Seminar Psikologi Transpersonal

Seminar Psikologi Transpersonal.

Asesmen Pegawai

Asesmen Pegawai.

Proses Rekrutmen Karyawan

Proses Rekrutmen Karyawan.

Pelatihan Pembelajaran Bahasa Inggris Menggunakan Flash Card

Pelatihan Pembelajaran Bahasa Inggris Menggunakan Flash Card.

Pelatihan Psikologi Transpersonal Dalam Menjawab Realita Kehidupan

Pelatihan Psikologi Transpersonal Dalam Menjawab Realita Kehidupan.

Senin, 18 Juni 2012

MODUL PELATIHAN KONSEP DIRI



Pengertian Konsep Diri

Konsep diri merupakan persepsi terhadap diri individu sendiri, baik yang bersifat fisik, sosial dan psikologis yang diperoleh melalui pengalaman dari interaksi individu dengan orang lain (Brooks, dalam Rachmat, 1999).
Burns (1993) mendefinisikan konsep diri sebagai konseptualisasi oleh individu mengenai pribadinya sendiri. Pengertian itu memuat pemahaman bahwa terdapat dua komponen konsep diri yaitu komponen kognitif dan afektif. Jadi, konsep diri merupakan struktur kognisi atau perasaan terhadap diri sendiri yang terorganisasi, yang terdiri dari persepsi individu terhadap identitas sosial dan kualitas personal individu dan generalisasi terhadap dirinya sendiri berdasarkan pengalaman individu (Michener dan Delamayer, 1999).
Sedangkan pelatihan konsep diri memuat pengertian yaitu cara atau metode membentuk dan meningkatkan struktur kognisi maupun perasaan terhadap diri sendiri yang terorganisasi, yang terdiri dari persepsi individu terhadap identitas sosial dan kualitas personal individu dan generalisasi terhadap dirinya sendiri sehingga memungkinkan individu untuk memandang dirinya lebih positif.
Dimensi Konsep Diri
            Marsh dan Shavelson (Craven, 2002) mengembangkan model teori konsep diri dan mendapatkan dimensi-dimensi dari konsep diri, antara lain :
a.       Akademik
Dimensi akademik ini terdiri atas komponen matematika, verbal, kemampuan umum, dan pemecahan masalah.
b.      Non Akademik
Non akademik terdiri atas kemampuan fisik, penampilan fisik, hubungan dengan sesama jenis, hubungan dengan orang tua, nilai-nilai spriritual, kejujuran dan stabilitas emosi.
c.       General/ Umum
Dimensi ketiga atau yang terakhir ini terdiri atas diri secara umum atau general self.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri
          Burns (1993) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri sebagai berikut :
a.       Diri fisik dan citra tubuh, yaitu evaluasi terhadap diri fisik sebagai suatu obyek yang jelas-jelas berbeda. Kesadaran dan citra tubuh yang pada mulanya dilengkapi melalui persepsi indrawi, adalah inti mendasar dimana acuan diri dan identitas dibentuk.
b.      Bahasa, yaitu kemampuan untuk mengkonseptualisasikan dan memverbalisasikan diri dan orang-orang lainnya. Bahasa timbul untuk membantu proses diferensiasi yang berlangsung lambat dari diri orang-orang lainnya begitu pula untuk memudahkan pemahaman atas banyak umpan balik dari orang lain.
c.       Umpan balik dari orang lain yang dihormati, umpan balik ini ditafsirkan dari lingkungannya tentang bagaimana orang-orang lain yang dihormatinya memandang pribadi tersebut dan tentang bagaimana pribadi tadi secara relatif ada dibandingkan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang bermacam-macam.
d.      Identifikasi dengan model peranan seks yang stereotipenya sesuai.
e.       Praktek-praktek membesarkan anak atau pola asuh.

SESI I
PERKENALAN (PENINGKATAN KOHESIVITAS KELOMPOK)

Peserta pelatihan (mahasiswa baru) berasal dari berbagai tempat dan belum saling mengenal secara intens. Lewat acara ini diharapkan :
 
TUJUAN       :  1. Peserta lebih saling mengenal
                           2. Peserta ikut serta secara aktif dalam kelompok

 WAKTU       : 60 menit

TEMPAT       : Ruang yang cukup untuk menampung semua peserta (10 mhs)

BAHAN         :  - Kartu bergambar  berukuran 7 x 10 cm (disobek menjadi 2)
                           - Alat tulis seperti bollpoint atau pensil
                           - Kotak/gelas untuk tempat kartu

KEGIATAN  :
I. Pengantar
Pelatih menjelaskan pada peserta bagaimana jalannya permainan, dan memberi  instruksi cara bermain.

II. Langkah-langkah
  1. Pelatih memotong selembar  kartu  bergambar menjadi dua, lalu dicampur aduk,  untuk kemudian dibagikan kepada peserta. 
  2. Setelah masing-masing  mendapat kartu, peserta diminta untuk mencari pemilik potongan gambar untuk dicocokkan. Kemudian mereka berkenalan dengan pasangannya dan meminta penjelasan lengkap tentang dirinya (nama lengkap, alamat, hobi dan motto hidup).
  3. Selanjutnya peserta diminta duduk kembali dan pasangannya diminta saling memperkenalkan pasangannya secara bergantian di depan kelas.
  4. Selanjutnya peserta dipilih secara acak untuk diminta menjelaskan peserta lain yang bukan pasangannya.



SESI II

SIAPA SAYA

Konsep diri adalah jawaban dari pertanyaan : “Siapakah saya“. Jawaban dari pertanyaan tersebut selanjutnya akan mempengaruhi cara berfikir dan perilaku seseorang.
Konsep diri seseorang berisi anggapan dan keyakinan seseorang mengenai diri sendiri berdasarkan kemampuan dan apa yang diyakininya ada pada dirinya, juga berdasarkan penilaian orang lain terhadapnya.
Dengan latihan melihat siapa diri kita, peserta akan dapat menyimpulkan bahwa dirinya adalah baik atau sebaliknya.

TUJUAN       : Agar para peserta mampu menyebutkan aspek positif  (kelebihan) dan aspek negatif (kekurangan) yang ada pada dirinya .
                           

WAKTU        : 45 menit

TEMPAT       : Ruangan latihan

BAHAN       : Papan tulis atau kertas, selotip, kartu ukuran kartu pos berwarna putih dan biru.

KEGIATAN  :

Langkah-langkah
1.      Menjelaskan langkah-langkah permainan.
2.      Pelatih membagi 2 (dua) lembar kertas kosong kepada setiap peserta yang terdiri dari dua - warna putih dan biru, masing-masing satu lembar.
3.      Pada lembar kertas putih masing-masing perserta diminta menulis satu kebaikan yang menonjol pada diri peserta.
4.      Pada lembar kertas biru masing-masing perserta diminta menulis satu kekurangan yang menonjol pada diri peserta.
5.      Peserta diminta menempelkan kertas putih di papan  yang telah tersedia.
6.      Pelatih mengelompokkan kertas yang isinya sama atau hampir sama pada kelebihan atau kekurangan menjadi satu kelompok
7.      Peserta diminta untuk melihat dan menganalisa hasil tulisan dari kebaikan dan kekurangan untuk mawas diri.

SESI III

MENERIMA KEADAAN DIRI SENDIRI DARI FEEDBACK ORANG LAIN

Apapun dan bagaimanapun keadaan diri kita, yang diperlukan adalah keikhlasan untuk menerima keadaan tersebut yang disertai usaha perbaikan terhadap bagian diri kita yang dirasa masih kurang.

TUJUAN       : 1. Agar para peserta dapat mengerti kebaikan (kelebihan) serta
keburukan (kekurangan) masing-masing dan dapat bercermin diri.
                          2. Agar para peserta dapat intropeksi diri dan mampu melakukan usaha memperbaiki diri.

WAKTU        : 120 menit.

TEMPAT       : Ruang yang cukup (memadai).

BAHAN         : Evaluasi individual.


LANGKAH - LANGKAH   :
1.            Pelatih menjelaskan cara-cara permainan
2.            Pelatih  membagi  peserta  dalam 2 kelompok.
3.            Setiap anggota kelompok mengevaluasi peserta dikelompok lain
4.            Salah satu peserta yang akan dievaluasi misal : A, dipersilahkan keluar dari ruang. Sementara itu sisanya mendiskusikan kebaikan dan keburukannya selama pelatihan ini berlangsung.
5.            Setelah berunding dan setiap diutarakan, A dipanggil masuk dan dievaluasi oleh salah seorang pembicara (ingat patokan memberi feedback).
6.            Berikan  kesempatan  pada A untuk  mempertahankan  diri  atau mengutarakan pendapatnya.
7.            Setelah puas, ganti dengan B dan seterusnya hingga semua mendapat giliran.
8.            Pelatih membagikan kertas putih kepada setiap peserta selama 15 menit.
9.            Setiap peserta diminta untuk menuliskan konsep diri positif yang akan dilakukan oleh masing-masing peserta sesudah mengikuti pelatihan ini selama 15 menit.
10.        Kertas yang telah ditulisi tersebut ditempelkan dibawah kertas biru (konsep diri negatif) yang pernah mereka buat pada saat pembahasan pokok bahasan Konsep Diri selama 15 menit.
11.        Pelatih menjelaskan dan menerangkan semua kegiatan yang telah dilakukan  (termasuk teori Johari Window ) selama 70 menit.



