Senin, 18 Juni 2012

COURTS AND THE LEGAL SYSTEM CIVIL FORENSICS



Mendefinisikan Sakit Mental

Meskipun komunitas kesehatan mental sering menggunakan istilah mental illness untuk tujuan diagnosis dan treatment, tetapi hal ini diasumsikan lebih luas dimata hukum dalam konteks yang lebih luas. Yang penting adalah hal ini bisa menjadi syarat commitmen sipil dan jika mental illness itu berdampak pada hukum hal ini berimplikasi pada insanity dan kompetensi seseorang. Mental illness juga bisa berdampak untuk menentukan kompetensi seperti kompetensi untuk menghadapi pengadilan, untuk melaksanakan keinginan, atau untuk mengatur diri sendiri. Definisi mental illness juga masih tidak cukup. Evaluator forensic harus memiliki definisi yang spesifik, mengenai mental illness atau kondisi lain (mental retardasi atau kondisi medis). Misalnya kasus Andrew Goldstein, permohonan insanity ditolak (seorang schizophrenia yang melempar seorang perempuan ke rel kereta api di New York).
Mental illness itu menjadi isu setelah alasan insanity bisa membebaskan seseorang dari hukuman. Individu diijinkan untuk dirumah sakitkan di psikiater ketika tidak bisa mengikuti persidangan, kurang rasional, dan tidak mampu untuk mempertahankan diri dikarenakan mental illness.
Karena memang penting, maka psikolog dan pengadilan kriminal perlu memikirkan hal ini. mental illness menjadi kontroversi di hukum. Mental illness memiliki definisi berbeda dengan mental illness yang biasa dipahami oleh kesehatan mental. Maka perlu definisi mental illness yang lebih detail dengan konteks komitmen sipil dan insanity defence.

Kasus Gina
Gina berumur 27 tahun. Gina memiliki sejarah kesehatan ketidakstabilan mental dengan diagnosis gangguan kepribadian narsistik dan antisocial, sebagaimana depresi yang parah dan kadang-kadang memiliki ide bunuh diri. Akhir-akhir ini Gina menunjukkan adanya beberapa peristiwa penuh tekanan termasuk kematian teman dekatnya dan putusnya hubungan hubungan yang telah lama dibina. Teman-teman dan orang tua memperingatkan Gina tentang kondisi psikisnya yang tidak baik, dan takut jika nanti dia akan melukai dirinya sendiri maupun orang-orang yang ada disekitarnya. Beberapa menyarankan bahwa Gina ke psikiater. Meskipun begitu Gina mengatakan bahwa dirinya ‘baik’ dan menolak usaha-usaha intervensi psikologi. Teman dan keluarganya merumahsakitkan Gina meskipun Gina tidak menginginkannya, karena menurut mereka hal itu yang terbaik untuk Gina. Mempertimbangkan bahwa Gina dimungkinkan dapat melakukan tindakan yang berbahaya, maka dimata hukum dia termasuk sakit mental.

Civil komitmen
Criteria Substansive untuk komitmen sipil adalah kehadiran mental illness. Sebagian besar hukum, mendefinisikan eksistensi mental illness pada individu menunjukkan bahwa dia mengalami mental disorder. Karena mental illnes menjadi prasyarat untuk komitmen sipil.
Hukum lebih melihat dari sudut pandang “bahaya” melukai orang lain, berbeda dengan psikiater yang melihat dari segi melukai diri sendiri.
Penyakit mental adalah istilah yang mudah dimanipulasi. Definisi operasional yang dibuat itu masih samar dan tidak jelas. Melton mengutip salah satu upaya legislasi yang paling spesifik untuk mendefinisikan penyakit mental yaitu sebagai berikut:
Gangguan substansial pemikiran, suasana hati, orientasi persepsi, atau memory yang merusak keputusan, perilaku, kapasitas untuk mengenali kenyataan atau kemampuan untuk mengenali tuntutan kehidupan yang biasa tetapi tidak termasuk keterbelakangan mental.
Banyak ketetapan, tetapi kondisi yg dimaksud adalah kecuali kondisi keterbelakangan mental, penyalahgunaan zat, dan epilepsy. Alkohol dan penyalahgunaan obat tidak termasuk dalam penyakit mental di koridor hukum. Hukum memiliki batasan tertentu dalam menentukan ruang lingkup gangguan kejiwaan.
Ketidakakuratan dalam mendefinisikan mental illness membuat hukum, membuat isu mengenai definisi kata ‘mental ill’. Tanggung jawab menilai potensi penyakit mental, oleh pengadilan diserahkan pada saksi ahli (psikiater dan psikolog). Kekuatan yang diberikan tergantung pada ahli kesehatan mental tadi. Penelitian membuktikan bahwa ternyata psikolog dan psikiater memiliki persetujuan yang sama tentang mental illness. Hal ini akhirnya sering mengharuskan hukum untuk bertindak.
Sebagai contoh, standar M’Naugten untuk pembelaan insanity yang digunakan di banyak pengadilan sering tidak mengklarifikasi pemahaman atau apresiasi terhadap kejahatan dari perbuatannya, apakah itu kejahatan hukum atau kejahatan moral. Misal kasus Andrea Yates, dia paham bahwa aksinya adalah kejahatan hukum, tetapi delusinya tidak bisa dikatakan sebagai kejahatan moral. Tingkat keparahan depresi post partumnya, ditambah dengan psikosis menyebabkan delusi bahwa ia menyelamatkan anak-anaknya dari kutukan kekal, namun dalam kasusnya pembelaan bahwa dia adalah seorang insanity tidak berhasil.

