C.G. Jung (Swis, 1875-1961) adalah tokoh yang paling penting untuk psikoanalisis (psikologi dalam) di samping Siegmund Freud dan Alfred Adler. Psikologi dalam menemukan ketegangan antara hidup sadar dan tidak sadar dan menganalisa "ketidaksadaran" sebagai suatu lapisan psikologi manusia (di samping pikiran yang disadarinya) yang mempengaruhi perasaan, pikiran dan tindakan manusia. Ketidaksadiran itu muncul misalnya dalam mimpi-mimpi atau juga dalam mitos-mitos dan gambar-gambar religius. Menurut C.G. Jung, ketidaksadaran punya dua lapisan, yaitu ketidaksadaran individual yang isinya dibentuk oleh pengalaman-pengalaman pribadi yang digeserkan ke bawah sadar, dan ketidaksadaran kolektif (collective unconsciousness) yang isinya merupakan warisan yang dimiliki semua manusia sebagai bagian dari kodratnya. Kedikaksadaran adalah "segala endapan pengalaman nenek moyang yang diturunkan sejak berjuta tahun yang tak dapat disebut yang sepenuhnya mengendalikan, gema peristiwa dari dunia prasejarah, yang oleh zaman selanjutnya ditambah sedikit demi sedikit penganekaragaman dan pembedaan-pembedaan"[1]. Adanya ketidaksadaran itu bisa menjelaskan kenyataan bahwa baik dalam mimpi-mimpi individual maupun dalam budaya-budaya dan agama-agama yang berbeda, muncul motif-motif yang sama tanpa adanya hubungan tradisi satu sama lain atau diakibatkan oleh pengalaman konkret.
Ketidaksadaran adalah tempat dimana agama dan simbol-simbol religius berakar. Jadi, ketidaksadaran bukan hanya dasar kemampuan manusia untuk mengembangkan agama dan simbol-simbol religius dan "pintu masuk" yang membuka lubuk jiwa manusia untuk pengalaman religius, tetapi juga menyediakan materi-materi untuk gagasan-gagasan keagamaan.[2]
Materi yang disediakan oleh ketidaksadaran untuk proses simolisasi itu, oleh C. G. Jung disebut "arketipe"[3], yaitu "gambaran arkais, kuno dan universal, yang sudah ada sejak zaman yang amat silam. (...) Dalam kata Jung, arketipe 'merupakan bentuk atau gambaran yang bersifat kolektif yang terjadi praktis di seluruh bumi sebagai unsur kisah suci (myth) dan dalam waktu yang sama merupakan hasil asli dan individual yang asal-usulnya tidak disadari'. Arketipe itu secara laten tersembunyi dalam semua orang dan akan diberi ungkapan simbolis menurut situasi historis di mana orang itu tercakup. (...) Konsep arketipe itu mengambil bentuk simbolis dalam berbagai ungkapan religius, dan menggambarkan solidaritas terdalam antara berbagai tradisi keagamaan umat manusia"[4]. Jadi, simbol-simbol dasar dari agama-agama (misalnya: Tuhan, ayah/ibu, simbol-simbol untuk keberadaan transenden dan keseluruhan/keesan dll.) sudah berada di dalam ketidaksadaran setiap individu, mereka merupakan ide-ide yang pra-sadar dan primordial, dan merupakan dasar untuk pengalaman-pengalaman religius yang langsung. Mereka mencermrinkan struktur kepribadian manusia dan menunjuk kepada keberadaan yang transenden.