SESI IV
SAYA ADALAH..........

Setiap orang mempunyai cita-cita dan keinginan untuk bisa menjadi seperti apa dan memegang peran tertentu apa dalam perjalanan kehidupannya. Misalnya, ketika meninggal seseorang berkeinginan untuk mendapatkan penghormatan yang layak. Untuk mendapatkan penghormatan yang layak tersebut, bagaimana caranya? Jawabannya bisa dicari dari sekarang dengan menulis Saya Adalah ......

TUJUAN       : Agar para peserta mampu menyebutkan keinginan seperti apakah dirinya setelah selesai melakukan pelatihan ini.
                           

WAKTU        : 45 menit

TEMPAT       : Ruangan latihan

BAHAN       : Papan tulis atau kertas, selotip, kartu ukuran kartu pos berwarna putih dan biru.

KEGIATAN  :

Langkah-langkah
1.      Menjelaskan langkah-langkah permainan.
2.      Pelatih membagi 2 (dua) lembar kertas kosong kepada setiap peserta yang terdiri dari dua warna, putih dan biru, masing-masing satu lembar.
3.      Pada lembar kertas putih masing-masing peserta diminta menulis nilai-nilai kebaikan yang diinginkan peserta ada pada dirinya.
4.      Pada lembar kertas biru masing-masing perserta diminta menulis nilai-nilai yang diinginkan perserta tidak ada pada dirinya lagi.
5.      Peserta diminta menempelkan kertas putih di papan  yang telah tersedia.
6.      Peserta diminta menempelkan kertas biru di papan  yang telah tersedia.
7.      Peserta diminta untuk melihat dan menganalisa hasil tulisan dari keras putih dan kertas biru untuk mulai mencangkan tekad untuk dapat mencapainya.


Simbolisme: Sebuah Pandangan Carl Gustav Jung


C.G. Jung (Swis, 1875-1961) adalah tokoh yang paling penting untuk psikoanalisis (psikologi dalam) di samping Siegmund Freud dan Alfred Adler. Psikologi dalam menemukan ketegangan antara hidup sadar dan tidak sadar dan menganalisa  "ketidaksadaran" sebagai suatu lapisan psikologi manusia (di samping pikiran yang disadarinya) yang mempengaruhi perasaan, pikiran dan tindakan manusia. Ketidaksadiran itu muncul misalnya dalam mimpi-mimpi atau juga dalam mitos-mitos dan gambar-gambar religius. Menurut C.G. Jung, ketidaksadaran punya dua lapisan, yaitu ketidaksadaran individual yang isinya dibentuk oleh pengalaman-pengalaman pribadi yang digeserkan ke bawah sadar, dan ketidaksadaran kolektif (collective unconsciousness) yang isinya merupakan warisan yang dimiliki semua manusia sebagai bagian dari kodratnya. Kedikaksadaran adalah "segala endapan pengalaman nenek moyang yang diturunkan sejak berjuta tahun yang tak dapat disebut yang sepenuhnya mengendalikan, gema peristiwa dari dunia prasejarah, yang oleh zaman selanjutnya ditambah sedikit demi sedikit penganekaragaman dan pembedaan-pembedaan"[1]. Adanya ketidaksadaran itu bisa menjelaskan kenyataan bahwa baik dalam mimpi-mimpi individual maupun dalam budaya-budaya dan agama-agama yang berbeda, muncul motif-motif yang sama tanpa adanya hubungan tradisi satu sama lain atau diakibatkan oleh pengalaman konkret.
Ketidaksadaran adalah tempat dimana agama dan simbol-simbol religius berakar. Jadi, ketidaksadaran bukan hanya dasar kemampuan manusia untuk mengembangkan agama dan simbol-simbol religius dan "pintu masuk" yang membuka lubuk jiwa manusia untuk pengalaman religius, tetapi juga menyediakan materi-materi untuk gagasan-gagasan keagamaan.[2]
Materi yang disediakan oleh ketidaksadaran untuk proses simolisasi itu, oleh C. G. Jung disebut "arketipe"[3], yaitu "gambaran arkais, kuno dan universal, yang sudah ada sejak zaman yang amat silam. (...) Dalam kata Jung, arketipe 'merupakan bentuk atau gambaran yang bersifat kolektif yang terjadi praktis di seluruh bumi sebagai unsur kisah suci (myth) dan dalam waktu yang sama merupakan hasil asli dan individual yang asal-usulnya tidak disadari'. Arketipe itu secara laten tersembunyi dalam semua orang dan akan diberi ungkapan simbolis menurut situasi historis di mana orang itu tercakup. (...) Konsep arketipe itu mengambil bentuk simbolis dalam berbagai ungkapan religius, dan menggambarkan solidaritas terdalam antara berbagai tradisi keagamaan umat manusia"[4]. Jadi, simbol-simbol dasar dari agama-agama (misalnya: Tuhan, ayah/ibu, simbol-simbol untuk keberadaan transenden dan keseluruhan/keesan dll.) sudah berada di dalam ketidaksadaran setiap individu, mereka merupakan ide-ide yang pra-sadar dan primordial, dan merupakan dasar untuk pengalaman-pengalaman religius yang langsung. Mereka mencermrinkan struktur kepribadian manusia dan menunjuk kepada keberadaan yang transenden.
Menurut Jung, simbol-simbol yang berhubungan dengan angka 4 (empat) atau "simbol-simbol kwaternitas" punya arti yang istimewa dan paling asli[5]. Misalnya simbol-simbol seperti bintang, lingkaran yang dibagi empat, mandala, salib dsb. selalu muncul dalam berbagai bentuk dalam agama-agama atau dalam mimpi-mimpi individu sebagai simbol keesaan, harmoni dan rekonsiliasi antara ketentangan-ketentangan[6]. Empat adalah simbol untuk universalisme, untuk keseluruhan, keutuhan dan keberpusatan[7]. Tujuannya adalah, mengembalikan keseimbangan antara aspek-aspek yang bertentangan dan memperkuat aspek yang selama ini diabaikan (mis. aspek feminin dari simbol Allah).[8] Jadi, kekuatan simbol-simbol seperti simbol salib bukan hanya disebabkan oleh akar dan interpretasi historis tertentu, melainkan oleh sifatnya yang a priori itu.[9]
Teologi Praktika, khususnya di Amerika dan di Eropa, pada dekade-dekade terakhir ini sangat dibantu oleh C.G. Jung untuk semakin menyadari pentingnya simbol-simbol dalam teologi dan praktek gereja. Dikembangkan suatu "didaktika simbol" yang menemukan kembali peranan simbol-simbol religius misalnya dalam pendidikan agama atau dalam ibadah/khotbah. Melalui memakai simbol-simbol, orang tidak hanya dapat ditarik dan disapa pada suatu level verbal dan intelektual (level kognitif) yang lebih konkret dan lebih mudah dapat dibayangkan, tetapi juga dalam lubuk hati dan jiwa mereka (level emosional). Simbol-simbol religius dapat menjadi "pintu" yang membuka kemungkinan untuk pengalaman religius dan identifikasi yang lebih dalam dengan pesan-pesan agama.[10] Re-simbolisasi tersebut secara funksional dapat juga membantu manusia untuk mempunyai sikap dan tinkah laku yang lebih konsisten dalam pengalaman tentang kenyataan sehari-hari (level pragmatis)

Kesimpulan: Simbol-simbol religius yang asli/dasar (arketipe) sudah ada dalam lubuk jiwa ("ketidaksadaran kolektif") setiap manusia sendiri, sehingga simbol-simbol tersebut merupakan dasar antropologis bersama dari semua agama dan budaya, dan dapat membuka jalan masuk bagi manusia untuk pemahaman dan pengalaman yang lebih mendalam tentang simbol-simbol agamanya masing-masing.

Sumber:
- C.G. Jung, Psychology and Religion, Yale University Press, 1938 (16/1966)
- Robert W. Crapps, Dialog Psikologi dan Agama sejak William James hingga Gordon W. Allport, Kanisius, Yogyakarta 1993


Markus Hildebrandt Rambe

Dosen STT Intim, Makassar

Mei 2000


[1]               C.G. Jung dalam Contributions to Analytic Psycholgy, dikutib oleh Crapps, hlm. 76; Crapps menjelaskannya: "Seperti manusia mewarisi sunsunaan tubuh yang mengandung bekas dari perkembangan yang dialami manusia dalam tahap sebelumnya, demikian juga manusia mewarisi sejarah psikis bersama dalam ketidaksadaran kolektif."
[2]               Pertanyaan, apakah kodrat manusia itu mencerminkan dan menjawab kenyataan ilahi di luar diri sendiri atau memproduksi agama tanpa adanya kebenaran dan keberadan yang transenden, menurut C.G. Jung, tidak dapat dan tidak boleh dijawab oleh psikologi; jadi, psikologi tidak dapat baik membenarkan agama maupun membuktikan kekeliruannya.
[3]               archetypes, bdk Jung, 62+63
[4]               Crapps hlm 77+78
[5]               bdk Jung, hlm 64, 65, 71
[6]               misalnya utara-selatan/barat-timur; air-api/udara-tanah; pikiran-perasaan/peraba-intuisi; tipe-tipe manusia syisuid-depresif/terpaksa-histeris; tritunggal + "bayangannya", yang feminin (anima) atau tritunggal + yang jahat (setan); keempat penginjil dll.
[7]               bdk. Jung hlm 88: symbol, "in which all contrasts are reconciled"; hlm 98: "the globes, stars, crosses and the like are symbols for a center in themselves"
[8]               bdk. Jung, 89: "But the quaternity is entirely absent from the dogma, though it appears early in ecclesiastical symbolism. I refer to the cross of equal branches included in the circle, the triumphant Christ with the four evangelists, the Tetramorphus, and so on."
[9]               Jung, hlm.  76: "The main symbolic figures of a religion are always expressive of the partikular moral and mental attitude involved. I mention, for instance, the cross and its various religious meanings." Hlm 96: "the reconciliation of God and man is expressed in the symbol of Christ or of the Cross"
[10]             bdk. Jung hlm 114: "This is the reason why I take carefully in account the symbols of the unconcious mind. They are the only things that could convince the critical mind of modern people."

