Seminar Psikologi Transpersonal

Seminar Psikologi Transpersonal.

Asesmen Pegawai

Asesmen Pegawai.

Proses Rekrutmen Karyawan

Proses Rekrutmen Karyawan.

Pelatihan Pembelajaran Bahasa Inggris Menggunakan Flash Card

Pelatihan Pembelajaran Bahasa Inggris Menggunakan Flash Card.

Pelatihan Psikologi Transpersonal Dalam Menjawab Realita Kehidupan

Pelatihan Psikologi Transpersonal Dalam Menjawab Realita Kehidupan.

Jumat, 18 Mei 2012

INTERNATIONAL CRIMINAL FORENSICS



A.           Overview  
Bidang-bidang psikologi forensik telah berkembang pesat seiring dengan banyaknya penelitian-penelitian serta fokus organisasi-organisasi nasional yang mementingkan pada yurisdiksi masing-masing. Internasional forensik berupaya untuk menggambarkan mengenai kompleksitas dan pentingnya mengamati isu-isu forensik pada berbagai negara. Topik-topik yang akan dibahas, yaitu psikologi terorisme; mencakup motivasi, implikasi, dan penanganan, kompetensi untuk diajukan di pengadilan, dan asesmen pada pelaku dengan risiko melakukan tindak kekerasan serta para tersangka dengan gangguan mental.
Di Amerika Serikat, telah dibentuk komisi nasional dalam psikologi forensik sejak tahun 1978 yang dikenal dengan nama American Board of Forensic Psychology (ABFP) dan American Academy of Forensic Psychology (AAFP). Terdapat klasifikasi tinggi yang harus dipenuhi untuk menjadi anggota komisi tersebut, yaitu pengalaman minimal 1000 jam dalam 5 tahun, post-doctoral, telah mengikuti pelatihan minimun 200 jam dengan supervisi, dan tes kelayakan (contoh kasus profesional yang pernah dilakukan dan ujian lisan). Pesatnya perkembangan psikologi forensik di Amerika Serikat menciptakan banyaknya universitas yang memiliki bidang studi psikologi forensik, seperti John Jay College of Criminal Justice New York, California School of Professional Psychology, University of Arizona, Florida International University, dan University of Nebraska.
Pada tahun 200 telah dibentuk International Association of Forensic Mental Health Services (IAFMHS) berdasarkan pertemuan di Vancouver. IAFMHS merupakan sarana untuk menghubungkan dan mengefektifkan komunikasi antar area-area serta merencanakan studi yang kolaboratif dan mendiskusikan temuan-temuan pada perencana kegiatan dan pembuat kebijakan. IAFMHS memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut, yaitu meningkatkan standar pelayanan kesehatan mental psikologi forensik dalam komunitas internasional, mempromosikan dialog internasional mengenai kesehatan mental forensik, mempromosikan pendidikan, pelatihan, serta penelitian-penelitian dalam bidang kesehatan mental forensik, menginformasikan isu-isu terkini mengenai kesehatan mental forensik pada komunitas profesional dan masyarakat, mempromosikan teknologi-teknologi yang dapat mempermudah pencapaian tujuan, dan membentuk kerjasama formal serta informal dengan organisasi-organisasi yang memiliki tujuan sama.
Australia lebih menekankan psikologi forensik pada terapi korban-korban kejahatan dan penanganan terhadap pelaku pelecehan seksual. Untuk mengatur isu tersebut, dibentuk CORE Sex Offender Program sebagai lembaga koreksi publik untuk mengevaluasi, memanajemen, dan menangani pria-pria pelaku pelecehan seksual. Berbeda dengan Australia yang memiliki lembaga mandiri, di Jepang, penanganan tersangka dengan gangguan mental dimonitor oleh Kementrian Kesehatan, Kesejahteraan, dan Ketenagakerjaan.
           
