Senin, 18 Juni 2012

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS


I know that physically I am disabled but mentally I like anybody else. I can do everything like anybody else; of course yes I should do in different way….but some way or another… I am able to do like them or even better than them…. (Asley, 21 thn, tidak punya lengan dan kaki namun mampu berenang menyeberangi selat Inggris selama 40 jam tanpa henti).

Anak merupakan anugerah terbesar bagi setiap pasangan suami istri. Anak merupakan bukti sekaligus pengikat cinta kasih, tujuan dari kehidupan orang tua, dan tempat harapan disematkan. Oleh karena itu, sangat wajar apabila setiap orang tua berharap anaknya lahir tumbuh kembang sebagai anak yang sehat dan pintar.
Sedang bagi sebuah komunitas sangat besar yang bernama negara, anak juga merupakan harapan, dan lebih dari itu anak adalah penerus, penjaga, dan pemimpin masa depan bangsa. Karenanya pula negara tentu menginginkan anak-anak yang sehat jasmani dan rohaninya.
Namun seringkali pula harapan-harapan ini ternyata tidaklah sesuai dengan kenyataan yang harus diterima. Anak lahir atau tumbuh dengan kondisi dan kemampuan yang berbeda dengan anak kebanyakan, dalam arti memiliki keterbatasan. Laporan WHO (2007) menyebutkan, anak-anak dengan keterbatasan ini jumlahnya diperkirakan  mencapai 7% dari populasi anak, dan 85% darinya berada di negara-negara berkembang,termasuk Indonesia. Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan tahun 2001, anak-anak itu mempunyai prevalansi disabilitas (angka kecacatan) yang cukup tinggi – mencapai 39 per sen dari jumlah penduduk.
Sementara itu, pada september 1990, pemerintah Indonesia meratifikasi The Convention on The Rights of The Child yang dikeluarkan PBB. Paada artikel ke 23 dicantumkan: “a mentally or physically disabled child should enjoy a full and decent life, in conditions which ensure dignity, promote self-reliance and facilitate the child’s active participation in the community(McConachie, 1995).
Selanjutnya, pada tanggal 30 Maret 2007 lalu, pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah, bersama lebih dari 80 negara lain, menandatanganani Konvensi tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak serta Martabat Penyandang Cacat (Convention on the Protection and Promotion of the Rights and Dignity of Persons with Disabilities). Peristiwa tersebut menjadi momentum penting terhadap pengakuan hak penyandang cacat untuk hidup setara dengan warga masyarakat lainnya dan kewajiban negara untuk mewujudkannya.
Keikutsertaan Pemerintah Indonesia dalam penandatangan konvensi-konvensi tersebut tentunya bukan sekadar basa basi pergaulan masyarakat internasional. Alasannya, ikut menandatangani itu berarti Pemerintah Indonesia berjanji mengimplementasikannya danbersedia dipantau oleh dunia Internasional dalam pelaksanaannya.
Namun berbicara “janji” sering yang namanya manusia mudah melupakannya, terlebih sekumpulan manusia yang namanya pemerintah Indonesia.Jika dihitung sejak meratifikasi pertama kali yaitu pada tahun 1990 (sekitar 19 tahun), perubahan sikap perlakuan negara terhadap anak-anak berkebutuhan khusus terlihat tidak ada perubahan yang signifkan. Dengan kata lain sangatlah kecil dariyang sebenarnya bisa dilakukan oleh sebuah negara bernama Indonesia.
Kesempatan pendidikan yang diberikan bagi mereka sangat sangatlah terbatas. Perlakuan khusus yang tentu memerlukan biaya besar membuat akses pendidikan yang memadai bagi mereka tidak terjangkau oleh para orang tua. Sayangnya penyebaran kecacatan lebih banyak terjadi pada menengah bawah akibat rendahnya asupan gizi dan pengetahuan kesehatan. Sedangkan pendidikan khusus semacam Sekolah Luar Biasa (SLB) yang diadakan pemerintah cenderung ala kadarnya dalam pengelolaan akibat rendahnya dana subsidi pemerintah.
Rendahnya pendidikan semakin ditambah dengan peluang kerja yang sangat terbatas bagi mereka. Tidak ada kebijaksanaan dengan memberikan kesempatan khusus bagi mereka untuk mendapatkan kerja. Belum lagi berbicara mengenai kesejahteraan. Pendekatan yang dilakukan pemerintah lebih banyak bermodel “sinterklas” yang dengan welas asihnya memberikan kado setelah Natal, selepas Natal silahkan dipikirkan sendiri. Sebuah pendekatan yang berdasar pada keyakinan bahwa mereka adalah anak-anak cacat atau tuna, tidak memiliki potensi berdaya dan mandiri, karenanya harus dikasihani. Pendekatan yang sangat tidak manusiawi.