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS


I know that physically I am disabled but mentally I like anybody else. I can do everything like anybody else; of course yes I should do in different way….but some way or another… I am able to do like them or even better than them…. (Asley, 21 thn, tidak punya lengan dan kaki namun mampu berenang menyeberangi selat Inggris selama 40 jam tanpa henti).

Anak merupakan anugerah terbesar bagi setiap pasangan suami istri. Anak merupakan bukti sekaligus pengikat cinta kasih, tujuan dari kehidupan orang tua, dan tempat harapan disematkan. Oleh karena itu, sangat wajar apabila setiap orang tua berharap anaknya lahir tumbuh kembang sebagai anak yang sehat dan pintar.
Sedang bagi sebuah komunitas sangat besar yang bernama negara, anak juga merupakan harapan, dan lebih dari itu anak adalah penerus, penjaga, dan pemimpin masa depan bangsa. Karenanya pula negara tentu menginginkan anak-anak yang sehat jasmani dan rohaninya.
Namun seringkali pula harapan-harapan ini ternyata tidaklah sesuai dengan kenyataan yang harus diterima. Anak lahir atau tumbuh dengan kondisi dan kemampuan yang berbeda dengan anak kebanyakan, dalam arti memiliki keterbatasan. Laporan WHO (2007) menyebutkan, anak-anak dengan keterbatasan ini jumlahnya diperkirakan  mencapai 7% dari populasi anak, dan 85% darinya berada di negara-negara berkembang,termasuk Indonesia. Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan tahun 2001, anak-anak itu mempunyai prevalansi disabilitas (angka kecacatan) yang cukup tinggi – mencapai 39 per sen dari jumlah penduduk.
Sementara itu, pada september 1990, pemerintah Indonesia meratifikasi The Convention on The Rights of The Child yang dikeluarkan PBB. Paada artikel ke 23 dicantumkan: “a mentally or physically disabled child should enjoy a full and decent life, in conditions which ensure dignity, promote self-reliance and facilitate the child’s active participation in the community(McConachie, 1995).
Selanjutnya, pada tanggal 30 Maret 2007 lalu, pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah, bersama lebih dari 80 negara lain, menandatanganani Konvensi tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak serta Martabat Penyandang Cacat (Convention on the Protection and Promotion of the Rights and Dignity of Persons with Disabilities). Peristiwa tersebut menjadi momentum penting terhadap pengakuan hak penyandang cacat untuk hidup setara dengan warga masyarakat lainnya dan kewajiban negara untuk mewujudkannya.
Keikutsertaan Pemerintah Indonesia dalam penandatangan konvensi-konvensi tersebut tentunya bukan sekadar basa basi pergaulan masyarakat internasional. Alasannya, ikut menandatangani itu berarti Pemerintah Indonesia berjanji mengimplementasikannya danbersedia dipantau oleh dunia Internasional dalam pelaksanaannya.
Namun berbicara “janji” sering yang namanya manusia mudah melupakannya, terlebih sekumpulan manusia yang namanya pemerintah Indonesia.Jika dihitung sejak meratifikasi pertama kali yaitu pada tahun 1990 (sekitar 19 tahun), perubahan sikap perlakuan negara terhadap anak-anak berkebutuhan khusus terlihat tidak ada perubahan yang signifkan. Dengan kata lain sangatlah kecil dariyang sebenarnya bisa dilakukan oleh sebuah negara bernama Indonesia.
Kesempatan pendidikan yang diberikan bagi mereka sangat sangatlah terbatas. Perlakuan khusus yang tentu memerlukan biaya besar membuat akses pendidikan yang memadai bagi mereka tidak terjangkau oleh para orang tua. Sayangnya penyebaran kecacatan lebih banyak terjadi pada menengah bawah akibat rendahnya asupan gizi dan pengetahuan kesehatan. Sedangkan pendidikan khusus semacam Sekolah Luar Biasa (SLB) yang diadakan pemerintah cenderung ala kadarnya dalam pengelolaan akibat rendahnya dana subsidi pemerintah.
Rendahnya pendidikan semakin ditambah dengan peluang kerja yang sangat terbatas bagi mereka. Tidak ada kebijaksanaan dengan memberikan kesempatan khusus bagi mereka untuk mendapatkan kerja. Belum lagi berbicara mengenai kesejahteraan. Pendekatan yang dilakukan pemerintah lebih banyak bermodel “sinterklas” yang dengan welas asihnya memberikan kado setelah Natal, selepas Natal silahkan dipikirkan sendiri. Sebuah pendekatan yang berdasar pada keyakinan bahwa mereka adalah anak-anak cacat atau tuna, tidak memiliki potensi berdaya dan mandiri, karenanya harus dikasihani. Pendekatan yang sangat tidak manusiawi.

Pendidikan Anak Cacat
Sejarah mencatat, diawali saat mereka lebih dilihat sebagai seseorang yang cacat atau “tuna”, dipandang tidak mungkin mampu bersekolah di tempat sama dengan anak lain dan oleh karenanya harus dipisahkan (segregated) serta ditempatkan dalam sekolah-sekolah khusus (special education) baik paruh hari maupun yang berasrama tanpa memandang bagaimana tingkat kekhususan kebutuhan maupun potensi kemampuan anak tersebut. Beberapa di antara sekolah atau pun rumah-rumah tersebut hanya menyediakan akomodasi yang sangat minim, meskipun  ada pula yang dilengkapi dengan fasilitas lebih dari memadai yang terletak di daerah yang indah. Namun tempat-tempat ini sering terisolasi dan tersembunyi dari pandangan masyarakat umum.
Banyak masalah ternyata timbul dari model pemisahan berbasis institusi terpusat ini.  Misalnya letak yang terisolir terpisah dari keluarga dan juga lingkungan masyarakat. Itu semua membuat anak-anak  menjadi kesepian, timbul perasaan dibuang, internalisasi perasaan inferior, menjadi kurang percaya diri dan tidak terampil dalam hubungan sosial. Kurangnya kedekatan dan stimulasi dapat mengakibatkan mereka mengembangkan perilaku stereotip negatif. Ini menambah kondisi kecacatan mereka dan membatasi perkembangan mereka lebih lanjut. Selain itu, ada beberapa kasus dimana anak dieksploitasi melalui kerja keras dan situasi yang tidak menguntungkan lainnya. Pelecehan seksual oleh pegawai atau oleh mereka yang tinggal di rumah/institusi itu juga bukan merupakan hal yang tidak biasa (Skjorten, 2002).
Yang menjadi masalah terbesar adalah pendekatan segregasi yang berpusat pada institusi (Institution Based Rehabilitation) tidak mampu menjangkau lebih dari 5% populasi anak berkebutuhan khusus. Faktor biaya tinggi dan kesulitan orang tua memenuhinya menjadi alasan banyak orang tua tidak memilih memasukkan anaknya ke sekolah khusus ini.
Masalah lainnya lahir sebagai dampak dari titik pandang dimana anak-anak ini dilihat sebagai anak yang berkekurangan dan terbatas kemampuannya. Sehingga dasar intervensi adalah bagaimana menutupi kekurangan anak yang selamanya memang tidak akan mungkin tertutupi karena memang terbatas. Sebagai contoh seringkali intervensi terhadap anak-anak tuna netra ditekankan pada bagaimana sedapat mungkin anak ini bisa membaca huruf braille. Itu dilakukan agar ia bisa belajar sebagaimana anak yang bisa melihat dan kemudian dibekali ketrampilan pijat sebagai ketrampilan yang dirasa masih bisa dimiliki anak-anak ini. Cara ini memandang sebelah mata  potensi dan minat nyata anak itu sendiri. Cara pandang yang lebih fokus pada keterbatasan anak dan tidak menghargai potensi positif anak ini pada akhirnya gagal memberdayakan anak.
Banyaknya masalah yang terjadi pada model intervensi segregasi membawa pada pemikiran tentang perubahan paradigma, kesadaran, arah tujuan, serta metode. Perubahan paling mendasar adalah pengakuan dan penghargaan akan adanya keragaman dan hak setiap orang untuk hidup dalam lingkungan yang sama dengan orang lain. Hal ini juga menghasilkan upaya-upaya untuk “membawa kembali” ke dalam masyarakat mereka yang sebelumnya telah dipisahkan atau disegregasikan oleh mayoritas terbesar masyarakat karena mereka berbeda. Berkembanglah paradigma inklusi dengan pendekatan secial needs education (pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus). Melalui konsep ini, bukan anak menyesuaikan dengan kurikulum pendidikan, melainkan kurikulum pendidikan menyesuaikan dengan kebutuhan tiap anak (individually adjusted education) termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. Untuk ini diperlukan kemauan mengubah dan menyesuaikan sistem, lingkungan, aktivitas serta mempertimbangkan kebutuhan semua orang dan dalam hal ini dipersyaratkan fleksibilitas, kreativitas dan sensitivitas dari konsep pendidikan itu sendiri.

