Seminar Psikologi Transpersonal

Seminar Psikologi Transpersonal.

Asesmen Pegawai

Asesmen Pegawai.

Proses Rekrutmen Karyawan

Proses Rekrutmen Karyawan.

Pelatihan Pembelajaran Bahasa Inggris Menggunakan Flash Card

Pelatihan Pembelajaran Bahasa Inggris Menggunakan Flash Card.

Pelatihan Psikologi Transpersonal Dalam Menjawab Realita Kehidupan

Pelatihan Psikologi Transpersonal Dalam Menjawab Realita Kehidupan.

Kamis, 14 Agustus 2014

PENGANTAR KONSEP DASAR PSIKOLOGI KLINIS

Psikologi Klinis adalah salah satu cabang psikologi terapan yang menggunakan konsep-konsep psikologi abnormal, psikologi perkembangan, psikopatologi, dan psikologi kepribadian, serta prinsip-prinsip dalam assesment dan intervensi, untuk memahami dan menolong orang yang mengalami masalah-masalah psikologis, gangguan penyesuaian diri, dan tingkah laku abnormal. Menurut Phares (1992), ruang lingkup psikologi klinis yaitu kajian tentang diagnosis, dan penyembuhan (treatment), masalah-masalah psikologis, gangguan (disorders), atau tingkah laku abnormal. Dari beberapa definisi, psikologi klinis dapat diartikan ruang lingkupnya seputar assesment, psikodiagnostik, penelitian, dan terapi bagi masalah-masalah psikologis, gangguan penyesuaian diri, serta perilaku abnormal. Secara singkatnya ruang lingkup Psikologi Klinis mencakup assesment, treatment,  research, consultation, dan administration. Ditahun 1935, American Psychological Association’s Clinical Section meredefinisikan istilah psikologi klinis sebagai suatu wujud Psikologi Terapan yang bermaksud memahami kapasitas perilaku dan karakteristika individu yang dilaksanakan melalui metode pengukuran, analisis, serta pemberian saran dan rekomendasi, agar individu mampu melakukan penyesuaian diri secara patut.

Beberapa ciri atau sifat yang ada dalam psikolog klinis, yaitu :
  1. Memiliki orientasi yang ilmiah-profesional, artinya diggunaan metode ilmu dan kaidah psikologi, dalam pemberian bantuan kepada individu yang menderita masalah-masalah psikologis melalui intervensi dan evaluasi psikologis.
  2. Menampilkan kompetensi psikolog, karena psikolog klinis terlatih dalam menggunakan petunjuk dan pengetahuan psikologi dalam kerja profesionalnya.
  3. Menampilkan kompetensi klinisi, karena berusaha mengerti orang lain dalam kompleksitas alamiah dan transformasi adaptif secara terus menerus atau berkelanjutan (Wyatt, 1968).
  4. Ilmiah, karena menggunakan metode ilmiah untuk mencapai presisi dan objektivitas dalam cara kerja profesionalnya dengan menjaga validasi untuk setiap individu yang ditanganinya.
  5. Profesional, karena lebih menyumbangkan pelayanan kemanusiaan yang penting bagi individual, kelompok sosial, dan komunitas untuk memecahkan masalah psikososial, serta meningkatkan kualitas hidup.
Yap Kie Hien (1968) mengemukakan beberapa istilah lain untuk “Psikologi Klinis”. Istilah-istilah ini tidak sepenuhnya mempunyai arti yang sama, karena setiap istilah mewakili aliran berbeda. Istilah-istilah tersebut adalah Psikopatologi, Psikologi abnormal, Psikologi Medis, Patopsikologi, dan Psikologi Mental Health. Psikopatologi adalah bidang yang mempelajari kelainan dari proses kejiwaan. Psikologi Medis merupakan suatu penjabaran dari psikologi umum dan psikologi kepribadian untuk ilmu kedokteran. Tujuannya adalah untuk melengkapi pengetahuan dokter tentang gambaran biologis manusia dengan gambaran  kehidupan kejiwaan, fungsi-fungsi psikis, berpikir, pengamatan, afek serta kehidupan perasaan pada manusia normal. Akar Psikologi Klinis yaitu :
*      Tradisi penelitian dalam Psikologi Wilhelm Wundt (1879) yang menggunakan laboratorium dan metode eksperimental;
*      Perhatian terhadap Individual Differences (James McKeen Cattel);
*      Perubahan konsep terhadap gangguan perilaku.

Psikologi Klinis berakar dari tradisi psikometris dan tradisi psikologi dinamis. Tradisi psikometri menekankan pada ukuran dan perbedaan individual dalam proses intelektual. Sedangkan, psikologi dinamis berfokus pada motivasi adaptasi dan perubahan kepribadian lalu menjadi dasar dari dinamika kepribadian, perkembangan, dan psikoterapi. Keduanya saling mendukung dan melengkapi dalam perkembangan Psikologi Klinis. Keduanya mulai muncul pada abad 19 di Eropa, tetapi kemudian berkembang pesat di dunia Psikologi Amerika yang berorientasi fungsionalis. Psikologi Amerika menekankan pada studi empiris dan pengukuran psikologis mulai usaha untuk mengubah dan memperbaiki fungsi psikis manusia. Saat itu di Amerika juga mulai berkembang Psikologi Terapan. Selama dekade pertama abad XX, tepatnya 1914, berdirilah Psikologi Klinis yang baru di Universitas. Para psikolog meninggalkan rumah sakit mental dan klinik lalu beralih kesetting khusus bagi penyandang mental retarded dan handicap fisik. Di rumah sakit juga diadakan riset untuk menggambarkan disfungsi psikologis pada pasien psikotik dengan menggunakan teknik, konsep, dan pengukuran laboratorium eksperimental.  Perang Dunia memacu perkembangan Psikologi Klinis. Dunia militer menghadapi masalah dalam hal mendiferensiasi kemampuan yang berbeda-beda pada laki-laki. Sejumlah psikolog terutama psikolog eksperimental bekerja untuk mengembangkan tes inteligensi. Tes yang dihasilkan pada saat itu adalah Army Alpha and Army Beta. Tahun 1917, banyak dikembangkan tipe-tipe tes inventori yang menggunakan kertas dan pensil. Seusai perang diperkirakan ada 1.762.000 pria yang telah di tes dan 83.000 individu diteliti (Reisman, 1966).
Selama PD II sejumlah psikolog menyadari bahwa bidang pekerjaan mereka berhubungan erat dengan psikiater dan pekerja sosial. Mereka mendirikan Veterans Administration (VA) untuk melayani para veteran perang dengan memberikan dukungan mental. Para psikolog di VA merekrut para siswa untuk bekerja di RS dan klinik mental di VA dan mengharapkan mereka dapat melakukan diagnosis, psikoterapi, dan riset. Sejalan dengan berkembangnya kebutuhan akan kesehatan mental, pemerintah mendirikan United State of Mental Health (NIMIH). Pada tahun 1920-an dan 1930-an terjadi konflik antara professional psikolog terapan dan psikolog akademis. Banyak professor dalam psikologi yang merasa khawatir dengan munculnya bidang psikologi klinis. Sesudah perang, American Psychological Association (APA) mengadakan komite CAPA, Committee on Training in Clinical Psychology. 1947-1949 mengadakan konferensi di Boulder, Colorado. Psikolog Klinis berasal dari fakultas psikologi dengan penjurusan dalam bidang klinis. Seorang psikolog klinis harus mampu melakukan diagnosis psikologis, psikoterapi dan riset. Selain itu, diperlukan juga praktikum seperti di kedokteran. Mereka juga harus melakukan praktek di RSJ dan klinik. Untuk menjadi professional, psikolog klinis juga harus menjadi murid dan peneliti, sehingga meningkatkan pengetahuannya.
Selama tahun 1950-1960, psikologi klinis semakin berkembang dan meenimbulkan suatu perdebatan sehingga APA mengembangkan etika standar dalam psikologi klinis yang berupa suatu sistem pemeriksaan dan akreditasi bagi klinisi. Beberapa saat setelah dikenalkan adanya spesialisasi medik di bawah perlindungan American Board of Examiner in Professional Psychology (ABEPP) yang kemudian berubah menjadi American Board of Proffesional Psychology (ABPP). Seusai PD II, banyak klinisi yang bekerja sebagai asisten psikiater di rumah sakit mental mengembangkan peran baru dalam psikologi dengan mengajar di universitas, klinik psikologi, praktek privat, unit penelitian klinis dan agen komunitas yang lain. Sekarang ini 25% dari pikolog klinis membuka praktek privat yang memfokuskan pada psikoterapi individu. Studi perilaku dalam psikologi klinis didasarkan pada pendekatan medis dan interaksi. Model pendekatan medis berdasarkan 3 hal, yaitu :
*      Pemikiran linear (satu jalan);
*      Pemikiran penyebab (mono kausal);
*      Pemikiran deterministis (penentu).


Menurut model ini, gangguan perilaku merupakan manifestasi dari suatu gejala. Apabila dianalogikan dengan munculnya suatu penyakit, maka jika ada suatu gejala, kemungkinan ada suatu proses yang menyebabkan gejala tersebut. Treatmentyang dibutuhkan adalah dengan memfokuskan pada penyebab. Pendekatan ini merupakan penerapan model lonear mono kausal terhadap gangguan perilaku (normal-tidak normal). Apabila terjadi suatu gangguan perilaku maka perlu dicari titik awal gangguan tersebut. Model ini merupakan titik pandang deterministis yaitu gangguan perilaku ditentukan oleh gangguan proses dalam intrapersonal. Contoh pendekatan model ini adalah teori Psikoanalisa yang beranggapan bahwa gangguan perilaku dilihat sebagai simtomatis dari patologi yang mendasar di dalam diri seseorang, yaitu adanya konflik yang tidak disadari dan tidak terpecahkan.
 Pada perkembangannya teori ini mengalami perubahan dan pengembangan yang dilakukan oleh ahli lain yaitu Sullivan dan Horney dengan teori NeoFreudian yang tidak mendasarkan pada proses intrapsikis, tetapi juga menekankan pada faktor sosial budaya. Kritik yang lainnya datang dari Allport, Cattel, dan Eysenck dengan Teori Traits Personality. Traits merupakan disposisi yang stabil untuk bertingkah laku dengan cara tertentu. Traits merupakan hal yang stabil dan tidak berubah dalam kurun waktu dan juga tidak berinteraksi dengan lingkungan. Kepribadian ditentukan (determined) oleh seperangkat traits intrapersonal yang stabil. Faktor traits dapat dilacak secara statistic dan analisa faktor. Instrumen yang digunakan mengungkap ciri-ciri kepribadian yang spesifik adalah Test MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory).
Teori ini mendapat bertentangan dengan teori Classic behavioral (Watson, 1900) yang memfokuskan pada perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dapat ditest secara eksperimental. Konsep traits yang stabil dan konsisten dalam kurun waktu dan situasi serta konsep bawah sadar (psikoanalisa). Teori ini berpandangan bahwa gangguan perilaku terjadi adanya proses belajar yang salah terhadap situasi yang seharusnya. Pendekatan ini melahirkan optimistik, karena perilaku yang salah tersebut dapat dipelajari kembali (relearned). Pada dasarnya teori ini masih menggunakan model mono-kausal linear yang deterministic karena tingkah laku ditentukan oleh lingkungan (diluar manusia) dengan reinforcement/punishment atau mekanisme conditioning. Pada tahun 1930, teori ini dikritik oleh Skinner dengan teori operant conditioningyang mengatakan bahwa konsekuensi-konsekuensi pemberian hadiah/ hukuman juga mempengaruhi pembentukan perilaku. Teori Learning dan Conditioning ini diterapkan dalam Behavioral Therapy. Pada tahun 1960 mendapat kritikan dari teori kognitif yang tidak setuju terhadap pendekatan behavioral yang hanya memfokuskan pada tingkah laku yang diamati tanpa memperhatikan inner process yang terjadi seperti proses berpikir (kognitif). Teori kognitif beranggapan bahwa gangguan perilaku terjadi karena kesalahan dalam proses berpikir atau cara pikir yang irrasional. Pada perkembangannya teori-teori diatas mulai ditinggalkan dengan mempertimbangkan adanya banyak faktor yang bisa mempengaruhi individu (multi kausal linar).
Social Learning Theory yang dikemukakan oleh Albert Bandura mengatakan bahwa individu dipengaruhi oleh lingkungan melalui modelling. Pendekatan ini mempertimbangkan adanya interaksi timbal balik yang dinamis antara tingkah laku manusia, proses kognitif, dan lingkungan. Pendekatan interaksi melihat individu sebagai keseluruhan struktural, bukan hanya pada traits, tingkah laku yang dapat diamati, dan konflik yang disadari. Disamping itu, penekanan pendekatan ini pada fungsi individu bukan karakteristiknya. Bukan pada penyebab tunggal akan tetapi aspek-aspek interaksi dan fungsi yang memberi arti pada perilaku. Sistem client secara keseluruhan (teman, keluarga, sekolah) mempunyai pengaruh terhadap individu sehingga perlu juga untuk dipahami.

PARTICIPATIVE LEADERSHIP

Definisi
Koopman & Wierdsma (dalam Somech, 2005) menyebutkan bahwa participative leadership adalah pengambilan keputusan bersama atau paling tidak berbagi pengaruh antara atasan dan bawahan dalam pengambilan keputusan.
Kim & Schachter (2013) menyebutkan dua level participation leadership, yakni delegasi (pemimpin memberi tanggung jawab pada bawahan) dan empowerment (sejauh mana power yang dirasakan individu berdasarkan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan).

Tujuan
Melalui participative leadership, diharapkan pemimpin dapat mendorong karyawan untuk menemukan kesempatan dan melakukan tantangan baru dengan belajar dan beradaptasi melalui berbagi pengetahuan (sharing knowledge) (Somech, 2005).
Huang (2012) menyebutkan bahwa participative leadership bertujuan untuk meningkatkan partisipasi karyawan dengan memberikan lebih banyak keterbukaan, perhatian, otonomi, dan pengaruh pada mereka, serta berbagi penyelesaian masalah dengan berkonsultasi pada karyawan sebelum membuat keputusan.

Ciri-ciri
Somech (2005) menyebutkan bahwa participative leadership dicirikan dengan adanya proses komunikasi yang terbuka dan pengambilan keputusan bersama sehingga dapat menurunkan jarak pembatas antar karyawan.
Ismail, Zainuddin, & Ibrahim (2010) menjelaskan bahwa participative leadership secara umum dicirikan dengan perilaku pemimpin yang sering bekerja dekat dengan karyawan dan melibatkan seluruh level karyawan dalam proses pengambilan keputusan.