Pendidikan Anak Cacat
Sejarah mencatat, diawali saat mereka lebih dilihat sebagai seseorang yang cacat atau “tuna”, dipandang tidak mungkin mampu bersekolah di tempat sama dengan anak lain dan oleh karenanya harus dipisahkan (segregated) serta ditempatkan dalam sekolah-sekolah khusus (special education) baik paruh hari maupun yang berasrama tanpa memandang bagaimana tingkat kekhususan kebutuhan maupun potensi kemampuan anak tersebut. Beberapa di antara sekolah atau pun rumah-rumah tersebut hanya menyediakan akomodasi yang sangat minim, meskipun  ada pula yang dilengkapi dengan fasilitas lebih dari memadai yang terletak di daerah yang indah. Namun tempat-tempat ini sering terisolasi dan tersembunyi dari pandangan masyarakat umum.
Banyak masalah ternyata timbul dari model pemisahan berbasis institusi terpusat ini.  Misalnya letak yang terisolir terpisah dari keluarga dan juga lingkungan masyarakat. Itu semua membuat anak-anak  menjadi kesepian, timbul perasaan dibuang, internalisasi perasaan inferior, menjadi kurang percaya diri dan tidak terampil dalam hubungan sosial. Kurangnya kedekatan dan stimulasi dapat mengakibatkan mereka mengembangkan perilaku stereotip negatif. Ini menambah kondisi kecacatan mereka dan membatasi perkembangan mereka lebih lanjut. Selain itu, ada beberapa kasus dimana anak dieksploitasi melalui kerja keras dan situasi yang tidak menguntungkan lainnya. Pelecehan seksual oleh pegawai atau oleh mereka yang tinggal di rumah/institusi itu juga bukan merupakan hal yang tidak biasa (Skjorten, 2002).
Yang menjadi masalah terbesar adalah pendekatan segregasi yang berpusat pada institusi (Institution Based Rehabilitation) tidak mampu menjangkau lebih dari 5% populasi anak berkebutuhan khusus. Faktor biaya tinggi dan kesulitan orang tua memenuhinya menjadi alasan banyak orang tua tidak memilih memasukkan anaknya ke sekolah khusus ini.
Masalah lainnya lahir sebagai dampak dari titik pandang dimana anak-anak ini dilihat sebagai anak yang berkekurangan dan terbatas kemampuannya. Sehingga dasar intervensi adalah bagaimana menutupi kekurangan anak yang selamanya memang tidak akan mungkin tertutupi karena memang terbatas. Sebagai contoh seringkali intervensi terhadap anak-anak tuna netra ditekankan pada bagaimana sedapat mungkin anak ini bisa membaca huruf braille. Itu dilakukan agar ia bisa belajar sebagaimana anak yang bisa melihat dan kemudian dibekali ketrampilan pijat sebagai ketrampilan yang dirasa masih bisa dimiliki anak-anak ini. Cara ini memandang sebelah mata  potensi dan minat nyata anak itu sendiri. Cara pandang yang lebih fokus pada keterbatasan anak dan tidak menghargai potensi positif anak ini pada akhirnya gagal memberdayakan anak.
Banyaknya masalah yang terjadi pada model intervensi segregasi membawa pada pemikiran tentang perubahan paradigma, kesadaran, arah tujuan, serta metode. Perubahan paling mendasar adalah pengakuan dan penghargaan akan adanya keragaman dan hak setiap orang untuk hidup dalam lingkungan yang sama dengan orang lain. Hal ini juga menghasilkan upaya-upaya untuk “membawa kembali” ke dalam masyarakat mereka yang sebelumnya telah dipisahkan atau disegregasikan oleh mayoritas terbesar masyarakat karena mereka berbeda. Berkembanglah paradigma inklusi dengan pendekatan secial needs education (pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus). Melalui konsep ini, bukan anak menyesuaikan dengan kurikulum pendidikan, melainkan kurikulum pendidikan menyesuaikan dengan kebutuhan tiap anak (individually adjusted education) termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. Untuk ini diperlukan kemauan mengubah dan menyesuaikan sistem, lingkungan, aktivitas serta mempertimbangkan kebutuhan semua orang dan dalam hal ini dipersyaratkan fleksibilitas, kreativitas dan sensitivitas dari konsep pendidikan itu sendiri.