Menurut Jung, simbol-simbol yang berhubungan dengan angka 4 (empat) atau "simbol-simbol kwaternitas" punya arti yang istimewa dan paling asli[5]. Misalnya simbol-simbol seperti bintang, lingkaran yang dibagi empat, mandala, salib dsb. selalu muncul dalam berbagai bentuk dalam agama-agama atau dalam mimpi-mimpi individu sebagai simbol keesaan, harmoni dan rekonsiliasi antara ketentangan-ketentangan[6]. Empat adalah simbol untuk universalisme, untuk keseluruhan, keutuhan dan keberpusatan[7]. Tujuannya adalah, mengembalikan keseimbangan antara aspek-aspek yang bertentangan dan memperkuat aspek yang selama ini diabaikan (mis. aspek feminin dari simbol Allah).[8] Jadi, kekuatan simbol-simbol seperti simbol salib bukan hanya disebabkan oleh akar dan interpretasi historis tertentu, melainkan oleh sifatnya yang a priori itu.[9]
Teologi Praktika, khususnya di Amerika dan di Eropa, pada dekade-dekade terakhir ini sangat dibantu oleh C.G. Jung untuk semakin menyadari pentingnya simbol-simbol dalam teologi dan praktek gereja. Dikembangkan suatu "didaktika simbol" yang menemukan kembali peranan simbol-simbol religius misalnya dalam pendidikan agama atau dalam ibadah/khotbah. Melalui memakai simbol-simbol, orang tidak hanya dapat ditarik dan disapa pada suatu level verbal dan intelektual (level kognitif) yang lebih konkret dan lebih mudah dapat dibayangkan, tetapi juga dalam lubuk hati dan jiwa mereka (level emosional). Simbol-simbol religius dapat menjadi "pintu" yang membuka kemungkinan untuk pengalaman religius dan identifikasi yang lebih dalam dengan pesan-pesan agama.[10] Re-simbolisasi tersebut secara funksional dapat juga membantu manusia untuk mempunyai sikap dan tinkah laku yang lebih konsisten dalam pengalaman tentang kenyataan sehari-hari (level pragmatis)
Kesimpulan: Simbol-simbol religius yang asli/dasar (arketipe) sudah ada dalam lubuk jiwa ("ketidaksadaran kolektif") setiap manusia sendiri, sehingga simbol-simbol tersebut merupakan dasar antropologis bersama dari semua agama dan budaya, dan dapat membuka jalan masuk bagi manusia untuk pemahaman dan pengalaman yang lebih mendalam tentang simbol-simbol agamanya masing-masing.
Sumber:
- C.G. Jung, Psychology and Religion, Yale University Press, 1938 (16/1966)
- Robert W. Crapps, Dialog Psikologi dan Agama sejak William James hingga Gordon W. Allport, Kanisius, Yogyakarta 1993
Markus Hildebrandt Rambe
Dosen STT Intim, Makassar
Mei 2000
[1] C.G. Jung dalam Contributions to Analytic Psycholgy, dikutib oleh Crapps, hlm. 76; Crapps menjelaskannya: "Seperti manusia mewarisi sunsunaan tubuh yang mengandung bekas dari perkembangan yang dialami manusia dalam tahap sebelumnya, demikian juga manusia mewarisi sejarah psikis bersama dalam ketidaksadaran kolektif."
[2] Pertanyaan, apakah kodrat manusia itu mencerminkan dan menjawab kenyataan ilahi di luar diri sendiri atau memproduksi agama tanpa adanya kebenaran dan keberadan yang transenden, menurut C.G. Jung, tidak dapat dan tidak boleh dijawab oleh psikologi; jadi, psikologi tidak dapat baik membenarkan agama maupun membuktikan kekeliruannya.
[3] archetypes, bdk Jung, 62+63
[4] Crapps hlm 77+78
[5] bdk Jung, hlm 64, 65, 71
[6] misalnya utara-selatan/barat-timur; air-api/udara-tanah; pikiran-perasaan/peraba-intuisi; tipe-tipe manusia syisuid-depresif/terpaksa-histeris; tritunggal + "bayangannya", yang feminin (anima) atau tritunggal + yang jahat (setan); keempat penginjil dll.
[7] bdk. Jung hlm 88: symbol, "in which all contrasts are reconciled"; hlm 98: "the globes, stars, crosses and the like are symbols for a center in themselves"
[8] bdk. Jung, 89: "But the quaternity is entirely absent from the dogma, though it appears early in ecclesiastical symbolism. I refer to the cross of equal branches included in the circle, the triumphant Christ with the four evangelists, the Tetramorphus, and so on."
[9] Jung, hlm. 76: "The main symbolic figures of a religion are always expressive of the partikular moral and mental attitude involved. I mention, for instance, the cross and its various religious meanings." Hlm 96: "the reconciliation of God and man is expressed in the symbol of Christ or of the Cross"
[10] bdk. Jung hlm 114: "This is the reason why I take carefully in account the symbols of the unconcious mind. They are the only things that could convince the critical mind of modern people."
0 komentar:
Posting Komentar