Pendidikan Inklusi
Terlepas dari masih banyaknya kekurangan, harus jujur diapresiasi bahwa pemerintah pada masa kepemimpinan SBY-JK cukup berfikiran terbuka dan mau membuat perubahan. Salah satu yang patut dihargai adalah dicanangkannya Program Pendidikan Inklusi. Sebuah model pendidikan dimana anak berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah umum bersama anak-anak lain sebayanya, tidak harus di SLB.
Namun demikian, masih banyak masalah ataupun kendala yang ditemui di lapangan. Beberapa diantaranya; (1) belum bakunya sistem assessment anak berkebutuhan khusus, (2) belum terumuskannya kurikulum inklusi, sebuah kurikulum yang peka dan mau menyesuaikan diri dengan kebutuhan khusus anak, serta mampu memfasilitasi pengembangan potensi dan kecerdasan setiap anak termasuk anak berkebutuhan khsusu (perlu diingat bahwa setiap anak adalah cerdas di potensinya masing-masing). (3) belum tersedianya cukup sumber daya pendidik, secara kualitas maupun kuantitas, untuk melakukan pengajaran pada anak-anak berkebutuhan khusus tersebut, (4) masih terbatasnya dukungan dana dari pemerintah untuk pengembangan pendidikan inklusi.
Menyangkut persoalan pertama, berbagai usaha telah dilakukan termasuk diantaranya didirikannya Asessment Center Nasional yang ditempatkan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Begitu pula menyangkut persoalan ketiga, mata kuliah pendidikan anak berkebutuhan khusus sudah dimasukkan dalam semua jurusan pendidikan dan keguruan. Proses pelatihan maupun usaha sertifikasi telah dilakukan bagi guru-guru yang menerima anak berkebutuhan khusus. Perekrutan Guru Pendamping Khusus (GPK) juga sudah dilakukan meski jumlah masih jauh dari memadai.
Persoalan dana juga dapat diusahakan melalui kreativitas sekolah untuk menggali dana dan membangun kemitraan (base on community) guna mencukupi kebutuhannya akan sarana pengembangan kreativitas anak berkebutuhan khusus tanpa harus membebankannya pada orang tua. Pengajaran musik dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan orang tua atau masyarakat di sekitar sekolah yang memiliki ketrampilan memainkan alat musik atau bahkan memiliki alat musik sendiri. Tak terkecuali dengan pengajaran ketrampilan, olahraga, otomotif dan sebagainya. Tidak harus segalanya dibeli dan dimiliki. Namun demikian, pemerintah juga harus meningkatkan dukungannya sekalipun ada sekolah telah menjalin kemitraan.
Persoalan tersisa adalah menyangkut kurikulum. Kurikulum yang ada hanya tunggal yaitu menyamaratakan potensi anak dan menuntut anak mencapai standar kurikulum tersebut. Sebuah kurikulum yang menghendaki siswanyalah yang mengalah dan menyesuaikan diri, bukan kurikulum yang menyesuaikan diri dengan potensi siswa. Kurikulum seperti ini sebenarnya juga berat dan kurang sesuai bagi anak-anak “normal”, terlebih lagi bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Melalui kurikulum semacam ini, anak berkebutuhan khusus yang masuk sekolah inklusi bukannya mendapat pendidikan layak melainkan akan memperburuk kondisi anak karena kebutuhannya tidak terpenuhi.
Ambil contoh seorang anak retardasi mental ataupun ber-IQ borderline (dibawah 80). Ketika masuk sekolah inklusi, anak seperti itu dipaksa oleh kurikulum dengan keharusan harus menguasai pelajaran. Padahal, anak-anak yang ber-IQ diatasnya saja belum tentu bisa. Menghadapi kendala ini, jika sekolah tidak menyerah dan menyerahkan kembali anak ke orang tuanya, biasanya sekolah akan melakukan berbagai rekayasa dan sangat mungkin kecurangan untuk membantu kelulusan anak.
Sering alasan yang dikemukakan adalah kebutuhan adanya angka yang dapat dijadikan tolak ukur. Alasan tersebut sepertinya lebih terlihat karena keengganan untuk repot. Padahal  alasan sesungguhya hanya masalah teknis. Jika menghendaki angka, bisa saja proses dikuantifikasi dalam bentuk angka. Banyak negara telah berhasil pula menerapkannya. Misalnya, dengan kurikulum  pendidikan yang menghargai dan berusaha mengembangkan potensi siswa yang beragam. Ada yang di bidang sains, humaniora, olahraga, seni, atau jurnalis dan banyak lagi. Pendidikan yang mencetak anak-anak yang percaya diri dengan potensinya masing-masing. Pendidikan yang menghargai jerih payah dan kreatifitas.
Pendidikan inklusi membutuhkan kurikulum yang sensitif dan luwes. Sebuah kurikulum pendidikan yang menghargai dan berusaha mengembangkan potensi setiap siswa sepenuhnya (special needs education). Diawali dengan penyediaan beragam aktifitas dan fasilitas untuk eksplorasi potensi dan minat anak untuk kemudian selanjutnya memberikan pengajaran yang mengarahkan pada pengembangan potensi. Sehingga anak akan cukup memiliki harga diri karena memiliki sebuah kemampuan. Harapannya, anak bisa mandiri dengan kemampuan yang ia milikinya kelak.
Dibutuhkan sebuah kurikulum yang bukan sekadar bagaimana mengatasi keterbatasan siswa dan mengejar standar kurikulum semata melainkan berangkat dari penghargaan, optimisme, dan potensi positif yang dimiliki anak berkebutuhan khusus. Merujuk hal ini pula, penilaian prestasi siswa terutama anak berkebutuhan khusus juga harus mengukur capaian perkembangan potensi siswa, yakni merujuk pada proses, dan bukan pada bagaimana hasil.  

Presiden Baru”
Bagaimana mengatasi persoalan-persoalan diatas? Tanggung jawab juga ada pada   pemerintah. Hal ini dikarenakan pemerintahlah yang mengemban amanat untuk memanfaatkan kekayaan negara guna kesejahteraan rakyat termasuk dalam hal pendidikan.
Seiring dengan usainya pesta Pemilu, presiden baru akan terpilih.  Namun demikian, siapapun presiden yang terpilih nantinya, perannya sebagai pimpinan pemerintahan yang harus mensejahterakan rakyat tidak kemudian berubah.
Olah karena itu, sangat diharapkan presiden yang baru kelak dapat mencermati persoalan yang ada menyangkut pendidikan anak berkebutuhan khusus ini dengan cermat dan lebih mampu memberikan perhatiannya. Salah satunya adalah kesediaan untuk menengok kembali garis kebijakan pendidikan menyangkut kurikulum bagi anak berkebutuhan khusus yang duduk di bangku sekolah inklusi. Keterbukaan diri untuk melibatkan seluruh pihak yang memiliki pengetahuan dan kompetensi di bidang pendidikan anak berkebutuhan khusus sangat diperlukan. Yang terpenting kemudian adalah keberanian mengambil keputusan yang merombak kurikulum lama yang kaku dan menggantinya dengan kurikulum yang lebih menghargai potensi unik setiap anak berkebutuhan khusus, selain dukungan dana ketimbang dihabiskan untuk rekreasi ataupun belanja keperluan pejabat yang sering tidak masuk akal. Diharapkan presiden yang baru nantinya bukan hanya bisa jadi presiden bagi partainya, melainkan bagi seluruh rakyat, termasuk menjadi Presiden Anak Berkebutuhan Khusus.

M. Salis Yuniardi,  Sidang Redaksi Bestari

COURTS AND THE LEGAL SYSTEM CIVIL FORENSICS



Mendefinisikan Sakit Mental

Meskipun komunitas kesehatan mental sering menggunakan istilah mental illness untuk tujuan diagnosis dan treatment, tetapi hal ini diasumsikan lebih luas dimata hukum dalam konteks yang lebih luas. Yang penting adalah hal ini bisa menjadi syarat commitmen sipil dan jika mental illness itu berdampak pada hukum hal ini berimplikasi pada insanity dan kompetensi seseorang. Mental illness juga bisa berdampak untuk menentukan kompetensi seperti kompetensi untuk menghadapi pengadilan, untuk melaksanakan keinginan, atau untuk mengatur diri sendiri. Definisi mental illness juga masih tidak cukup. Evaluator forensic harus memiliki definisi yang spesifik, mengenai mental illness atau kondisi lain (mental retardasi atau kondisi medis). Misalnya kasus Andrew Goldstein, permohonan insanity ditolak (seorang schizophrenia yang melempar seorang perempuan ke rel kereta api di New York).
Mental illness itu menjadi isu setelah alasan insanity bisa membebaskan seseorang dari hukuman. Individu diijinkan untuk dirumah sakitkan di psikiater ketika tidak bisa mengikuti persidangan, kurang rasional, dan tidak mampu untuk mempertahankan diri dikarenakan mental illness.
Karena memang penting, maka psikolog dan pengadilan kriminal perlu memikirkan hal ini. mental illness menjadi kontroversi di hukum. Mental illness memiliki definisi berbeda dengan mental illness yang biasa dipahami oleh kesehatan mental. Maka perlu definisi mental illness yang lebih detail dengan konteks komitmen sipil dan insanity defence.