B.            Psikologi Terorisme
Isu terorisme mulai berkembang pesat setelah terjadi beberapa peristiwa penyerangan teroris dengan dampak masif, seperti pengeboman kereta di Madrid, Spanyol pada Maret 2004 dan serangan terhadap WTC dan Pentagon di Amerika Serikat pada September 2011. Peristiwa WTC telah memberikan dampak yang besar mengenai pandangan dunia akan terorisme. Aksi terorisme tidak hanya mengakibatkan dampak luka fisik, namun juga dampak emosional pada orang dan masyarakat, konsekuensi psikologis, kebutuhan serta peran bantuan psikologis pertama selama dan setelah peristiwa tragis tersebut.
Departemen pertahanan Amerika Serikat mendefinisikan terorisme sebagai aksi kekerasan bermotifkan politik yang dilakukan oleh kelompok-kelompok subnasional dengan target golongan sipil (yang tidak bersenjata) untuk mempengaruhi masyarakat. Sedangkan FBI menyebutkan bahwa terorisme merupakan aksi atau ancaman kekerasan yang melanggar hukum dengan menyerang orang-orang atau properti-properti untuk mengintimidasi pemerintah, masyarakat sipil, atau segmen-segmen lain yang dapat digunakan sebagai objek politik ataupun sosial. Everly menjelaskan karakteristik terorisme, yaitu memiliki tujuan eksplisit untuk menciptakan kondisi ketakutan, ketidakpastian, demoralisasi, dan perasaan tidak berdaya yang disebabkan kekuatan paksaan dan hukuman.
Teroris biasanya bergerak sebagai kelompok atau sel atau unit yang saling berbagai tujuan atau kepercayaan bersama. Tujuan atau kepercayaan tersebut yang dijadikan sebagai justifikasi (pembenaran) atas tindakan mereka. Lawal menyatakan bahwa teroris yang bergerak secara individual (pelaku bom bunuh diri) terjadi saat mereka terinspirasi ekstrem oleh kelompok dan tindakan yang dilakukan dapat diklasifikasikan dalam tindakan kolektif.
Dampak terorisme lebih nampak dalam bentuk ketakutan dalam pikiran, perasaan, tingkah laku, kebebasan personal individu. Everly mendeskripsikan terdapat empat ancaman teroris pada Amerika Serikat, yaitu ancaman terhadap kehancuran fisik dan kematian, persepsi akan ancaman disakiti atau kematian pada individu, keluarga, dan komunitas, ancaman terhadap perubahan sosiologis (menciptakan huru hara), dan ancaman resesi ekonomi yang ditimbulkan oleh matinya beberapa sektor industri.
Berbagai ahli mencoba membahas mengenai etiologi terorisme walaupun masih belum jelas dan belum ada kesepakatan mengenai pemahaman akan fenomena tersebut. Crenshaw menyatakan bahwa aksi terorisme didasarkan oleh pemikiran logis dan pilihan strategis dengan intensi untuk memenuhi tujuan sesuai realita. Bandura menyatakan bahwa teroris sudah terpisah dengan moralnya (morally detached) dan bergerak hanya berdasarkan dorongan psikologis. Arena dan Arigo berpendapat bahwa terorisme terkait dengan identitas kelompok dan adanya kebutuhan untuk mengambil peran, menyebarkan simbol, dan meletakkan makna-makna pribadi sesuai dengan identitas. JM Davis mengemukakan bahwa interaksi dari frustasi, emosi negatif yang intens, kontrol impuls yang lemah, dan norma kelompok atau sosial yang mendukung dan menvalidasi kekerasan sebagai kontributor akan fenomena terorisme.
Spencer menyatakan bahwa pelaku bom bunuh diri tidak mengalami gangguan jiwa namun memiliki altruistic suicide. Altruistic suicide didefinisikan sebagai kematian yang dilakukan oleh diri sendiri berdasarkan kepercayaan yang kuat, menyebabkan individu kehilangan rasa otonominya. Jika individu menganut kepercayaan berdasarkan norma bahwa dunia hanyalah persinggahan sementara menuju dunia utopis yang abadi, maka definisi bunuh diri tersebut akan ambigu dan peran psikiatris dalam memberikan intervensi akan dipertanyaan pelaksanaannya.
Para korban terorisme umumnya mengalami trauma dan kehilangan. Diperlukan proses coping yang efektif untuk menggali makna dari peristiwa yang telah terjadi dan membuat hidup kembali bermakna. Dalam penelitian Bleich yang dilakukan pada 512 orang partisipan tahun 2012 di Israel, para responden melaporkan adanya trauma dan stress terkait dengan kesehatan mental. Simtom-simtom yang banyak dilaporkan adalah menghindar/mati rasa (55,5%), hyperarousal (49,4%), dan teringat kembali (re-experiencing) peristiwa traumatik yang pernah dialami (37,1%). Berdasarkan penelitian Bleich, dapat dikatakan 9% responden mengalami PTSD sesuai dengan DSM-IV. Penelitian pada masyarakat Amerika Serikat 2 bulan pasca penyerangan WTC September 2011 menunjukkan bahwa 20% responden melaporkan adanya simtom-simtom terkait trauma.
Tidak hanya 2 bulan pasca penyerangan WTC, para korban juga masih menyimpan reaksi emosi yang intens pada perayaan tahun pertama. Jordan mengatakan terdapat kebutuhan merayakan tahun pertama untuk membantu individu meminimalisir stress atau reaksi-reaksi emosional, memudahkan individu untuk kembali menjalani hidupnya, dan melangkah pada proses berduka. Perayaan tahun pertama akan sangat berat bagi individu yang memiliki afiliasi dengan korban, memiliki karakteristik, minat, dan atribut yang serupa dengan korban, kemampuan coping yang lemah, menampilkan reaksi-reaksi emosional yang ekstrem, dan adanya pengalaman traumatis sebelumnya.
Profesional dalam bidang kesehatan mental tidak kebal terhadap trauma terkait dengan terorisme dan ketakutan. Dapat muncul kelelahan, burn-out, dan stress trauma sekunder (vicarious traumatization). APA menganjurkan agar para tenaga profesional juga memiliki strategi perawatan diri dan dukungan dari profesional yang lain.
Everly mengindikasikan terdapat tiga level perlawanan melawan  teroris, yatu pencegahan serangan teroris, meredakan dampak merugikan dari ancaman terorisme yang persisten saat aksi terorisme terjadi, dan penanganan psikologis pada efek merugikan dari ancaman atau prilaku terorisme yang terjadi. Tahap ketiga sering disebut sebagai psychological counterterrorism. Peran psikolog adalah bersama jajaran hukum membuat panduan profiling akan prilaku terorisme, menyediakan konseling krisis bagi para survivor, dan melakukan penelitian lebih lanjut mengenai counterterrorism.