Pembelaan insanity
Insanity bisa digunakan untuk bebas dari tindak perilaku criminal di mata hukum. Perilaku kriminal individu tidak hanya mental illness, tetapi mental illness-nya itu secara langsung menyebabkan disfungsi yang relevan ketika kejahatan dilakukan. Ketika itu pertanyaan psikolegal: diagnosis spesifik bukan menjadi isu sentral, namun dampak pada kapasitas fungsional atau kemampuan seseorang untuk mengetahui perbedaan antara benar dan salah adalah yg terpenting dalam hukum, dengan demikian dampak fungsional dari penyakit mental menjadi isu yang utama. Namun secara historis orang-orang yang sukses melakukan pembelaan 60-90 persen adalah mereka yang sudah psikotik.
Definisi yang ditawarkan APA dianggap merupakan kondisi yang terlalu abnormal. Dengan demikian definisi dari Negara satu dengan Negara lain berbeda.

Foucha v. Louisiana
Mahkamah Agung menjelaskan tentang arti penyakit mental di kasus Foucha dan Lousiana. Pengadilan menyatakan, bukan tindakan konstitusi ketika menahan individu yang memiliki sakit mental atau gangguan kepribadian antisosial. Masalah utamanya adalah apakah konstitusi akan menahan individu yang telah dibebaskan tapi sudah sembuh dari penyakitnya? Jawab pengadilan “tidak”. Untuk tujuan secara paksa seseorang harus berpenyakit mental (mental illness) dan berbahaya. Implikasinya bahwa gangguan kepribadian antisosial bukan merupakan penyakit mental yang memenuhi syarat untuk tujuan kurungan. Tetapi di mata pengadilan temuan ini tidak dibenarkan, dan ini masih menjadi perdebatan.

Psikologi Forensik dan Implikasi Kebijakan
Kegagalan pengadilan dalam menyelesaikan kasus mental illness meninggalkan sejumlah masalah analisis dan praktis di kalangan psikolog forensik. Sistem hukum menemukan cara yang tepat dengan memberikan kasus ini pada tim kesehatan mental untuk membedakan “sakit jiwa” dan “tidak sakit jiwa”. Sayangnya pengadilan terlalu menggantungkan pada ahli-ahli tersebut, sehingga orang-orang seperti Gina mungkin dipaksa untuk dirawat di satu kelompok treatment dan tidak dengan kelompok yang lain. Ada resiko orang-orang yang tidak sakit mental tanpa sengaja dirumah sakitkan.
Implikasi psikologi forensik untuk individu seperti Gina (berpotensi untuk diinterfensi secara hukum). Sementara kebebasan individu dalam menentukan nasib sendiri harus diakui, psikolog forensik harus memperhatikan masalah yang lebih umum, seperti keselamatan publik dan kesehatan.

Hak Untuk Menolak
Hak kebebasan merupakan hak yang paling berharga, individu harus memutuskan apa yg terjadi pada tubuh dan pikirannya. Orang yang sakit bisa memilih untuk menerima atau tidak menerima pengobatan medis. Namun pada kenyataannya kebebasan tidak dinikmati oleh individu dengan gangguan mental. Pada situasi tertentu, individu menjadi subjek treatment psikologis yang tidak diinginkannya, hal ini menjadi kontroversi “hak untuk menolak pengobatan”.
Dalam kasus komitmen Re commitment of denis H, pengadilan Wisconsin menegakkan lima standard untuk komitmen sipil berdasarkan ketidakmampuan membuat pilihan dalam pengobatan dan treatment. individu diberi kebebasan karena tidak mampu memutuskan (tidak mampu membuat pilihan obat dan treatment yg diperlukannya) :akibat kasus ini, maka hukum ‘tidak mampu membuat keputusan’ diperluas.
Kasus Alysa: 34 tahun, menderita gangguan pikiran, Alysa menderita halusinasi dan delusi, akhir-akhir ini memburuk. Dia tidak menunjukkan bahaya bagi diri sendiri maupun orang lain, gaya hidup cukup aman dan bukan merupakan calon orang yg akan dipaksa dalam pengobatan. Di Psikiater dia disarankan untuk melakukan pengobatan dengan antipsikotik: Thorazine. Alisa menolak karena dia tahu efek sampingnya yang mungkin permanen, dan ingin mencoba mencari alternative lain. Nah psikiater ini bertanya, bagaimana bisa seorang ‘sakit’ memutuskan? Dan apakah si psikiater memiliki hak untuk memperlakukan demikian? Bagaimana?

