Senin, 18 Juni 2012

PEMANFAATAN LOCAL WISDOM “CERITA MOB” UNTUK MEMINIMALISIR ISU KEKERASAN ETNIS DAN KEKERASAN ALKOHOL PADA MASYARAKAT YANG BERDOMISILI DI PAPUA


 A.   PENDAHULUAN
Cerita mob sebagai salah satu dongeng yang berkembang dalam masyarakat Papua pada umumnya, tidak terkecuali dalam suku-suku pendatang yaitu individu-individu yang bukan keturunan asli rakyat Papua, tetapi keluarga dan turunan dari para perantau dari belahan Indonesia yang lainnya. Cerita mob mengandung nilai-nilai candaan dan persahabatan, dimana melalui cerita mob, setiap individu baik pendengar maupun pendongengnya terlibat dekat dalam situasi emosional yang positif yaitu penuh tawa, keriangan, dan keakraban yang erat.
Dalam sebuah studi yang dilakukan Mulkhan (2007) menunjukkan bahwa tradisi, mitologi, dongeng rakyat (folk belief) dan kebiasaan hidup sehari-hari warga mempengaruhi dinamika kehidupan masyarakat dalam konteks makro. Selain sebagai sumber kearifan lokal, cerita mob juga sebagai representasi dan ekspresi pengalaman panjang warga masyarakat yang mencakup aspek ekonomi, sosial, politik, kesehatan dan ketuhanan.
Cerita mob diwariskan dari generasi ke generasi sebagai sarana komunikasi dan penguat tali kekerabatan diantara warga masyarakat. Menilik sejenak dari kejauhan Papua, banyak isu yang berkembang di masyarakat Papua, baik itu yang bersifat kesukuan, keagamaan, ketidakadilan etnis, dan sebagainya berkembang cukup besar yang seringkali memicu terjadinya tindak kekerasan baik yang berlandaskan atas alasan perbedaan etnis, agama, dan warna kulit.
Pandangan stereotip antarsuku, antaretnis, karena perbedaan warna kulit, dan sebagainya sudah cukup mengkhawatirkan sehingga Papua seringkali dianggap daerah rawan konfliks bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Mendengar kata Papua, yang terbesit secara umum adalah kerawanan konfliks di sana.
Kenyataannya, semua itu dapat diminimalisir dengan pemanfaatan kearifan lokal yaitu melalui cerita mob. Penulis menyusun paper ini berlandaskan pada pengalaman penulis saat berada di Papua beberapa waktu yang cukup lama. Semoga artikel ini bisa bermanfaat dan membuka wacana baru dalam mewujudkan Papua yang aman dan damai. Salam positif.




B.   KONDISI KEMASYARAKATAN DI PAPUA
Pada tahun 2001, Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua. Lahirnya otonomi khusus bagi Papua ini dilatarbelakangi oleh faktor belum berhasilnya pemerintah dalam memberikan kesejahteraan, kemakmuran, dan pengakuan terhadap hak-hak dasar rakyat Papua. Kondisi masyarakat Papua dalam bidang pendidikan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik masih memprihatinkan. Selain itu, persoalan-persoalan mendasar seperti pelanggaran hak-hak asasi manusia dan pengingkaran terhadap hak kesejahteraan rakyat Papua masih belum dapat diselesaikan secara adil dan bermartabat.
Pasal 1 angka 1 UU  No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua menyatakan bahwa otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Propinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Otonomi khusus untuk Papua yang bertujuan mengurangi kesenjangan antara Propinsi Papua dan Propinsi lain, meningkatkan taraf hidup masyarakat di Propinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diyakini oleh sebagian besar masyarakat lebih mengedepankan unsur politis yang bersifat populis daripada upaya pemajuan Papua. Selain itu, otonomi khusus yang pada dasarnya bertujuan untuk membantu Papua keluar dari kertinggalan ekonomi, memiliki banyak kelemahan dari segi implementasi.
Selain itu, kesenjangan dalam pelaksanaan otonomi khusus yang berakar dari tingkat kepercayaan secara vertikal antara negara dan masyarakat Papua telah mempengaruhi hubungan horizontal atau di antara masyarakat. Ketidakpercayaan tersebut menyebabkan kegundahan sosial dan reaksi keras dari masyarakat Papua, dan merusak stabilitas perdamaian di Papua.
Masyarakat Papua yang pada dasarnya merupakan masyarakat yang terpecah-pecah terdiri atas berbagai kelompok etnis diperparah dengan perpecahan lainnya setelah otonomi khusus. Kurangnya kepercayaan yang menciptakan rendahnya tingkat keamanan manusia dan modal sosial, menghambat pelaksanaan otonomi khusus di Papua.  United Nations Development Programme (UNDP) telah mengidentifikasi sembilan dimensi keamanan manusia yang mencerminkan daftar penyebab ketidakamanan manusia (human insecurity) dan agenda pembangunan manusia: 1) keamanan ekonomi, 2) keamanan keuangan, 3) keamanan pangan, 4) keamanan kesehatan, 5) keamanan lingkungan, 6) keamanan pribadi, 7) keamanan gender, 8) keamanan masyarakat dan 9) kemanan politis.
Menurut UNDP, penguatan keamanan manusia memerlukan perhatian atas setiap dimensi di atas. Di sisi lain, modal sosial secara sederhana diartikan sebagai serangkaian nilai-nilai informal yang diintisarikan dari norma-norma yang dimiliki anggota kelompok tertentu yang membuat mereka dapat bekerja sama antara satu dengan lainnya.
Masalah saling tidak percaya merupakan salah satu penyebab yang krusial dalam pemahaman masyarakat tentang upaya menjaga keamanan Papua. Terlepas dari semua isu-isu yang muncul mengenai pelaksanaan otonomi khusus Papua, kondisi yang mengarahkan pada perpecahan masyarakat, pendidikan tidak membawa perubahan pada sifat dan mental hidup, dan sumber daya alam yang melimpah tidak membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi kehidupan masyarakat Papua, ketidakpercayaan muncul diantara etnis, baik antara suku asli Papua dan suku pendatang menjadi isu yang perlu disoroti lebih jauh untuk diminimalisir dari segi-segi yang lebih halus, dalam hal ini adalah cerita mob.
Berkaitan dengan hal tersebut, pemanfaatan kearifan lokal dalam upaya mendukung terciptanya kondisi aman berawal dari munculnya keakraban diantara anggota masyarakat baik secara etnis maupun agama yang diharapkan dengan adanya keakraban tersebut mengarah pada bertumbuhnya rasa kepercayaan diantara anggota masyarakat yang nantinya menciptakan kondisi yang saling mendukung kestabilan keamanan masyarakat Papua.