Psikologi Forensik dan Implikasi Kebijakan
Everly membagi usaha psikologis untuk mencegah terorisme menjadi empat bagian, yaitu usaha untuk menghilangkan terorisme dengan mendorong komunitas global untuk melihatnya sebagai hal yang ekstrem dalam segi hukum, moral, dan politik, usaha untuk menghilangkan terorisme dengan tidak melakukan negosiasi apapun dalam kondisi apapun, merespon terorisme dengan segera dan memberikan perhatian lebih, dan membangun iklim global di mana keadilan dapat diakses dengan mudah oleh semua orang. Everly juga menyebutkan terdapat beberapa usaha psikologis yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari terorisme, yaitu ketetapan pelaksanaan pelatihan dan edukasi pra-insiden, ketetapan pelaksanaan pertolongan pertama psikologis (psychological first aid), ketetapan untuk melakukan pertemuan rutin antar kota untuk saling memberikan informasi-informasi penting, informasi manajemen stress, serta membangun rasa keberdayaan individu dan komunitas, serta implementasi berbagai sistem intervensi krisis dan pelayanan kesehatan mental gawat darurat.
Amerika Serikat telah memiliki berbagai agen penanganan korban yang mengalami trauma dan survivor. Berbagai contohnya adalah American Red Cross (ARC), the Critical Incident Stress Management group (CISM), dan the Green Cross. Agen-agen tersebut menekankan pada hal-hal berikut ini, yaitu tanda-tanda klinis dan simtom-simtom trauma yang bersifat akut ataupun kronis, perbedaan antara reaksi yang berhubungan dengan trauma atau gangguan psikologis atau kesedihan yang normal, identifikasi bermacam-macam dukungan bagi klien berdasarkan tahap-tahap bencana yang dialami, menyadari dampak prilaku spiritual, mendorong survivor untuk secara adaptif mengatur trauma mereka menjadi ingatan yang terkelola, dan kebutuhan akan sukarelawan-sukarelawan yang potensial untuk menangani tugas-tugas dengan meminimalkan rasa malu, stress, dan kelelahan.
Taylor menyatakan tujuan langsung yang ingin dicapai dari penanganan adalah untuk mengembalikan kondisi klien dalam “psychological status quo”. Psikolog berperan untuk menjaga keamanan survivor dan mencoba menghubungkan individu-individu dengan keluarga atau kelompok-kelompok dukungan dalam lingkup budaya dan agama mereka. Arena dan Arrigo menyatakan bahwa psikolog yang bergerak dalam bidang terorisme harus familiar dengan berbagai nilai dan konteks budaya untuk lebih mudah memahami para survivor dan berkontribusi dalam bidang tersebut.

Saran Untuk Penelitian Berikutnya
Penelitan berikutnya sebaiknya membandingkan antara profil tingkat efikasi teroris berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan FBI dan agen-agen intel. Penelitian berikutnya juga dapat melanjutkan fokus dalam menggali lebih dalam mengenai kondisi psikologis individu yang berhubungan dengan terorisme, seperti interaksi sosial, pandangan politik, kondisi ekonomi, agama, dan berbagai ideologi yang dapat menjadi motivasi untuk aksi terorisme, serta tren-tren globalisasi dan kekerasan ekstrem yang terjadi di berbagai negara. Merupakan hal yang sangat penting untuk mengases dan menginterpretasikan proses coping yang efektif dan bermakna bagi individu-individu yang mengalami trauma signifikan.