Literature review
Hak untuk menolak pengobatan adalah isu paling controversial di dunia psikiatri.

Alternatif membatasi dan Hak menolak pengobatan
Doktrin LRA (Least Restrictive Alternatif) menempatkan individu pada dikondisi yang sedikit membatasi ketika mereka diharuskan berada pada kondisi intervensi. Tujuannya adalah untuk memperlakukan individu dengan cara yang meminimalisir kebosanan pada kebebasan individu.
Kemudian Beberapa peneliti memberikan saran: alternative paling membatasi juga harus di tafsirkan, dengan memperhitungkan pertimbangan dari pasien, dokter dan hukum. Disini ahli kesehatan itu didorong untuk melibatkan pasien dalam proses pengobatan. Namun tetap saja peneliti-peneliti ini menemukan bahwa beberapa dokter itu ingin “berkuasa” dan pasien “ragu-ragu berbagi preferensi”. Meskipun dalam system pengobatan manapun sebenarnya pasien berhak menolak pengobatan ketika dia memang tidak ingin.

Doktrin Informed consent
Mengharuskan pasien mendapat informasi yang cukup tentang pengobatan yg akan dijalaninya umumnya yg akhirnya membuat pasien mampu memutuskan. Informasi dapat berupa efek samping, risiko, manfaat, potensi sembuh tanpa obat, pengobatan lain yang mungkin tersedia.
Peraturan ini berlaku untuk orang dewasa umum dan sakit jiwa. Hak ini hilang ketika secara legislasi ternyata dia tidak mampu (incompeten).

Kompetensi
Berdasar pada informasi yang diberikan maka titik beratnya bukan pada keputusan akhir tetapi pada bagaimana individu menyimpulkan. Maka dilihat dari kasus alisa tadi dia boleh menolak, karena dia bisa menyimpulkan. Keputusan dibuat sesuai dengan konteksnya, individu mampu atau tidak.
Dalam keputusan Harper V Harper: hak menolak itu tidak dipertimbangkan, karena jika orang tersebut dinilai berbahaya bagi diri sendiri dan orang lain maka demi kepentingan umum hak untuk menolak itu tidak diberikan.

Psikologi Forensic Dan Implikasi Kebijakan
Praktek dan teori memang berbeda pada kenyatannya. Dalam prakteknya pasien itu berhak menolak pengobatan ketika ada psikiater , keputusan itu kemudian ditinjau kembali oleh dokter, jadi sebenarnya kebebasan individu tetap ditangan dokter.
Tapi dokter itu menghadapi dilemma yaitu menyeimbangkan perawatan pasien dan kebebasan sipil, terkadang pasien ternyata tidak mampu untuk membuat keputusan, ex: kasus sizophren yang mati kepanasan di Texas saat musim panas, dimana jika dia dirawat maka mungkin dia memiliki nasib yang berbeda.
Sebagai seorang psikolog forensic itu harus mempertimbangkan efek negative dan efek positif dengan tujuan untuk melindungi kebebasan individu dari pengobatan yang tidak diperlukan

Doktrin LRA (Least Restrictive Alternatif)

Doktrin LRA meminta agar pasien ditempatkan di kondisi yang tidak begitu membatasi pada keadaan treatment. Kondisi ini melibatkan pasien yang membahayakan diri sendiri maupaun orang lain, kemudian pasien yang dimasukkan secara paksa harus dipertimbangkan sejauh mana pembatasannya. Tujuannya adalah melindungi kebebasan individu dari treatment yang berbahaya atau tidak berguna.
Pemberian pembatasan dan treatmen menjadi hal yang perlu diperhatikan. Pertama, konsep pembatasan (mental illness dan tingkat bahaya) harus didefinisikan dengan jelas. Konsep pembatasan sepeerti apa? Apakah pengaturan dan perencanaan pengobatan itu bukan merupakan bentuk pembatasan?
John, pustakawan 42 tahun, riwayat penyakit mental dan hidup sendiri. Rentan terhadap serangan mental tetapi fungsiny bagus dalam akhir2 minggu ini. John, beberapa minggu ini fungsinya terganggu dan tidak bisa merawat diri. Dia membutuhkan perawatan. Dia dirujukkan oleh teman2nya. Setelah diperiksa oleh beberapa professional. John diputuskan untuk mengikuti program pengobatan.
Pertanyaannya adalah apakah ini jalan terbaik? Mengingat John tidak berbahaya? Apakah rumah sakit memang benar kebutuhan yang diperlukan John?