Manfaat
Penerapan participative leadership terbukti meningkatkan inovasi tim. Melalui proses komunikasi yang terbuka, pemimpin yang menerapkan participative leadership memberikan kesempatan dan tantangan pada karyawannya untuk memperoleh, berbagi, dan mengkombinasikan pengetahuan, serta memastikan bahwa setiap karyawan mampu mengatasi permasalahan yang muncul selama bekerja. Pemberdayaan karyawan (employee empowerment) ini mendorong munculnya ide, proses, atau produk baru yang bermanfaat dari karyawan. Participative leadership juga mendorong munculnya komitmen organisasi karena pemimpin secara terbuka menjelaskan pada karyawan mengenai misi, visi, strategi, dan target yang akan dituju oleh organisasi sehingga setiap karyawan memahami dan dapat mengambil bagian (Somech, 2005).
Penelitian dari Ismail, Zaindusin, dan Ibrahim (2010) menunjukkan bahwa participative leadership dapat meningkatkan komitmen karyawan terhadap organisasi sehingga mendorong munculnya kepuasan kerja pada karyawan, sementara hasil penelitian Somech & Maayan (2006) menunjukkan bahwa participative leadership dapat meningkatkan performansi kerja karyawan, terutama pada pekerjaan-pekerjaan yang bersifat teknis, bukan bersifat manajerial.

Kelemahan
Somech (2005) menyebutkan bahwa dibandingkan directive leadership, participative leadership kurang dapat menerapkan prosedur yang rinci dan detail dalam pengaturan kerja karyawan dan cenderung menghabiskan banyak waktu untuk mengambil keputusan.
Somech & Maayan 92006) juga menemukan bahwa participative leadership tidak cocok untuk diterapkan pada organisasi yang strukturnya bersifat birokratis.

Faktor Pendorong
Berdasarkan hasil penelitian dari Kim & Schachter (2013), syarat pendukung yang paling penting terhadap efektivitas participative leadership adalah kolaborasi karyawan yang efektif (effective followership) karena karyawan juga ikt memberikan pengaruh dalam pengambilan keputusan. Effective followership membutuhkan individu yang secara aktif berpikir, terlibat, dan mau mengekspresikan pendapatnya untuk mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu, effective followership menjadi syarat utama berhasilnya effective participative leadership.
Huang (2012) menemukan bahwa participative leadership memiliki dampak yang kurang signifikan terhadap employee’s psychological empowerment bila karyawan tersebut memiliki controllability attributional style yang rendah. Controllability attributional style merujuk pada sejauh mana karyawan mempersepsi kejadian negatif organisasi sebagai hal yang dapat dikontrol atau tidak dapat dikontrol. Karyawan yang memiliki low controllability attributional style memandang kejadian negatif atau kegagalan organisasi yang berulang sebagai hal yang tidak dapat dikontrol. Hal ini menyebabkan mereka mengembangkan sikap pasif dan tidak acuh terhadap manajemen, termasuk bila mereka diminta untuk memberikan pendapat atau ide. Oleh karena itu, controllability attributional style karyawan yang tinggi, dimana karyawan memandang kejadian negatif di organisasi sebagai hal yang dapat dikontrol, menjadi syarat agar participative leadership dapat berjalan efektif.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Costa & Agnol (2011) terhadap perawat menunjukkan bahwa participative leadership sulit dan tidak efektif untuk diterapkan pada perawat yang sedang menjalani shift malam. Hal ini terjadi karena ketika perawat yang sedang menjalani shift malam memiliki stamina dan konsentrasi kurang bila dibandingkan perawat yang bekerja di siang hari. Lemahnya stamina dan konsentrasi ini mengakibatkan kurang hangatnya hubungan antar karyawan dalam tim. Hal ini sering menyebabkan muncul permasalahan dalam proses sharing knowledge dan diskusi pengambilan keputusan bersama. Oleh karena itu, salah satu faktor yang mendorong efektif atau tidak efektifnya participative leadership adalah beban dan kondisi kerja karyawan. Karyawan yang memiliki beban kerja (workload) tinggi dan menguras stamina, cenderung bersikap pasif dan mempersepsi participative leadership sebagai hal yang menghabiskan waktu dan tenaga.
Somech (2003) menemukan bahwa faktor demografis berpengaruh terhadap penerapan participative leadership. Semakin banyak kesamaan demografis (usia, masa kerja, pendidikan, dan jenis kelamin) antara pemimpin dengan karyawan, semakin besar tingkat participative leadership yang dilakukan pemimpin. Sebaliknya, pemimpin jarang menggunakan participative leadership pada karyawan yang memiliki sedikit kesamaan demografis dengan dirinya. Selain itu, semakin jauh level posisi pemimpin dengan karyawan, semakin jarang participative leadership diterapkan.

Efektivitas organisasi
Somech (2005) menyebutkan dua indikasi efektivitas organisasi, yakni team in-role performance, yakni sejauh mana karyawan mencapai tujuan dan hasil yang diinginkan dan ditargetkan, dan team innovation, pengenalan atau penerapan ide, proses, produk, atau prosedur baru dari karyawan yang bermanfaat.








Hubungan PL dg Efektivitas Organisasi
Somech (2005) menemukan bahwa participative leadership mendorong munculnya efektivitas organisasi melalui pemberdayaan karyawan (employee empowerment) sehingga setiap karyawan dapat berkontribusi memberikan ide atau inovasi baru dalam organisasi.
Hasil penelitian Kim & Schahter (2013) menunjukkan bahwa participative leadership dapat meningkatkan efektivitas dan performansi organisasi bila karyawan mau berkolaborasi secara efektif (effective followersip. Tanpa effective followership, tidak ada dampak signifikan antara participative leadership dan peningkatan efektivitas dan performansi organisasi.





Costa, D.G; Agnol, C.. (2011). Participative Leadership in the Management Process of Nightshidt Nursing. Rev.Latino-Am.Enfermagem, 19(6), 1306-1313.

Huang, X. (2012). Helplessness of Empowerment: The Joint Effect of Participative leadership and Controllability Attributional style on Empowerment and Performance. Human Reations, 65(3), 313-334.

Ismail, A., Zainuddin, N., Ibrahim, Z. (2010). Linking Participative and Consultative Leadership Styles to Organizational Commitment as an Antecedent of Job Satisfaction. UNITAS e-Journal, 6 (1), 11-27.

Kim, C., Schachter, H. (2013). Exploring Followership in a Public Setting: is It a Missing Link Between Participative Leadership and Organizational Performance?. The American Review of Public Admiistration, 20(10), 1-22.

Somech, A. (2004). Relationships of Participative Leadership with Relational Demography Variables: A Multi-level Perspective. Journal of Organizational Behavior, 24, 1003-1018.

Somech, A. (2005). Directive versus Participative Leadership: Two Complementary Approaches to Managing Effectiveness. Educational Administration Quarterly, 41(5), 777-800.

Somech, A., Wenderow, M. (2006). The Impact of Participative and Directive Leadership on Teacher Performance: the Intervening Effects of Job Structuring, Decision Domain, and Leader-Member Exchange. Educational Administration Quarterly, 4(5), 746-772.


Remaja dan Permasalahannya

Pengantar

       Masa remaja seringkali dihubungkan dengan mitos dan stereotip mengenai penyimpangan dan tidak wajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya teori-teori perkembangan yang membahas ketidakselarasan, gangguan emosi dan gangguan perilaku sebagai akibat dari tekanan-tekanan yang dialami remaja karena perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya maupun akibat perubahan lingkungan.
       Sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri remaja, mereka juga dihadapkan pada tugas-tugas yang berbeda dari tugas pada masa kanak-kanak. Sebagaimana diketahui, dalam setiap fase perkembangan, termasuk pada masa remaja, individu memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi. Apabila tugas-tugas tersebut berhasil diselesaikan dengan baik, maka akan tercapai kepuasan, kebahagian dan penerimaan dari lingkungan. Keberhasilan individu memenuhi tugas-tugas itu juga akan menentukan keberhasilan individu memenuhi tugas-tugas perkembangan pada fase berikutnya.
         Hurlock (1973) memberi batasan masa remaja berdasarkan usia kronologis, yaitu antara 13 hingga 18 tahun. Menurut Thornburgh (1982), batasan usia tersebut adalah batasan tradisional, sedangkan alran kontemporer membatasi usia remaja antara 11 hingga 22 tahun.
         Perubahan sosial seperti adanya kecenderungan anak-anak pra-remaja untuk berperilaku sebagaimana yang ditunjukan remaja membuat penganut aliran kontemporer memasukan mereka  dalam kategori remaja. Adanya peningkatan kecenderungan para remaja untuk melanjutkan sekolah atau mengikuti pelatihan kerja (magang) setamat SLTA, membuat individu yang berusia 19 hingga 22 tahun juga dimasukan dalam golongan remaja, dengan pertimbangan bahwa pembentukan identitas diri remaja masih terus berlangsung sepanjang rentang usia tersebut.
           
Lebih lanjut Thornburgh membagi usia remaja menjadi tiga kelompok, yaitu:
a.       Remaja awal : antara 11 hingga 13 tahun
b.      Remaja pertengahan: antara 14 hingga 16 tahun
c.       Remaja akhir: antara 17 hingga 19 tahun.

Pada usia tersebut, tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
1.      Mencapai hubungan yang baru dan lebih masak dengan teman sebaya baik sesama jenis maupun lawan jenis
2.      Mencapai peran sosial maskulin dan feminin
3.      Menerima keadaan fisik dan dapat mempergunakannya secara efektif
4.      Mencapai kemandirian secara emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya
5.      Mencapai kepastian untuk mandiri secara ekonomi
6.      Memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja
7.      Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan dan kehidupan keluarga
8.      Mengembangkan kemampuan dan konsep-konsep intelektual untuk tercapainya kompetensi sebagai warga negara
9.      Menginginkan dan mencapai perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial
10.  Memperoleh rangkaian sistem nilai dan etika sebagai pedoman perilaku (Havighurst dalam Hurlock, 1973).

Tidak semua remaja dapat memenuhi tugas-tugas tersebut dengan baik. Menurut Hurlock (1973) ada beberapa masalah yang dialami remaja dalam memenuhi tugas-tugas tersebut, yaitu:
1.      Masalah pribadi, yaitu masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi dan kondisi di rumah, sekolah, kondisi fisik, penampilan, emosi, penyesuaian sosial, tugas dan nilai-nilai.
2.      Masalah khas remaja, yaitu masalah yang timbul akibat status yang tidak jelas pada remaja, seperti masalah pencapaian kemandirian, kesalahpahaman atau penilaian berdasarkan stereotip yang keliru, adanya hak-hak yang lebih besar dan lebih sedikit kewajiban dibebankan oleh orangtua.
Elkind dan Postman (dalam Fuhrmann, 1990) menyebutkan tentang fenomena akhir abad duapuluh, yaitu berkembangnya kesamaan perlakuan dan harapan terhadap anak-anak dan orang dewasa. Anak-anak masa kini mengalami banjir stres yang datang dari perubahan sosial yang cepat dan membingungkan serta harapan masyarakat yang menginginkan mereka melakukan peran dewasa sebelum mereka masak secara psikologis untuk menghadapinya. Tekanan-tekanan tersebut menimbulkan akibat seperti kegagalan di sekolah, penyalahgunaan obat-obatan, depresi dan bunuh diri, keluhan-keluhan somatik dan kesedihan yang kronis.
Lebih lanjut dikatakan bahwa masyarakat pada era teknologi maju dewasa ini membutuhkan orang yang sangat kompeten dan trampil untuk mengelola teknologi tersebut. Ketidakmampuan remaja mengikuti perkembangan teknologi yang demikian cepat dapat membuat mereka merasa gagal, malu, kehilangan harga diri, dan mengalami gangguan emosional.
Bellak (dalam Fuhrmann, 1990) secara khusus membahas pengaruh tekanan media terhadap perkembangan remaja. Menurutnya, remaja masa kini dihadapkan pada lingkungan dimana segala sesuatu berubah sangat cepat. Mereka dibanjiri oleh informasi yang terlalu banyak dan terlalu cepat untuk diserap dan dimengerti. Semuanya terus bertumpuk hingga mencapai apa yang disebut information overload. Akibatnya timbul perasaan terasing, keputusasaan, absurditas, problem identitas dan masalah-masalah yang berhubungan dengan benturan budaya.
Tugas-tugas perkembangan pada masa remaja yang disertai oleh berkembangnya kapasitas intelektual, stres dan harapan-harapan baru yang dialami remaja membuat mereka mudah mengalami gangguan baik berupa gangguan pikiran, perasaan maupun gangguan perilaku. Stres, kesedihan, kecemasan, kesepian, keraguan pada diri remaja membuat mereka mengambil resiko dengan melakukan kenakalan (Fuhrmann, 1990).
Uraian di atas memberikan gambaran betapa majemuknya masalah yang dialami remaja masa kini. Tekanan-tekanan sebagai akibat perkembangan fisiologis pada masa remaja, ditambah dengan tekanan akibat perubahan kondisi sosial budaya serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat seringkali mengakibatkan timbulnya masalah-masalah psikologis berupa gangguan penyesuaian diri atau ganguan perilaku. Beberapa bentuk gangguan perilaku ini dapat digolongkan dalam delinkuensi.
            Perkembangan pada remaja merupakan proses untuk mencapaikemasakan dalam berbagai aspek sampai tercapainya tingkat kedewasaan. Proses ini adalah sebuah proses yang memperlihatkan hubungan erat antara perkembangan aspek fisik dengan psikis pada remaja.
1.      Perkembangan fisik remaja
Menurut Imran (1998) masa remaja diawali dengan masa pubertas, yaitu masa terjadinya perubahan-perubahan fisik (meliputi penampilan fisik seperti bentuk tubuh dan proporsi tubuh) dan fungsi fisiologis (kematangan organ-organ seksual). Perubahan fisik yang terjadi pada masa pubertas ini merupakan peristiwa yang paling penting, berlangsung cepat, drastis, tidak beraturan dan terjadi pada sisitem reproduksi. Hormon-hormon mulai diproduksi dan mempengaruhi organreproduksi untuk memulai siklus reproduksi serta mempengaruhi terjadinya perubahan tubuh. Perubahan tubuh ini disertai dengan perkembangan bertahap dari karakteristik seksual primer dan karakteristik seksual sekunder. Karakteristik seksual primer mencakup perkembangan organ-organ reproduksi, sedangkan karakteristik seksual sekunder mencakup perubahan dalam bentuk tubuh sesuai dengan jenis kelamin misalnya, pada remaja putri ditandai dengan menarche (menstruasi pertama), tumbuhnya rambut-rambut pubis, pembesaran buah dada, pinggul, sedangkan pada remaja putra mengalami pollutio (mimpi basah pertama), pembesaran suara, tumbuh rambut-rambut pubis, tumbuh rambut pada bagian tertentu seperti di dada, di kaki, kumis dan sebagainya.
Menurut Mussen dkk., (1979) sekitar dua tahun pertumbuhan berat dan tinggi badan mengikuti perkembangan kematangan seksual remaja. Anak remaja putri mulai mengalami pertumbuhan tubuh pada usia rata-rata 8-9 tahun, dan mengalami menarche rata-rata pada usia 12 tahun. Pada anak remaja putra mulai menunjukan perubahan tubuh pada usia sekitar 10-11 tahun, sedangkan perubahan suara terjadi pada usia 13 tahun (Katchadurian, 1989). Penyebab terjadi makin awalnya tanda-tanda pertumbuhan ini diperkirakan karena faktor gizi yang semakin baik, rangsangan dari lingkungan, iklim, dan faktor sosio-ekonomi (Sarwono, dalam JEN, 1998).
Pada masa pubertas, hormon-hormon yang mulai berfungsi selain menyebabkan perubahan fisik/tubuh juga mempengaruhi dorongan seks remaja. Menurut Bourgeois dan Wolfish (1994) remaja mulai merasakan dengan jelas meningkatnya dorongan seks dalam dirinya, misalnya muncul ketertarikan dengan orang lain dan keinginan untuk mendapatkan kepuasan seksual.
Selama masa remaja, perubahan tubuh ini akan semakin mencapai keseimbangan yang sifatnya individual. Di akhir masa remaja, ukuran tubuh remaja sudah mencapai bentuk akhirnya dan sistem reproduksi sudah mencapai kematangan secara fisiologis, sebelum akhirnya nanti mengalami penurunan fungsi pada saat awal masa lanjut usia (Myles dkk, 1993). Sebagai akibat proses kematangan sistem reproduksi ini, seorang remaja sudah dapat menjalankan fungsi prokreasinya, artinya sudah dapat mempunyai keturunan. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa remaja sudah mampu bereproduksi dengan aman secara fisik. Menurut PKBI (1984) secara fisik, usia reproduksi sehat untuk wanita adalah antara 20 – 30 tahun. Faktor yang mempengaruhinya ada bermacam-macam . Misalnya, sebelum wanita berusia 20 tahun secar fisik kondisi organ reproduksi seperti rahim belum cukup siap untuk memelihara hasil pembuahan dan pengembangan janin. Selain itu, secara mental pada umur ini wanita belum cukup matang dan dewasa. Sampoerno dan Azwar (1987) menambahkan bahwa perawatan pra-natal pada calon ibu muda usia biasanya kurang baik karena rendahnya pengetahuan dan rasa malu untuk datang memeriksakan diri ke pusat pelayanan kesehatan.
2.      Perkembangan Psikis Remaja
Ketika memasuki masa pubertas, setiap anak telah mempunyai sistem kepribadian yang merupakan pembentukan dari perkembangan selama ini. Di luar sistem kepribadian anak seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi, pengaruh media massa, keluarga, sekolah, teman sebaya, budaya, agama, nilai dan norma masyarakat tidak dapat diabaikan dalam proses pembentukan kepribadian tersebut. Pada masa remaja, seringkali berbagai faktor penunjang ini dapat saling mendukung dan dapat saling berbenturan nilai.
   