C.           Insanity Defense dan Kompetensi Untuk Diajukan ke Pengadilan
Hukum umum yang berlaku dalam tiap sistem kriminal adalah dasar bahwa individu baru dapat dituntut selama mereka mereka secara sukarela, sadar, dan rasional telah memilih untuk melakukan tindak kejahatan tersebut. Untuk dapat dihadapkan ke pengadilan, tersangka harus dapat memahami sanksi-sanksi yang berlaku, peraturan, konsekuensi bila dinyatakan bersalah, mengetahui peran-peran serta prosedur pengadilan, dan mampu membantu pengacara mempersiapkan pembelaan.
Sebagian besar negara memiliki ketetapan mengenai pembelaan untuk sakit mental, mencakup kompetensi untuk diajukan ke pengadilan, tanggung jawab bila prilaku gangguan mental muncul dan tersangka tidak dapat dijadikan kriminal, dan memberikan pernyataan akan sakit mental. Saat keadilan hukum dan gangguan mental bertemu, seringkali timbul perdebatan antara otonomi individu, otoritas negara, dan keamanan publik.
Kanada telah merevisi kode-kode kriminal yang terkait dengan tanggung jawab dan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk dapat diajukan ke pengadilan. Individu dengan sakit mental yang melakukan tindak kriminal membutuhkan penanganan psikiatrik dan pemeriksaan lebih lanjut mengenai efek ganguan mereka terhadap tanggung jawab akan tindak krimimal yang mereka lakukan atau kondisi mental mereka saat memberikan pembelaan. Perubahan kode kriminal ini telah berjalan seiring waktu dan melibatkan banyak pihak legislatif dan berbeda-beda antara tiap yurisdiksi. Di Amerika Serikat, tersangka dengan gangguan mental dapat dikenakan not guilty by reason of insanity (NGRI).
Di Inggris, kompetensi untuk diajukan ke pengadilan diatur oleh the European Convention for the Protection of Human Rights (ECHR) yang mulai aktif pada tahun 1953. ECHR berpedapat bahwa bila individu memiliki kriteria insanity secara medis atau psikiatris, hal tersebut tidak diperlukan bila individu tersebut menyerahkan diri secara sukarela. ECHR menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat diambil kebebasannya bila individu tersebut mengalami “unsound mind”. Pengadilan menganggap kata “unsound mind” tidak memiliki definisi yang jelas dan tidak dapat dioperasionalisasikan. Untuk itu, dilakukan revisi dalam Winterwerp v The Netherland, yang mengajukan tiga syarat, yaitu:
*      Harus ada kedekatan antara opini medis dan definisi mengenai kondisi mental yang dibutuhkan untuk melakukan pembelaan
*      Ketentuan pengadilan untuk kerusakan mental harus didasarkan pada penilaian yang objektif dari ahli medis
*      Pengadilan memiliki keleluasaan untuk menentukan apakah kondisi mental tersangka dapat dikenakan wajib tahanan atau tidak
Pada perkembangan berikutnya, dalam The Criminal Procedure (Insanity and Unfitness to Plead) Act pada tahun 1991, mengijinkan pengadilan untuk menentukan apakah tersangka dapat dimasukkan ke rumah sakit, diberikan pengawasan dan supervisi, serta penanganan, atau akan dikenakan hukuman bila tingkat insanity tidak terlalu serius.
Autralia dan Selandia Baru tidak berada di bawah yurisdiksi ECHR. Sembilan yurisdiksi hukum di Australia dan Selandia Baru terkait dengan insanity defense berdasarkan standar M’Naughten Rules. Sama halnya dengan kritik yang diajukan pada Inggris, aturan insanity defense Australia dan Selandia Baru memiliki konten yang tidak kongruen antara definisi insanity secara psikiatris dan legal. Perbedaan daerah atau yurisdiksi menggunakan istilah-istilah yang diharapkan memuat referensi psikolegal, seperti penyakit pikiran (disease of the mind), kerusakan mental (mental impairment), dan keabnormalan pikiran (abnormality of mind). Istilah-istilah tersebut dapat menimbulkan berbagai interpretasi yang ambigu dan tidak sesuai dengan definisi psikiatris atau psikologi dari mental illnesasess.
Di Queensland, salah satu daerah di Australia, ketentuan untuk menentukan tanggung jawab atas perbuatan kriminal didasarkan pada Queensland Mental Health Tribunal (MHT) yang dibentuk pada tahun 1984. MHT bertujuan untuk membebaskan tersangka-tersangka dengan sakit mental (mentally ill) dan ketidakmampuan intelektual dari sistem pengadilan sosial dan meletakkan mereka dalam sistem kesehatan mental. Dalam MHT, perintah untuk dimasukkan dalam rumah sakit psikiatris dapat diberikan bila terdapat permintaan khusus dan tindakan kejahatan yang serius. Sistem ini sangat populer di kalangan komunitas kesehatan mental namun dikritisi oleh media dan politisi karena mengijinkan pelaku kriminal untuk menghindari tanggung jawab atas prilaku mereka.
Permintaan pada MHT dapat diajukan oleh anggota keluarga, petugas polisi, dan lainnya. Bila terjadi penolakan terhadap penahanan maka pengadilan dapat menolak putusan bersalah dan merujuknya ke MHT. Tersangka diasumsikan memiliki sakit mental sampai muncul bukti-bukti yang dapat mematahkan asumsi tersebut. Hakim dapat menggunakan testimoni atau meminta psikiatris mengklarifikasi bukti-bukti klinis tersebut.
Brazil tidak memiliki aturan khusus mengenai kompetensi untuk diajukan ke pengadilan. Terdapat tiga fase proses pengadilan di Brazil, yaitu pemeriksaan, proses yudisial, dan eksekusi yudisial. Proses ini akan tetap dilakukan pada tersangka dengan sakit mental. Hukuman dapat dilakukan bila tersangka sepenuhnya sadar atau semi-sadar pada saat melakukan kejahatan. Hukuman dapat diganti dengan paksaan untuk mengambil penanganan psikiatris bila dapat dibuktikan tersangka tidak sadar saat melakukan kejahatan. Sedangkan standar Amerika Utara untuk insanity tidak mengijinkan gangguan kepribadian antisosial dan berbagai patologi kepribadian dijadikan dasar untuk insanity. Sama halnya dengan Brazil yang memasukkan gangguan kepribadian dalam semi-sadar (semi-imputtable).
Di Tasmania, Australia, the Criminal Justice (Mental Impairment) Act 1999, mendefinisikan kriteria untuk individu yang unfit to stand trial (UST). Kriteria-kriteria tersebut adalah saat individu tidak mampu memahami instruksi, hak-haknya, prosedur pengadilan, atau tidak dapat membantu pengacara untuk menyiapkan pembelaan. Ketidaklayakan (unfit) harus diputuskan oleh juri dan bila tersangka diputuskan tidak layak, juri harus memutuskan apakah tersangka akan layak dalam waktu 12 bulan ke depan. Apabila layak, hearing ditunda dan dilakukan special hearing. Di Queensland, tersangka yang diputuskan tidak layak akan dirujuk ke rumah sakit jiwa dan dievaluasi tiap 3 bulan sampai dinyatakan telah layak untuk diadili. Bila tidak ada kemajuan dalam tiga tahun, pengadilan umum akan menghapus tuntutan kriminal namun tetap melanjutkan pembatasan atau perawatan di rumah sakit jiwa.

Psikologi Forensik dan Implikasi Kebijakan
Hopper dan McSherry menekankan pentingnya review yang kritis dan sistematis pada versi-versi terdahulu insanity defense yang muncul di Inggris, Australia, dan Selandia Baru sebagai dasar pembentukan hukum internasional hak-hak asasi manusia. Psikolog forensik sebaiknya familiar dengan undang-undang yang relevan dan definisi psikolegal pada tiap-tiap yurisdiksi tempat mereka berpraktek. Perlu diperhatikan juga waktu untuk memberikan keputusan yang terkadang terlalu lama dan tersangka harus menunggu lama, khususnya tersangka dengan tindakan kejahatan rendah. Waktu yang terlalu lama untuk menentukan kelayakan tersangka untuk diajukan ke pengadilan dapat menyebabkan tersangka, yang ditahan, mengalami tindakan kriminal dari tersangka lain dan mengakibatkan gangguan psikiatris lebih lanjut.
Psikolog-psikolog forensik harus dapat memahami perbedaan antara alat-alat asesmen yang digunakan di tiap negara. Peralatan-peralatan tersebut seringkali memiliki perbedaan kriteria, seperti di Kanada, evaluasi kelayakan hanya dapat dilakukan oleh psikiatris. Oleh karena itu, psikolog-psikolog forensik yang mengetes kelayakan untuk diajukan ke pengadilan harus mengingat bahwa ketetapan akan kelayakan relatif pada tiap negara dan tergantung pada kasus-kasus yang diberikan.