Kasus Gina
Gina berumur 27 tahun. Gina memiliki sejarah kesehatan ketidakstabilan mental dengan diagnosis gangguan kepribadian narsistik dan antisocial, sebagaimana depresi yang parah dan kadang-kadang memiliki ide bunuh diri. Akhir-akhir ini Gina menunjukkan adanya beberapa peristiwa penuh tekanan termasuk kematian teman dekatnya dan putusnya hubungan hubungan yang telah lama dibina. Teman-teman dan orang tua memperingatkan Gina tentang kondisi psikisnya yang tidak baik, dan takut jika nanti dia akan melukai dirinya sendiri maupun orang-orang yang ada disekitarnya. Beberapa menyarankan bahwa Gina ke psikiater. Meskipun begitu Gina mengatakan bahwa dirinya ‘baik’ dan menolak usaha-usaha intervensi psikologi. Teman dan keluarganya merumahsakitkan Gina meskipun Gina tidak menginginkannya, karena menurut mereka hal itu yang terbaik untuk Gina. Mempertimbangkan bahwa Gina dimungkinkan dapat melakukan tindakan yang berbahaya, maka dimata hukum dia termasuk sakit mental.

Civil komitmen
Criteria Substansive untuk komitmen sipil adalah kehadiran mental illness. Sebagian besar hukum, mendefinisikan eksistensi mental illness pada individu menunjukkan bahwa dia mengalami mental disorder. Karena mental illnes menjadi prasyarat untuk komitmen sipil.
Hukum lebih melihat dari sudut pandang “bahaya” melukai orang lain, berbeda dengan psikiater yang melihat dari segi melukai diri sendiri.
Penyakit mental adalah istilah yang mudah dimanipulasi. Definisi operasional yang dibuat itu masih samar dan tidak jelas. Melton mengutip salah satu upaya legislasi yang paling spesifik untuk mendefinisikan penyakit mental yaitu sebagai berikut:
Gangguan substansial pemikiran, suasana hati, orientasi persepsi, atau memory yang merusak keputusan, perilaku, kapasitas untuk mengenali kenyataan atau kemampuan untuk mengenali tuntutan kehidupan yang biasa tetapi tidak termasuk keterbelakangan mental.
Banyak ketetapan, tetapi kondisi yg dimaksud adalah kecuali kondisi keterbelakangan mental, penyalahgunaan zat, dan epilepsy. Alkohol dan penyalahgunaan obat tidak termasuk dalam penyakit mental di koridor hukum. Hukum memiliki batasan tertentu dalam menentukan ruang lingkup gangguan kejiwaan.
Ketidakakuratan dalam mendefinisikan mental illness membuat hukum, membuat isu mengenai definisi kata ‘mental ill’. Tanggung jawab menilai potensi penyakit mental, oleh pengadilan diserahkan pada saksi ahli (psikiater dan psikolog). Kekuatan yang diberikan tergantung pada ahli kesehatan mental tadi. Penelitian membuktikan bahwa ternyata psikolog dan psikiater memiliki persetujuan yang sama tentang mental illness. Hal ini akhirnya sering mengharuskan hukum untuk bertindak.
Sebagai contoh, standar M’Naugten untuk pembelaan insanity yang digunakan di banyak pengadilan sering tidak mengklarifikasi pemahaman atau apresiasi terhadap kejahatan dari perbuatannya, apakah itu kejahatan hukum atau kejahatan moral. Misal kasus Andrea Yates, dia paham bahwa aksinya adalah kejahatan hukum, tetapi delusinya tidak bisa dikatakan sebagai kejahatan moral. Tingkat keparahan depresi post partumnya, ditambah dengan psikosis menyebabkan delusi bahwa ia menyelamatkan anak-anaknya dari kutukan kekal, namun dalam kasusnya pembelaan bahwa dia adalah seorang insanity tidak berhasil.

Pembelaan insanity
Insanity bisa digunakan untuk bebas dari tindak perilaku criminal di mata hukum. Perilaku kriminal individu tidak hanya mental illness, tetapi mental illness-nya itu secara langsung menyebabkan disfungsi yang relevan ketika kejahatan dilakukan. Ketika itu pertanyaan psikolegal: diagnosis spesifik bukan menjadi isu sentral, namun dampak pada kapasitas fungsional atau kemampuan seseorang untuk mengetahui perbedaan antara benar dan salah adalah yg terpenting dalam hukum, dengan demikian dampak fungsional dari penyakit mental menjadi isu yang utama. Namun secara historis orang-orang yang sukses melakukan pembelaan 60-90 persen adalah mereka yang sudah psikotik.
Definisi yang ditawarkan APA dianggap merupakan kondisi yang terlalu abnormal. Dengan demikian definisi dari Negara satu dengan Negara lain berbeda.

Foucha v. Louisiana
Mahkamah Agung menjelaskan tentang arti penyakit mental di kasus Foucha dan Lousiana. Pengadilan menyatakan, bukan tindakan konstitusi ketika menahan individu yang memiliki sakit mental atau gangguan kepribadian antisosial. Masalah utamanya adalah apakah konstitusi akan menahan individu yang telah dibebaskan tapi sudah sembuh dari penyakitnya? Jawab pengadilan “tidak”. Untuk tujuan secara paksa seseorang harus berpenyakit mental (mental illness) dan berbahaya. Implikasinya bahwa gangguan kepribadian antisosial bukan merupakan penyakit mental yang memenuhi syarat untuk tujuan kurungan. Tetapi di mata pengadilan temuan ini tidak dibenarkan, dan ini masih menjadi perdebatan.

Psikologi Forensik dan Implikasi Kebijakan
Kegagalan pengadilan dalam menyelesaikan kasus mental illness meninggalkan sejumlah masalah analisis dan praktis di kalangan psikolog forensik. Sistem hukum menemukan cara yang tepat dengan memberikan kasus ini pada tim kesehatan mental untuk membedakan “sakit jiwa” dan “tidak sakit jiwa”. Sayangnya pengadilan terlalu menggantungkan pada ahli-ahli tersebut, sehingga orang-orang seperti Gina mungkin dipaksa untuk dirawat di satu kelompok treatment dan tidak dengan kelompok yang lain. Ada resiko orang-orang yang tidak sakit mental tanpa sengaja dirumah sakitkan.
Implikasi psikologi forensik untuk individu seperti Gina (berpotensi untuk diinterfensi secara hukum). Sementara kebebasan individu dalam menentukan nasib sendiri harus diakui, psikolog forensik harus memperhatikan masalah yang lebih umum, seperti keselamatan publik dan kesehatan.

Hak Untuk Menolak
Hak kebebasan merupakan hak yang paling berharga, individu harus memutuskan apa yg terjadi pada tubuh dan pikirannya. Orang yang sakit bisa memilih untuk menerima atau tidak menerima pengobatan medis. Namun pada kenyataannya kebebasan tidak dinikmati oleh individu dengan gangguan mental. Pada situasi tertentu, individu menjadi subjek treatment psikologis yang tidak diinginkannya, hal ini menjadi kontroversi “hak untuk menolak pengobatan”.
Dalam kasus komitmen Re commitment of denis H, pengadilan Wisconsin menegakkan lima standard untuk komitmen sipil berdasarkan ketidakmampuan membuat pilihan dalam pengobatan dan treatment. individu diberi kebebasan karena tidak mampu memutuskan (tidak mampu membuat pilihan obat dan treatment yg diperlukannya) :akibat kasus ini, maka hukum ‘tidak mampu membuat keputusan’ diperluas.
Kasus Alysa: 34 tahun, menderita gangguan pikiran, Alysa menderita halusinasi dan delusi, akhir-akhir ini memburuk. Dia tidak menunjukkan bahaya bagi diri sendiri maupun orang lain, gaya hidup cukup aman dan bukan merupakan calon orang yg akan dipaksa dalam pengobatan. Di Psikiater dia disarankan untuk melakukan pengobatan dengan antipsikotik: Thorazine. Alisa menolak karena dia tahu efek sampingnya yang mungkin permanen, dan ingin mencoba mencari alternative lain. Nah psikiater ini bertanya, bagaimana bisa seorang ‘sakit’ memutuskan? Dan apakah si psikiater memiliki hak untuk memperlakukan demikian? Bagaimana?

Literature review
Hak untuk menolak pengobatan adalah isu paling controversial di dunia psikiatri.

Alternatif membatasi dan Hak menolak pengobatan
Doktrin LRA (Least Restrictive Alternatif) menempatkan individu pada dikondisi yang sedikit membatasi ketika mereka diharuskan berada pada kondisi intervensi. Tujuannya adalah untuk memperlakukan individu dengan cara yang meminimalisir kebosanan pada kebebasan individu.
Kemudian Beberapa peneliti memberikan saran: alternative paling membatasi juga harus di tafsirkan, dengan memperhitungkan pertimbangan dari pasien, dokter dan hukum. Disini ahli kesehatan itu didorong untuk melibatkan pasien dalam proses pengobatan. Namun tetap saja peneliti-peneliti ini menemukan bahwa beberapa dokter itu ingin “berkuasa” dan pasien “ragu-ragu berbagi preferensi”. Meskipun dalam system pengobatan manapun sebenarnya pasien berhak menolak pengobatan ketika dia memang tidak ingin.