Literature review
Kasus pertama yg menerapkan LRA: seorang nenek yang tidak mau berkomitmen melakukan treatmen, meskipun dia bingung untuk dan rentan mengembara tetapi dia tidak cukup berbahaya sampai memerlukan ‘penguncian’ di psikiatri. Meskipun perawatan itu diperlukan tetapi pengurungan paksa rumah sakit jelas tidak perlu.
“perampasan kebebasan semata-mata karena bahayauntuk orang sakit
sendiri tidak harus melampaui apa yang diperlukan untuk perlindungan mereka
” . perlu dipertimbangkan mana yang benar-benar butuh dirawat inap dan yang bisa mandiri.
Hal yang perlu diperhatikan diantaranya: lokasi, program, pengobatan yang diberikan, campuran pasien, otonomi yang diberikan pada pasien, lama tinggal dkk. LRA bukanlah pemahaman yang tanpa debat dari pihak lain. Permasalahan LRA hampir sama rumitnya dengan pendefinisian mental illness. Batasan-batasan yang dimaksud dalam LRA harus didefinisikan dengan jelas.
Doktrin LRA meminta adanya keefektifan intervensi yang diberikan pada pasien yang melibatkan bidang kesehatan. Dengan demikian akan memberikan keefektifan analisis kebijakan dan implementasi dimana inisiasi baru membutuhkan wawasan psikologis. Psikologi forensic bisa jadi menjadi pemecahan untuk mengatasi baik masalah kesehatan mental maupun hukum dalam satu kerangka sudut pandang.

Evaluasi Disabilitas Kerja Psikiatrik (Psychiatric Work-Related Disability)
Pada saat seorang individu mengalami gangguan mental, simptom-simptom yang muncul pada dirinya memberikan efek yang melemahkan. Yang dimaksud dengan melemahkan adalah menurunnya kemampuan individu baik dalam hal kognitif, sosial, maupun pekerjaan. Onset gangguan mental menghambat individu untuk belajar ketrampilan vokasional. Sementara gangguan mental yang kronis dapat berdampak negatif pada kemampuan kognitif dan sosial, emosi, dan perilaku dalam sejumlah hal sehingga individu yang mengalaminya tidak memiliki cukup dukungan dari dalam dirinya untuk bekerja.
Salah satu peran psikolog forensik dalam isu ini adalah memberikan penilaian mengenai disabilitas berdasarkan gangguan mental. Gangguan mental yang berat dan persisten merupakan dasar yang paling banyak digunakan untuk memberikan klaim disabilitas. Lebih jauh lagi, psikolog forensik diminta mengevaluasi apakah simptom-simptom yang dimiliki seseorang menghambatnya untuk bekerja atau tidak. Di Amerika sendiri, terdapat suatu Undang-Undang (American with Disability Act) yang mengatur mengenai Disabilitas. Salah satu isinya menyebutkan tidak diperbolehkannya diskriminasi terhadap individu dengan disabilitas fisik maupun mental dalam hal pekerjaan sehingga yang dapat membatasi secara substansial aktivitas utama dalam hidup individu tersebut.
Sebuah studi yang meneliti mengenai pengalaman kerja dari 20 orang dewasa dengan oset awal skizofrenia yang dirujuk ke California Department of Vocational Rehabilitation (DVR) menunjukkan sebagian dapat mempertahankan pekerjaan dan sebagian lagi tidak. Sayangnya, kondisi di lapangan menunjukkan jarangnya pihak pemberi kerja yang mau mengakomodasi pekerja dengan gangguan mental. Hal ini mempersulit proses rehabilitasi dan pemberian hak sipil kepada individu dengan gangguan mental.

Review Literatur
Tingkat pengangguran nasional (Amerika) individu dengan gangguan mental mencapai 80-90%. Sejumlah studi empiris menunjukkan bahwa stigma dan kepercayaan bahwa orang dengan gangguan mental selalau ber berbahaya, tidak dapat diandalkan, tidak dapat diprediksikan, dan irasional merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi ini. Pemberi kerja umumnya skeptis dalam mengangkat individu dengan gangguan mental sebagai pegawai dibandingkan dengan individu dengan disabilitas lainnya. Melihat kondisi ini, sejak tahun 1935 Social Security Administration (SSA) melalui Undang-Undang Social Security Act  di Amerika, disediakan dana pendapatan bagi pensiunan, individu dengan disabilitas, dan keluarga dari pekerja yang meninggal.
Program disabilitas SSA berupa Social Security Disability Insurance (SSDI) dan Supplemental Security Income (SSI) diberikan kepada warga yang memenuhi kriteria disabilitas. Sementara dana dari kedua asuransi atau pendapatan tersebut diperoleh dari potongan gaji selama bekerja sebelumnya atau pajak. Kebijakan ini berdampak lanjutan mengenai banyaknya klaim yang diajukan kepada pemerintah. Pemerintah pun harus melakukan evaluasi apakah individu yang bersangkutan memang benar-benar layak memperoleh bantuan tersebut.
Salah satu kriteria yang harus dipenuhi berdasarkan SSA adalah adanya ketidakmampuan untuk melakukan kerja sederhana dan repetitif. Kriteria lain adalah adanya gangguan pada fungsi-fungsi esensial yang diperlukan dalam bekerja, seperti konsentrasi dan atensi. Sumber data penilaian dapat diperoleh melalui observasi, wawancara, dan tes psikologi. Dan yang perlu dipahami mengenai program ini adalah bahwa, kemampuan yang dimiliki individu tersebut tidak harus sama dengan kemampuannya sebelum mengalami gangguan mental. Sebagai contoh, ketika individu yang sebelumnya bekerja sebagai manajer mengalami gangguan mental dan kini hanya mampu melakukan tugas sederhama seperti membungkus barang, maka dana bantuan gugur untuk diberkan. Hal ini dikarenakan individu masih dapat bekerja pada pekerjaan sederhana.
Selanjutnya mulai tanggal 1 Januari 2001, aturan yang ada ditambah dengan mempertimbangkan pendapatan individu per bulan. Individu yang masih memiliki pendapatan di atas 740$ tidak dapat mengakses dana bantuan SSI. Terkait gangguan mental seperti apa yang dapat dimintakan klain asuransi/ dana bantuan, SSA telah menyusun daftar gangguan mental berdasarkan DSM-IV yang berfungsi memprediksi disabilitas yang dimiliki. Ketika ganggaun mental yang dialami tidak terdapat dalam daftar tersebut, maka individu terpaksa harus ditolak klaimnya. Seluruh proses evaluasi terhadap disabilitas dalam makna hukum ini dilakukan oleh disability reviewer.

