global individu untuk bertindak bertujuan berfikir rasional dan berhubungan efektif dengan lingkungan.
Intelegensi menurut Rudolf Amathauer adalah suatu struktur khusus dalam keseluruhan kepribadian seeorang, suatu kebutuhan yang berstruktur yang berdiri atas kemmapuan jiwa-mental dan diungkapkan melalui prestasi, serta memberikan kemampuan kepada individu untuk bertindak.
Beberapa alat tes intelegensi yang umum dipakai:
1.        Stanford-Binet Intelligence Scale
2.        Wechsler Adult Intelligence Skill (WAIS)

Assesment dalam Aspek Kepribadian
Dalam assesment kepribadian terdapat pembagian menjadi projective assesment dan Objective Assesment.
a.              Projective Assessment
          Projective assessment berkembang dari perspektif teoritis yang menampilkan karakteristika dinamis sebagai inti kepribadian (teori psikoanalisis). Menurut Linzey, teknik projective merupakan alat yang dianggap memiliki sensitivitas yang khusus untuk aspek perilaku yang tertutup dan tidak sadar, memungkinkan atau menggali varietas respon subjek yang luas, sangat multidimensional, dan menggali data respon yang kaya atau sangat kaya dan bersenyawa dengan kesadaran subjek yang minimun menyangkut tujuan dari tes. Linzey membagi alat-alat tes proyektif yaitu:
·           Asosiasi, ialah meminta subjek untuk mengasosiasikan atau menjawab stimulus yang diberikan pemerkasa, misalnya tes Roscahch atau asosiasi kata.
·           Konstruksi tes meminta subjek untuk membangun atau menciptakan cerita gambar. Tes konstruksi merupakan aktivitas kognitif yang lebih rumit daripada teknik asosiasi. Thematic Aperception Test merupakan salah satu contohnya.
·           Melengkapi. Cara melengkapinya diserahkan pada subjek. Sebagai misal adalah tes Picture Completion dari Wartegg atau Sentence Completion Test dari Sullivan dan Murray.
·           Memilih atau membuat peringkat.
·           Ekspresi. Contoh alat ukur proyektif yang ekspresif bermain, menggambar, melukis dan psikodrama dapat.
b.             Objective Assessment
   Pendekatan objective assessment kepribadian merupakan usaha yang secara ilmiah berusaha menggambarkan karakteristik atau sifat-sifat individu atau kelompok sebagai alat untuk memprediksi perilaku.
Assesment dalam Aspek NeuroPsikologi
Assessment neuropsikologi melibatkan pengukuran-pengukuran tanda-tanda tingkah laku yang mencerminkan kesehatan atau kekurangan dalam fungsi otak. Terdapat 3 kegiatan psikologi klinis dalam assesment neuropsikologis, yaitu menyangkut fokus perhatian dalam assesment ini, banyak tes neuropsikologis utama dan bukti-bukti riset yang menyangkut reliabilitas dan validitas tes untuk assesment neuropsikologis.

Aspek Intelektual
Sir  Francis Galton pada tahun 1869 menemukan Kualitas Genius Herediter, dimana dalam istilah “genius” itu terkandung berbagai macam prestasi yang pada umumnya tidak dimasukkan kedalam hal yang berhubungan dengan pengukuran intelegensi.
Spearman (1904) mengemukakan adanya suatu kemampuan yang disebut sebagai faktor umum intelegensi (general factor of intellegence), sehingga saat ini kita mengenal salah satu teori Spearman mengenai intelegensi sebagai “General Factor Theory”.
Menurut Wechsler (1958), intelegensi merupakan pembangkit atau kapasitas gobal individu untuk bertindak bertujuan, berfikir rasional dan berhubungan efektif dengan lingkungannya.
Menurut Rudolf Amathauer, intelegensi adalah suatu struktur khusus dalam keseluruhan kepribadian seseorang, suatu kebutuhan yang berstruktur yang terdiri atas kemampuan jiwa-mental dan diungkapkan melalui persepsi, serta memberikan kemampuan kepada individu untuk bertindak. Intelegensi hanya dapat dikenal melalui ungkapan-ungkapan, yaitu terlihat melalui prestasi (1970).