Doktrin Informed consent
Mengharuskan pasien mendapat informasi yang cukup tentang pengobatan yg akan dijalaninya umumnya yg akhirnya membuat pasien mampu memutuskan. Informasi dapat berupa efek samping, risiko, manfaat, potensi sembuh tanpa obat, pengobatan lain yang mungkin tersedia.
Peraturan ini berlaku untuk orang dewasa umum dan sakit jiwa. Hak ini hilang ketika secara legislasi ternyata dia tidak mampu (incompeten).

Kompetensi
Berdasar pada informasi yang diberikan maka titik beratnya bukan pada keputusan akhir tetapi pada bagaimana individu menyimpulkan. Maka dilihat dari kasus alisa tadi dia boleh menolak, karena dia bisa menyimpulkan. Keputusan dibuat sesuai dengan konteksnya, individu mampu atau tidak.
Dalam keputusan Harper V Harper: hak menolak itu tidak dipertimbangkan, karena jika orang tersebut dinilai berbahaya bagi diri sendiri dan orang lain maka demi kepentingan umum hak untuk menolak itu tidak diberikan.

Psikologi Forensic Dan Implikasi Kebijakan
Praktek dan teori memang berbeda pada kenyatannya. Dalam prakteknya pasien itu berhak menolak pengobatan ketika ada psikiater , keputusan itu kemudian ditinjau kembali oleh dokter, jadi sebenarnya kebebasan individu tetap ditangan dokter.
Tapi dokter itu menghadapi dilemma yaitu menyeimbangkan perawatan pasien dan kebebasan sipil, terkadang pasien ternyata tidak mampu untuk membuat keputusan, ex: kasus sizophren yang mati kepanasan di Texas saat musim panas, dimana jika dia dirawat maka mungkin dia memiliki nasib yang berbeda.
Sebagai seorang psikolog forensic itu harus mempertimbangkan efek negative dan efek positif dengan tujuan untuk melindungi kebebasan individu dari pengobatan yang tidak diperlukan

Doktrin LRA (Least Restrictive Alternatif)

Doktrin LRA meminta agar pasien ditempatkan di kondisi yang tidak begitu membatasi pada keadaan treatment. Kondisi ini melibatkan pasien yang membahayakan diri sendiri maupaun orang lain, kemudian pasien yang dimasukkan secara paksa harus dipertimbangkan sejauh mana pembatasannya. Tujuannya adalah melindungi kebebasan individu dari treatment yang berbahaya atau tidak berguna.
Pemberian pembatasan dan treatmen menjadi hal yang perlu diperhatikan. Pertama, konsep pembatasan (mental illness dan tingkat bahaya) harus didefinisikan dengan jelas. Konsep pembatasan sepeerti apa? Apakah pengaturan dan perencanaan pengobatan itu bukan merupakan bentuk pembatasan?
John, pustakawan 42 tahun, riwayat penyakit mental dan hidup sendiri. Rentan terhadap serangan mental tetapi fungsiny bagus dalam akhir2 minggu ini. John, beberapa minggu ini fungsinya terganggu dan tidak bisa merawat diri. Dia membutuhkan perawatan. Dia dirujukkan oleh teman2nya. Setelah diperiksa oleh beberapa professional. John diputuskan untuk mengikuti program pengobatan.
Pertanyaannya adalah apakah ini jalan terbaik? Mengingat John tidak berbahaya? Apakah rumah sakit memang benar kebutuhan yang diperlukan John?

Literature review
Kasus pertama yg menerapkan LRA: seorang nenek yang tidak mau berkomitmen melakukan treatmen, meskipun dia bingung untuk dan rentan mengembara tetapi dia tidak cukup berbahaya sampai memerlukan ‘penguncian’ di psikiatri. Meskipun perawatan itu diperlukan tetapi pengurungan paksa rumah sakit jelas tidak perlu.
“perampasan kebebasan semata-mata karena bahayauntuk orang sakit
sendiri tidak harus melampaui apa yang diperlukan untuk perlindungan mereka
” . perlu dipertimbangkan mana yang benar-benar butuh dirawat inap dan yang bisa mandiri.
Hal yang perlu diperhatikan diantaranya: lokasi, program, pengobatan yang diberikan, campuran pasien, otonomi yang diberikan pada pasien, lama tinggal dkk. LRA bukanlah pemahaman yang tanpa debat dari pihak lain. Permasalahan LRA hampir sama rumitnya dengan pendefinisian mental illness. Batasan-batasan yang dimaksud dalam LRA harus didefinisikan dengan jelas.
Doktrin LRA meminta adanya keefektifan intervensi yang diberikan pada pasien yang melibatkan bidang kesehatan. Dengan demikian akan memberikan keefektifan analisis kebijakan dan implementasi dimana inisiasi baru membutuhkan wawasan psikologis. Psikologi forensic bisa jadi menjadi pemecahan untuk mengatasi baik masalah kesehatan mental maupun hukum dalam satu kerangka sudut pandang.

Evaluasi Disabilitas Kerja Psikiatrik (Psychiatric Work-Related Disability)
Pada saat seorang individu mengalami gangguan mental, simptom-simptom yang muncul pada dirinya memberikan efek yang melemahkan. Yang dimaksud dengan melemahkan adalah menurunnya kemampuan individu baik dalam hal kognitif, sosial, maupun pekerjaan. Onset gangguan mental menghambat individu untuk belajar ketrampilan vokasional. Sementara gangguan mental yang kronis dapat berdampak negatif pada kemampuan kognitif dan sosial, emosi, dan perilaku dalam sejumlah hal sehingga individu yang mengalaminya tidak memiliki cukup dukungan dari dalam dirinya untuk bekerja.
Salah satu peran psikolog forensik dalam isu ini adalah memberikan penilaian mengenai disabilitas berdasarkan gangguan mental. Gangguan mental yang berat dan persisten merupakan dasar yang paling banyak digunakan untuk memberikan klaim disabilitas. Lebih jauh lagi, psikolog forensik diminta mengevaluasi apakah simptom-simptom yang dimiliki seseorang menghambatnya untuk bekerja atau tidak. Di Amerika sendiri, terdapat suatu Undang-Undang (American with Disability Act) yang mengatur mengenai Disabilitas. Salah satu isinya menyebutkan tidak diperbolehkannya diskriminasi terhadap individu dengan disabilitas fisik maupun mental dalam hal pekerjaan sehingga yang dapat membatasi secara substansial aktivitas utama dalam hidup individu tersebut.
Sebuah studi yang meneliti mengenai pengalaman kerja dari 20 orang dewasa dengan oset awal skizofrenia yang dirujuk ke California Department of Vocational Rehabilitation (DVR) menunjukkan sebagian dapat mempertahankan pekerjaan dan sebagian lagi tidak. Sayangnya, kondisi di lapangan menunjukkan jarangnya pihak pemberi kerja yang mau mengakomodasi pekerja dengan gangguan mental. Hal ini mempersulit proses rehabilitasi dan pemberian hak sipil kepada individu dengan gangguan mental.

Review Literatur
Tingkat pengangguran nasional (Amerika) individu dengan gangguan mental mencapai 80-90%. Sejumlah studi empiris menunjukkan bahwa stigma dan kepercayaan bahwa orang dengan gangguan mental selalau ber berbahaya, tidak dapat diandalkan, tidak dapat diprediksikan, dan irasional merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi ini. Pemberi kerja umumnya skeptis dalam mengangkat individu dengan gangguan mental sebagai pegawai dibandingkan dengan individu dengan disabilitas lainnya. Melihat kondisi ini, sejak tahun 1935 Social Security Administration (SSA) melalui Undang-Undang Social Security Act  di Amerika, disediakan dana pendapatan bagi pensiunan, individu dengan disabilitas, dan keluarga dari pekerja yang meninggal.
Program disabilitas SSA berupa Social Security Disability Insurance (SSDI) dan Supplemental Security Income (SSI) diberikan kepada warga yang memenuhi kriteria disabilitas. Sementara dana dari kedua asuransi atau pendapatan tersebut diperoleh dari potongan gaji selama bekerja sebelumnya atau pajak. Kebijakan ini berdampak lanjutan mengenai banyaknya klaim yang diajukan kepada pemerintah. Pemerintah pun harus melakukan evaluasi apakah individu yang bersangkutan memang benar-benar layak memperoleh bantuan tersebut.
Salah satu kriteria yang harus dipenuhi berdasarkan SSA adalah adanya ketidakmampuan untuk melakukan kerja sederhana dan repetitif. Kriteria lain adalah adanya gangguan pada fungsi-fungsi esensial yang diperlukan dalam bekerja, seperti konsentrasi dan atensi. Sumber data penilaian dapat diperoleh melalui observasi, wawancara, dan tes psikologi. Dan yang perlu dipahami mengenai program ini adalah bahwa, kemampuan yang dimiliki individu tersebut tidak harus sama dengan kemampuannya sebelum mengalami gangguan mental. Sebagai contoh, ketika individu yang sebelumnya bekerja sebagai manajer mengalami gangguan mental dan kini hanya mampu melakukan tugas sederhama seperti membungkus barang, maka dana bantuan gugur untuk diberkan. Hal ini dikarenakan individu masih dapat bekerja pada pekerjaan sederhana.
Selanjutnya mulai tanggal 1 Januari 2001, aturan yang ada ditambah dengan mempertimbangkan pendapatan individu per bulan. Individu yang masih memiliki pendapatan di atas 740$ tidak dapat mengakses dana bantuan SSI. Terkait gangguan mental seperti apa yang dapat dimintakan klain asuransi/ dana bantuan, SSA telah menyusun daftar gangguan mental berdasarkan DSM-IV yang berfungsi memprediksi disabilitas yang dimiliki. Ketika ganggaun mental yang dialami tidak terdapat dalam daftar tersebut, maka individu terpaksa harus ditolak klaimnya. Seluruh proses evaluasi terhadap disabilitas dalam makna hukum ini dilakukan oleh disability reviewer.