Psikologi Forensik dan Implikasi Kebijakan
Meski telah cukup memiliki panduan dalam kebijakan yang ada, pada penerapannya ternyata masih banyak yang belum seideal yang diharapkan. Sebagai contoh, dari keseluruhan individu yang diajukan untuk memperoleh dana pemerintah sebagai kompensasi dari gangguan mental yang dimiliki, hanya 33% yang diterima. Selanjutnya pada review pengajuan yang kedua, sekitar 15% diterima, sisanya baru diterima setelah proses ketiga atau setelah diuji di hadapan persidangan.
Kondisi ini ketika dievaluasi ternyata disebabkan oleh kurang sesuainya laporan pemeriksaan psikologis yang dilampirkan dengan standar kualifikasi pemberian dana bagi individu dengan gangguan mental. Gambaran yang diberikan kurang mampu menjelaskan hambatan atau inkompetensi individu yang bersangkutan untuk bekerja.
Persoalan lain yang terjadi di lapangan adalah terkait supervisi kerja bagi individu dengan gangguan mental. Individu dengan gangguan mental yang telah melalui proses terapi dan dimungkinkan dapat kembali bekerja perlu mendapatkan program pelatihan atau asistensi kerja. Hal tersebut dikarenakan pekerjaan yang dapat dilakukan bisa jadi berbeda dengan apa yang telah dikuasai sebelum sakit. Sehingga diperlukan pendampingan dan pelatihan terlebih dahulu agar individu tersebut dapat menyesuaikan diri dengan baik dengan pekerjaan barunya.

Saran Penelitian Selajutnya
Sejumlah saran untuk penelitian selanjutnya yang perlu dilakukan agar dapat mengoptimalkan implementasi civil forensic dalam lingkungan kerja antara lain:
1.      Perlunya pengembangan metode maupun alat asesmen yang reliabel untuk tingkat keberfungsian kerja individu oleh para ahli kesehatan mental. Semakin objektif metode dan alat ukur yang dikembangkan akan semakin baik karena sesuai dengan tuntutan aturan legal yang berlaku.
2.      Perlunya penelitian yang mengevaluasi interagreement antar reviewer yang mengevaluasi layak tidaknya seorang individu menerima dana dari pemerintah.
3.      Perlunya penelitian yang mengeksplorasi tingkat efikasi dari bermacam strategi yang sukses mempekerjakan individu dengan gangguan mental.