D.           Asesmen Risiko Kekerasan Pada Individu dengan Gangguan Mental
Tema ini telah menjadi isu penting sejak tiga dekade belakangan (Woods, Reed, & Collins, 2003). Asesmen ditujukan pada risiko yang akan terjadi dan prediksi perilaku berbahaya yang mungkin terjadi (Molbert & Beck, 2003). Penderita gangguan mental bertambah cukup pesat. Meskipun keterkaitan antara penyakit psikiatris dan kekerasan tidak begitu kuat diterima oleh publik secara umum, tetapi ada upaya yang menekankan prediksi akurat mengenai efek kekerasan dan menerapkan strategi manajemen yang efektif sebagai upaya preventif terhadap efek dikemudian hari. Akan tetapi, banyak media terlalu membesar-besarkan masalah dan risiko ini.
Faktor risiko terdiri dari dua macam, yaitu faktor yang sifatnya statis dan dinamis. Faktor yang sifatnya statis meliputi historis dan tidak bisa diubah. Faktor yang sifatnya dinamis mencakup hal-hal yang bisa diubah. Beberapa faktor risiko dapat saling berkorelasi pada tindak kekerasan mencakup sejarah kekerasan, sejarah sosial yang negatif, nilai-nilai antisosial, gangguan jiwa, usia, status sosioekonomis, jenis kelamin, peran gender, lingkungan dan kekerasan yang terjadi, sejarah substansi kekerasan, sejarah gangguan jiwa, paranoia, ketakutan, ketidakterpenuhiannya tritmen dan tritmen yang tidak tepat, rendahnya insight, sejarah luka kepala (geger), inteligensi dibawah rata-rata.
Faktor lainnya yang berperan dalam risiko kekerasan diantaranya sikap saat ini, motivasi mengikuti tritmen, status kesehatan mental saat ini, dan penerimaan sosial terhadap tujuan dan nilai-nilai (Woods dkk, 2003). Kekerasan dalam ruangan rumah sakit terutama rumah sakit forensik adalah biasa (Bhui dkk, 2001). Bhui menambahkan kekerasan yang terjadi biasanya merupakan efek dari gabungan gangguan mental yang dialami pasien misalnya psikosis dan gangguan kepribadian.


Tinjauan Teoretis
Penekanan Jerman pada risiko kekerasan dan potensi untuk menjadi residivis pada pasien rumah sakit jiwa. Penurunan kriteria dalam asesmen risiko dalam praktik forensik menimbulkan banyak komplain dimana adanya perilaku adaptif dalam suatu lingkungan perlu diartikan dalam kompetensi sosial dan risiko rendah terhadap kekerasan yang mungkin terjadi dikemudian hari (Seifert, 2002). Ditambahkan, penelitian Seifert terhadap 188 partisipan rumah sakit jiwa menggunakan kuesioner prognostik sebelum mereka keluar dari rumah sakit jiwa. Partisipan dimonitor selama 5 tahun setelah keluar dari rumah sakit jiwa forensik untuk membuktikan validitas kuesioner.
Kuesioner banyak dipakai untuk menentukan apakah seseorang kompeten untuk diadili atau dianggap mengalami suatu gangguan mental. Kuesioner terdiri atas item-item terkait sosiostatistik dan historikal, tes psikologi, dan item-item biologis misalnya tes inteligensi, CCT, dan EEG, serta item-item klinis. Kuesioner klinis didesain berdasarkan faktor-faktor prediksi dalam beragam literatur dan item-item indeks prediksi digunakan biasanya pada institusi Jerman (Seifert dkk, 2002).
Hasil penelitian seifert menunjukkan jika seorang pasien dalam sebuah rumah sakit jiwa forensik dinyatakan oleh tim tritmen bahwa dirinya secara umum berperilaku dan memiliki skil sosial yang baik maka prognosis cenderung positif. Bagaimanapun, jika saat tritmen dihadapkan pada situasi keras, tegang, maka cenderung memiliki risiko tinggi untuk menjadi residivis. Ditemukan bahwa persentase kekerasan seksual yang terjadi adalah sekitar 13,3% dan lebih dari dua pertiga (70%) pasien dengan psikosis-skizofrenia memiliki potensi kriminal mencakup kekerasan.
Peran psikologi pada sebuah rumah sakit forensik yaitu berkaitan dengan kriteria klinis untuk menentukan apakah pasien secara prognosis sah atau berisiko untuk dijadikan terdakwa (residivis). Studi ini penting menggunakan telaah sejarah kasus dan klinis pasien. Di Inggris, diterapkan suatu sistem untuk menentukan dan memanajemen risiko diantara kekerasan dengan gangguan mental (Bindman, 2002). Tahun 1994, Mental Health Services memberikan mandat untuk mengidentifikasi dan membuat suatu standar bagi pasien terhadap risiko melakukan kekerasan atau melukai diri sendiri (self-harm), dan memberikan prioritas dalam menentukan pertolongan yang tepat (Bindman, 2002). Masalahnya, beberapa dokumen penelitian seperti yang disebutkan dalam dokumen Modernizing Mental Health Services dikaitkan antara kekerasan dan gangguan jiwa. Disebutkan juga di dalamnya bahwa ada hubungan antara penderita gangguan mental aktif dan kekerasan. Akan tetapi, pada dasarnya kenyataan membuktikan bahwa risiko ini signifikan jika individu dengan gangguan mental kehilangan kontak dengan layanan yang diterimanya atau mendapatkan tritmen yang inadekuat. Yang dipahami oleh publik adalah seputar risiko kekerasan, dengan demikian layanan harus melindungi publik secara aman, sehingga harus juga menekankan pada penanganan layanan bagi penderita.
Meningkatnya isu yang menekankan pada layanan kesehatan mental untuk memanajemen risiko sebagai suatu konsekuensi dari kultur politis, meningkatkan perhatian layanan publik dan spesialis forensik dalam merespons perilaku manusia (Bindman, 2002). Dari isu tersebut muncullah sebuah proposal yang kontroversial. Pemerintah membuat suatu klasifikasi baru dalam kekerasan gangguan mental dan dimasukkan kedalam  dangerous severe personality disorder (DSPD). Diagnosis ini tanpa disertai definisi yang benar atau dimengerti secara medis atau memiliki definisi yang legal (Bindman, 2002). Individu dengan DSPD mungkin atau tidak mungkin memiliki gangguan mental yang seharusnya ditritmen atau kepastian menjadi kriminalis dan mereka dengan tidak sukarela dimasukkan kedalam pengamanan rumah sakit dengan jangka waktu yang tidak ditentukan untuk menghindari risiko kekerasan dikemudian hari.
Penelitian lainnya yaitu Watts dkk (2003) menitikberatkan pada studi longitudinal untuk memprediksikan kekerasan dalam lingkup unit psikiatris. Penelitian ini dilakukan selama dua minggu terhadap dua unit psikiatris di London. Hasilnya, 32 pasien menunjukkan penyerangan, 41 berperilaku agresif, dan 27 tidak menunjukkan perilaku kekerasan. Sayangnya, penelitian ini tidak mempertimbangkan variabel klinis seperti status kesehatan mental dan respons terhadap tritmen dari pasien. Selama ini, prediksi risiko kekerasan pada penderita gangguan mental didasarkan pada professional judgement (Doyle dkk, 2002).  
Instrumen mulai dikembangkan untuk melengkapi pengambilan keputusan klinis tentang risiko kekerasan tersebut, diantaranya Screening Version (PCL:SV), Violence Risk Appraisal Guide (VRAG), HCR-20. The HCR-20 dibangun dari 20 item skala rating dari 0-2. The Historical (H) merepresentasikan variabel backgorund yang relatif statis yang berhubungan dengan tindak kekerasan. The Clinical (C) merepresentasikan risiko yang berkorelasi dengan faktor individual yang sifatnya dinamis, misalnya insight dan sikap. Risk Management (R) berkaitan dengan struktur asesmen risiko kedepan, seperti dukungan sosial dan faktor-faktor kontekstual lainnya. Perilaku kekerasan dibedakan menjadi 5 kategori yaitu agresi verbal, agresi fisik terhadap orang lain, self-harm, kekerasan terhadap objek selain manusia, dan perilaku lainnya seperti teror telepon, mengejar hewan, dan sebagainya.
Tingkat risiko juga dibedakan dalam tiga kode yaitu level satu (high security), level dua (medium security), dan level tiga (low security). High security mencakup perilaku merusak diri sendiri (self-harm) dan kekerasan fisik termasuk dalam low security dan medium security tergantung frekuensi dan intensitasnya. Psikopatologis merupakan faktor risiko kekerasan dimasa depan dan cenderung membekas serta relatif konstan dalam kehidupan pasien (Arrigo & Shipley, 2001; Arrigo & Shipley, 2004). Dernevik dkk (2002) menambahkan bahwa psikopatologis adalah isu fundamental dalam manajemen risiko serta persoalan intervensi dan prevensi.