Psikologi Forensik dan Implikasi Kebijakan
Meski telah cukup memiliki panduan dalam kebijakan yang ada, pada penerapannya ternyata masih banyak yang belum seideal yang diharapkan. Sebagai contoh, dari keseluruhan individu yang diajukan untuk memperoleh dana pemerintah sebagai kompensasi dari gangguan mental yang dimiliki, hanya 33% yang diterima. Selanjutnya pada review pengajuan yang kedua, sekitar 15% diterima, sisanya baru diterima setelah proses ketiga atau setelah diuji di hadapan persidangan.
Kondisi ini ketika dievaluasi ternyata disebabkan oleh kurang sesuainya laporan pemeriksaan psikologis yang dilampirkan dengan standar kualifikasi pemberian dana bagi individu dengan gangguan mental. Gambaran yang diberikan kurang mampu menjelaskan hambatan atau inkompetensi individu yang bersangkutan untuk bekerja.
Persoalan lain yang terjadi di lapangan adalah terkait supervisi kerja bagi individu dengan gangguan mental. Individu dengan gangguan mental yang telah melalui proses terapi dan dimungkinkan dapat kembali bekerja perlu mendapatkan program pelatihan atau asistensi kerja. Hal tersebut dikarenakan pekerjaan yang dapat dilakukan bisa jadi berbeda dengan apa yang telah dikuasai sebelum sakit. Sehingga diperlukan pendampingan dan pelatihan terlebih dahulu agar individu tersebut dapat menyesuaikan diri dengan baik dengan pekerjaan barunya.

Saran Penelitian Selajutnya
Sejumlah saran untuk penelitian selanjutnya yang perlu dilakukan agar dapat mengoptimalkan implementasi civil forensic dalam lingkungan kerja antara lain:
1.      Perlunya pengembangan metode maupun alat asesmen yang reliabel untuk tingkat keberfungsian kerja individu oleh para ahli kesehatan mental. Semakin objektif metode dan alat ukur yang dikembangkan akan semakin baik karena sesuai dengan tuntutan aturan legal yang berlaku.
2.      Perlunya penelitian yang mengevaluasi interagreement antar reviewer yang mengevaluasi layak tidaknya seorang individu menerima dana dari pemerintah.
3.      Perlunya penelitian yang mengeksplorasi tingkat efikasi dari bermacam strategi yang sukses mempekerjakan individu dengan gangguan mental.

Kewajiban untuk Memberi Informasi VS Konfidensialitas Klien
Kewajiban untuk memberikan informasi dan konfidensialitas klien merupaka satu isu yang juga kontroversial. Kontroversi muncul terutama terkait dengan kewajiban psikolog/psikiater secara etik dan legal untuk menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan oleh klien dan kewajiban untuk memperingatkan pihak yang terancam bahaya oleh tindakan yang mungkin dilakukan klien. Meski prinsip konfidensialitas klien berakar dari psikologi, aturan hukum yang ada memicu pertanyaan kritis, yaitu “Kapan sesungguhnya konfidensialitas klien dapat dilanggar?”
Di Amerika sendiri isu ini mulai diperbincangkan sejak tahun 1976 dengan adanya keputusan pengadilan tinggi negara bagian California terkait kasus Trasoff vs Regents of the University of California.  Pada kasus tersebut, keluarga Tarasoff menuntut psikolog yang bertanggungjawab pada pembunuh Tarasoff karena tidak memberikan peringatan agar berhati-hati dikarenakan kliennya memiliki rencana untuk menyakitinya. Berdasarkan hasil pengadilan tersebut, disebutkan bahwa seorang psikolog harus mempertimbangkan sejumlah isu, yaitu: konfidensialitas, informed consent, kode etik, ada tidaknya korban yang teridentifikasi, tingkat berbahaya, dan ancaman yang telah dikomunikasikan.
Pasca keputusan tersebut, muncul isu kontemporer yang masih mengundang kontroversi, yaitu kewajiban memberikan informasi mengenai klien yang terinfeksi HIV AIDS.  Kerentanan penularan virus tersebut telah jelas diketahui dan tingkat keberbahayaaan virus tersebut juga telah dipahami. Ketika klien meminta psikolog untuk merahasiakan kondisi tersebut kepada orang-orang di sekitar klien yang rentan tertular, lantas apakah konfidensialitas harus dilanggar? Pada isu ini, masih belum diperoleh kesamaan pendapat.
Review Literatur
Prinsip etik APA menyebutkan bahwa seorang psikolog profesional harus menjaga konfidensialitas kliennya. Konfidensialitas ini dimaksudkan agar klien dapat merasa lebih bebas dalam mengungkapkan pikiran maupun perasaanya. Di samping itu, konfidensialitas juga dimaksudkan untuk meminimalkan stigmatisasi. Oleh karena itu, prinsip etik konfidensialitas sebenarnya sangat erat kaitannya dan berperan dalam proses hubungan psikolog dan klien yang efektif.
Konfidensialitas sebagian besar berkaitan dengan informasi yang disampaikan oleh klien selama proses konseling atau terapi. Pengungkapan informasi tersebut kepada orang lain hanya diijinkan atas persetujuan klien atau persetujuan dari representasi legal klien. Oleh karena hal ini sangat menentukan kepercayaan yang sulit terbangun di awal relasi, maka pelanggaran konfidensialitas berkorelasi dengan terminasi dini dan kegagalan proses terapi atau konseling.
Meski demikian, sekarang ini telah muncul banyak isu yang meningkatkan resiko pelanggaran konfidensialitas tersebut, seperti isu yang berkaitan dengan hukum maupun keputusan profesional. Dengan demikian, konfidensialitas klien kini memiliki keterbatasan dan klien seyogyanya paham mengenai keterbatasan tersebut. Isu ini mungkin lebih nyata ketika terdapat korban potensial (resiko munculnya korban) yang terlibat.
Kewajiban untuk memperingatkan yang kini lebih banyak dibincang memiliki akar historis dari kasus yang ditangani oleh Pengadilan Tinggi California, yaitu Tarasoff v. Regents of the University of California. Pada kasus tersebut, seorang klien bernama Poddar menyatakan kepada psikolognya, Dr. Moore, dalam proses konsultasi psikologi bahwa dia memiliki niat untuk membunuh seorang perempuan setelah dia pulang dari liburan. Dr. Moore merespon ancaman tersebut secara serius dan segera berkonsultasi dengan supervisornya dan polisi kampus. Pada kasus ini, Poddar tidak memenuhi kriteria involuntary civil commitment sehingga tidak dimasukkan ke dalam rumah sakit. Polisi kampuspun menangkap Poddar, akan tetapi setelah itu melepaskannya setelah diputuskan Poddar tidak memiliki rencana maupun usaha untuk melukai. Dua bulan setelahnya, saat Tatiana Tarasoff pulang dari berlibur, Poddar membunuhnya. Orang tua Tarasoff pun mengajukan tuntutan hukum terhadap Dr. Moore, polisi kampus, supervisornya, polisi kampus, dan pemerintah daerah atas tidak dilakukannya peringatan tentang bahaya Poddar yang ada di bawah tanggung jawab mereka.
Sebagai respon terhadap tuntutan tersebut, pihak tersangka membela diri bahwa memperingatkan Tarasoff merupakan bentuk pelanggaran kode etik yang tidak dapat mereka lakukan karena melanggar konfidensialitas klien. Pengadilan tinggi pun merespon pembelaan diri tersebut dengan menyatakan bahwa ketika terapis menilai bahwa pasien memiliki resiko untuk membahayakan orang lain secara serius, maka terapis wajib memperingatkan pihak yang beresiko mendapatkan bahaya tersebut mengenai bahaya yang mungkin dihadapinya. Sejak keputusan yang dihasilkan dalam kasus ini, kewajiban terapis untuk memperingatkan pihak ketigapun menjadi semakin luas, meski masih belum benar-benar jelas.