Kewajiban untuk Memberi Informasi VS Konfidensialitas Klien
Kewajiban untuk memberikan informasi dan konfidensialitas klien merupaka satu isu yang juga kontroversial. Kontroversi muncul terutama terkait dengan kewajiban psikolog/psikiater secara etik dan legal untuk menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan oleh klien dan kewajiban untuk memperingatkan pihak yang terancam bahaya oleh tindakan yang mungkin dilakukan klien. Meski prinsip konfidensialitas klien berakar dari psikologi, aturan hukum yang ada memicu pertanyaan kritis, yaitu “Kapan sesungguhnya konfidensialitas klien dapat dilanggar?”
Di Amerika sendiri isu ini mulai diperbincangkan sejak tahun 1976 dengan adanya keputusan pengadilan tinggi negara bagian California terkait kasus Trasoff vs Regents of the University of California.  Pada kasus tersebut, keluarga Tarasoff menuntut psikolog yang bertanggungjawab pada pembunuh Tarasoff karena tidak memberikan peringatan agar berhati-hati dikarenakan kliennya memiliki rencana untuk menyakitinya. Berdasarkan hasil pengadilan tersebut, disebutkan bahwa seorang psikolog harus mempertimbangkan sejumlah isu, yaitu: konfidensialitas, informed consent, kode etik, ada tidaknya korban yang teridentifikasi, tingkat berbahaya, dan ancaman yang telah dikomunikasikan.
Pasca keputusan tersebut, muncul isu kontemporer yang masih mengundang kontroversi, yaitu kewajiban memberikan informasi mengenai klien yang terinfeksi HIV AIDS.  Kerentanan penularan virus tersebut telah jelas diketahui dan tingkat keberbahayaaan virus tersebut juga telah dipahami. Ketika klien meminta psikolog untuk merahasiakan kondisi tersebut kepada orang-orang di sekitar klien yang rentan tertular, lantas apakah konfidensialitas harus dilanggar? Pada isu ini, masih belum diperoleh kesamaan pendapat.
Review Literatur
Prinsip etik APA menyebutkan bahwa seorang psikolog profesional harus menjaga konfidensialitas kliennya. Konfidensialitas ini dimaksudkan agar klien dapat merasa lebih bebas dalam mengungkapkan pikiran maupun perasaanya. Di samping itu, konfidensialitas juga dimaksudkan untuk meminimalkan stigmatisasi. Oleh karena itu, prinsip etik konfidensialitas sebenarnya sangat erat kaitannya dan berperan dalam proses hubungan psikolog dan klien yang efektif.
Konfidensialitas sebagian besar berkaitan dengan informasi yang disampaikan oleh klien selama proses konseling atau terapi. Pengungkapan informasi tersebut kepada orang lain hanya diijinkan atas persetujuan klien atau persetujuan dari representasi legal klien. Oleh karena hal ini sangat menentukan kepercayaan yang sulit terbangun di awal relasi, maka pelanggaran konfidensialitas berkorelasi dengan terminasi dini dan kegagalan proses terapi atau konseling.
Meski demikian, sekarang ini telah muncul banyak isu yang meningkatkan resiko pelanggaran konfidensialitas tersebut, seperti isu yang berkaitan dengan hukum maupun keputusan profesional. Dengan demikian, konfidensialitas klien kini memiliki keterbatasan dan klien seyogyanya paham mengenai keterbatasan tersebut. Isu ini mungkin lebih nyata ketika terdapat korban potensial (resiko munculnya korban) yang terlibat.
Kewajiban untuk memperingatkan yang kini lebih banyak dibincang memiliki akar historis dari kasus yang ditangani oleh Pengadilan Tinggi California, yaitu Tarasoff v. Regents of the University of California. Pada kasus tersebut, seorang klien bernama Poddar menyatakan kepada psikolognya, Dr. Moore, dalam proses konsultasi psikologi bahwa dia memiliki niat untuk membunuh seorang perempuan setelah dia pulang dari liburan. Dr. Moore merespon ancaman tersebut secara serius dan segera berkonsultasi dengan supervisornya dan polisi kampus. Pada kasus ini, Poddar tidak memenuhi kriteria involuntary civil commitment sehingga tidak dimasukkan ke dalam rumah sakit. Polisi kampuspun menangkap Poddar, akan tetapi setelah itu melepaskannya setelah diputuskan Poddar tidak memiliki rencana maupun usaha untuk melukai. Dua bulan setelahnya, saat Tatiana Tarasoff pulang dari berlibur, Poddar membunuhnya. Orang tua Tarasoff pun mengajukan tuntutan hukum terhadap Dr. Moore, polisi kampus, supervisornya, polisi kampus, dan pemerintah daerah atas tidak dilakukannya peringatan tentang bahaya Poddar yang ada di bawah tanggung jawab mereka.
Sebagai respon terhadap tuntutan tersebut, pihak tersangka membela diri bahwa memperingatkan Tarasoff merupakan bentuk pelanggaran kode etik yang tidak dapat mereka lakukan karena melanggar konfidensialitas klien. Pengadilan tinggi pun merespon pembelaan diri tersebut dengan menyatakan bahwa ketika terapis menilai bahwa pasien memiliki resiko untuk membahayakan orang lain secara serius, maka terapis wajib memperingatkan pihak yang beresiko mendapatkan bahaya tersebut mengenai bahaya yang mungkin dihadapinya. Sejak keputusan yang dihasilkan dalam kasus ini, kewajiban terapis untuk memperingatkan pihak ketigapun menjadi semakin luas, meski masih belum benar-benar jelas.