Penelitian dan Evaluasi dalam Psikiologi Klinis

Metode-Metode Penelitian dalam Psikologi Klinis, antara lain :
1.        Metode observasi
Ada beberapa jenis observasi, yaitu :
a.         Observasi tak sistematik, misalnya observasi yang dilakukan oleh pemeriksa secara kebetulan terhadap seorang subjek saat subjek sedang menunggu giliran, atau saat subjek sedang menjalani tes.
b.         Observasialamiah atau naturalistik ialah yang dilakukan dalam setting alamiah.
c.         Observasi terkendali. Jenis observasi ini dilakukan untuk memperbaiki observasi alami yang kurang sistematik dengan memberi suatu stimulus kepada orang yang akan diamati dengan setting alamiah untuk mengetahui sejauh mana itu berpengaruh dalam tingkah laku.
d.        Studi kasus ialah suatu penelitian intensif terhadap satu subjek, yang bertujuan memberikan deskripsi yang mendetail tentang subjek yang diteliti itu. Penelitian bisa dilakukan dengan cara wawancara, observasi atau dipelajari catatan biografinya.
2.        Metode penelitian epidemiologis
Metode ini mempelajari kejadian (incidence), prevalensi, dan distribusi penyakit atau gangguan dalam suatu populasi. Kebanyakan penelitian epidemiologis didasarkan atas hasil survei berdasarkan kuesioner yang disebarkan di suatu daerah tertentu, dengan harapan bahwa subjek yang mengisi kuesioner akan melaporkan yang sebenarnya.
3.    Metode korelasi
Metode korelasi memungkinkan peneliti untuk menetukan apakah suatu variabel tertentu, misalnya penyakit influenza, berkaitan dengan variabel lain, misalnya cuaca di suatu daerah.
Teknik korelasi memerlukan dua set data (dari observasi, skor tes, dan lain-lain) untuk dicari apakah data set pertama berhubungan dengan data set lainnya, yang kemudian menghasilkan suatu koefisien korelasi yang berkisar antara -1 (korelasi negatif) dan +1 (korelasi positif). Koefisien korelasi dapat bermakna (signifikan) pada tingkatan 0.05 (berarti berlaku pada 95 persen pengamatan). Bermakna atau tidaknya suatu korelasi bergantung pada jumlah sampel yang sedang diteliti. Untuk penelitian bidang klinis kadang-kadang suatu koefisien korelasi yang secara statistik bermakna tidak mempunyai makna praktis, atau sebaliknya, yang mempunyai makna praktis, tidak menunjukan korelasi yang bermakna secara statistik.
Metode korelasi dapat berlanjut dengan mengadakan matriks korelasi yang menggambarkan korelasi antara sejumlah banyak variabel, dan identifikasi adanya faktor-faktoryang jumlahnya lebih sedikit dari variabel-variabel tadi. Identifikasi faktor-faktor ini dinamakan analisis faktor, misalnya bila dilakukan antarkorelasi antara sejumlah variabel seperti umur, pendidikan, lingkungan sosial, berat badan, keluhan fisik, keluhan psikis. Bisa jadi variabel pendidikan, lingkungan sosial merupakan satu faktor, artinya, keduanya saling berkorelasi tinggi.
4.    Penelitian longitudinal versus cross-sectional
Dua pendekatan ini seringkali dilakukan terhadap populasi lanjut usia, atau anak-anak dengan kelainan khusus. Desain penelitian cross-sectional adalah penelitian yang membandingkan dua kelompok pada satu kurun waktu tertentu yang sama. Misalnya membandingkan anak balita dan anak usia 10 tahun pada tahun 1977.
5.    Metode penelitian eksperimental
Untuk memastikan adanya suatu hubungan sebab akibat antara dua peristiwa, perlu dilakukan metode eksperimen. Misalnya, bila peneliti ingin memperkenalkan pengaruh musik pada emosi gembira pada sejumlah penghuni panti werdha. Untuk menguji dugaan tersebut perlu dilakukan metode eksperimen. Peneliti memilih dahulu penghuni di wisma yang akan menjadi kelompok eksperimental ─yakni yang akan diberi stimulus musik dangdut pada waktu tertentu misalnya jam 5 sore. Kelompok ini dibandingkan dengan kelompok kontrol ─yakni mereka yang ada di wisma lain, yang tidak diberi musik. Atas dua kelompok ini dicatat observasi perilaku penghuni yang dapat menggambarkan emosi gembira misalnya: ekspresi wajah, gerakan, kata-kata yang diucapkan. Observasi akan lebih objektif bila dilakukan pemotretan dengan kemera video.
Setelah ada Observasi awal, yang dinamakan data dasar (baseline data), baru diberikan stimulus pada kelompok eksperimental. Observasi dilakukan sekali lagi terhadap kedua kelompok itu pada saat yang sama. Untuk kelompok eksperimental dan kelompok kontrol. Bila pada kelompok eksperimental terjadi peningkatan perilaku gembira, sedangkan pada kelompok kontrol tidak terdapat peningkatan, maka dapat dikatakan bahwa musik itu yang menyebabkan peningkatan perilaku itu. Dalam contoh ini perilaku gembira dinamakan variabel tergantung, dan stimulus musik dinamakan variabel bebas.     
Desain antarkelompok(between-group design) ialah bila dua kelompok yang dibandingkan, menerima stimulus yang berbeda, yang dibandingkan akibatnya. Dalam penelitian eksperimental ada dua hal yang harus diperhatikan, yakni masalah validitas internal dan eksternal. Validitas internal ialah adanya jaminan bahwa yang menyebabkan terjadinya suatu perubahan yang direncanakan oleh eksperimen itu adalah hanya stimulus yang diberikan dan bukan hal-hal lainnya. Jadi agar validitas internal baik, haruslah ada kelompok kontol. Kadang-kadang validitas internal penelitian eksperimental kurang baik, karena perubahan yang dihasilkan oleh eksperimen lebih disebabkan oleh karena adanya subjek yang diteliti (untuk memenuhi keinginan peneliti). Untuk mencegah hal itu ada baiknya dilakukan penelitian eksperimen secara double–blind, artinya baik peneliti maupun subjek yang diteliti sama-sama tidak tahu siapa yang menjadi kelompok eksperimen dan siapa yang kelompok kontrol, juga kelompok mana yang mendapat perlakuan dan mana yang tidak (phares, 1992).
6.  Desain satu kasus        
Desain satu kasus mempunyai persamaan dengan desain studi kasus dan desain eksperimental. Dalam desain studi kasus, diukur perilaku individu sebelum dan sesudah perlakuan, dan hal ini dilakukan dalam situasi eksperimen. Desain satu kasus adalah perwujudan dari pendekatan perilaku (behavioral approach), yang mengutamakan pengukuran perilaku nyata, seperti yang dianjurkan dalam belajar operan (Phares, 1992).