C.   CERITA MOB SEBAGAI KEARIFAN LOKAL PAPUA
Cerita mob sebagai suatu cerita pendek yang dikemas dalam sensasi humor yang pada umumnya dikumandangkan saat masyarakat Papua berkumpul bersama di waktu-waktu santai. Cerita mob sebagai seuatu cerita pendek adalah suatu bentuk prosa naratif-fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel.
Karena singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang. Ceritanya bisa dalam berbagai jenis. Seperti dalam cerita pendek, cerita mob berasal dari anekdot, sebuah situasi yang digambarkan singkat yang dengan cepat tiba pada tujuannya, dengan paralel pada tradisi penceritaan lisan.
Dengan munculnya novelyang realistis, cerita pendek berkembang sebagai sebuah miniatur, dengan contoh-contoh dalam cerita-cerita karya yang berkembang dalam masyarakat Papua, yang dikenal sebagai mob. Cerita mob ini biasanya disajikan dalam bentuk verbal (auditoris) untuk menyejukkan suasana keakraban diantara individu-individu yang sedang berkumpul. Keunikan cerita mob sebagai perekat suasana akrab dan sebagai potensi lokal membuat cerita mob sering dilakukan oleh masyarakat yang berdomisili di Papua, tidak hanya suku-suku asli Papua, tetapi juga para suku pendatang dari luar Papua. Kemajemukan suku terpadu menjadi sebuah kelompok yang kohesif dan penuh keakraban dalam wadah dongeng mob tersebut. Berbicara soal kebermanfaatan cerita mob sama halnya dengan cerita lucu lainnya yang bisa membuat orang tertawa. Sebuah jurnal penelitian selain bisa melekatkan keakraban diantara individu, tertawa membuat orang lebih sehat, membakar kalori, mencegah kelumpuhan fisik, meredakan stres, membantu awet muda, dan bentuk olahraga ringan.
Sebagai kearifan lokal banyak potensi dari cerita mob yang belum terkaji melalui penelitian-penelitian ilmiah. Potensi dapat ditumbuh kembangkan dalam rangka aspek yang lebih luas, misalnya menjaga kepaguyuban diantara warga yang bertempat tinggal di Papua. Penulis akan mengkaji ini dalam sub bab berikutnya dalam topik pemanfaatan cerita mob sebagai wadah meminimalisir kekerasan baik dengan alasan etnis, agama, warna kulit, dan lain sebagainya.