Psikologi Forensik dan Implikasi Kebijakan
Evaluasi terhadap asesmen risiko seharusnya dilakukan dengan lebih sistematis dan prosedural. Indikator perilaku dalam instrumen asesmen didetail menjadi komponen-komponen yang spesifik, sehingga dapat dijadikan bahan evaluasi dalam pengambilan keputusan (Woods dkk, 2003). Psikolog forensik sebaiknya mempertimbangkan kedua aspek baik kriteria klinis yang bersifat dinamis (dapat berubah) maupun faktor historis yang relatif statis. Seifert (dkk, 2002) menambahkan pentingnya prognosis setelah adanya asesmen risiko.
Model yang diajukan Seifert dkk (2003) yaitu keterkaitan antara rerlasi eksistensi dan sebab akibat dari faktor risiko yang spesifik serta potensi kemunculan efek negatif dari individu. Semua itu harus tercakup dalam pertanyaan dalam instrumen asesmen. Asesmen risiko bermanfaat untuk mengambil keputusan klinis mengenai potensi terjadinya kekerasan, berperan dalam strategi tritmen, serta rasionalisasi bagi keputusan klinis yang akan diambil (Doyle dkk, 2003).
Sebuah penelitian membuktikan tingkat kekerasan residivis akan berkurang dan keamanan publik akan tercipta secara efektif jika dalam pengambilan keputusan klinis berdasar pada risiko terjadinya kekerasan dikemudian hari, terutama pada program pemulihan pasien gangguan mental (Rice, 1997). Menurut Rice (1997) kekerasan dari pasien bisa diturunkan dengan adanya monitoring dan supervisi dari profesional terhadap perilaku destruktif, serta deteksi dini risiko. Diperlukan penelitian-penelitian lanjutan terhadap bidang psikologi forensik, diantaranya asesmen risiko kekerasan untuk pasien akut, validitas prediktif instrumen asesmen risiko diantaranya adalah VRAG dan HCR-20, dan eksplorasi efek dari manajemen risiko (Dernevik dkk, 2002).


DAFTAR PUSTAKA
Arrigo, Bruce A & Shipley, Stacy L. 2005. Introduction to Forensic Psychology: Issues and Controversies in Crime and Justice, Second Edition. USA: Elsevier Academic Press.