a.      Desain A-B-A-B
Salah satu contoh desain satu kasus yang dapat direncanakan ialah perlakuan misalnya terhadap seorang anak yang perilaku agresif. Di ruang terapi anak diamati selama beberapa jam/ beberapa hari, dicatat perilaku agresif apa saja yang ia tampilkan, dan dicatat frekuensinya (situasi A).  Kemudian diberikan perlakuan, yakni apabila anak memperlihatkan perilaku baik, maka ia diberi imbalan. Misalnya kalau ia duduk diam meski hanya sejenak, ia diberi perhatian oleh terapis, misalnya diberi permen atau ditanggapi dengan senyuman. Perlakuan ini dipertahankan selama beberapa jam/ beberapa hari, dan dicatat lagi perilaku anak yang positif, yakni duduk diam (B).  Setelah itu, kembali lagi anak dibiarkan seperti situasi A, yakni tidak diberi perlakuan. Setelah itu kembali diberlakukan situasi B.
b.  Desain Multiple Baseline
Kadangkala situasi pemberian imbalan seperti yang terjadi pada situasi B tidak mudah untuk ditiadakan demi pertimbangan etis. Dalam desain ganda dilakukan hal yang sama dengan kasus anak dengan kasus anak dengan perlakuan agresif, namun desain ABAB itu diberlakukan dalam dua situasi, yakni di rumah dan di ruang terapi. Yang diamati dan dicatat base-line-nya adalah dalam dua situasi di rumah. Dalam situasi terapi tidak perlu diadakan peniadaan imbalan, penghentian imbalan dilakukan hanya dalam situasi di rumah. Apabila peningkatan perilaku positif selalu terjadi menyusul perlakuan (pemberian imbalan), maka dapat disimpulkan bahwa perlakuan itulah yang menyebabkan bertambahnya perilaku positif dan berkurangnya perilaku agresif.

c.  Desain Campuran
Dalam desain ini teknik eksperimental dan teknik korelasi digabung. Sebagai contohnya rancangan penelitian yang dikemukakan Davidson & Neale pada tahun 1990 (Dalam Phares, 1992) ialah penelitian mengenai efektivitas tiga jenis terapi pada penderita gangguan psikiatrik tertentu. Bila pasien untuk masing-masing jenis terapi tersebut, dianggap sebagai masing-masing satu kelompok maka salah satu jenis terapi itu mungkin terlihat lebih berhasil. Namun bila pasien dalam tiga jenis terapi itu dibedakan dalam kelompok dengan gangguan parah dan gangguan ringan, maka kesimpulannya bisa berbeda untuk tiap kelompok itu (Phares, 1992, hlm. 117).