Psikologi Forensik dan Implikasi Kebijakan
Kasus Tarasoff telah memunculkan keputusan kewajiban memperingatkan pihak ketiga bagi psikolog yang kliennya memiliki intensi membahayakan orang lain. Pihak ketiga ini pada perkembangannya dapat dimaknai secara beragam sehingga aturan ini masih meninggalkan ketidakjelasan.
Keputusan mengenai kewajiban untuk memperingatkan ini selanjunya mengarahkan kepada topik evaluasi kondisi psikologis klien dan prediksi perilaku pasien. Kedua hal tersebutlah yang dijadikan landasan tuntutan kepada psikolog ketika gagal memperingatkan pihak ketiga. Yaitu bahwa psikolog seharusnya telah mengetahui resiko munculnya tindakan membahayakan orang lain oleh klien.
Lebih jauh ketika membincang mengenai prediksi perilaku membahayakan orang lain, maka hasil penelitian menunjukkan bahwa  hanya sekitar 33-40% psikolog yang mampu memprediksi secara akurat bahwa kliennya akan membahayakan orang lain. Hal ini memicu kritik, jika penggunaan koin (melempar koin) untuk memprediksi apakah seorang klien dengan gangguan psikologis akan membahayakan orang lain saja lebih baik dari penilaian psikolog, lantas bagaimana seorang psikolog dapat dimintai pertanggungjawaban atas hal tersebut? Seorang psikolog tentu tidak seharusnya dimintai pertanggungjawaban atas sesuatu di luar kompetensinya. Lagi-lagi, ketentuan yang ada di dalam aturan hukum masih menyisakan ketidakjelasan.
Beralih ke isu HIV AIDS, kapankah dan kepada siapakah seorang psikolog harus menginformasikan resiko atau bahaya yang mungkin dimunculkan klien terhadap orang lain atau pihak ketiga? Masih terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini. Sebagian berpendapat bahwa sumber bahaya HIV AIDS adalah virus atau penyakit itu sendiri. Sebagian lain berpendapat bahwa sumber bahaya HIV AIDS adalah perilaku seksual klien. Kedua pendapat ini membawa pada implikasi praktis yang berbeda. Pada pendapat pertama, psikolog akan berkewajiban memperingatkan pasangan klien ketika klien menyampaikan bahwa dirinya terinfeksi HIV AIDS. Sementara pada pendapat kedua, kewajiban tersebut baru muncul ketika diketahui klien memiliki perilaku seksual yang dapat menularkan virus HIV AIDS kepada pasangannya.
Meksi terdapat perbedaan pendapat, pada hakikatnya psikolog yang menangani klien dengan isu HIV AIDS perlu memastikan tingkat keberbahayaan perilaku klien terhadap orang lain, sama seperti kasus lainnya. Penilaian tingkat keberbahayaan tersebut dapat dilakukan melalui penggalian perilaku seksual klien. Akan tetapi, memang masih terdapat kesulitan untuk melakukan kewajiban memberikan peringatan ketika psikolog tidak dapat memastikan secara jelas pasangan seks klien. Di samping itu, kesulitan juga muncul karena penyakit ini seringkali baru terdeteksi setelah sekian waktu pasca infeksi virus. Dengan demikian, sebelum diagnosis dari dokter jelas, psikolog juga belum dapat mengetahui apakah kondisi atau perilaku klien berbahaya bagi orang lain atau tidak.

Victim-Offender Mediation
Program victim-offender mediation (VOM) telah ada di dalam hampir 100 yurisdiksi di seluruh Amerika Serikat (Umbreit, 1993). VOM juga telah meningkat penerapannya di Eropa pada lebih dari 1000 komunitas. VOM memberikan manfaat bagi korban untuk turut berperan serta dalam menentukan hukuman bagi tersangka, menunjukkan dan menyampaikan dampak tindakan tersangka terhadap dirinya, serta menunjukkan kondisi korban secara langsung dan dekat pasca kekerasan atau tindak kriminal. Sementara bagi tersangka atau penyerang, VOM memberikan ruan gbaginya untuk menjelaskan problem personalnya, sudut pandangnya yang dipengaruhi oleh simptom gangguan mental sebagai alasan perilaku atau tindak kriminal yang dilakukan. Dengan pengertian kondisi psikologis tersangka oleh korban, VOM memberikan peluang adanya keringanan hukuman bagi tersangka sekaligus proses hukum yang lebih memanusiakan. Tujuan dari proses mediasi adalah untuk mencapai resolusi konflik secara adil bagi kedua belah pihak dan menghasilkan rencana restitusi yang dapat diterima.
Terlepas dari berbagai varian progam VOM, semua program memiliki prinsip dasar yang sama yang berasal dari prinsip restorative justice. Restorative justice merupakan konsep lama yang menekankan bahwa suatu tindakan kriminal adalah tindakan yang melawan individu di dalam suatu masyarakat, dan bukan sekedar tindakan melawan negara. Prinsip ini selanjutnya membawa konsekuensi dalam penerapan proses hukum yang melibatkan peran masyarakat.