DISSEMINATION OF AN EVIDENCE BASED INTERVENTION TO PARENTS OF CHILDREN WITH BEHAVIORAL PROBLEMS IN A DEVELOPING COUNTRIES


John A Fayyad, Lynn Farah, Youmna Cassir, Mariana M Salamoun, Elie G Karam
Eur Child Adolescent Psychiatry. 2010. 19:629-636

A.    Permasalahan
Kebanyakan permasalahan psikoterapi yang sangat terkait dengan anak, orang tua bahkan keduanya sudah seringkali diuji secara empiris, dengan banyaknya indikasi positif pada akhir penelitian terutama dalam pelatihan pengasuhan. ADHD adalah salah satu penyakit yang prevalensinya tinggi di dunia, salah satunya di Arab. Dikarenakan kurangnya kesadaran mengenai ADHD dan kelainan mental lainnya, kebanyakan anak-anak dilabel sebagai malas, bodoh, pembuat masalah dan seringkali terkena hukuman.
Walaupun prevalensi penyakit ini sudah mendunia, tetap saja tidak ada satu bentuk intervensi efektif yang digunakan yang berefek pada kurangnya kesadaran masyarakat di tingkat pendidikan dan komunitas. Oleh karena itu, kita memiliki banyak pekerjaan rumah bagi para anak dan keluarga yang membutuhkan penanganan dan yang belum menerima akses yang cukup. Semenjak disadari bahwa program pengasuhan orang tua telah mendemonstrasikan keefektifan dalam mengurangi permasalahan perilaku anak, pemikiran diperlukan penyebaran informasi mengenai satu bentuk intervensi komunitas di negara-negara berkembang.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyebarkan informasi mengenai intervensi berbasis komunitas di negara berkembang (Lebanon) dan untuk mengevaluasi keefektifannya dalam mengurangi permasalahan eksternal melalui pelatihan pekerja sosial dan kesehatan untuk memberikan pelatihan mengenai pola asuh bagi ibu dengan anak-anak yang bermasalah.

B.     Metode
Manual penanganan dikembangkan oleh Integrated Service Program Task Force yang pada awalnya diterapkan pada setting klinis di mesir, Lebanon, Israel dan Brazil. Pada penelitian ini digunakan 8 sesi pelatihan bagi orang tua (ibu) dan tidak dikenakan sesi bagi anak, setiap sesi pada manual ditelaah dan diterjemahkan dalam bahasa Arab Lebanon.
Prosedur perekrutan dilakukan dengan menerima nominasi pekerja sosial dan kesehatan dari petugas kementrian yang menegurusi pusat pelayanan kesehatan dan sosial. Partisipan dalam program pelatihan ini harus bekerja aktif dalam organisasi dan minimum memiliki berlatar belakang pendidikan pekerja sosial, perawat (dengan 5 tahun pengalaman kerja), sosiologi, psikologi atau pendidikan. Tim peneliti menyelenggarakan pertemuan dengan supervisor dan petugas lokal masing-masing pusat pelayanan. Pelatihan bagi pekerja sosial dan kesehatan berlangsung selama 4.5 hari sesi. Pelatihan terdiri atas mengenali dan memahami kelainan perilaku anak berumur 6 dan 12 tahun, administrasi instrument dan memberikan intervensi kepada ibu dari anak-anak tersebut. Sesi kelima berjalan disaat implementasi program dan saat pelatihan dengan para ibu. Setiap pekerja menerima 8-10 paket pembelajaran yang akan didistribusikan pada para ibu. Pekerja awal semula berjumlah 29, tapi pada akhirnya hanya berjumlah 20 pekerja dari 17 pusat pelayanan. Setiap pekerja sosial dan kesehatan mempromosikan program ini dan semua ibu yang seringkali mengunjungi pusat pelayanan diberi tahu dan ditawari untuk berpartisipasi. Pelatihan kemudian berlangsung dalam 8 sesi mingguan selama 60-90 menit tiap sesi. Supervise dilakukan oleh IDRAAC melalui telepon atau datang langsung.
Instrument yang digunakan adalah The Strength and Difficulties Questionnaire (SDQ) versi orang tua, digunakan untuk mengidentifikasi anak dengan permasalahan perilaku pada permulaan dan akhir studi. Ibu juga diminta untuk mengisi kuesioner singkat tentang cara pola asuh dan kepuasaan mereka kepada program yang dijalani. Target populasi penelitian adalah anak dengan permasalahan perilaku anak dengan level ringan-sedang yang berumur 6-12 tahun di Beirut dan selatan Lebanon. Ekslusi dilakukan pada anak dengan mental retardasi sedang-parah, kemangkiran dari rumah, pernah ditahan/ditangkap, gangguan kecemasan/perasaan parah, gejala psikotik dan anak yang sedang menjalani terapi farmakologis. Ekslusi pada ibu dilakukan apabila ibu menderita retardasi mental dan menderita psikotik. Total SDQ yang disebar adalah 320, tersaring 126 ibu yang termasuk dalam kriteria dan 87 ibu yang akhirnya menyelesaikan pelatihan. Analisis statistik menggunakan SPSS 13.

C.     Hasil
Dari anak umur 6-12 tahun yang terjaring dalam penelitian, sekitar 77.5% laki-laki dan perempuan 22.5%. total terdapat 87 ibu berpartisipasi.  Skor SDQ orang tua meningkat dari pre ke post, yang mana rentang skor normal SDQ meningkat dari 16.2 ke 57.6% dan rentang skor abnormal menurun dari 54.4 ke 19.7% dan terdapat perubahan signifikan dalam semua skala SDQ terutama hiperaktivitas dan permasalahan perilaku.
Terdapat pengurangan gejala negatif dalam kehidupan di rumah, hubungan dengan teman, sekolah, aktivitas lowong dan permasalahan anak. Intervensi dalam pola asuh juga menunjukkan peningkatan dalam pola asuh positif. Pada awalnya terdapat 40.2% ibu yang terbiasa memukul anaknya dan menggunakan hukuman, setelah intervensi hanya 6.1% yang melakukannya. Awalnya 57.3% ibu berpikir bahwa berteriak adalah strategi yang bagus untuk mengurangi perilaku bermasalah anak dan setelah intervensi berkurang menjadi 9.8%.
Pada kuesioner mengenai kepuasaan ibu, 74.4% mengaku bahwa program ini telah memberikan keterampilan baru dalam pola asuh dan berpengaruh terhadap perilaku anak. Sekitar sepertiga ibu mengaku bahwa suaminya ikut terlibat dalam pelatihan pola asuh dan mereka mengaku bahwa anggota keluarga lain melihat adanya perkembangan perilaku anak.