Makalah Dating



BAB I
PENDAHULUAN

Masa remaja (adolescence) yaitu masa topan badai (strum and drang); yang mencerminkan kebudayaan modern yang penuh pertentangan nilai-nilai. Remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Ia tidak termasuk golongan anak maupun golongan orang dewasa atau orang tua. Remaja ada di antara golongan anak dan golongan orang dewasa. Di dalam pikiran dan jasmaninya, remaja mewarnai dan mengeksplorasi dunianya dengan penuh keberanian. Remaja mulai berjerawat dan kikuk, mereka juga mulai mengenal seks. Mereka berusaha sekuat tenaga memainkan permainan – permainan orang dewasa (adult games) tetapi mereka dibatasi oleh komunitas teman-teman sebaya mereka sendiri. Remaja memiliki beberapa kebutuhan yang mendukung dalam perkembangannya, yaitu :
1.      Kebutuhan akan pengendalian diri
2.      Kebutuhan akan kebebasan
3.      Kebutuhan akan rasa kekeluargaan
4.      Kebutuhan akan penerimaan sosial
5.      Kebutuhan akan penyesuaian diri
6.      Kebutuhan akan agama dan nilai-nilai sosial
Setiap perkembangan mempunyai pola perilaku yang memiliki karakteristik. Menurut Havighurst, tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas berikutnya. Akan tetapi jika gagal akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan mengalami kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya (Psikologi Perkembangan, Elizabeth B. Hurlock, h : 9-10). Tugas-tugas perkembangan pada masa remaja menurut Havighurst, yaitu:
1.      Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik laki-laki maupun perempuan
2.      Mencapai peran sosial laki-laki dan perempuan
3.      Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif
4.      Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab
5.      Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya
6.      Mempersiapkan karier ekonomi
7.      Mempersiapkan perkawinan dan keluarga
8.      Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi
Salah satu tugas perkembangan yang harus dicapai pada masa remaja adalah mampu menjalin hubungan yang dekat, baik dengan sesama jenis ataupun dengan lawan jenis. Karakteristik dari hubungan dekat yang harus diperhatikan adalah daya tarik fisik. Dalam menentukan sahabat, remaja lebih cenderung untuk memilih sahabat yang lebih memiliki kesamaan dari pada hal-hal yang tidak sama, hal yang sama juga berlaku pada proses kencan pada remaja.
Kenakalan atau perilaku menyimpang pada remaja mengacu pada suatu rentang perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial, pelanggaran hingga tindakan-tindakan kriminal (Live Span Development Jilid II, John W. Santrock, h : 22). Ada beberapa perilaku menyimpang pada remaja, yaitu :
1.      Seks bebas di kalangan remaja, yang bisa menyebabkan terjangkitnya penyakit AIDS.
2.      Kecanduan akan narkoba yang menyebakan kematian dan AIDS.
3.      Kecanduan alkohol / minuman keras.
4.      Tawuran.
5.      Sering berkunjung ke diskotik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku menyimpang pada remaja :
1.      Kelalaian orangtua dalam mendidik anak (memberikan ajaran dan bimbingan tentang nilai-nilai agama).
2.      Sikap perilaku orangtua yang buruk terhadap anak.
3.      Kehidupan ekonomi keluarga yang morat marit (miskin/fakir).
4.      Diperjualbelikannya minuman keras/obat-obatan terlarang secara bebas.
5.      Kehidupan moralitas masyarakat yang bobrok.
6.      Beredarnya film-film atau bacaan-bacaan porno.
7.      Perselisihan atau konflik orangtua (antar anggota keluarga).
8.      Perceraian orangtua.
9.      Penjualan alat-alat kontrasepsi yang kurang terkontrol.
10.  Hidup menganggur.
11.  Kurang dapat memanfaatkan waktu luang.
12.  Pergaulan negatif (teman bergaul yang sikap dan perilakunya kurang memperhatikan nilai-nilai moral).
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, remaja akan menghadapi bermacam-macam konflik kehidupan. Konflik-konflik tersebut dapat muncul ketika remaja berinteraksi dengan teman sebaya mereka, dengan keluarga mereka atau pun dengan lingkungan sekitar mereka. Dan beberapa konflik yang dialami remaja tersebut adalah :
1.      Konflik antara kebutuhan untuk mengendalikan diri dan kebutuhan untuk bebas dan merdeka
2.      Konflik antara kebutuhan akan kebebasan dan kebutuhan akan ketergantungan kepada orang tua.
3.      Konflik antara kebutuhan seks dan kebutuhan agama serta nilai sosial.
4.      Konflik antara prinsip dan nilai-nilai yang dipelajari oleh remaja ketika ia kecil dulu dengan prinsip dan nilai yang dilakukan oleh orang dewasa di lingkungannya dalam kehidupan sehari-hari.
5.      Konflik menghadapi masa depan.
Banyak remaja putra dan putri saling mempengaruhi secara sosial melalui teman sebaya yang dimilikinya baik dalam kelompok formal maupun informal, namun melalui kencan kontak yang serius antara dua orang yang berlainan jenis kelamin muncul (Dowdy & Horward, 1993; Feiring, 1994, 95; Levesque, 1993). Bagi remaja laki-laki, banyak masa-masa yang sulit dihabiskan dengan sibuk memikirkan dan khawatir dengan hal-hal seperti, ketika mereka harus menghubungi seorang gadis dan mengajaknya keluar atau tidak.
Pengalaman romantis pada masa remaja dipercaya memainkan peran yang penting dalam perkembangan identitas dan keakraban (Erikson,1968). Kencan dimasa remaja membantu individu dalam membentuk hubungan romantis selanjutnya dan bahkan pernikahan pada masa dewasa. Pada suatu penelitian, remaja yang terlibat dalam satu hubungan romantis melaporkan pengucilan sosial yang lebih sedikit dan rasa kesepian yang rendah daripada teman mereka yang tidak terlibat dalam satu hubungan romantis (Connoly & Johnson, 1993).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia, menhubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa. Masa remaja (adolescence) yaitu masa topan badai (strum und drang) ; yang mencerminkan kebudayaan modern yang penuh pertentangan nilai-nilai. Remaja cenderung banyak menghabiskan waktu bersama teman sebayanya, sehingga tingkah laku dan nilai-nilai yang dipegang banyak dipengaruhi oleh lingkungan pergaulannya. Remaja masa kini menghadapi tuntutan dan harapan, demikian juga bahaya dan godaan, yang tampak lebih banyak dan kompleks daripada yang dihadapi remaja masa lalu (Feldman dan Elliot, 1990 ; Hamburg, 1993 ; Hechinger, 1992).      
Salah satu tugas perkembangan yang harus dicapai pada masa remaja adalah mampu menjalin hubungan yang dekat, baik dengan sesama jenis ataupun dengan lawan jenis. Karakteristik dari hubungan dekat yang harus diperhatikan adalah daya tarik fisik. Dalam menentukan sahabat, remaja lebih cenderung untuk memilih sahabat yang lebih memiliki kesamaan dari pada hal-hal yang tidak sama, hal yang sama juga berlaku pada proses kencan pada remaja. Dalam beberapa kasus khusus dan pada sejumlah kasus dengan karakteristik yang berbeda, ketertarikan antara dua hal yang berbeda terjadi