Pendidikan Inklusi
Terlepas dari masih banyaknya kekurangan, harus jujur diapresiasi bahwa pemerintah pada masa kepemimpinan SBY-JK cukup berfikiran terbuka dan mau membuat perubahan. Salah satu yang patut dihargai adalah dicanangkannya Program Pendidikan Inklusi. Sebuah model pendidikan dimana anak berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah umum bersama anak-anak lain sebayanya, tidak harus di SLB.
Namun demikian, masih banyak masalah ataupun kendala yang ditemui di lapangan. Beberapa diantaranya; (1) belum bakunya sistem assessment anak berkebutuhan khusus, (2) belum terumuskannya kurikulum inklusi, sebuah kurikulum yang peka dan mau menyesuaikan diri dengan kebutuhan khusus anak, serta mampu memfasilitasi pengembangan potensi dan kecerdasan setiap anak termasuk anak berkebutuhan khsusu (perlu diingat bahwa setiap anak adalah cerdas di potensinya masing-masing). (3) belum tersedianya cukup sumber daya pendidik, secara kualitas maupun kuantitas, untuk melakukan pengajaran pada anak-anak berkebutuhan khusus tersebut, (4) masih terbatasnya dukungan dana dari pemerintah untuk pengembangan pendidikan inklusi.
Menyangkut persoalan pertama, berbagai usaha telah dilakukan termasuk diantaranya didirikannya Asessment Center Nasional yang ditempatkan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Begitu pula menyangkut persoalan ketiga, mata kuliah pendidikan anak berkebutuhan khusus sudah dimasukkan dalam semua jurusan pendidikan dan keguruan. Proses pelatihan maupun usaha sertifikasi telah dilakukan bagi guru-guru yang menerima anak berkebutuhan khusus. Perekrutan Guru Pendamping Khusus (GPK) juga sudah dilakukan meski jumlah masih jauh dari memadai.
Persoalan dana juga dapat diusahakan melalui kreativitas sekolah untuk menggali dana dan membangun kemitraan (base on community) guna mencukupi kebutuhannya akan sarana pengembangan kreativitas anak berkebutuhan khusus tanpa harus membebankannya pada orang tua. Pengajaran musik dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan orang tua atau masyarakat di sekitar sekolah yang memiliki ketrampilan memainkan alat musik atau bahkan memiliki alat musik sendiri. Tak terkecuali dengan pengajaran ketrampilan, olahraga, otomotif dan sebagainya. Tidak harus segalanya dibeli dan dimiliki. Namun demikian, pemerintah juga harus meningkatkan dukungannya sekalipun ada sekolah telah menjalin kemitraan.
Persoalan tersisa adalah menyangkut kurikulum. Kurikulum yang ada hanya tunggal yaitu menyamaratakan potensi anak dan menuntut anak mencapai standar kurikulum tersebut. Sebuah kurikulum yang menghendaki siswanyalah yang mengalah dan menyesuaikan diri, bukan kurikulum yang menyesuaikan diri dengan potensi siswa. Kurikulum seperti ini sebenarnya juga berat dan kurang sesuai bagi anak-anak “normal”, terlebih lagi bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Melalui kurikulum semacam ini, anak berkebutuhan khusus yang masuk sekolah inklusi bukannya mendapat pendidikan layak melainkan akan memperburuk kondisi anak karena kebutuhannya tidak terpenuhi.
Ambil contoh seorang anak retardasi mental ataupun ber-IQ borderline (dibawah 80). Ketika masuk sekolah inklusi, anak seperti itu dipaksa oleh kurikulum dengan keharusan harus menguasai pelajaran. Padahal, anak-anak yang ber-IQ diatasnya saja belum tentu bisa. Menghadapi kendala ini, jika sekolah tidak menyerah dan menyerahkan kembali anak ke orang tuanya, biasanya sekolah akan melakukan berbagai rekayasa dan sangat mungkin kecurangan untuk membantu kelulusan anak.
Sering alasan yang dikemukakan adalah kebutuhan adanya angka yang dapat dijadikan tolak ukur. Alasan tersebut sepertinya lebih terlihat karena keengganan untuk repot. Padahal  alasan sesungguhya hanya masalah teknis. Jika menghendaki angka, bisa saja proses dikuantifikasi dalam bentuk angka. Banyak negara telah berhasil pula menerapkannya. Misalnya, dengan kurikulum  pendidikan yang menghargai dan berusaha mengembangkan potensi siswa yang beragam. Ada yang di bidang sains, humaniora, olahraga, seni, atau jurnalis dan banyak lagi. Pendidikan yang mencetak anak-anak yang percaya diri dengan potensinya masing-masing. Pendidikan yang menghargai jerih payah dan kreatifitas.
Pendidikan inklusi membutuhkan kurikulum yang sensitif dan luwes. Sebuah kurikulum pendidikan yang menghargai dan berusaha mengembangkan potensi setiap siswa sepenuhnya (special needs education). Diawali dengan penyediaan beragam aktifitas dan fasilitas untuk eksplorasi potensi dan minat anak untuk kemudian selanjutnya memberikan pengajaran yang mengarahkan pada pengembangan potensi. Sehingga anak akan cukup memiliki harga diri karena memiliki sebuah kemampuan. Harapannya, anak bisa mandiri dengan kemampuan yang ia milikinya kelak.
Dibutuhkan sebuah kurikulum yang bukan sekadar bagaimana mengatasi keterbatasan siswa dan mengejar standar kurikulum semata melainkan berangkat dari penghargaan, optimisme, dan potensi positif yang dimiliki anak berkebutuhan khusus. Merujuk hal ini pula, penilaian prestasi siswa terutama anak berkebutuhan khusus juga harus mengukur capaian perkembangan potensi siswa, yakni merujuk pada proses, dan bukan pada bagaimana hasil.  