Kutub Keluarga ( Rumah Tangga)
            Dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan, dikemukakan bahwa anak/remaja yang dibesarkan dalam lingkungan sosial keluarga yang tidak baik/disharmoni keluarga, maka resiko anak untuk mengalami gangguan kepribadian menjadi berkepribadian antisosial dan berperilaku menyimpang lebih besar dibandingkan dengan anak/remaja yang dibesarkan dalam keluarga sehat/harmonis (sakinah).
            Kriteria keluarga yang tidak sehat tersebut menurut para ahli, antara lain:
a.       Keluarga tidak utuh (broken home by death, separation, divorce)
b.      Kesibukan orangtua, ketidakberadaan dan ketidakbersamaan orang tua dan anak di rumah
c.       Hubungan interpersonal antar anggota keluarga (ayah-ibu-anak) yang tidak baik (buruk)
d.      Substitusi ungkapan kasih sayang orangtua kepada anak, dalam bentuk materi daripada kejiwaan (psikologis).

Selain daripada kondisi keluarga tersebut di atas, berikut adalah rincian kondisi keluarga yang merupakan sumber stres pada anak dan remaja, yaitu:
a.       Hubungan buruk atau dingin antara ayah dan ibu
b.      Terdapatnya gangguan fisik atau mental dalam keluarga
c.       Cara pendidikan anak yang berbeda oleh kedua orangtua atau oleh kakek/nenek
d.      Sikap orangtua yang dingin dan acuh tak acuh terhadap anak
e.       Sikap orangtua yang kasar dan keras kepada anak
f.       Campur tangan atau perhatian yang berlebih dari orangtua terhadap anak
g.      Orang tua yang jarang di rumah atau terdapatnya isteri lain
h.      Sikap atau kontrol yang tidak konsisiten, kontrol yang tidak cukup
i.        Kurang stimuli kongnitif atau sosial
j.        Lain-lain, menjadi anak angkat, dirawat di rumah sakit, kehilangan orang tua, dan lain sebagainya.

Sebagaimana telah disebutkan di muka, maka anak/remaja yang dibesarkan dalam keluarga sebagaimana diuraikan di atas, maka resiko untuk berkepribadian anti soial dan berperilaku menyimpang lebih besar dibandingkan dengan anak/maja yang dibesarkan dalam keluarga yang sehat/harmonis (sakinah).

Kutub Sekolah
            Kondisi sekolah yang tidak baik dapat menganggu proses belajar mengajar anak didik, yang pada gilirannya dapat memberikan “peluang” pada anak didik untuk berperilaku menyimpang. Kondisi sekolah yang tidak baik tersebut, antara lain;
a.       Sarana dan prasarana sekolah yang tidak memadai
b.      Kuantitas dan kualitas tenaga guru yang tidak memadai
c.       Kualitas dan kuantitas tenaga non guru yang tidak memadai
d.      Kesejahteraan guru yang tidak memadai
e.       Kurikilum sekolah yang sering berganti-ganti, muatan agama/budi pekerti yang kurang
f.       Lokasi sekolah di daerah rawan, dan lain sebagainya.

Kutub Masyarakat (Kondisi Lingkungan Sosial)
            Faktor kondisi lingkungan sosial yang tidak sehat atau “rawan”, dapat merupakan faktor yang kondusif bagi anak/remaja untuk berperilaku menyimpang. Faktor kutub masyarakat ini dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu pertama, faktor kerawanan masyarakat dan kedua, faktor daerah rawan (gangguan kamtibmas). Kriteria dari kedua faktor tersebut, antara lain:
a.       Faktor Kerawanan Masyarakat (Lingkungan)
1)      Tempat-tempat hiburan yang buka hingga larut malambahkan sampai dini hari
2)      Peredaran alkohol, narkotika, obat-obatan terlarang lainnya
3)      Pengangguran
4)      Anak-anak putus sekolah/anak jalanan
5)      Wanita tuna susila (wts)
6)      Beredarnya bacaan, tontonan, TV, Majalah, dan lain-lain yang sifatnya pornografis dan kekerasan
7)      Perumahan kumuh dan padat
8)      Pencemaran lingkungan
9)      Tindak kekerasan dan kriminalitas
10)  Kesenjangan sosial

b.      Daerah Rawan (Gangguan Kantibmas)
1)      Penyalahgunaan alkohol, narkotika dan zat aditif lainnya
2)      Perkelahian perorangan atau berkelompok/massal
3)      Kebut-kebutan
4)      Pencurian, perampasan, penodongan, pengompasan, perampokan
5)      Perkosaan
6)      Pembunuhan
7)      Tindak kekerasan lainnya
8)      Pengrusakan
9)      Coret-coret dan lain sebagainya


Kondisi psikososial dan ketiga kutub diatas, merupakan faktor yang kondusif bagi terjadinya kenakalan remaja. 

Minggu, 30 Maret 2014

Komitmen Pernikahan

Dilihat dari usianya beliau sudah tidak muda lagi, usia yg sudah senja bahkan sudah mendekati malam, Pak Suyatno 58 tahun kesehariannya diisi dengan merawat istrinya yang sakit istrinya juga sudah tua. Mereka menikah sudah lebih 32 tahun
 
Mereka dikarunia 4 orang anak disinilah awal cobaan menerpa, setelah istrinya melahirkan anak ke empat tiba2 kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan itu terj adi selama 2 tahun, menginjak tahun ke tiga seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang lidahnyapun sudah tidak bisa digerakkan lagi.
 
Setiap hari pak suyatno memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, dan mengangkat istrinya keatas tempat tidur. Sebelum berangkat kerja dia letakkan istrinya didepan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian.
 
Walau istrinya tidak dapat bicara tapi dia selalu melihat istrinya tersenyum, untunglah tempat usaha pak suyatno tidak begitu jauh dari rumahnya sehingga siang hari dia pulang untuk menyuapi istrinya makan siang. sorenya dia pulang memandikan istrinya, mengganti pakaian dan  selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa2 saja yg dia alami seharian.
 
Walaupun istrinya hanya bisa memandang tapi tidak bisa menanggapi, pak suyatno sudah cukup senang bahkan dia selalu menggoda istrinya setiap berangkat tidur.
 
Rutinitas ini dilakukan pak suyatno lebih kurang 25 tahun, dengan sabar dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke empat buah hati mereka, sekarang anak2 mereka sudah dewasa tinggal si bungsu yg masih kuliah.
 
Pada suatu hari ke empat anak suyatno berkumpul dirumah orang tua mereka sambil menjenguk ibunya. Karena setelah anak mereka menikah sudah tinggal dengan keluarga masing-masing dan pak suyatno memutuskan bahwa istrinya dialah yg merawat, yang dia inginkan hanya satu, yaitu  semua anaknya berhasil.
 
Dengan kalimat yg cukup hati-hati anak yg sulung berkata ” Pak kami ingin sekali merawat ibu, semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibu tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak……. ..bahkan bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu” .. dengan air mata berlinang anak itu melanjutkan kata-katanya “sudah yg keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi, kami rasa ibupun akan mengijinkannya, kapan  bapak menikmati masa tua bapak dengan berkorban seperti ini kami sudah tidak tega melihat bapak, kami janji kami akan merawat ibu sebaik-baik secara bergantian”.
 
Pak suyatno menjawab hal yg sama sekali tidak diduga anak-anak mereka.
 
“Anak-anakku ………. Jikalau perkawinan dan hidup didunia ini hanya  untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah..lagi, tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian disampingku itu sudah lebih dari cukup, dia telah melahirkan kalian.. (sejenak kerongkongannya tersekat),.. . kalian yg selalu kurindukan hadir didunia ini dengan penuh cinta yg tidak satupun dapat menggantimya dengan apapun. Coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaanya seperti ini. Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang, kalian menginginkan agar bapak yg masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yg masih sakit.”
 
Sejenak meledaklah tangis anak-anak pak suyatno, merekapun melihat butiran-butiran kecil jatuh dipelupuk mata ibu suyatno..dengan pilu ditatapnya mata suami yg sangat dicintainya  itu..
 
Sampailah akhirnya pak suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi nara sumber dan merekapun mengajukan pertanyaan kepada pak suyatno kenapa mampu bertahan selama 25 tahun  merawat Istrinya yg sudah tidak bisa apa-apa..disaat itulah meledak tangis beliau dengan tamu yg hadir di studio kebanyakan kaum perempuanpun tidak sanggup menahan haru. Disitulah pak Suyatno  bercerita.
 
“Jika manusia didunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam perkawinannya, tetapi tidak mau memberi (memberi waktu, tenaga, pikiran, perhatian) maka itu adalah kesia-siaan. Cinta itu adalah memberi.
 
Saya percaya Tuhan-lah yang memilihkan istri saya ini menjadi pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan hati dan bathinnya bukan hanya dengan mata, dan dia memberi pada saya 4 orang anak yg lucu-lucu. Sekarang dia sakit karena berkorban untuk cinta kita bersama..dan itu merupakan ujian bagi saya, apakah saya dapat memegang komitmen untuk mencintainya apa adanya, termasuk dikala sehat maupun sakit. Ketika dia sehatpun belum tentu saya mencari penggantinya apalagi dia sakit,,,”

Komitmen Pernikahan

Dilihat dari usianya beliau sudah tidak muda lagi, usia yg sudah senja bahkan sudah mendekati malam, Pak Suyatno 58 tahun kesehariannya diisi dengan merawat istrinya yang sakit istrinya juga sudah tua. Mereka menikah sudah lebih 32 tahun

Mereka dikarunia 4 orang anak disinilah awal cobaan menerpa, setelah istrinya melahirkan anak ke empat tiba2 kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan itu terj adi selama 2 tahun, menginjak tahun ke tiga seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang lidahnyapun sudah tidak bisa digerakkan lagi.

Setiap hari pak suyatno memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, dan mengangkat istrinya keatas tempat tidur. Sebelum berangkat kerja dia letakkan istrinya didepan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian.

Walau istrinya tidak dapat bicara tapi dia selalu melihat istrinya tersenyum, untunglah tempat usaha pak suyatno tidak begitu jauh dari rumahnya sehingga siang hari dia pulang untuk menyuapi istrinya makan siang. sorenya dia pulang memandikan istrinya, mengganti pakaian dan  selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa2 saja yg dia alami seharian.

Walaupun istrinya hanya bisa memandang tapi tidak bisa menanggapi, pak suyatno sudah cukup senang bahkan dia selalu menggoda istrinya setiap berangkat tidur.

Rutinitas ini dilakukan pak suyatno lebih kurang 25 tahun, dengan sabar dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke empat buah hati mereka, sekarang anak2 mereka sudah dewasa tinggal si bungsu yg masih kuliah.

Pada suatu hari ke empat anak suyatno berkumpul dirumah orang tua mereka sambil menjenguk ibunya. Karena setelah anak mereka menikah sudah tinggal dengan keluarga masing-masing dan pak suyatno memutuskan bahwa istrinya dialah yg merawat, yang dia inginkan hanya satu, yaitu  semua anaknya berhasil.

Dengan kalimat yg cukup hati-hati anak yg sulung berkata ” Pak kami ingin sekali merawat ibu, semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibu tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak……. ..bahkan bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu” .. dengan air mata berlinang anak itu melanjutkan kata-katanya “sudah yg keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi, kami rasa ibupun akan mengijinkannya, kapan  bapak menikmati masa tua bapak dengan berkorban seperti ini kami sudah tidak tega melihat bapak, kami janji kami akan merawat ibu sebaik-baik secara bergantian”.

Pak suyatno menjawab hal yg sama sekali tidak diduga anak-anak mereka.

“Anak-anakku ………. Jikalau perkawinan dan hidup didunia ini hanya  untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah..lagi, tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian disampingku itu sudah lebih dari cukup, dia telah melahirkan kalian.. (sejenak kerongkongannya tersekat),.. . kalian yg selalu kurindukan hadir didunia ini dengan penuh cinta yg tidak satupun dapat menggantimya dengan apapun. Coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaanya seperti ini. Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang, kalian menginginkan agar bapak yg masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yg masih sakit.”

Sejenak meledaklah tangis anak-anak pak suyatno, merekapun melihat butiran-butiran kecil jatuh dipelupuk mata ibu suyatno..dengan pilu ditatapnya mata suami yg sangat dicintainya  itu..

Sampailah akhirnya pak suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi nara sumber dan merekapun mengajukan pertanyaan kepada pak suyatno kenapa mampu bertahan selama 25 tahun  merawat Istrinya yg sudah tidak bisa apa-apa..disaat itulah meledak tangis beliau dengan tamu yg hadir di studio kebanyakan kaum perempuanpun tidak sanggup menahan haru. Disitulah pak Suyatno  bercerita.

“Jika manusia didunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam perkawinannya, tetapi tidak mau memberi (memberi waktu, tenaga, pikiran, perhatian) maka itu adalah kesia-siaan. Cinta itu adalah memberi.