A.   Dating / Kencan
Pacaran diidentifikasikan sebagai suatu tali kasih sayang yang terjalin atas dasar saling menyukai antar lawan jenis. Apabila kita lihat sepintas dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pacaran merupakan suatu yang wajar dilakukan di kalangan remaja.
Remaja perempuan memiliki keinginan yang lebih kuat untuk penjajakan keintiman dan kepribadian dalam berkencan daripada remaja laki-laki (Duck, 1975). Berkencan bagi remaja adalah suatu konteks dimana harapan-harapan peran yang berkaitan dengan gender meningkat (Life Span Development, J. W. Santrock, h : 48). Kencan merupakan bentuk rekreasi, sebagai sumber status sosial dan keberhasilan, sebgai bagian dari proses sosialisasi, melibatkan proses belajar tentang keakraban, menyediakan situasi untuk kontak seksual, menyediakan kebersamaan, memberikan sumbangan untuk perkembangan identitas dan menjadi sarana untuk memilih dan menyeleksi pasangan (Adolescence, John W. Santrock, hal : 245). Kencan (dalam kamus berbahasa Indonesia) adalah janji untuk saling bertemu(antara teman, kekasih), berkencan adalah mengadakan janji untuk saling bertemu.

B.   Fungsi dan Alasan  Kencan
Tujuan dasar dari kencan sendiri sebenarnya adalah penyeleksian dan pemilihan pasangan yang tepat. Sampai saat ini terdapat 8 fungsi dari kencan (Padgham dan Blyth,1991; Paul dan White, 1990 ; Dian dan Brooks, 1987 ; Skipper dan Nass, 1966) :
1.    Sebagai bentuk rekreasi atau sumber kesenangan
Remaja yang berkencan terlihat sangat menikmatinya dan melihat kencan sebagai sumber kesenangan dan sumber rekreasi.
2.    Sebagai sumber dari status dan keberhasilan.
Maksudnya disini adalah, kencan merupakan bagian dari proses perbandingan sosial mengenai status seseorang yang menjadi teman kencannya, mengenai orang seperti apakah yang dikencani di mata lingkungan.
3.    Sebagai proses sosialisasi.
Maksudnya disini adalah bahwa kencan merupakan salah satu jalan untuk dapat belajar mengenali sikap dan tingkah laku yang baik dalam lingkungan sosial.
4.    Kencan meliputi proses belajar tentang keakraban dan merupakan sebuah kesempatan untuk menciptakan hubungan yang unik dan berarti dengan seseorang dari lain jenis.
5.    Kencan dapat menjadi sarana untuk eksperimen dan penggalian hal-hal seksual.
6.    Kencan dapat memberikan kebersamaan dalam berinteraksi dan beraktivitas bersama-sama dalam hubungan dengan jenis kelamin yang berlainan.
7.    Pengalaman kencan memberikan kontribusi untuk mengenali proses pembentukan dan perkembangan identitas ; kencan membantu para remaja untuk memperjelas perkembangan identitas mereka dan untuk membedakan mereka dari keluarga mereka.
8.    Kencan dapat menjadi alat untuk memilih dan menyeleksi pasangan, sehingga juga tetap memainkan fungsi awalnya sebagai masa perkenalan untuk hubungan yang lebih jauh.
Berdasarkan penelitian, bagi remaja awal dan remaja akhir fungsi berkencan dititik beratkan atau menonjol pada egosentris atau memuaskan dirinya sendiri yaitu sebagai sarana rekreasi. Sedangkan pada remaja akhir fungsi berkencan sudah mulai dititik beratkan untuk menjalani keakraban ; adanya timbal balik dalam hubungan kencan. Terdapat beberapa alasan remaja masa kini untuk berkencan, diantaranya adalah :
1.      Ingin menjadikan kencan sebagai sarana hiburan.
Dimana diharapkan untuk pasangan dapat memberikan keinginan pasangannya dan selalu menyenangkan hatinya.
2.      Ingin tetap menjadi bagian dari anggota kelompok dan ikut dalam kegiatan sosial kelompok.
3.      Ingin menmdapatkan status sosial yang lebih baik, dimana pasangan kencan adalah orang yang memiliki status sosial atau ekonomi yang tinggi, hal tersebut dapat meningkatkan status dalam kellompok sebaya.
4.      Ingin merencanakan hubungan yang lebih matang dengan perkawinan.
5.      Ingin memilih seorang teman hidup yang terbaik.
Remaja menginginkan teman hidup yang cocok dengan dirinya, kesamaan minat, temperamen dan cara pengungkapan kasih sayang.