Presiden Baru”
Bagaimana mengatasi persoalan-persoalan diatas? Tanggung jawab juga ada pada   pemerintah. Hal ini dikarenakan pemerintahlah yang mengemban amanat untuk memanfaatkan kekayaan negara guna kesejahteraan rakyat termasuk dalam hal pendidikan.
Seiring dengan usainya pesta Pemilu, presiden baru akan terpilih.  Namun demikian, siapapun presiden yang terpilih nantinya, perannya sebagai pimpinan pemerintahan yang harus mensejahterakan rakyat tidak kemudian berubah.
Olah karena itu, sangat diharapkan presiden yang baru kelak dapat mencermati persoalan yang ada menyangkut pendidikan anak berkebutuhan khusus ini dengan cermat dan lebih mampu memberikan perhatiannya. Salah satunya adalah kesediaan untuk menengok kembali garis kebijakan pendidikan menyangkut kurikulum bagi anak berkebutuhan khusus yang duduk di bangku sekolah inklusi. Keterbukaan diri untuk melibatkan seluruh pihak yang memiliki pengetahuan dan kompetensi di bidang pendidikan anak berkebutuhan khusus sangat diperlukan. Yang terpenting kemudian adalah keberanian mengambil keputusan yang merombak kurikulum lama yang kaku dan menggantinya dengan kurikulum yang lebih menghargai potensi unik setiap anak berkebutuhan khusus, selain dukungan dana ketimbang dihabiskan untuk rekreasi ataupun belanja keperluan pejabat yang sering tidak masuk akal. Diharapkan presiden yang baru nantinya bukan hanya bisa jadi presiden bagi partainya, melainkan bagi seluruh rakyat, termasuk menjadi Presiden Anak Berkebutuhan Khusus.

M. Salis Yuniardi,  Sidang Redaksi Bestari

0 komentar:

Posting Komentar

jadwal-sholat