Saya percaya Tuhan-lah yang memilihkan istri saya ini menjadi pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan hati dan bathinnya bukan hanya dengan mata, dan dia memberi pada saya 4 orang anak yg lucu-lucu. Sekarang dia sakit karena berkorban untuk cinta kita bersama..dan itu merupakan ujian bagi saya, apakah saya dapat memegang komitmen untuk mencintainya apa adanya, termasuk dikala sehat maupun sakit. Ketika dia sehatpun belum tentu saya mencari penggantinya apalagi dia sakit,,,”

Komitmen Pernikahan

Rabu, 19 Februari 2014

PEDOMAN PENCEGAHAN BUNUH DIRI

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

1.    Besaran Masalah
Bunuh diri di banyak negara merupakan tiga penyebab terbesar kematian pada penduduk usia 15 - 35 tahun (WHO 2003).  Berdasarkan catatan WHO 2003, setiap tahun terdapat 1 juta orang bunuh diri.
Di Indonesia data nasional mengenai bunuh diri belum terkumpul secara resmi. Berikut ini laporan dari berbagai daerah yang dapat menggambarkan bahwa bunuh diri merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian cukup serius.

   Data yang didapatkan dari kasus bunuh diri di Bali periode Januari hingga 22 September 2005 mencapai 115 kasus, dan kasus serupa selama tahun 2004 tercatat 121 kali dengan pelaku bunuh diri terdiri atas pria 82 orang dan perempuan 33 orang. Sedangkan pelaku bunuh diri dari kelompok anak-anak 7-15 tahun, tercatat delapan orang, kelompok usia lanjut  sebanyak delapan orang juga (Media Indonesia Online: Edisi Kesehatan, 7 Februari 2005).
Menurut Prayitno, angka bunuh diri di Jakarta sepanjang 1995-2004 mencapai 5,8/100.000 penduduk. Mayoritas dilakukan oleh kaum pria. Dari 1.119 korban bunuh diri, 41% di antaranya gantung diri, 23% dengan minum racun serangga, dan sisanya 356 orang meninggal karena overdosis NAPZA (berdasarkan jumlah mayat yang diperiksa di Bagian Forensik RSUPN Cipto Mangunkusumo).
Data kasus bunuh diri di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah selama tahun 2004 menunjukkan 20 kasus bunuh diri, korbannya berusia 51-75 tahun (Media Indonesia Online: Edisi Kesehatan, 7 Februari 2005).
Data bunuh diri dari Kabupaten Gunung Kidul, DIY, tercatat 74 kasus terhitung dari tahun 2003-2005. Rentang usia pelaku bunuh diri  adalah 25-85 tahun (Media Indonesia Online: Edisi Kesehatan, 7 Februari 2005).
Bunuh diri merupakan masalah yang kompleks karena tidak diakibatkan oleh penyebab atau alasan tunggal.  Tindakan tersebut adalah akibat dari interaksi yang kompleks dari faktor biologik, genetik, psikologik, sosial, budaya dan lingkungan. Sulit untuk menjelaskan mengenai penyebab beberapa orang memutuskan untuk melakukan bunuh diri, sedangkan yang lain dalam kondisi yang sama bahkan lebih buruk tetapi tidak melakukannya.  Meskipun demikian, tindakan bunuh diri (terdiri atas bunuh diri dan percobaan bunuh diri) pada umumnya dapat dicegah.

Pada saat ini bunuh diri merupakan masalah kesehatan masyarakat di banyak negara. 
Memberdayakan pelayanan kesehatan dasar untuk mengidentifikasi, menilai, mengelola dan merujuk orang yang berisiko tinggi untuk melakukan tindakan bunuh diri di masyarakat, merupakan langkah penting dalam pencegahan bunuh diri. 

Karena pentingnya masalah pencegahan bunuh diri tersebut, IASP (International Association for Suicide Prevention) dan WHO (World Health Organization) telah mendeklarasikan di Stockholm pada tanggal 10 September 2003 sebagai Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia (World Suicide Prevention Day) yang selanjutnya akan diperingati pada tanggal tersebut setiap tahun.

2.    Pentingnya peran petugas kesehatan dalam pencegahan bunuh diri

Petugas kesehatan mempunyai kontak yang lama dan erat dengan masyarakat, sehingga banyak mengetahui perilaku dan masalah yang ada di masyarakat, serta biasanya diterima dengan baik oleh penduduk setempat. Petugas kesehatan mempunyai kaitan yang penting dalam komunitas dan sistem pelayanan kesehatan.

Di samping itu mereka seringkali menjadi titik awal (entry point) untuk mendapatkan pelayanan kesehatan pada pasien yang membutuhkan. Pada umumnya, petugas kesehatan di pelayanan dasar selalu tersedia, mudah diakses, memiliki pengetahuan dan keterampilan dan bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesehatan di daerahnya. 

B.    Pengertian Bunuh Diri

1. Definisi.
Menurut WHO (tahun 2001) yang mengacu pada pendapat Emile Durkheim (seorang sosiolog), membagi bunuh diri menjadi  empat kategori sosial yaitu bunuh diri egoistik, altruistik, anomik dan fatalistik.  

Bunuh diri egoistik terjadi pada orang yang kurang kuat integrasinya dalam suatu kelompok sosial.  Misalnya orang yang hidup sendiri lebih rentan untuk bunuh diri daripada yang hidup di tengah keluarga, dan pasangan yang mempunyai anak merupakan proteksi yang kuat dibandingkan yang tidak memiliki anak. Masyarakat di pedesaan lebih mempunyai integritas sosial daripada di perkotaan. 

Bunuh diri altruistik terjadi pada orang-orang yang mempunyai integritas berlebihan terhadap kelompoknya, contohnya adalah tentara Jepang dalam peperangan dan pelaku bom bunuh diri. 

Bunuh diri anomik terjadi pada orang-orang yang tinggal di masyarakat yang tidak mempunyai aturan dan norma dalam kehidupan sosialnya (contoh).

Bunuh diri fatalistik terjadi pada individu yang hidup di masyarakat yang terlalu ketat peraturannya.

Dalam hal ini individu dipandang sebagai bagian di masyarakat dari sudut  integrasi atau disintegrasi yang akan membentuk dasar dari sistem kekuatan, nilai-nilai, keyakinan dan moral dari budaya tersebut.

Sigmund Freud (1856-1939) mengatakan bahwa bunuh diri merupakan agresi yang membalik kepada dirinya terhadap suatu obyek cinta.

Karl Menninger (1938) mengatakan bahwa bunuh diri sebagai pembunuhan terbalik karena kemarahan terhadap orang lain diarahkan kepada dirinya. 

Perkembangan terakhir dari ilmu bunuh diri telah memberikan pandangan baru berdasarkan interaksi dari faktor biologis (biokimia dan neuroendokrin), psikologis (perasaan dan keadaan emosional) dan sosial dari seseorang. Pandangan ini memberikan pengertian yang lebih baik tentang bunuh diri dan penatalaksanaannya yang bersifat lebih komprehensif.

Definisi operasional:

a.    Petugas Kesehatan adalah dokter, perawat, bidan dan kader kesehatan yang bekerja di pelayanan kesehatan seperti di Puskesmas, RSU, klinik di perusahaan dan praktek dokter swasta.

b.    Tindakan bunuh diri  atau suicidal act adalah tindakan yang meliputi bunuh diri  dan percobaan bunuh diri.

c.    Bunuh diri  atau suicide atau committed suicide adalah tindakan merusak diri sendiri atau menggunakan zat (obat atau racun) yang mengakibatkan kematian.
·         Bunuh diri mikro (microsuicide): kematian akibat perilaku bunuh diri misalnya bunuh diri “pelan-pelan” atau yang terdapat pada orang-orang yang dengan sengaja tidak mau berobat meskipun menderita sakit, mogok makan, diet berlebihan dan sebagainya.
·         Bunuh diri terselubung (masked suicide): orang yang sengaja melakukan tindakan yang mengakibatkan kematian dengan cara terselubung, misalnya mendatangi tempat kerusuhan sehingga terbunuh, olah raga yang berbahaya, overdosis pada pasien ketergantungan zat dan sebagainya.

d.    Percobaan bunuh diri  atau attempted suicide adalah tindakan dengan sengaja merusak diri sendiri atau menggunakan zat (obat atau racun) dengan tujuan mengakhiri kehidupan yang tidak mengakibatkan kematian, namun membutuhkan intervensi medik psikiatrik.

e.    Risiko bunuh diri adalah suatu keadaan meningkatnya tendensi untuk melakukan bunuh diri.

f.     Pencegahan bunuh diri meliputi pencegahan primer, sekunder dan tersier:
1)            Pencegahan primer adalah tindakan mencegah sebelum orang mempunyai niat melakukan tindakan bunuh diri dengan memperhatikan faktor-faktor risikonya.
2)            Pencegahan sekunder adalah deteksi dini dan terapi yang tepat pada orang yang telah melakukan percobaan bunuh diri.
3)            Pencegahan  tersier adalah tindakan untuk mencegah berulangnya percobaan bunuh diri.  



Perbedaan antara percobaan bunuh diri dan bunuh diri:


Percobaan bunuh diri
Bunuh diri

Umumnya terjadi pada kelompok usia muda
Dewasa dan usia lanjut
Lebih umum terjadi pada wanita muda yang tak menikah
Lebih umum terjadi pada pria (Lebih banyak pada bujangan, bercerai atau duda)
Bersifat ambivalen (mendua)
Bersifat tegas
Menggunakan metode yang tidak mematikan
Menggunakan metode yang lebih mematikan
Berkaitan dengan perilaku menarik perhatian
Berkaitan dengan keinginan yang kuat untuk mati
Cara yang sering dipakai adalah dengan meminum racun
Cara yang sering dipakai adalah menggantung diri, minum racun keras atau membakar diri
Stresor seringkali berupa konflik interpersonal atau konflik dalam keluarga
Stresor bervariasi meliputi sakit stadium terminal dan faktor sosioekonomi


  1. Mitos dan Fakta Bunuh Diri
Mitos dan fakta mengenai bunuh diri adalah sebagai berikut :

No
Mitos
No
Fakta

1.





2.





3.





4.








5.




6



7






8







orang yang bicara mengenai bunuh diri, tidak akan melakukannya.


orang dengan kecenderungan bunuh diri (suicidal people) berkeinginan mutlak untuk mati.

bunuh diri terjadi tanpa peringatan.

perbaikan setelah suatu krisis berarti risiko bunuh diri telah berakhir.



tidak semua bunuh diri dapat dicegah.







sekali seseorang cenderung bunuh diri, ia selalu cenderung bunuh diri.

hanya orang miskin yang bunuh diri



bunuh diri selalu terjadi pada pasien gangguan jiwa





menanyakan tentang pikiran bunuh diri dapat memicu orang untuk bunuh diri
1.





2.





3.





4.








5.



6.




7






8








kebanyakan orang yang bunuh diri telah memberikan peringatan yang pasti dari keinginannya.

mayoritas dari mereka ambivalen (mendua, antara keinginan untuk bunuh diri tetapi takut mati)

orang dengan kecenderungan bunuh diri seringkali memberikan banyak indikasi.

banyak bunuh diri terjadi dalam periode perbaikan saat pasien telah mempunyai energi dan kembali ke pikiran putus asa untuk melakukan tindakan destruktif.

sebagian besar bunuh diri dapat dicegah.







pikiran bunuh diri tidak permanen dan untuk beberapa orang tidak akan melakukannya kembali.

bunuh diri dapat terjadi pada semua orang tergantung pada keadaan sosial, lingkungan, ekonomi dan kesehatan jiwa

pasien gangguan jiwa mempunyai risiko lebih tinggi untuk bunuh diri, tapi bunuh diri dapat juga terjadi pada orang yang sehat fisik dan jiwanya


bertanya tentang bunuh diri tak akan memicu bunuh diri. Bila tak menanyakan pikiran bunuh diri, tak akan dapat mengiden-tifikasi orang yang berisiko tinggi untuk bunuh diri

C.   Tujuan

1.    Tujuan Umum
Meningkatnya pemahaman dan kemampuan petugas kesehatan dalam melakukan   pencegahan bunuh diri di masyarakat.

2.    Tujuan Khusus.
a.    Meningkatnya pemahaman petugas kesehatan terhadap faktor risiko terjadinya tindakan bunuh diri.
b.    Meningkatnya pemahaman dan kemampuan petugas kesehatan dalam deteksi dini kecenderungan tindakan bunuh diri dan penatalaksanaannya. 
c.    Meningkatnya pemahaman dan kemampuan petugas kesehatan dalam upaya pencegahan tindakan bunuh diri.
d.    Meningkatnya pemahaman dan kemampuan petugas kesehatan tentang sistem rujukan kasus tindakan bunuh diri secara berjenjang

D.   Landasan Hukum 

1.    Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
2.    Undang-undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
3.    Kepmenkes No 220/Menkes/SK/III/ 2002  tentang Pedoman Umum Tim Pembina, Tim Pengarah, Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat (TP-KJM)


E.    Ruang Lingkup
Buku ini membahas mengenai pengenalan, deteksi dini, penatalaksanaan dan pencegahan terjadinya kasus bunuh diri baik primer, sekunder maupun tersier.

 

BAB II

PENYEBAB DAN FAKTOR RISIKO BUNUH DIRI


A.  PENYEBAB BUNUH DIRI

Sampai saat ini belum didapatkan penyebab yang pasti dari bunuh diri. Bunuh diri merupakan interaksi yang kompleks dari faktor-faktor genetik, organobiologik, psikologik, dan sosiokultural. Faktor-faktor itu dapat saling menguatkan atau melemahkan terjadinya tindakan bunuh diri pada seorang individu. 

Pada abad ke dua puluh, bunuh diri dianggap disebabkan oleh disintegrasi sistem sosial. Di daerah dengan masyarakat yang mencela perbuatan bunuh diri, maka angka bunuh diri di tempat itu relatif rendah, sedangkan di tempat yang menganggap perbuatan bunuh diri sebagai suatu hal yang berani, maka angka bunuh diri di tempat tersebut jadi tinggi (misalnya di Jepang).

Individu merupakan makluk yang unik. Perilaku individu untuk bunuh diri ditentukan oleh kelemahan atau kekuatan jiwa individu tersebut dan situasi kehidupan yang mereka alami. Beberapa faktor yang mempengaruhi bunuh diri adalah:
  • Kurang tahan terhadap frustrasi
  • Cepat marah (hostilitas tinggi)
  • Sering mengalami konflik interpersonal dengan anggota keluarga atau teman
  • Mengalami masalah kesehatan jiwa (depresi, skizofrenia, gangguan afektif)
  • Penyalahgunaan alkohol atau NAPZA lainnya
  • Menderita penyakit kronis atau sakit terminal (misalnya penyakit kanker, HIV/AIDS)
  • Faktor lingkungan lainnya

Beberapa orang akan bereaksi secara impulsif, sementara yang lainnya melalui proses yang bertahap. Ide dan keinginan bunuh diri semakin lama semakin besar yang mengakibatkan individu menjadi tak berdaya, putus asa dan akhirnya sampai pada suatu keadaan merusak diri.