Psikologi Forensik dan Implikasi Kebijakan
Kasus Tarasoff telah memunculkan keputusan kewajiban memperingatkan pihak ketiga bagi psikolog yang kliennya memiliki intensi membahayakan orang lain. Pihak ketiga ini pada perkembangannya dapat dimaknai secara beragam sehingga aturan ini masih meninggalkan ketidakjelasan.
Keputusan mengenai kewajiban untuk memperingatkan ini selanjunya mengarahkan kepada topik evaluasi kondisi psikologis klien dan prediksi perilaku pasien. Kedua hal tersebutlah yang dijadikan landasan tuntutan kepada psikolog ketika gagal memperingatkan pihak ketiga. Yaitu bahwa psikolog seharusnya telah mengetahui resiko munculnya tindakan membahayakan orang lain oleh klien.
Lebih jauh ketika membincang mengenai prediksi perilaku membahayakan orang lain, maka hasil penelitian menunjukkan bahwa  hanya sekitar 33-40% psikolog yang mampu memprediksi secara akurat bahwa kliennya akan membahayakan orang lain. Hal ini memicu kritik, jika penggunaan koin (melempar koin) untuk memprediksi apakah seorang klien dengan gangguan psikologis akan membahayakan orang lain saja lebih baik dari penilaian psikolog, lantas bagaimana seorang psikolog dapat dimintai pertanggungjawaban atas hal tersebut? Seorang psikolog tentu tidak seharusnya dimintai pertanggungjawaban atas sesuatu di luar kompetensinya. Lagi-lagi, ketentuan yang ada di dalam aturan hukum masih menyisakan ketidakjelasan.
Beralih ke isu HIV AIDS, kapankah dan kepada siapakah seorang psikolog harus menginformasikan resiko atau bahaya yang mungkin dimunculkan klien terhadap orang lain atau pihak ketiga? Masih terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini. Sebagian berpendapat bahwa sumber bahaya HIV AIDS adalah virus atau penyakit itu sendiri. Sebagian lain berpendapat bahwa sumber bahaya HIV AIDS adalah perilaku seksual klien. Kedua pendapat ini membawa pada implikasi praktis yang berbeda. Pada pendapat pertama, psikolog akan berkewajiban memperingatkan pasangan klien ketika klien menyampaikan bahwa dirinya terinfeksi HIV AIDS. Sementara pada pendapat kedua, kewajiban tersebut baru muncul ketika diketahui klien memiliki perilaku seksual yang dapat menularkan virus HIV AIDS kepada pasangannya.
Meksi terdapat perbedaan pendapat, pada hakikatnya psikolog yang menangani klien dengan isu HIV AIDS perlu memastikan tingkat keberbahayaan perilaku klien terhadap orang lain, sama seperti kasus lainnya. Penilaian tingkat keberbahayaan tersebut dapat dilakukan melalui penggalian perilaku seksual klien. Akan tetapi, memang masih terdapat kesulitan untuk melakukan kewajiban memberikan peringatan ketika psikolog tidak dapat memastikan secara jelas pasangan seks klien. Di samping itu, kesulitan juga muncul karena penyakit ini seringkali baru terdeteksi setelah sekian waktu pasca infeksi virus. Dengan demikian, sebelum diagnosis dari dokter jelas, psikolog juga belum dapat mengetahui apakah kondisi atau perilaku klien berbahaya bagi orang lain atau tidak.

Victim-Offender Mediation
Program victim-offender mediation (VOM) telah ada di dalam hampir 100 yurisdiksi di seluruh Amerika Serikat (Umbreit, 1993). VOM juga telah meningkat penerapannya di Eropa pada lebih dari 1000 komunitas. VOM memberikan manfaat bagi korban untuk turut berperan serta dalam menentukan hukuman bagi tersangka, menunjukkan dan menyampaikan dampak tindakan tersangka terhadap dirinya, serta menunjukkan kondisi korban secara langsung dan dekat pasca kekerasan atau tindak kriminal. Sementara bagi tersangka atau penyerang, VOM memberikan ruan gbaginya untuk menjelaskan problem personalnya, sudut pandangnya yang dipengaruhi oleh simptom gangguan mental sebagai alasan perilaku atau tindak kriminal yang dilakukan. Dengan pengertian kondisi psikologis tersangka oleh korban, VOM memberikan peluang adanya keringanan hukuman bagi tersangka sekaligus proses hukum yang lebih memanusiakan. Tujuan dari proses mediasi adalah untuk mencapai resolusi konflik secara adil bagi kedua belah pihak dan menghasilkan rencana restitusi yang dapat diterima.
Terlepas dari berbagai varian progam VOM, semua program memiliki prinsip dasar yang sama yang berasal dari prinsip restorative justice. Restorative justice merupakan konsep lama yang menekankan bahwa suatu tindakan kriminal adalah tindakan yang melawan individu di dalam suatu masyarakat, dan bukan sekedar tindakan melawan negara. Prinsip ini selanjutnya membawa konsekuensi dalam penerapan proses hukum yang melibatkan peran masyarakat.

Review Literatur
Bentuk VOM yang berlangsung selama ini sangat beragam. Ragam atau variasi tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, sebagai contoh aspek waktu pelaksanaan. Terdapat VOM yang dilaksanakan setelah kasus masuk pengadilan dan sebelum penjatuhan hukuman. Di sisi lain ada pula VOM yang dilaksanakan dengan tujuan mengupayakan pembebasan bersyarat dengan mengganti kerugian sesuai kesepakatan, yang cenderung dilaksanakan di awal kasus terjadi. Aspek lain yang menentukan variasi adalah tatap muka. Terdapat VOM yang dilakukan secara tatap muka langsung dan ada pula yang tidak. Sementara, secara umum VOM banyak dilakukan oleh lembaga keagamaan, meski lembaga swasta juga ada yang melakukannya.  Di dalam VOM, individu yang berperan sebagai mediator biasanya adalah individu yang telah dilatih sebelumnya atau dapat pula dengan menggunakan pekerja sosial profesional.
Bentuk VOM yang paling populer digunakan adalah Victim/Offender Reconciliation Program (VORP). Model ini dikembangkan pada tahun 1974 di Ontario, Canada dan diterapkan pertama kali di Amerika, tepatnya wilayah Indiana pada tahun 1978. Model ini menggunakan mediasi tatap muka pasca dijathkannya putusan hakim.
Penelitian terhadap dua kasus pembunuhan yang menerapkan mediasi model rekonsiliasi ini menunjukkan efek kelegaan dan penyembuhan yang muncul melalui proses rekonsiliasi. Meski demikian, terdapat kritik yang menyatakan bahwa model ini kurang sesuai dengan prinsip restorative justice, di mana seharusnya:
1.      Harus ada keinginan dan kemampuan untuk mengubah sikap dan pemahaman sebagai hasil dari komunikasi.
2.      Restorative justice menekankan ganti rugi dari pihak pelaku kriminal di mana pelaku tersebut secara aktif menunjukkan upaya pertobatan sebagai akibat dari apa yang telah dilakukannya.
3.      Restorative justice berusaha mengurangi peran pemerintah di dalam proses penyelesaian kasus kriminal di dalam masyarakat dengan memberikan ruang dan peran yang lebih besar kepada masyarakat untuk menyelesaikannya secara damai.
Banyaknya varian VOM mengharuskan munculnya pemahaman adanya perbedaan konsekuensi wujud efektivitas program yang tercapai. Dengan demikian, sulit untuk melakukan penelitian dan menyimpulkan efektivitas program VOM secara umum dan menyeluruh. Meski demikian, penelitian mengenai efektivitas VOM secara spesifik pada tiap-tiap model yang berbeda telah dilakukan.
Efektivitas VOM diukur melalui banyaknya kasus yang terselesaikan, penurunan hukuman bagi residivis, dan tingkat kepuasan korban. Sejumlah penelitian menunjukkan efektivitas yang tinggi pada pelaksanaan VOM, terutama ditunjukkan dengan tingkat kepuasan korban. Akan tetapi, terdapat pula  penelitian yang menunjukkan adanya kegagalan dalam proses VOM dikarenakan faktor keuangan. Perdebatan mengenai perlu tidaknya dilakukan VOM juga muncul dalam berbagai kajian. Terdapat pendapat bahwa pada kasus- kasus tertentu seperti pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga,  dan kasus psikopat, sebaiknya tidak dilakukan VOM dengan pertimbangan latar belakang kasus atau keamanan korban dan keluarganya.

Psikologi Forensik dan Implikasi Kebijakan
VOM selama ini memang telah banyak dilakukan. Sayangnya, penerapan VOM tersebut dilakukan oleh banyak lembaga sehingga sulit untuk menyusun kriteria yang terstandar sehingga diperoleh panduan pelaksanaan dan evaluasi VOM yang efektif. Di samping itu, dlama pelaksanaannya banyak mediator yang kurang memiliki pengetahuan di bidang psikologi maupun sosiologi sehingga kapasitas untuk memediasi menjadi kurang optimal. Kondisi ini mengundang kebutuhan untuk menggunakan tenaga profesional sebagai mediator atau dilakukannya pelatihan khusus sebelum seseorang layak menjadi mediator. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengkaji manfaat dan efektivitas keseluruhan program VOM sehingga dapat disusun panduan sesuai yang dibutuhkan.
Terkait kebijakan, idealnya VOM memang terintegrasi di dalam kebijakan hukum suatu daerah. Tentunya dengan panduan yang jelas mengenai penerapannya. Sebagai contoh, kesepakatan sebagian besar peneliti bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga sebaiknya tidak diberlakukan VOM juga perlu dipertimbangkan. Dengan demikian panduan yang ada membantu lembaga yang akan melakukan VOM untuk memilah kasus mana yang dapat diterapkan mediasi dan mana yang tidak. Semakin padatnya penjara juga membuat pengadilan cenderung mendukung program restitusi atau ganti rugi. Hal ini selanjutnya harus diinformasikan kepada masyarakat terkait pertimbangan-pertimbangan yang diterapkan dalam menjatuhkan hukuman dan alternatif dari hukuman penjara.

jadwal-sholat