D.  PEMANFATAAN CERITA MOB SEBAGAI FAKTOR PENGURANG TINDAK KEKERASAN ANTAR ETNIS, AGAMA, DAN WARNA KULIT
Menilik keunikan dari cerita mob mulai dari waktu-waktu biasanya dilantunkannya, konten, dan manfaat. Penulis berasumsi bahwa sebagai kearifan lokal, cerita mob juga dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pemersatu masyarakat. Melalui dilantunkannya cerita mob, elemen-elemen masyarakat yang berbeda latar belakang berkumpul bersama untuk mendengar cerita tersebut dalam rangka menjalin silaturahmi. Kondisi inilah yang diasumsikan dapat memicu kekohesivan antarindividu yang memunculkan rasa kebersamaan dan kekeluargaan yang tinggi diantaranya.
Melantunkan cerita mob berarti membuat masayarakat yang berbeda latar belakang untuk berkumpul dan terjadi proses positif dimana tertawa bersama adalah bagian yang lumrah terjadi. Tidak dapat dipungkiri, tertawa membuat seseorang menjadi bahagia, mengurangi stres, dan menjaga kesehatan tubuh, tetapi manfaat psikologis secara sistem dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu dengan adanya kedekatan fisik mempengaruhi keakraban emosional diantara individu-individu yang berkumpul dalam suatu forum lantunan cerita tersebut. Inisiatif keakraban dapat muncul dengan sadar oleh setiap individu yang terlibat di dalamnya melalui proses merasa sebagai suatu kelompok, perasaan ini memunculkan rasa saling mendukung secara emosional, dan pada akhirnya mempengaruhi sikap setiap individu terhadap individu lainnya.
Kebahagiaan dari proses tertawa bersama menjadi tolak ukur awal munculnya rasa menghargai, saling percaya, dan saling mendukung diantara individu. Harapannya, melalui proses tersebut individu bisa mengenal dengan akrab setiap individu dalam forum tersebut.
Manusia adalah makhluk sosial yang akan selalu mengadakan hubungan atau interaksi dengan orang lain. Oleh karena itu, manusia secara alamiah akan membentuk kelompok-kelompok yang akan berpengaruh dalam kehidupannya. Sejak kelahirannya di muka bumi, manusia telah memiliki kelompok pertama yang disebut kelompok formal-primer yaitu keluarga, dimana kelompok ini merupakan salah satu dari jenis kelompok-kelompok yang paling berkesan bagi setiap individu.
Namun, seiring dengan pertumbuhan dan perkembangannya individu pun mulai melepas hubungan-hubungan keluarga itu, dan memasuki dunia luar untuk melakukan berbagai kegiatannya dan bertemu dengan manusia lain yang memiliki kesamaan tujuan, kepentingan, dan berbagai aspirasi lainnya (Bungin, 2006:47-48). Di dalam kelompok, setiap anggota kelompok saling berinteraksi, berkomunikasi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Hal ini disebabkan individu akan memilih kelompok yang memiliki nilai-nilai, minat dan tujuan yang sama dengan mereka sebelum memasuki suatu kelompok. Dengan demikian,  mereka bisa saling berbagi informasi, pengalaman, dan pengetahuan dengan anggota lainnya.
Melalui kelompok yang membagi cerita mob ini, akan terjadi suatu dinamika dimana timbul dan tumbuhnya perasaan menjadi satu kesatuan. Michael Burgoon dan Michael Ruffner dalam bukunya Human Communication, A Revision of Approaching Speech/ Communication, memberi batasan komunikasi kelompok sebagai interaksi tatap muka dari tiga atau lebih individu guna memperoleh maksud atau tujuan yang dikehendaki seperti berbagi informasi, pemeliharaan diri atau pemecahan masalah sehingga semua anggota dapat menumbuhkan karakteristik pribadi anggota lainnya dengan akurat.
Tumbuhnya perasaan ini menyebabkan kepercayaan antar individu di dalam kelompok cerita tersebut berkembang. Keterlibatan individu dari berbagai kelompok etnis budaya, agama, dan sebagainya dalam kelompok cerita mob membantu tumbuhnya rasa kepercayaan dan saling menghargai diantara perbedaan tersebut. Implikasi yang diharapkan yaitu toleransi antar etnis budaya, agama, dan sebagainya meningkat dan kekerasan karena perbedaan tersebut dapat diminimalisir.
Anthony Smith mengatakan bahwa ada ketidakstabilan inheren dalam inti konsep yang tampaknya terombang-ambing di antara dua kutub etnis (komunitas atau individu) menentukan terjadinya konfliks atau kekerasan antar etnis. Hal tersebut juga berlaku bagi perbedaan-perbedaan lainnya seperti warna kulit.
Ukuran besarnya konflik merupakan salah satu variabel terpenting dalam menentukan kemungkinan penyelesaiannya. Konflik yang besar dapat diperkecil dengan mengurangi persepsi pesertanya mengenai kepentingan yang berbeda. Atau, yang menyusutkan apa yang dianggap penting dari yang dipertaruhkan. Melalui ajang berkumpul bersama bertukar cerita mob inilah individu-individu dari beragam latar belakang saling memahami dan pada akhirnya mengubah persepsi stereotip yang tadinya negatif menjadi positif. Cerita mob dan ajang berceritanya diharapkan dapat menjadi suatu kearifan lokal alternatif sederhana untuk meminimalisir konfliks atau kekerasan karena perbedaan latar belakang, baik suku, warna kulit, ras, agama dan sebagainya.


DAFTAR PUSTAKA

Konfliks Etnis. Diadaptasi dari http://azizfahri.blogspot.com/2011/04/konflik-etnis.html Pada Tanggal 5 Juni 2012.
Mulkhan, Abdul Munir. Pembelajaran Filsafat Berbasis kearifan Lokal. Jurnal Filsafat Volume 17, Nomor 2, Agustus 2007.
Soetandyo Wignosubroto, dkk. 2005. Pasang Surut Otonomi Daerah. Jakarta: Institute for Local Development.
Sugandi, Yulia. 2008. Analisis Konflik Dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua. Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung (FES).

0 komentar:

Posting Komentar

jadwal-sholat