Dengan mengetahui seseorang yang akan berusaha atau kemungkinan berpikir tentang bunuh diri, maka kita dapat membantu melakukan pencegahan agar mereka tidak bunuh diri. Petugas kesehatan perlu mengetahui ciri atau faktor risiko individu yang rentan untuk melakukan bunuh diri atau percobaan bunuh diri. Riset menunjukkan bahwa dimungkinkan untuk mengidentifikasi individu yang akan bunuh diri, jika petugas kesehatan peka terhadap kata-kata atau perilaku dan tanda-tanda yang ditunjukan oleh calon pelaku bunuh diri.
   
B.  FAKTOR RISIKO BUNUH DIRI

INDIVIDU DENGAN RISIKO TINGGI
·               Kehilangan status pekerjaan dan mata pencaharian.
·               Kehilangan sumber pendapatan secara mendadak karena migrasi, gagal panen, krisis moneter, kehilangan pekerjaan, bencana alam.
·               Kehilangan keyakinan diri dan harga diri.
·               Merasa bersalah, malu, tak berharga, tak berdaya, dan putus asa.
·               Mendengar suara-suara gaib dari Tuhan untuk bergabung menuju surga.
·               Mengikuti kegiatan sekte keagamaan tertentu.
·               Menunjukkan penurunan minat dalam hobi, seks dan kegiatan lain yang sebelumnya dia senangi.
·               Mempunyai riwayat usaha bunuh diri sebelumnya.
·               Sering mengeluh adanya rasa bosan, tak bertenaga, lemah, dan tidak tahu harus berbuat apa.
·               Mengalami kehilangan anggota keluarga akibat kematian, tindak kekerasan, berpisah, putus hubungan.
·               Pengangguran dan tidak mampu mencari pekerjaan khususnya pada orang muda.
·               Menjadi korban kekerasan rumah tangga atau bentuk lainnya khususnya pada perempuan.
·               Mempunyai konflik yang berkepanjangan dengan diri sendiri, atau anggota keluarga.
·               Baru saja keluar dari RS khususnya mereka dengan gangguan jiwa (depresi, skizofrenia) atau penyakit terminal lainnya (seperti kanker, HIV/AIDS, TBC, dan cacat).
·               Tinggal sendirian di rumah dan menderita penyakit terminal tanpa adanya dukungan keluarga ataupun dukungan ekonomi.
·               Mendapat tekanan dari keluarga untuk mencari nafkah atau mencapai prestasi tinggi di sekolah.
·               Mendapat tekanan/bujukan  dari organisasi/ kelompoknya.

Individu dengan risiko tinggi ini umumnya menunjukkan perilaku tertentu. Perilaku tersebut adalah kurangnya minat dalam kehidupan dan adanya kebimbangan terhadap hidup atau  mati (bersifat ambivalen).

Sebagian besar individu yang mengalami gangguan jiwa seperti depresi, skizofrenia, gangguan afektif, penyalahgunaan alkohol/NAPZA lainnya, menunjukkan berbagai gejala yang spesifik yang dapat diidentifikasi terhadap penyakitnya.

Terdapat gejala umum yang ditemukan pada orang yang cenderung bunuh diri:
·               Merasa sedih
·               Sering menangis
·               Anxietas dan gelisah
·               Perubahan mood(senang berlebihan sampai sedih berlebihan)
·               Perokok dan peminum alkohol berat
·               Gangguan tidur yang menetap atau berulang
·               Mudah tersinggung, bingung
·               Menurunnya minat dalam kegiatan sehari-hari
·               Sulit mengambil keputusan
·               Perilaku menyakiti diri
·               Mengalami kesulitan hubungan dengan pasangan hidup atau anggota keluarga lain
·               Menjadi ”sangat fanatik terhadap agama” atau jadi ”atheis”
·               Membagikan uang atau barangnya dengan cara yang khusus


KELUARGA DENGAN RISIKO TINGGI

Terdapat pula sejumlah keluarga yang berisiko tinggi untuk melakukan bunuh diri. Karena keluarga berada dalam keadaan krisis, maka gejala yang terdapat pada salah seorang anggota keluarga tidak dapat terlihat oleh anggota keluarga lainnya.

Keluarga tersebut mempunyai ciri:
·               Mempunyai anggota keluarga dengan gangguan jiwa, atau sakit berat, penyakit stadium terminal atau mempunyai anak yang cacat.
·               Sedang berkabung.
·               Hidup bersama dengan seseorang yang mengalami ketergantungan alkohol atau kecanduan NAPZA.
·               Terdapat anggota keluarga yang pernah berusaha atau telah melakukan bunuh diri pada masa yang lalu.
·               Hubungan dalam keluarga yang retak atau keadaan emosi yang terganggu.
·               Penghasilan sangat rendah, pengangguran (kehilangan pekerjaan mendadak).
·               Hidup dalam lingkungan yang berbahaya (kriminal atau tidak aman).
·               Baru saja pindah ke daerah perkotaan dan hidup dalam situasi tanpa adanya dukungan sosial.


MASYARAKAT DENGAN RISIKO TINGGI

Mungkin pula dapat diindentifikasi masyarakat atau lokasi atau tempat spesifik yang didefinisikan sebagai area geografis dengan kecenderungan bunuh diri yang tinggi.

Tempat tersebut adalah:
·               Kantong-kantong tertentu dalam area geografis dengan angka bunuh diri yang tinggi.
·               Masyarakat ekonomi miskin (populasi di daerah kumuh dan migran).
·               Masyarakat yang sering mengalami bencana alam (banjir, badai, gunung meletus dan tanah longsor).
·               Masyarakat petani yang mengalami gagal panen.
·               Daerah dengan masyarakat yang mengalami kekerasan politik dan sosial.
·               Masyarakat dengan angka prostitusi, tindak kekerasan, penggunaan alkohol dan penyalahgunaan NAPZA lainnya yang tinggi.
·               Tempat risiko tinggi tertentu seperti penjara, kantor polisi, tempat terpencil, hotel dan bahkan rumah sakit.

Perilaku bunuh diri merupakan interaksi dari faktor risiko (yang merupakan stresor) dan daya tahan individu tersebut.

Berikut ini grafik yang menggambarkan taraf berat stresor dengan terganggu atau tidaknya seseorang.

Keterangan:
Semakin dekat seseorang berada di area tidak sakit/terganggu makin kecil risiko kecenderungan bunuh diri dan sebaliknya

Daya tahan terdiri atas:
1)        Daya tahan biologis (termasuk kondisi neurotransmiter), misalnya kecenderungan biologis untuk menderita depresi endogen.

2)        Daya tahan psikologis meliputi:
a)        Kematangan kepribadian.
b)        Persepsi subjektif menghadapi stressor yang dialami (misalnya mempersepsi kematian dari pasangan yang dicintainya sebagai cobaan yang harus ia lewati atau sebaliknya sebagai keruntuhan dunianya).
c)        Kemampuan adaptasi terhadap problem kehidupan atau menghadapi stresor yang dialaminya.
d)        Fleksibilitas menghadapi permasalahan kehidupannya.

3)  Daya tahan sosiokultural meliputi:
a)        Peran dalam keluarga dan masyarakat.
b)        Ikatan atau keakraban dalam keluarga dan 
Masyarakat.
c)  Penghayatan dan ketakwaan terhadap agama.


KARAKTERISTIK KEPRIBADIAN
Terdapat 3 gambaran utama kepribadian pelaku bunuh diri:
1.     Ambivalensi
Keinginan untuk tetap hidup dan keinginan untuk mati berkecamuk pada pelaku bunuh diri. Terdapat dorongan untuk lari dari pedihnya kehidupan, sekaligus terdapat pula keinginan untuk bertahan hidup. Banyak pelaku bunuh diri sesungguhnya tidak ingin mati, hanya saja mereka tidak merasa bahagia dengan kehidupannya. Bila diberikan dukungan dan keinginan untuk hidup ditingkatkan, maka risiko bunuh diri akan berkurang.

2.     Impulsivitas
Bunuh diri juga merupakan tindakan impulsif. Sebagaimana juga impuls lain, impuls bunuh diri juga bersifat sementara dan berlangsung hanya beberapa menit atau beberapa jam. Biasanya dicetuskan oleh peristiwa sehari-hari yang negatif. Dengan mengatasi keadaan krisisnya serta mengulur waktu, maka petugas kesehatan dapat menolong mengurangi keinginan bunuh diri.

3.     Rigiditas
Pada saat melakukan tindakan bunuh diri, pikiran, perasaan dan perilakunya terbatas. Mereka terus memikirkan bunuh diri saja dan tidak dapat menemukan jalan ke luar lain dari masalahnya. Mereka berpikir secara kaku.


BAB III
DETEKSI DINI  KECENDERUNGAN BUNUH DIRI DAN PENATALAKSANAANNYA

Untuk melakukan deteksi dini kecenderungan bunuh diri dan memberikan pertolongan yang tepat, maka kita perlu menilai risiko kecenderungan bunuh diri dan memahami cara pendekatan dan melakukan wawancara dengan mereka.


A. IDENTIFIKASI  PELAKU TINDAKAN BUNUH DIRI
Sebelum menerapkan tatalaksana pencegahan tindakan bunuh diri, ada hal–hal yang perlu diperhatikan dan diketahui oleh petugas kesehatan dalam mengidentifikasi pelaku tindakan bunuh diri yaitu:

  1. Mengidentifikasi faktor risiko bunuh diri (lihat BAB II)
Cara menilai risiko kecenderungan bunuh diri
Pada saat tenaga kesehatan menduga adanya kemungkinan tindakan bunuh diri, faktor-faktor yang dinilai adalah:
a.        Kondisi kejiwaan saat ini, pikiran tentang kematian dan bunuh diri.
b.        Seberapa siap dan secepat apa akan melakukan rencana bunuh diri.
c.        Dukungan orang-orang terdekat (keluarga, teman dan sebagainya).
d.        Menilai tingkat risiko
Menilai tingkat risiko merupakan hal penting untuk menentukan langkah selanjutnya. Perlu digali dan dinilai apakah risiko bunuh diri tinggi, sedang atau rendah.

  1. Memahami karakteristik pelaku tindakan bunuh diri
a.Menghadapi sifat ambivalensi pelaku, petugas kesehatan berempati terhadap perasaannya, dapat memberikan dukungan dan mendampingi mereka melewati masa-masa sulit tersebut. Bila dukungan diberikan dan keinginan untuk hidup ditingkatkan, risiko tindakan bunuh diri akan berkurang.
b.Menghadapi sifat impulsivitas pelaku, petugas kesehatan dapat membantu mengurangi keinginan bunuh diri dengan berusaha mengatasi krisisnya dan mengulur-ulur waktu.
c.Menghadapi sifat rigiditas pelaku, petugas kesehatan hendaknya dapat membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Jangan memberi harapan palsu tapi doronglah mereka untuk menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang konstruktif.

  1. Memperhatikan Pernyataan Niat Pelaku Tindakan Bunuh Diri
Sebagian besar pelaku bunuh diri mengutarakan pikiran dan niatnya untuk bunuh diri. Biasanya mereka memberikan tanda melalui pernyataan–pernyataan yang menggambarkan rasa tidak berguna hidup di dunia dan keinginan untuk mati. Semua pernyataan ini jangan dianggap enteng dan perlu diperhatikan karena sebenarnya merupakan ekspresi dari perasaan putus asa dan keinginan untuk ditolong.


B. TEKNIK WAWANCARA
Cara terbaik untuk mengetahui seseorang akan melakukan bunuh diri adalah dengan bertanya langsung (autoanamnesis). Hal ini bertolak belakang dengan apa yang dipercaya masyarakat selama ini, bahwa membicarakan bunuh diri akan menginspirasi mereka untuk melakukan tindakan bunuh diri. Pada kenyataannya mereka sangat senang dan lega dapat membicarakan secara terbuka mengenai dirinya dan pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam diri mereka.

Tidaklah mudah untuk bertanya pada seseorang tentang ide bunuh diri. Akan sangat membantu jika membicarakan masalah tersebut secara bertahap.

1. Beberapa pertanyaan yang perlu ditelusuri
            Apakah orang tersebut:  
a.        Merasa sedih
b.        Merasa tidak ada orang yang peduli.
c.        Merasa hidup tidak berharga.
d.        Akan menyukai tindakan bunuh diri.
e.        Telah bulat tekadnya untuk bunuh diri.
f.         Sudah punya waktu yang tepat untuk melaksanakan niatnya.
g.        Sudah mempunyai cara  yang akan digunakan.

Untuk menelusuri hal tersebut di atas, dengan cara mengajukan pertanyaan terbuka, agar mereka dapat bebas untuk memberikan jawabannya. Misalnya: ”Bagaimana perasaan saudara” atau ”Apa yang saudara rasakan”, atau ”Bisa saudara ceritakan kepada saya apa yang saudara pikirkan”. Untuk memastikan keadaan, sekali-sekali dapat juga diajukan pertanyaan tertutup.

2. Kapan saat bertanya yang tepat?
a.        Pada saat seseorang telah memiliki perasaan bahwa dia dimengerti.
b.        Pada saat seseorang merasa nyaman membicarakan perasaan-perasaannya.
c.        Pada saat seseorang tengah membicarakan perasaan negatif seperti rasa sepi, tidak berdaya dan sebagainya.

3. Komunikasi petugas dengan pelaku tindakan bunuh diri

Hal–hal yang perlu diperhatikan dan diketahui oleh petugas kesehatan dalam persiapan untuk berkomunikasi
a.      Kontak  pertama dengan pelaku tindakan bunuh diri sangat menentukan berhasil atau tidaknya upaya mencegah tindakan bunuh diri. 
b.      Tempat pertemuan (salah satu ruangan di Rumah Sakit atau Puskesmas) perlu bersifat pribadi, tenang dan nyaman sehingga percakapan tentang hal-hal yang pribadi dapat dilakukan, tanpa takut diketahui oleh orang lain.
c.      Petugas kesehatan sebaiknya menyediakan waktu yang cukup dan siap untuk menghadapi gejolak emosi yang mungkin diperlihatkan oleh pelaku tindakan bunuh diri.
d.      Petugas kesehatan harus bisa menjadi pendengar yang baik, bisa merasakan apa yang sedang mereka alami tanpa ada upaya merendahkan apalagi memojokkan (berempati).
e.      Berikan dukungan emosional, biasanya mereka akan bersikap lebih terbuka sehingga keinginan bunuh diri dapat diperkecil.
f.        Kemampuan komunikasi yang baik dari seorang petugas kesehatan akan sangat membantu, karena pada saat seseorang merasa tidak mempunyai harapan lagi, kehadiran orang lain sebagai tempat berbagi, akan meringankan penderitaannya.