C.   Pola dan Aturan Kencan Pria dan Wanita
Secara umum dalam berhubungan seorang wanita lebih menitik beratkan pada perhatian dan kasih sayang dari pasangannya. Namun, remaja laki-laki lebih tertarik kepada minatnya terhadap hal-hal seksual. Tak dapat dipungkiri bahwa masing- masing dari mereka memiliki minat yang sama dalam hal seksual seiring dengan lamanya masa mereka berpacaran. Tetapi laki-laki lebih puas untuk melibatkan diri secara seksual dengan pasangannya.
Aturan Kencan (dating script) adalah suatu model kognitif yang digunakan oleh remaja dan dewasa dalam membimbing dan mengevaluasi interaksi kencan mereka. Dalam berkencan laki-laki dan wanita memiliki peranan yang berbeda, yaitu :
1.      Para pria mengikuti aturan kencan yang pro aktif(yang mengajak kencan, mempersiapkan tempat, sarana transport, dan memulai interaksi seksual.)
2.      Para wanita mengikuti kencan yang reaktif (yang diajak kencan, meperhatikan penampilan, dan menikmati kencan yang telah disiapkan.)
Konteks sosiokultural juga memberi pengaruh kuat dalam pola berkencan remaja (Xiaohe dan Whyte, 1990), dimana nilai-nilai dan keyakinan agama manusia dari berbagai kebudayaan sering kali mengatur usia berkencan dimulai, beberapa banyak kebebasan berkencan yang diperbolehkan, apakah butuh pengawasaan orang dewasa, serta peran laki-laki dan perempuan dalam berkencan. Misalnya, budaya Islam yang tidak memperbolehkan pacaran (yang pada umumnya identik dengan kontak fisik), melainkan sekadar proses saling mengenal satu sama lain, tanpa   adanya kontak fisik.

D.   Ketertarikan Remaja Pria dan Wanita
Ada beberapa hal yang berpengaruh menggenai apa yang membuat remaja saling tertarik.
1.      Konsep Validasi Kelompok (Consensual Validation), menjelaskan bahwa remaja memiliki kecenderungan menyukai seseorang yang miriip dengannnya (bukan secara fisik). Aktifitas, sikap, dan tingkah lakunya akan di validasi atau didukung saat seseorang memiliki sikap tingkah laku yang mirip dengannya.
2.      Ketertarikan fisik.
Ada beberapa penelitian untuk mengetahui seberapa jauh fisik mempengaruhi ketertarikan. Secara umum, penelitian tersebut membuktikan bahwa daya tarik fisik sangat mempengaruhi hubungan keakraban para remaja. Mereka yang memiliki daya tarik fisik menarik, biasanya memiliki pengalaman kencan yang lebih banyak, lebih mudah dikenal, dan lebih mudah untuk memiliki pasangan hidup (Simpson, Campbell & Berscheid, 1986). Remaja beranggapan bahwa seseorang yang memiliki daya tarik fisik akan memiliki hal-hal yang menyenangkan juga yang membuat dia merasa nyaman bila berada dengannya.
3.      Konsep Hipotesa Kecocokan (Matching Hypothesis)
Menjelaskan bahwa walaupun remaja lebih memilih seseorang yang terlihat menarik, namun pada akhirnya mereka akan memilih seseorang yang lebih dekat dengan konsep kemenarikan mereka sendiri. Terdapat banyak hal lain yang lebih penting bagi suatu keakraban dan hubungan dibandingkan dengan hanya daya tarik fisik.

E.    Mitos-mitos dalam Pacaran
1.      Berhubungan seks dengan pacar merupakan bukti cinta.
Faktanya, berhubungan seks bukan merupakan cara untuk menunjukkan kasih sayang pada saat masih pacaran, melainkan lebih disebabkan adanya dorongan sensual yang tidak terkontrol dan keinginan untuk mencoba-coba. Rasa sayang dapat ditunjukkan dengan cara yang lain.
2.      Memberi hadiah berupa pakaian dan parfum sa\at masih pacaran bias menyebabkan putus.
Faktanya, itu hanyalah pemberian untuk pacar, tidak ada hubungannya dengan pemberian hadiah terhadap putusnya hubungan dalam pacaran.
3.      Pasangan yang memiliki persamaan hobi dalam berpacaran akan awet.
Faktanya, pacaran tidak hanya karena persamaan hobi, bisa saja karena hobinya sama. Kegiatan yang dilakukan jadi monoton dan menyebabkan kebosanan. Jika hobi yang dimilki berbeda biasanya kegiatan yang dilakukan akan lebih bervariasi.
4.      Pasangan baru jadian diwajibkan mentraktir teman agar awet.
Faktanya, tidak ada hubungannya antara mentraktir teman terhadap awet atau tidaknya pacaran.
5.      Memasang foto berdua dengan pasangannya di dompet menyebabkan cepat putus.
Faktanya, hal itu tidak ada hubungannya sama sekali, memasang foto bukanlah hal yang dapat membuat rusaknya hubungan.