Review Literatur
Bentuk VOM yang berlangsung selama ini sangat beragam. Ragam atau variasi tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, sebagai contoh aspek waktu pelaksanaan. Terdapat VOM yang dilaksanakan setelah kasus masuk pengadilan dan sebelum penjatuhan hukuman. Di sisi lain ada pula VOM yang dilaksanakan dengan tujuan mengupayakan pembebasan bersyarat dengan mengganti kerugian sesuai kesepakatan, yang cenderung dilaksanakan di awal kasus terjadi. Aspek lain yang menentukan variasi adalah tatap muka. Terdapat VOM yang dilakukan secara tatap muka langsung dan ada pula yang tidak. Sementara, secara umum VOM banyak dilakukan oleh lembaga keagamaan, meski lembaga swasta juga ada yang melakukannya.  Di dalam VOM, individu yang berperan sebagai mediator biasanya adalah individu yang telah dilatih sebelumnya atau dapat pula dengan menggunakan pekerja sosial profesional.
Bentuk VOM yang paling populer digunakan adalah Victim/Offender Reconciliation Program (VORP). Model ini dikembangkan pada tahun 1974 di Ontario, Canada dan diterapkan pertama kali di Amerika, tepatnya wilayah Indiana pada tahun 1978. Model ini menggunakan mediasi tatap muka pasca dijathkannya putusan hakim.
Penelitian terhadap dua kasus pembunuhan yang menerapkan mediasi model rekonsiliasi ini menunjukkan efek kelegaan dan penyembuhan yang muncul melalui proses rekonsiliasi. Meski demikian, terdapat kritik yang menyatakan bahwa model ini kurang sesuai dengan prinsip restorative justice, di mana seharusnya:
1.      Harus ada keinginan dan kemampuan untuk mengubah sikap dan pemahaman sebagai hasil dari komunikasi.
2.      Restorative justice menekankan ganti rugi dari pihak pelaku kriminal di mana pelaku tersebut secara aktif menunjukkan upaya pertobatan sebagai akibat dari apa yang telah dilakukannya.
3.      Restorative justice berusaha mengurangi peran pemerintah di dalam proses penyelesaian kasus kriminal di dalam masyarakat dengan memberikan ruang dan peran yang lebih besar kepada masyarakat untuk menyelesaikannya secara damai.
Banyaknya varian VOM mengharuskan munculnya pemahaman adanya perbedaan konsekuensi wujud efektivitas program yang tercapai. Dengan demikian, sulit untuk melakukan penelitian dan menyimpulkan efektivitas program VOM secara umum dan menyeluruh. Meski demikian, penelitian mengenai efektivitas VOM secara spesifik pada tiap-tiap model yang berbeda telah dilakukan.
Efektivitas VOM diukur melalui banyaknya kasus yang terselesaikan, penurunan hukuman bagi residivis, dan tingkat kepuasan korban. Sejumlah penelitian menunjukkan efektivitas yang tinggi pada pelaksanaan VOM, terutama ditunjukkan dengan tingkat kepuasan korban. Akan tetapi, terdapat pula  penelitian yang menunjukkan adanya kegagalan dalam proses VOM dikarenakan faktor keuangan. Perdebatan mengenai perlu tidaknya dilakukan VOM juga muncul dalam berbagai kajian. Terdapat pendapat bahwa pada kasus- kasus tertentu seperti pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga,  dan kasus psikopat, sebaiknya tidak dilakukan VOM dengan pertimbangan latar belakang kasus atau keamanan korban dan keluarganya.

Psikologi Forensik dan Implikasi Kebijakan
VOM selama ini memang telah banyak dilakukan. Sayangnya, penerapan VOM tersebut dilakukan oleh banyak lembaga sehingga sulit untuk menyusun kriteria yang terstandar sehingga diperoleh panduan pelaksanaan dan evaluasi VOM yang efektif. Di samping itu, dlama pelaksanaannya banyak mediator yang kurang memiliki pengetahuan di bidang psikologi maupun sosiologi sehingga kapasitas untuk memediasi menjadi kurang optimal. Kondisi ini mengundang kebutuhan untuk menggunakan tenaga profesional sebagai mediator atau dilakukannya pelatihan khusus sebelum seseorang layak menjadi mediator. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengkaji manfaat dan efektivitas keseluruhan program VOM sehingga dapat disusun panduan sesuai yang dibutuhkan.
Terkait kebijakan, idealnya VOM memang terintegrasi di dalam kebijakan hukum suatu daerah. Tentunya dengan panduan yang jelas mengenai penerapannya. Sebagai contoh, kesepakatan sebagian besar peneliti bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga sebaiknya tidak diberlakukan VOM juga perlu dipertimbangkan. Dengan demikian panduan yang ada membantu lembaga yang akan melakukan VOM untuk memilah kasus mana yang dapat diterapkan mediasi dan mana yang tidak. Semakin padatnya penjara juga membuat pengadilan cenderung mendukung program restitusi atau ganti rugi. Hal ini selanjutnya harus diinformasikan kepada masyarakat terkait pertimbangan-pertimbangan yang diterapkan dalam menjatuhkan hukuman dan alternatif dari hukuman penjara.

0 komentar:

Posting Komentar

jadwal-sholat