  1. Cara melakukan komunikasi yang baik
a.        Bersikap empatik (kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan  orang lain tanpa menjadi terlarut),ctenang dan mendengar dengan penuh perhatian.
b.        Hargai pendapatnya dan nilai–nilai yang dianutnya.
c.        Berbicara dengan tulus dan beri  kesan semua   yang dilakukan karena didasari oleh perasaan ingin membantu.
d.        Perlihatkan sikap penuh perhatian dan penuh kehangatan.
e.        Pesan–pesan non verbal melalui gerak tubuh, hendaknya mencerminkan penghargaan dan penerimaan, bukan penolakan.
f.         Cara bicara yang tenang, penuh perhatian, tidak menilai dan menerima apa yang dikatakan merupakan hal–hal yang dibutuhkan untuk terjadinya komunikasi yang baik.
g.        Dengarkan keluhannya, perlihatkan bahwa kita memahami apa yang sedang dihadapinya dengan tetap bersikap tenang.
h.        Berikan dukungan, perhatian dan jaga kerahasiaan.
i.          Tanyakan percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan sebelumnya.
j.          Tanyakan rencana bunuh diri yang ingin dilakukan.
k.        Ulur waktu dan buatlah perjanjian kesepakatan (misalnya menelpon petugas bila akan melakukan bunuh diri), membuka pikiran orang yang mempunyai rencana untuk bunuh diri bahwa masih ada jalan keluar lain selain bunuh diri.
l.          Telusuri dukungan sosial lain yang mungkin dimilikinya.
m.       Bila memungkinkan, jauhkan pelaku dari sarana atau alat yang dapat dipakai untuk melakukan tindakan bunuh diri.
n.        Lakukan sesuatu (misalnya beritahu orang lain dalam hal ini keluarga atau orang terdekat berdasarkan  kesepakatan dengan pasien) dan berilah pertolongan yang sesuai keadaan pelaku.

  1. Cara–cara yang harus dihindari oleh petugas kesehatan  dalam berkomunikasi
a.        Sering memotong pembicaraan.
b.        Mengabaikan percobaan bunuh diri.
c.        Menantang si pelaku untuk melanjutkan niatnya bunuh diri.
d.        Membuat persoalan menjadi lebih rumit.
e.        Memberikan keyakinan yang salah.
f.         Mengatakan bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja.
g.        Memperlihatkan rasa terkejut, malu atau panik  dan bersikap emosional.
h.        Memperlihatkan kesan sibuk dan tidak ingin diganggu.
i.          Menghakimi, menyalahkan, melecehkan dan memojokkan sehingga menambah rasa bersalah.
j.          Terlalu dominan atau otoriter.
k.        Memberikan jawaban–jawaban yang tidak jelas.
l.          Pertanyaan yang bersifat interogatif.
m.       Terlalu banyak bertanya.
n.        Meninggalkan pelaku tindakan bunuh diri seorang diri tanpa pengawasan.


C. Rencana tindak lanjut terhadap pasien dengan risiko bunuh diri

1. Penilaian dan penatalaksanaan
Setelah tenaga kesehatan mengidentifikasi orang dengan kecenderungan bunuh diri, maka perlu dilakukan penilaian:

a.    Tingkat risiko terjadinya bunuh diri:

1) Risiko tingkat rendah
Orang yang telah mempunyai pikiran bunuh diri, mengatakan ”Saya tidak sanggup lagi”, ”Lebih baik saya mati”, tetapi belum memiliki rencana apapun.

               Cara penanganan
a)        Memahami pikiran dan perasaan orang yang akan bunuh diri serta menawarkan dukungan emosional. Semakin terbuka orang membicarakan tentang kehilangan, keterasingan dan perasaan tidak berharga, semakin sedikit gangguan emosi yang terjadi. Ketika gangguan emosi tersebut sudah kembali normal, mereka akan lebih mawas diri (reflective). Proses mawas diri ini amat penting artinya.
b)        Pembicaraan difokuskan pada kelebihan atau kemampuan mereka untuk menyelesaikan masalah terdahulu tanpa adanya keinginan untuk bunuh diri.
c)        Merujuk orang tersebut ke psikiater, psikolog klinis atau dokter.
d)        Menjalani konseling secara teratur


2) Risiko tingkat menengah
Orang yang mempunyai rencana dan keinginan bunuh diri, tetapi rencana tersebut tidak akan dilakukan dalam waktu dekat.

Cara penanganan
a)        Menawarkan dukungan emosional, memahami pikiran dan perasaan orang yang akan bunuh diri. Fokuskan pada kelebihan mereka, kemudian dilanjutkan dengan langkan-langkah di bawah ini:
b)        Bila pasien dalam keadaan ambivalen, maka tenaga kesehatan perlu menggarap hal tersebut sehingga secara bertahap keinginan untuk hidup akan semakin kuat.
c)        Menggali cara penyelesaian masalah: petugas kesehatan harus berusaha menggali untuk mencari beberapa cara penyelesaian masalah, sehingga pasien dapat mempertimbangkan salah satu cara yang dianggap cocok untuk dirinya.
d)        Membuat perjanjian. Membantu (kalau perlu dibujuk) orang tersebut untuk bertekat tidak akan melakukan bunuh diri:
1)        dalam jangka waktu tertentu
2)        tanpa menghubungi tenaga kesehatan
e)        Merujuk secepatnya ke psikiater, dokter, psikolog klinis atau konselor.
f)         Menghubungi keluarga, kerabat atau teman untuk meminta dukungan mereka.

3) Risiko tingkat tinggi
Orang ini memiliki rencana dan metode yang jelas, dan akan melakukannya dalam waktu dekat.

Cara penanganan
a)        Mendampingi orang tersebut dan tidak boleh meninggalkannya sendirian.
b)        Berbicara dengan lemah lembut kepadanya agar ia mau membicarakan masalahnya.
c)        Menyingkirkan semua benda yang membahayakan seperti obat-obatan, racun, benda tajam, pistol.
d)        Membuat perjanjian seperti di atas.
e)        Menghubungi psikiater, psikolog klinis atau dokter secepatnya dan membawa pasien ke rumah sakit untuk dirawat (jika dibutuhkan perawatan yang lebih intensif).
f)         Memberitahu pihak keluarga, kerabat atau teman dan minta dukungan mereka.

D. Beberapa tips  yang  diberikan  kepada pasien  untuk mencegah tindakan bunuh diri
1.      Ceritakan masalah anda kepada dokter, sahabat, anggota keluarga atau orang yang anda anggap dapat menolong anda.
2.            Jauhkan diri anda dari hal atau benda yang dapat digunakan untuk bunuh diri. Misalnya bila anda berpikir bunuh diri menggunakan obat dengan dosis berlebihan, maka serahkanlah obat tersebut kepada keluarga dan biarlah mereka yang memberikannya kepada anda setiap hari.
3.            Jauhkan benda atau senjata yang dapat membahayakan anda.
4.            Jauhi penggunaan alkohol atau NAPZA lainnya.
5.            Tetapkan tujuan hidup anda secara realistik dan kerjakan secara bertahap.
6.            Tuliskan rencana kerja anda setiap hari dan     bekerjalah sesuai dengan rencana tersebut. 
7.            Tetapkan prioritas yang perlu didahulukan. Dengan menuliskan rencana kerja, anda akan merasa dapat  memprediksi dan mengendalikannya.
8.            Sediakan waktu untuk beribadah dan menikmati hobi anda, misalnya mendengarkan atau bermain musik, latihan relaksasi atau meditasi, membaca majalah kesayangan anda, permainan, mengerjakan pekerjaan tangan, menonton televisi, berkebun, memelihara binatang, berjalan-jalan.
9.            Perhatikan kesehatan anda: makan dengan gizi berimbang, istirahat dan tidur yang cukup, serta olah raga secara teratur.
10.        Berjemur di sinar matahari pagi selama 30 menit akan berdampak baik bagi penderita depresi.
11.        Bersosialisasi dan berbincang-bincang dengan orang sekitar anda.
12.        Makan obat sesuai petunjuk dokter.

E.  Cara memberi tahu keluarga:
1.            Meminta persetujuan pasien dengan tindakan bunuh diri untuk mengetahui orang-orang  terdekat yang dapat dihubungi. Setelah mendapatkan alamatnya segera menghubungi mereka.
2.            Sekalipun pasien tidak mengizinkan, cobalah untuk mencari orang yang bersimpati pada penderitaan dan mau menolongnya. Segera hubungi mereka, katakan sebelumnya dan jelaskan bahwa kadang-kadang lebih mudah untuk berbicara dengan orang lain dibandingkan dengan anggota keluarga. Dengan demikian pasien tidak akan merasa diabaikan atau sakit hati bila sikap keluarga tidak sesuai dengan yang diharapkan.
3.            Bicaralah pada keluarga secara baik-baik tanpa menuduh atau membuat mereka merasa bersalah.
4.            Buatlah daftar mengenai hal-hal yang bisa dilakukan oleh keluarga untuk meringankan beban pelaku bunuh diri.
5.            Tetap memperhatikan kebutuhan keluarga.

Seperti halnya pelaku tindakan bunuh diri, keluarga maupun orang-orang yang dekat dengan mereka juga membutuhkan bantuan karena mereka juga mengalami perasaan kehilangan, terpukul, bersalah, malu atau marah. Petugas kesehatan sebaiknya memperlakukan mereka dengan baik, berusaha memberikan dukungan, dan turut merasakan perasaan kehilangan atau rasa malu.

Perlu diberikan penjelasan bahwa keluarga perlu bekerja sama dalam menangani anggota keluarga mereka karena kemungkinan tindakan bunuh diri yang gagal dapat terulang lagi pada masa yang akan datang.

Tekankan bahwa keluarga merupakan sumber dukungan terbesar, oleh sebab itu sikap-sikap positif dari keluarga seperti kasih sayang, perhatian, dan sikap yang tidak memojokkan amat dibutuhkan untuk membantu proses pemulihan pelaku tindakan bunuh diri.



BAB IV
UPAYA PENCEGAHAN BUNUH DIRI DI MASYARAKAT

Bunuh diri dapat dicegah dan semua anggota masyarakat dapat melakukan tindakan yang akan menyelamatkan kehidupan dan mencegah bunuh diri.
Sangat dibutuhkan kerjasama yang erat antara individu, keluarga, masyarakat, profesi dan pemerintah untuk bersama mengatasi masalahnya.


A.  UPAYA PENCEGAHAN YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH INDIVIDU

Bila menemukan orang dengan ciri risiko tinggi, maka individu dapat melakukan:
  • Coba menjalin kontak  dan mengenali pelaku tindakan bunuh diri beserta latar belakangnya.
  • Dengarkan dengan penuh perhatian dan biarkan pelaku tindakan bunuh diri berbicara mengenai perasaannya.
  • Coba mengenali masalah dan memahami perasaannya.
  • Hargai pemikirannya dan jangan menyalahkan keputusan mereka untuk bunuh diri.
  • Telusuri situasi yang dialami sekarang dan pengalaman serta keyakinannya pada masa lalu.
  • Telusuri pilihan alternatif yang positif yang mungkin dan dapat dilakukan sesuai dengan diri, nilai dan hal yang disenangi oleh orang tersebut.
  • Identifikasi cara terbaik yang dapat dilakukan untuk menolong mereka dalam situasi krisis.
  • Beri mereka harapan dan optimisme.
  • Bantu mereka mengurangi beban pikirannya.
  • Libatkan mereka dalam kegiatan sosial dan rekreasi seperti bertemu orang, berbicara kepada teman, mendengarkan radio, menonton televisi (bukan yang menayangkan tentang bunuh diri), menghadiri pertemuan sosial dan lain-lain. Semua usaha tersebut  dalam rangka meningkatkan perasaan sejahtera.
  • Rujuk mereka kepada konselor atau tenaga kesehatan jiwa (psikiater, psikolog atau pekerja sosial).
  • Ikuti saran dari dokter atau konselor, khususnya kepatuhan terhadap terapi.
  • Dampingi dan bantu mereka dengan segala cara yang mungkin dilakukan.
  • Teruskan berinteraksi, mendengarkan dan menawarkan dukungan.

Bila situasi krisis sudah berlalu, penting untuk tetap memberikan dukungan agar mereka mampu mengatasi tantangan hidup dengan cara yang positif. Jika pikiran bunuh diri tetap ada, diperlukan dukungan konselor dan profesional lain, jadi mereka perlu dirujuk ke tenaga yang tepat. Semua anggota masyarakat sebenarnya dapat bertindak sebagai konselor yang terbatas yaitu dengan cara berkomunikasi, berempati, memberi dukungan dan menunjukkan arahan yang positif bagi orang tersebut.


B.  UPAYA PENCEGAHAN YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH KELUARGA

Keluarga merupakan pusat dari semua kegiatan dalam kehidupan individu. Konflik interpersonal, hubungan yang terganggu dan kehidupan yang tidak harmonis merupakan faktor pencetus yang penting dalam tindakan bunuh diri. Keluarga perlu memberi dukungan dan melakukan upaya untuk mencegah bunuh diri. Anggota keluarga dapat melakukan upaya yang efektif dengan berbagai cara, antara lain:
  • Mengidentifikasi tanda-tanda dari stres dan kecenderungan bunuh diri. Karena ekspresinya sangat unik untuk setiap budaya, maka keluarga harus mengenali kecenderungan tersebut.
  • Membina hubungan yang erat dengan pelaku, penuh perhatian, mendengarkan, menghargai perasaan serta memahami emosinya.
  • Tunjukkan bahwa keluarga ingin menolongnya.
  • Lebih baik membangun potensi kekuatan pelaku dari pada terpaku pada kelemahannya.
  • Jangan tinggalkan seorang diri anggota keluarga  yang mempunyai keinginan bunuh diri.
  • Menjauhkan pelaku dari benda yang membahayakan dirinya seperti: obat-obatan, racun, benda tajam, tali dan lain-lain.
  • Secara bertahap bangkitkan kembali keinginan untuk hidup (untuk beberapa situasi dapat terjadi dengan cepat).
  • Ajari dan praktekkan metode penyelesaian masalah dan timbulkan rasa optimis.
  • Mencoba untuk meminimalkan konflik di rumah dan mengembangkan latihan pemecahan masalah bersama dengan anggota keluarga yang lain.
  • Mendorong anggota keluarga tersebut untuk mencari pertolongan profesional, rumah sakit atau LSM (lihat lampiran) yang tepat. Mereka yang mempunyai masalah kesehatan jiwa tidak mau dilabel dengan ”gangguan jiwa”. Oleh karena itu persuasi merupakan faktor kunci untuk membawanya ke dokter. Konsultasi dengan dokter tidak cukup hanya satu kali. Untuk mendapatkan perubahan yang bermakna diperlukan konsultasi yang teratur dan perlu mengikuti saran yang diberikan oleh dokter.
  • Membantu anggota keluarga tersebut untuk mengatasi krisis dengan berbagai cara yang realistik dan cocok dengan yang bersangkutan.
  • Tetap mengobservasi dan mewaspadai tindakan, reaksi dan perilakunya.
  • Perhatian khusus diberikan pada usia lanjut, penyakit terminal, gangguan jiwa (depresi, alkoholisme, tindak kekerasan dan lain-lain) dan penderita cacat.
  • Identifikasi lembaga atau tokoh dalam masyarakat untuk membantu kasus spesifik (misalnya sekolah, lembaga tenaga kerja, lembaga sosial, institusi kesehatan, tokoh agama dan sesepuh atau tokoh masyarakat).
  • Dengan memberikan perhatian yang penuh kasih sayang, pengertian dan dukungan (selain dari memberi pengobatan yang diperlukan secara teratur), dapat mencegah terjadinya tindakan bunuh diri.
C.  UPAYA PENCEGAHAN YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH MASYARAKAT DAN JARINGAN YANG LEBIH LUAS

Masyarakat mempunyai tanggungjawab yang besar untuk mencegah tindakan bunuh diri. Masyarakat seharusnya menciptakan norma perilaku untuk membantu anggota masyarakat bertumbuh dengan cara yang positif, sehat dan merasa sejahtera. Jadi pengaruh positif dari masyarakat dapat mempengaruhi individu untuk berhenti dari perilaku merusak.