F.      Sumbangan Pemikiran Mahasiswa
  1. Ciri-ciri pacaran yang sehat :
a.         Sehat fisik
Sehat fisik berarti tidak ada kekerasan dalam berpacaran. Biarpun laki-laki secara fisik lebih kuat, bukan berarti bisa seenaknya menindas kaum perempuan. Intinya, dilarang saling memukul, menampar, apalagi menendang.
b.         Sehat emosional
Hubungan  kita dengan orang lain akan terjalin dengan baik apalagi ada rasa nyaman, saling pengertian, dan keterbukaan. Kita tidak hanya dituntut untuk mengenali emosi diri sendiri, tetapi juga mengenali emosi orang lain. Dan yang lebih penting adalah bagaimana kita mengungkapkan dan mengendalikan emosi dengan baik. Kita juga tidak boleh melakukan kekerasan nonfisik, marah, apalagi mengumpat-umpat orang lain, termasuk pacar kita.
c.         Sehat sosial
Pacaran tidak mengikat. Artinya, hubungan sosial dengan orang lain harus tetap dijaga. Kalau pagi, siang, dan malam selalu bersama pacar, akan memberikan efek yang tidak baik dalam pergaulan luar. Kita tidak memiliki pergaulan luar yang seharusnya dialami remaja kebanyakan. Dan bukan tidak mungkin, kita akan merasa asing di lingkungan sendiri. Dalam sehat sosial termasuk di dalamnya adalah komunikasi.
Tiga model komunikasi:
                                       i.              Pasif
Kita sulit untuk mengekspresikan keinginan, perasaan dan pikiran kita. Hal ini akan berefek buruk karena apa yang kita harapkan yidak sesuai dengan kenyataan.
                                     ii.              Agresif
Dalam mengekspresikan keinginan, pikiran, dan perasaan, kita cenderung mendominasikan tidak ramah dan mengabaikan kepentingan orang lain. Model komunikasi seperti in bisa memicu keretakan hubungan kita dengan orang lain.
                                   iii.              Asertif
Ini gaya komunikasi yang paling baik. Kita bisa bersikap tegas dalam mengekspresikan keinginan, perasaan, dan pendapat, tetapi tetap menghargai orang lain juga menjadi pertimbangan sebelum kita mengungkapkan keinginan. Misalnya, menolak dengan sopan dan memberikan alas an yang masuk akal ketika pacar meminta hal yang aneh-aneh.
Cara berkomunikasi tidak mempengaruhi keberhasilan kita berinteraksi dengan orang lain, tetapi lebih jauh lagi, mampu berkomunikasi dengan baik menjadikan kita terampil berkomunikasi dengan menjadiakan kita terampil dalam mengambil keputusan.
d.      Sehat seksual
Secara biologis, pada masa remaja ini akan mengalami perkembangan dan kematangan seks. Tanpa disadari, pacaran juga mempengaruhi kehidupan seksual seseorang. Kedekatan secara fisik bisa memicu keinginan untuk melakukan kontak fisik. Kalau diteruskan, bisa tidak terkontrol atau keterusan. Jadi, dalam berpacaran kita harus saling menjaga. Artinya tidak melakukan hal-hal yang beresiko.

  1. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih pacar
Dalam hal memilih Sesutu memang terkadangmembuat kita pusing, apalagi soal memilih pacar, masing-masing orang memiliki idealisme, atau criteria yang paling cocok, yang perfeksionis, yang sempurna atau malah yang bis apa adanya, memang tidak  ada manusia yang sempurna.
  1. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih pacar:
                         i.            Bentuk Fisik
                       ii.            Materi
                     iii.            Agama
                     iv.            Intelektual
                       v.            Kedewasaan
                     vi.            Hobi dan Minat
                   vii.            Pola pergaulan
                 viii.            Emosi
                     ix.            Orang tua

BAB III
KASUS DAN PEMBAHASAN

Contoh Kasus:
Kasus pada Masa Pacaran Cukup Tinggi
Sabtu, 20 Desember 2008 | 01:00 WIB
YOGYAKARTA, KOMPAS - Kasus kekerasan dalam pacaran masih cukup tinggi, baik bersifat psikis maupun fisik. Berdasarkan catatan Rifka Annisa—organisasi yang memiliki kepedulian terhadap masalah kekerasan pada perempuan—kasus ini urutan kedua setelah kekerasan pada istri.
Kekerasan dalam bentuk fisik, yaitu seperti memukul dan menendang. Adapun kekerasan dalam bentuk psikis bisa berupa pemaksaan, menghina, mengekang, hingga cemburu berlebih yang berujung pada membatasi tindakan positif pasangan. Kekerasan lain yang kerap muncul dalam pacaran adalah menyangkut soal seksual.
Manajer Pendampingan Rifka Annisa, Mei Shofia Romas, Jumat (19/12), mengatakan, setidaknya ada tiga penyebab mengapa kekerasan ini terjadi. Penyebabnya adalah kurangnya kesadaran remaja bahwa yang dialami merupakan tindak kekerasan, adanya ketergantungan emosi dan anggapan masyarakat bahwa remaja harus punya pacar, serta hubungan yang sudah telanjur jauh.
”Karena hubungan (pacaran) sudah telanjur jauh, tak mungkin lepas satu sama lain. Ketika kekerasan itu terjadi, korban pun memilih tak bersikap,” katanya.
Data kasus kekerasan terhadap pacar yang terjadi di DIY dan masuk ke Rifka Annisa sejak 1994 hingga 2007 mencapai 703. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan kekerasan pada istri, 2.425. Kasus kekerasan pada perempuan lainnya adalah perkosaan 281 dan pelecehan seksual 174.
”Hingga November 2008 tercatat 19 kasus kekerasan dalam pacaran, sedang tahun 2007 ada 37,” katanya. Menurut Shofia, data ini belum mencerminkan kondisi sesungguhnya. Jumlah kekerasan tak terlaporkan jauh lebih besar. (WER)
Sumber:


Pembahasan Kasus
 Kebanyakan remaja yang berpacaran saat sedang jatuh cinta, menganggap bahwa pacarnya adalah segalanya dan membuatnya rela diperlakukan atau melakukan apapun untuk pacarnya. Hal tersebut dapat dilihat pada kasus di atas, misalnya kekerasan dalam bentuk fisik, yaitu seperti memukul dan menendang. Adapun kekerasan dalam bentuk psikis bisa berupa pemaksaan, menghina, mengekang, hingga cemburu berlebih yang berujung pada membatasi tindakan positif pasangan. Kekerasan lain yang kerap muncul dalam pacaran adalah menyangkut soal seksual.
Oleh karena itu, sebesar apapun cinta yang kita rasakan pada mereka yang melakukan kekerasan, tetap saja kita tidak dapat membiarkan hal ini terjadi. Kekerasan adalah suatu hal yang harus kita laporkan, dengan demikian pelaku dapat memperoleh penanganan yang tepat (konseling dan terapi). Karena dengan mendiamkan atau tidak melaporkan kekerasan yang terjadi, baik yang kita alami maupun yang dialami oleh teman kita, sama saja artinya kita membiarkan kekerasan itu terjadi, dan hal tersebut tentu bukan sesuatu hal yang kita inginkan. Peran orang tua sangat diperlukan dalam kasus tersebut, antara lain :
1.      memenuhi kebutuhan fisik yang paling pokok; sandang, pangan dan kesehatan
2.      memberikan ikatan dan hubungan emosional, hubungan yang erat ini merupakan bagian penting dari perkembangan fisik dan emosional yang sehat dari seorang anak.
3.      Memberikan sutu landasan yang kokoh, ini berarti memberikan suasana rumah dan kehidupan keluarga yang stabil.
4.      Membimbing dan mengendalikan perilaku.
5.      Memberikan berbagai pengalaman hidup yang normal, hal ini diperlukan untuk membantu anak anda matang dan akhirnya mampu menjadi seorang dewasa yang mandiri. Sebagian besar orang tua tanpa sadar telah memberikan pengalaman-pengalaman itu secara alami.
6.      Mengajarkan cara berkomunikasi, orang tua yang baik mengajarkan anak untuk mampu menuangkan pikiran kedalam kata-kata dan memberi nama pada setiap gagasan, mengutarakan gagasan-gagasan yang rumit dan berbicara tentang hal-hal yang terkadang sulit untuk dibicarakan seperti ketakutan dan amarah.
7.      Membantu anak anda menjadi bagian dari keluarga.
8.      Memberi teladan.

BAB  IV
PENUTUP

            Pacaran pada hakekatnya adalah sebagai suatu tali kasih sayang yang terjalin atas dasar saling menyukai antar lawan jenis. Sehingga dalam menjalani hubungan pacaran seharusnya sesuai pada hakekat sebenarnya.
            Salah satunya dengan menghindari kekerasan dalam pacaran, baik fisik maupun psikis. Pacaran adalah media untuk mengenal lawan jenis sebaiknya dilakukan secara sehat agar tidak meninggalkan luka fisik maupun psikis, yang mengakibatkan rasa trauma, yang nantinya rasa trauma itu akan menghambat berbagai tugas perkembangan seseorrang atau individu tersebut.
            Pacaran yang merupakan salah satu tugas perkembangan remaja, sebaiknya dilakukan sesuai norma dan aturan yang berlaku di lingkungan. Diperlukan kesadaran untuk saling menghargai dan menghormati satu sama lain agar hubungan pacaran dapat berjalan sesuai dengan hakekat pacaran itu sebenarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Hurlock, E. B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga
Monks, F. J; Knoers, A.M.P; Haditono, S.R. 2006. Psikologi Perkembangan : Pengantar Dalam Berbagai Bagianya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Santrock, J. W. 2002. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup  Jilid 2. Jakarta : Erlangga
Santrock, J. W. 2003. Adolescence. Jakarta : Erlangga
Sarwono, S. W. 2004. Psikologi Remaja. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
            diakses pada tanggal 14 April 2009 pukul: 14.05 WIB
diakses pada tanggal 12 Mei 2009 pukul 10.21 WIB






jadwal-sholat