Problem besar pada masyarakat yang sedang dalam transisi adalah menurunnya sistem nilai secara bertahap, perubahan yang cepat yang diikuti oleh konflik yang disebabkan oleh adanya peluang baru dan frustrasi yang timbul akibat dari perubahan sosial masyarakat. Jadi setiap institusi dan individu di dalamnya dapat memainkan peranan yang amat penting untuk mencegah tindakan bunuh diri. Masyarakat perlu membangun mekanisme pertahanan sosial yang meliputi pencegahan, terapi dan pelayanan ”after care” untuk mengurangi tindakan bunuh diri.

Masyarakat, organisasi dan LSM mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengembangkan pelayanan pencegahan, pelayanan gawat darurat, pelayanan ”after care”dan program pencegahan. Mendata dukungan dari kelompok lokal merupakan langkah penting dalam membuat program dan mengidentifikasi sumberdaya yang ada.

Masyarakat lokal dapat membantu program pencegahan bunuh diri dengan cara mengangkat isu lokal, masalah dan penyebab bunuh diri kepada pengambil keputusan (misalnya memperbaiki kualitas hidup masyarakat ekonomi lemah, mengurangi tindak kekerasan dan kriminalitas, menghilangkan stigma, menghilangkan sikap diskriminasi, mempengaruhi media massa lokal dan memperbaiki informasi data tentang bunuh diri).

Selain dari hal tersebut di atas dapat pula dilakukan kegiatan sebagai berikut:
  • Membentuk ”hotline” (yang dapat mendengarkan keluhan dan menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan) sesuai dengan kebutuhan setempat. Mengembangkan sistem informasi dan komunikasi misalnya layanan telepon 24 jam yang dapat dihubungi langsung oleh yang membutuhkan (misalnya menyediakan nomor telepon khusus untuk anak atau khusus untuk perempuan yang disediakan oleh kepolisian).
  • Menyebarluaskan publikasi tentang ”hotline”  dan mendorong masyarakat untuk memanfaatkannya.
  • Membentuk relawan lokal yang dapat memberikan pertolongan darurat terhadap penderita distres atau mereka yang membutuhkan dalam situasi krisis.
  • Mengumpulkan masyarakat lokal dari berbagai LSM untuk mengembangkan sistem dukungan intersektoral berdasarkan masalah yang ditemukan di masyarakat dan sumberdaya yang tersedia.
  • Mengorganisasikan kegiatan promosi kesehatan jiwa dan sosial di sekolah, perguruan tinggi,  industri, rumah sakit, dan masyarakat risiko tinggi dengan melibatkan individu dan keluarga.
  • Memberikan informasi yang bermakna kepada media massa lokal tentang penyebab, situasi dan keadaan bunuh diri dan meningkatkan pengamanan pada tempat dengan risiko tinggi tindakan bunuh diri.
  • Mengembangkan program pendidikan dengan menggunakan bahasa dan dialek setempat sesuai kebutuhan.


D.    MEWASPADAI TEMPAT RISIKO TINGGI

Bunuh diri juga sering terjadi di beberapa tempat seperti rumah sakit, panti werda, penjara dan penginapan. Oleh  karena itu perlu mengembangkan mekanisme pencegahan tindakan bunuh diri pada tempat-tempat tersebut dengan upaya khusus.
·         Perlu mengidentifikasi individu berisiko tinggi untuk bunuh diri pada tempat-tempat itu dan mengembangkan program intervensi yang ditujukan pada individu tersebut.
·         Staf pada tempat tersebut perlu dilatih untuk mengidentifikasi dan tetap mewaspadai mereka. Perlu dilakukan pelatihan periodik untuk mengatasi masalah dan melakukan metode pencegahan.
·         Perlu meningkatkan kepekaan petugas penerima tamu dan petugas lainnya untuk dapat mendeteksi adanya kemungkinan risiko tinggi bunuh diri pada calon dan penghuninya.
·         Dalam memberikan pertolongan perlu melibatkan tenaga kesehatan, psikolog, pengacara, polisi, pekerja sosial dan konselor.
·         Perlu kerjasama antara keluarga, sahabat, pemuka agama, staf rehabilitasi dan konselor profesional dalam memberikan intervensi.
·         Perlu menyediakan alat/materi untuk pertolongan pertama bila tiba-tiba terjadi usaha bunuh diri yang tak diduga sebelumnya.
·         Orang dengan risiko tinggi ditempatkan bersama dengan orang lain, bila tidak merupakan ancaman terhadap orang lain.
·         Tempatkan pada tempat yang aman dan singkirkan benda yang dapat digunakan untuk bunuh diri.
·         Tingkatkan pemeriksaan keamanan lingkungan khususnya pada penginapan dan hotel.
·         Perlu meningkatkan interaksi sosial yang sehat dan melibatkan mereka dalam kegiatan rekreasi (seperti menyanyi, olah raga, mendengar radio, menonton televisi, membaca), berdoa, meditasi.


E.        UPAYA YANG PERLU SEGERA DILAKUKAN OLEH SEKTOR KESEHATAN

Sampai saat ini belum ada program yang spesifik atau terfokus pada pencegahan bunuh diri. Disamping itu, juga tidak ada program tunggal yang 100 % berhasil untuk mencegah bunuh diri. Agar lebih berhasil, diperlukan program yang terintegrasi dan kerjasama dari berbagai pihak.

Bunuh diri bukan semata-mata merupakan fenomena sosial, budaya atau agama. Agar menjadi mitra kerja yang aktif dalam upaya pencegahan bunuh diri, sektor kesehatan perlu meluaskan peran dan tanggung jawabnya. Sektor kesehatan seharusnya memprakarsai untuk melakukan riset multi sektoral, karena dengan memahami masalah, faktor risiko dan metode yang dilakukan, merupakan isu kunci dalam intervensi dan pencegahan bunuh diri yang efektif.

Agar upaya pencegahan menjadi efektif, maka sektor kesehatan perlu melakukan:
  • Program pengembangan sumber daya untuk penanganan bunuh diri dengan cara meningkatkan pengetahuan, kemampuan, teknik dan strategi dalam memberikan pelayanan.
  • Memperbaiki fasilitas gawat darurat dan pelayanan segera terhadap pasien dengan percobaan bunuh diri dikombinasikan dengan pelayanan rujukan dan rehabilitasi.
  • Mengintegrasikan pelayanan kesehatan jiwa ke sistem pelayanan kesehatan dasar. Dengan melakukan identifikasi, penatalaksaan dan rujukan segera terhadap pasien (khususnya mereka yang menderita depresi, penyalahgunaan alkohol dan gangguan jiwa lainnya), bersamaan dengan meningkatkan sikap yang positif dari masyarakat, akan sangat menolong mengurangi angka bunuh diri.
  • Memberikan arahan kepada insan media massa dan sektor lain untuk mengembangkan kebijakan penyebarluasan informasi yang realistik agar terbentuk sikap yang positif pada masyarakat.
  • Mengembangkan program pencegahan bunuh diri lintas sektor yang terintegrasi dan terkoordinasi (sektor kesehatan, pendidikan, agama, pertanian, tenaga kerja, kepolisian, hukum dan lain-lain).
  • Mengembangkan pusat ”keracunan” yang dapat memberikan informasi dan saran kepada mereka yang keracunan.

Perilaku bunuh diri seringkali dilaporkan oleh keluarga dekat, tetangga, atau teman. Sarankan untuk segera mengubungi fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan pertolongan medis. Di beberapa kota besar tersedia ”hotline service”  yang dapat dihubungi 24 jam.

Penatalaksanaan segera tergantung pada usia, jenis kelamin, keadaan fisik, jenis dan jumlah racun yang digunakan, cara bunuh diri (membakar diri, gantung diri dan lain-lain). Yang sangat penting adalah reaksi segera tergantung situasi pasien. Rumah sakit seharusnya dapat melakukan penatalaksanaan lebih spesifik dan lebih efektif terhadap pasien bunuh diri (sebagai tempat rujukan).


F.        UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH RUMAH SAKIT DAN PUSKESMAS

  • Segera berikan pertolongan setelah pasien datang ke rumah sakit. Beberapa rumah sakit tidak melayani pasien bunuh diri atau percobaan bunuh diri dengan alasan akan membebani kerja mereka, pasien hanya mencari perhatian dan takut masalah mediko-legal. Sikap penolakan dari rumah sakit ini akan menyebabkan orang enggan mencari pertolongan ke rumah sakit.
  • Berikan obat atau lakukan konseling sesuai dengan keadaan dan kebutuhan pasien. Pasien perlu dievaluasi secara teratur untuk mengamati reaksi obat.
  • Jangan menghentikan atau mengubah secara mendadak pemberian obat tanpa alasan.
  • Menyebarluaskan informasi ke masyarakat tentang cara memberikan pertolongan pertama dan tentang pusat layanan yang memberikan pertolongan gawat darurat khususnya untuk mengatasi keracunan dan luka bakar. Walaupun demikian jangan sampai terlambat membawa pasien ke rumah sakit.
  • Perlu menyediakan fasilitas minimal di Puskesmas untuk mengatasi keadaan gawat darurat. Pertimbangkan waktu yang dibutuhkan untuk membawa pasien dari pedesaan ke kota.
  • Dokter dan perawat perlu dilatih dalam penatalaksanaan pasien yang melakukan percobaan bunuh diri, khususnya di daerah pedesaan, karena pengiriman ke rumah sakit di kota akan menyebabkan terlambatnya pengobatan. Selain dari memberikan keterampilan, perlu pula memperbaiki pelayanan gawat darurat dengan cara memperkuat fasilitas dan sumber daya untuk pengobatan.
  • Bersamaan dengan penanganan segera, tenaga medis perlu pula dilatih untuk memberikan pelayanan pasca rawat (”after care”). Pada saat dipulangkan status kesehatan pasien perlu diperiksa kembali. Jika dibutuhkan, sarankan kepada keluarga untuk mendapatkan pertolongan selanjutnya seperti rujukan, konseling dan intervensi lainnya.
  • Rujukan ke tenaga kesehatan jiwa seperti psikiater, psikolog, perawat dan pekerja sosial harus merupakan bagian yang integral dari ”after care” untuk menjamin agar usaha bunuh diri tidak terulang.
G.           UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH TENAGA KESEHATAN SELAIN PEMBERIAN OBAT

Sampai saat ini masalah bunuh diri tidak dianggap sebagai masalah kesehatan yang serius dan menganggap bahwa percobaan bunuh diri lebih merupakan masalah sosial, agama atau budaya. Oleh karena itu pemikiran semacam ini perlu dirombak dan tenaga kesehatan perlu lebih dekat dengan masyarakat untuk mengenal penduduknya dengan baik agar dapat memberikan pelayanan yang lebih efektif kepada mereka dengan pikiran dan perilaku bunuh diri, dan kepada keluarga dengan riwayat anggota keluarganya yang bunuh diri.

Tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan dasar dan rujukan memegang peranan yang efektif dalam upaya pencegahan, penatalaksanaan atau rehabilitasi pasien dengan kecenderungan bunuh diri, mereka yang melakukan percobaan bunuh diri atau keluarga mereka. Biasanya sektor kesehatan merupakan orang yang pertama berkontak dengan pasien yang melakukan percobaan bunuh diri (selain keluarga). Sebaliknya karena adanya sikap stigmatisasi dari masyarakat, mungkin pula petugas kesehatan merupakan kontak terakhir dengan pasien percobaan bunuh diri setelah mencoba usaha lainnya.

Upaya yang dapat dilakukan antara lain:
  • Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tentang penatalaksanaan dan pencegahan bunuh diri serta teknik konseling. Mereka perlu mengidentifikasi sumber daya yang dibutuhkan (baik lokal maupun nasional).
  • Belajar dan menerapkan metode pemeriksaan kesehatan jiwa yang sederhana untuk mengidentifikasi mereka yang berpotensial mengalami masalah psikiatrik dan psikososial.
  • Meningkatkan kesehatan jiwa di wilayah kerja mereka. Dalam menilai dan memberi pertolongan kepada kelompok risiko tinggi bunuh diri, perlu dipertimbangkan adanya komorbiditas gangguan jiwa yang perlu penanganan.
  • Beri perhatian khusus terhadap individu dan keluarga yang anggota keluarganya mengalami depresi, ketergantungan alkohol, skizofrenia dan gangguan kepribadian (gangguan perilaku dan gengguan perasaan). Karena mereka merupakan kelompok risiko tinggi, mereka perlu tetap dimonitor dan mendapatkan pelayanan yang diperlukan. Mereka yang mempunyai riwayat HIV/AIDS, lumpuh, epilepsi, penyakit terminal/kronik, dan penderita cacat perlu mendapatkan dukungan terus menerus atau konseling.
  • Sebagai langkah awal, membina kontak dengan pasien, dengarkan mereka dengan penuh perhatian, jangan membantah atau menginterupsi pembicaraan mereka. Beri kesempatan pasien berbicara tanpa melakukan penilaian. Menelusuri situasi dan memahami perasaannya, akan memberikan rasa aman, harapan dan arahan terhadap individu dan keluarganya. Libatkan keluarga dan teman dekatnya.
  • Mengembangkan program rujukan dan rehabilitasi bekerjasama dengan pelayanan sosial dan kesehatan jiwa terdekat. Pada daerah geografis dengan risiko tinggi, sebagian besar dari mereka tak dapat ditangani  di tempat, maka perlu dirujuk ke pelayanan spesialistik. Mungkin sebagian besar pasien tidak mau dirujuk ke rumah sakit, oleh karena itu tenaga kesehatan perlu membujuk dan memberikan pengertian akan pentingnya pelayanan lebih lanjut.
  • Mengumpulkan mereka yang pernah melakukan tindakan bunuh diri dan membentuk kelompok ”tolong diri” untuk berbagi rasa tentang pikiran, perasaan dan pengalaman mereka. Bantu mereka untuk mengembangkan sikap yang positif, empatik, berbagi rasa dan saling membantu satu sama lain. Dengan berinteraksi, dapat mengubah perasaan dan pikiran mereka dan dengan cara berbagi rasa dan saling belajar satu sama lain, dapat menghilangkan stigma, rasa bersalah, malu dan rasa kesepian.
  • Petugas kesehatan perlu berkontak secara teratur dengan individu dan keluarga untuk mengevaluasi keadaan pelaku.
  • Waspadai masalah potensi bunuh diri pada daerah yang baru mengalami bencana alam, gagal panen atau gejolak pada kelompok sempalan agama (sekte).
  • Dapatkan informasi masalah bunuh diri di masyarakat melalui tokoh masyarakat, pengobat tradisional, dan pemuka agama.


H.           UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH MEDIA MASSA

Media massa (cetak dan elektronik) berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat. Walaupun media punya kebebasan untuk menayangkan berita, namun mereka harus menyadari akibat dari berita tersebut terhadap masyarakat.

Sejumlah novel, televisi, film, majalah dan surat kabar melaporkan peristiwa bunuh diri sebagai tindakan yang berani dan menjelaskan secara rinci cara bunuh diri yang dilakukan oleh individu atau kelompok. Data menunjukkan bahwa dengan penayangan demikian ternyata angka bunuh diri di masyarakat menjadi meningkat. Jadi media dapat berperan negatif atau positif dalam membentuk pemikiran dan perilaku masyarakat.

Media massa sebaiknya melakukan hal berikut:
  • Laporan tentang bunuh diri perlu menekankan bahwa setiap bunuh diri merupakan kerugian bagi masyarakat.
  • Hati-hati menayangkan ”celebrity suicide”, jangan dianggap sebagai tindakan pahlawan. Berikan publikasi yang minimal terhadap hal tersebut.
  • Hindari memberikan penjelasan yang rinci tentang cara dan tempat bunuh diri, karena masyarakat ingin tahu dan melihat tempat tersebut dan mungkin pula melakukannya dengan motif dan cara yang sama. Bila terdapat tempat dengan risiko tinggi, maka media perlu menekankan bagaimana cara membuatnya lebih aman.
  • Bunuh diri tidak terjadi karena faktor tunggal. Jangan menyalahkan korban, karena tindakan tersebut disebabkan oleh kombinasi berbagai penyebab. Tekankan bahwa gagal bercinta, tidak lulus ujian, tidak jadi ke luar negeri bukan merupakan penyebab bunuh diri. Masyarakat perlu diberi informasi bagaimana cara menghindari tindakan bunuh diri.
  • Pemberitaan bunuh diri di media massa merupakan beban yang memalukan bagi keluarga.
  • Beritakan tanda-tanda  yang perlu diwaspadai yaitu bencana sosial, masalah ekonomi dan gangguan jiwa (khususnya depresi). Pada situasi tersebut perlu kerjasama yang erat dengan petugas kesehatan.
  • Berikan penjelasan dampak bunuh diri kepada individu yang selamat, pegawai dan keluarganya serta akibat terhadap individu baik jangka pendek maupun jangka panjang.
  • Jelaskan tentang miskonsepsi, budaya, keyakinan dan mitos tentang bunuh diri. Menimbulkan kewaspadaan dan mengubah pemikiran masyarakat merupakan salah satu dari tanggung jawab media.
  • Media lokal dapat memberikan informasi tentang ”hotline service”, pusat pencegahan krisis, pusat pengobatan keracunan, atau LSM yang dapat memberikan bantuan kepada individu dan keluarganya.
  • Pemilihan kalimat seperti ”bunuh diri yang berhasil” atau ”bunuh diri yang lengkap” dapat mengubah persepsi masyarakat.
  • Media massa perlu bekerja sama yang erat dengan petugas kesehatan sebelum menayangkan berita.
 I.          UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH GURU

Belakangan ini bunuh diri pada anak dan remaja semakin meningkat. Penyebab utama adalah kegagalan di sekolah, masalah tekanan dari orangtua, tuntutan prestasi sekolah terlalu tinggi, putus cinta dan konflik.

Perilaku merusak pada remaja seperti merokok, minum alkohol dan kegiatan seks bebas juga semakin meningkat. Sekolah dan perguruan tinggi berfungsi sebagai tempat membangun kehidupan individu dan dapat memainkan peranan penting dalam mencegah perilaku merusak diri tersebut. Membangun sistem nilai, menyiapkan aspirasi individu yang dapat diterima dan menanamkan mekanisme tujuan yang sesuai, merupakan hal yang penting dalam mencegah tindakan bunuh diri pada kelompok usia muda.

Yang dapat dilakukan guru antara lain:
  • Memberikan pendidikan keterampilan hidup yang dikombinasikan dengan pendekatan pemecahan masalah merupakan modal untuk menghadapi dan mengatasi kehidupan dengan cara yang realistik dan optimistik.
  • Periode transisi dari masa kanak ke remaja selalu merupakan fase yang bergejolak. Berbagai masalah perilaku seringkali ditemukan pada masa ini (afek yang tak stabil, impulsif, kesulitan dalam pertahanan diri, sedang mencari identitas diri, berfantasi, perilaku merusak, marah, anxietas, perasaan yang kompleks tentang diri sendiri dan orang lain serta ketertarikan pada sesama jenis). Perlu dibantu terbentuknya citra dan identitas diri yang mantap agar dapat mengatasi krisis masa peralihan ini dengan efektif.
  • Penganiayaan anak juga merupakan masalah yang seringkali timbul yang disebabkan oleh masalah di rumah atau di lingkungan. Anak tersebut sering menjadi korban dan mengalami trauma serta takut untuk berbagi masalahnya dengan orang lain, karena alasan keluarga dan budaya. Mereka membutuhkan dukungan dan bantuan untuk mengatasi stres mental mereka dan belajar mekanisme pertahanan diri.
  • Remaja tertentu memerlukan perhatian khusus di sekolah karena mereka mempunyai risiko tinggi untuk tindakan bunuh diri. Ciri anak tersebut adalah: kurang minat dalam bidang pelajaran dan sekolah, menurunnya prestasi akademis, sering tidak masuk sekolah, sering terlibat perilaku merusak, perokok berat, alkohol atau NAPZA lain, harga diri rendah, gangguan makan dan tidur serta meningkatnya derajat kecemasan.
  • Anak khususnya yang berasal dari lingkungan keluarga yang berantakan, orangtua tunggal, orangtua bercerai, konflik perkawinan, orangtua pengangguran dan keluarga besar dengan penghasilan rendah merupakan kelompok risiko tinggi untuk bunuh diri. Dalam hal ini guru perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan untuk mengubah sikapnya agar mampu bertindak sebagai media untuk mengubah perilaku siswa (”agents of change”).
  • Guru perlu menjadi lebih adaptif secara sosial dan psikologis untuk mengubah realitas. Guru harus mengidentifikasi ”anak yang mengalami krisis” sejak dini dan guru perlu melakukan konseling atau merujuk mereka ke pelayanan yang sesuai.
  • Anak perlu dilengkapi dengan keterampilan sosial, membangun rasa percaya diri, saling berbagi situasi krisis dengan yang lain, mencari saran dan bahan pertimbangan untuk membuat pilihan dan terbuka untuk pengetahuan baru. Guru perlu menciptakan lingkungan yang sehat untuk interaksi yang positif diantara siswa dan guru.
  • Meningkatkan harga diri siswa dan membantu mereka mengatasi situasi stres dengan berbagi pengalaman hidup yang positif, mengurangi tekanan yang ditimbulkan oleh sekolah dan berkomunikasi dengan cara yang positif dengan anak-anak merupakan hal yang sangat diperlukan.
  • Menciptakan sekolah agar menjadi tempat yang sehat melalui pengembangan kegiatan sekolah yang lebih baik, membina hubungan interpersonal dan mencegah perilaku berbahaya akan meningkatkan interaksi yang lebih baik diantara siswa dan guru.
  • Mengupayakan program intervensi krisis untuk menyelesaikan konflik interpersonal, membantu anak-anak yang mengalami gangguan penggunaan NAPZA dan meningkatkan komunikasi yang saling mempercayai merupakan intervensi yang vital di institusi pendidikan.
  • Mengembangkan pelayanan konseling secara teratur dan segera merujuknya ke sarana yang tepat bila guru sendiri tidak mampu mengatasi masalah tersebut.
  • Membina komunikasi dan interaksi antara orangtua dan guru untuk membicarakan perkembangan kepribadian anak secara keseluruhan, tidak hanya sekedar membicarakan pencapaian atau kegagalan akademik.
  • Mengidentifikasi anak dengan risiko tinggi dan melibatkan orangtua serta teman untuk mengatasi masalahnya, akan mengurangi risiko tindakan bunuh diri pada anak.

J.        UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PEMU-KA AGAMA DAN PENGOBAT TRADISIONAL

Tokoh agama dan pengobat tradisional mempunyai posisi yang unik di masyarakat karena pamor, posisi, kebijakan dan kemampuan mereka untuk mempengaruhi nilai-nilai dan keyakinan masyarakat. Sementara dimensi spiritual dan religi dari tindakan bunuh diri masih diperdebatkan, namun perlu disadari bahwa kehidupan manusia itu sangat berharga. Karena masyarakat mempunyai keyakinan, penghargaan dan kepercayaan yang besar terhadap tokoh agama, maka tokoh agama dan pengobat tradisional perlu menekankan kenyataan bahwa bunuh diri dapat dicegah dan individu dapat ditolong melalui konseling, pengobatan dan pemberian dukungan. Tokoh agama perlu menekankan akan pentingnya kehidupan dan makna kehidupan itu sendiri dengan meningkatkan nilai-nilai dan keyakinan yang positif tanpa bersikap menghakimi.

Pengobat tradisional perlu dilibatkan dalam kegiatan pencegahan bunuh diri di tingkat masyarakat karena mereka seringkali merupakan kontak pertama terhadap berbagai masalah kesehatan. Jika mereka dapat memainkan peran yang positif dalam mengenali perilaku dan pikiran bunuh diri, keadaan depresi serta dapat memberikan dukungan emosional kepada masyarakat, maka hal ini merupakan langkah yang amat penting. Beberapa cara penanganan yang biasa dilakukan adalah berdoa, meditasi, puasa dan lain-lain. Walaupun belum ada penelitian yang dilakukan untuk mengevaluasi efektivitasnya dalam mengatasi masalah psikologis tertentu, namun cara tersebut telah diterima secara luas di masyarakat. Sangat penting untuk mengembangkan pengertian yang lebih baik tentang peran dari sistem ini digabungkan dengan metode yang positif, tidak berbahaya dan dapat diterima oleh masyarakat. Keterlibatan tokoh agama dalam kegiatan pengambilan keputusan di masyarakat akan membantu meningkatkan solidaritas di masyarakat.

BAB V
RUJUKAN

 A. Batasan dan Pengertian

Rujukan adalah upaya pelimpahan tanggung jawab timbal balik secara vertikal maupun horizontal dari tingkat pelayanan dasar kepada tingkat pelayanan rujukan atau sebaliknya sehingga gangguan jiwa memperoleh pelayanan yang lebih sesuai dengan kebutuhan.
Pada umumnya gangguan kesehatan jiwa dapat dilayani di sarana pelayanan kesehatan dasar, namun pada kasus yang berat (yang membahayakan pasien atau orang lain) seperti TBD yang membutuhkan perawatan di rumah sakit, dapat dirujuk ke sarana pelayanan rawat-inap. Begitu juga pasien yang membutuhkan terapi yang lebih mendalam (psikoterapi) dapat dirujuk kepada tenaga ahli kesehatan jiwa. Rujukan juga dapat dilakukan dengan cara konsultasi melalui media komunikasi seperti surat, telepon, fax, e-mail kepada tenaga ahli terdekat. Sebaliknya rujukan juga dilakukan terhadap pasien yang telah dirawat di pelayanan rawat-inap kepada puskesmas untuk dilakukan perawatan lanjutan.
  
Menurut Sistem kesehatan Nasional, upaya rujukan kesehatan pada dasarnya meliputi :

1. Rujukan Kesehatan
Upaya ini menitikberatkan pada upaya promotif dan preventif, misalnya
-    bantuan teknologi, misalnya buku-buku pedoman: penyuluhan, pelayanan, terapi, rehabilitasi tentang pencegahan TBD
-    bantuan sarana, misalnya obat obatan psikotropik, peralatan seperti TKL (terapi kejang listrik) untuk TBD dengan latar belakang depresi
-    bantuan operasional, misalnya bantuan pelaksanaan survei kesehatan jiwa, termasuk survei angka TBD di wilayah kerja Puskesmas.

2. Rujukan Medik

Menitikberatkan pada upaya kuratif dan  rehabilitatif, terdiri atas, misalnya:
-    pelimpahan pasien jiwa rujukan,
-    alih pengetahuan dan keterampilan melalui pelatihan
-    bimbingan teknis bikonsultasi dokter spesialis kedokteran jiwa ke puskesmas, dalam rangka meningkatkan pengetahuan tenaga puskesmas dalam penanganan kasus gangguan kesehatan jiwa yang dapat dilakukan di puskesmas

Bentuk rujukan ini dapat di lakukan secara berkala melalui kerjasama antara Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota dan RSUD  

§    Indikasi utama pelaku TBD yang dirujuk adalah yang memiliki :
1.      Gangguan psikiatri dan atau adanya riwayat bunuh diri pada masa lalu
2.      Adanya riwayat keluarga yang melakukan bunuh diri, mengkonsumsi alkohol atau gangguan jiwa
3.      Riwayat kesehatan fisik yang buruk
4.      Tidak punya dukungan sosial

§    Sikap tenaga kesehatan sewaktu merujuk:
1.      Tenaga kesehatan harus menjelaskan kepada orang dan keluarga tersebut alasan mengapa mereka dirujuk.
2.      Mengatur pertemuan dengan psikiater atau dokter.
3.      Menjelaskan bahwa tindakan merujuk tersebut bukan berarti tenaga kesehatan lepas tangan terhadap masalah ini.
4.      Mengunjungi  orang tersebut setelah melakukan konsultasi.
5.      Melakukan kontak secara periodik terhadap pelaku BD dan keluarganya.



BAB VI
PENUTUP


Pedoman Pencegahan Bunuh Diri diperuntukkan bagi petugas kesehatan yang  berada di Puskesmas dan UGD karena mereka merupakan petugas yang berada di garda terdepan dalam menangani kasus bunuh diri. Dengan adanya pedoman ini diharapkan agar para petugas tersebut dapat melakukan prevensi dan mencegah terulang kembalinya TBD, dan bilamana mereka menemui kasus yang mengarah pada TBD maka dapat merujuk pasien untuk mendapatkan bantuan secara profesional (Psikiater/Psikolog).

Komitmen, kepekaan, pengetahuan dan kepedulian terhadap orang lain, keyakinan bahwa kehidupan ini adalah anugerah yang harus dipelihara sebaik-baiknya, kesemua itu adalah modal dasar petugas kesehatan dalam memperkaya keterampilannya dalam membantu mencegah suatu TBD. 

Diharapkan Buku Pedoman ini dapat dipergunakan sebagai acuan dalam melaksanakan tugas dalam pelayanan kesehatan masyarakat dalam upaya pencegahan dan penatalaksanaan Tindakan Bunuh Diri.


DAFTAR PUSTAKA


Allebeck P, Allgulander C. Psychiatric diagnoses as
predictors of suicide; a comparison of diagnoses at
conscription in Psychiatric care in a cohort of 50,465
young men. Br. J.Psychiatry 1990;157:339-344

Mann JJ. Psychobiologic predictors of suicide. J Clin
Psychiatry 1987;48 (Suppl 12) : 39-43

Media Indonesia Online: Edisi Kesehatan, 7 Februari
2005. Angka Bunuh Diri di Jakarta 5,8 %

Tempo Interaktif, Jumat 13 Februari 2005: Kasus
Bunuh Diri di Gunung Kidul 95 % dengan Cara
Gantung Diri.

US Department of Health & Human Services:
Pragmatic Considerations of Culture in Preventing
Suicide, September 9-10, 2004. Philadelphia PA

WHO. Suicide Prevention : Emerging from Darkness.
2001.

WHO.World Helath Prevention Day- 10 Sep: Suicide
Huge but preventable public health problem.


jadwal-sholat