D.    Diskusi
 Pelatihan dilaksanakan oleh personel kesehatan dan pekerja sosial yang tidak pernah memiliki pengalaman di bidang kesehatan mental dan hanya melibatkan ibu. Hal ini berpengaruh pada berkurangnya kebutuhan mereka untuk membawa anaknya ke pusat pelayanan. Hasil dari program ini adalah ibu memiliki cara baru untuk berhadapan dengan anaknya dan berujung pada minimnya siksaan fisik dan peningkatan signifikan dalam perilaku anak yang dilihat berdasarkan rating perilaku.
Pelatihan ini hanya melibatkan orang tua, karena apabila melibatkan anak maka harus diperlukan keterampilan lebih dari pekerja sosial juga membutuhkan pekerja sosial yang berlatar belakang kesehatan mental. Fakta bahwa hasil signifikan telah dicapai membuat program ini lebih mudah direplikasi dan disebar di negara-negara berkembang yang masih minim tenaga professional kesehatan. Pelatihan dalam program ini efektif secara harga, menghasilkan dan hasil pengukurannya kredibel. Informasi berdasarkan bukti nyata tentang program ini telah tersedia, tetapi penyebaran informasinya yang masih minim.
Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini yaitu Pertama ini tidak melibatkan kelompok control, yaitu kelompok ibu yang tidak menerima intervensi apapun, sehingga kita tidak mengetahui apakah keberhasilan penelitian ini disebabkan oleh penelitian ini atau apakah ada faktor diluar itu. Kedua, kepatuhan ibu yang mengikuti pelatihan ini. Apabila kepatuhan ibu lebih besar, maka hasil penelitian diharapkan akan lebih baik. Ketiga, hasil yang positif kemungkinan dihasilkan karena adanya eksklusi kasus yang parah. Apabila kasus yang parah dimasukan dalam penelitian, kemungkinan hasil penelitian akan lebih bervariasi dan efektifitas penelitian akan lebih dapat terlihat pada populasi yang lebih besar. Keempat, proses seleksi dan pelatihan yang dilakukan ditargetkan pada ibu dan ayah, hal yang menarik adalah hanya ibu yang berminat untuk mengikuti pelatihan. Apabila ibu dan ayah sama-sama mengikuti pelatihan, tentunya aka nada efek yang lebih besar. Dalam penelitian selanjutnya, diharapkan usaha untuk melibatkan ayah lebih besar. Kelima, hambatan ini adalah hambatan yang paling mendasar: karena kebanyakan pekerja tidak memiliki pengalaman dalam bidang epidemologis, maka banyak dari mereka yang menghilangkan kuesioner atau bahkan tidak memberikan kuesioner pada saat pelatihan selesai.
Walaupun terdapat berbagai keterbatasan, tetapi banyak orang tua yang telah merasakan manfaat dari penelitian ini dan informasi mulut ke mulut telah menyebar dan makin banyak orang yang tertarik dengan program ini. Bahkan anak pun berani untuk meminta ibunya untuk dipertemukan dengan pekerja sosial dan kesehatan untuk berterima kasih atas perubahan positif yang telah dibawa ke dalam keluarganya. Ibu dan pekerja pun masih merasakan manfaat dari program setelah 2 tahun pelatihan berlangsung.

E.     Kesimpulan
 Penelitian ini cukup menarik, terutama apabila direplikasikan di Indonesia yang banyak sekali remajanya yang memiliki permasalahan perilaku. Meskipun begitu, beberapa hal dalam penelitian ini seperti hanya anak yang memiliki permasalahan perilaku ringan-sedang yang menjadi subjek penelitian, menurut saya sangat disayangkan.  Seharusnya anak dengan gangguan perilaku parah juga dimasukkan untuk lebih melihat efektifitas dari studi ini, sehingga pada saat hasil penelitian yang memiliki hasil yang positif ini keluar dan menyebar, masyarakat memiliki ekspektasi yang wajar terhadap program ini. Para orang tua bila mendengar tentang program ini akan langsung berharap bahwa anak mereka juga akan dapat ditangani setelah mengikuti program ini, tanpa tahu bahwa apabila anak mereka menderita gangguan kepribadian parah maka hasilnya bisa saja berbeda.
Hal kedua yang disoroti adalah hanya orang tua yang diberi kuesioner untuk mendeteksi perilaku anak. Apakah hasil ini bisa dipercaya? Karena kebanyakan orang tua yang mengikuti pelatihan ini adalah orang tua dengan anak bermasalah sehingga belum tentu mereka memiliki pemahaman jelas mengenai perilaku anaknya di luar rumah.
Hal ketiga adalah tidak adanya seleksi random pada pemilihan ibu. Ibu hanya dipilih berdasarkan keminatan masing-masing ibu. sehingga belum tentu ibu yang berpartisipasi adalah ibu-ibu yang merupakan representasi dari lingkungan pusat pelayanan tersebut. oleh karena itu, generalisasi populasi dalam penelitian ini pun harus dilakukan dengan lebih berhati-hati.
Hasil positif dihasilkan dalam penelitian ini, tetapi tidak disebutkan data bahwa peningkatan banyak terjadi pada golongan anak yang bermasalah ringan atau sedang. Bisa jadi intervensi ini hanya efektif pada golongan bermasalah ringan, sehingga pertimbangan untuk mereplikasi pada kelompok anak yang bermasalah parah harus lebih dipikirkan. 

DEVELOPMENT OF A BRIEF WAITING ROOM OBSERVATION FOR BEHAVIORS TYPICAL OF REACTIVE ATTACHMENT DISORDER


Alexis Mclaughlin, Carolyn Espie, Hellen Minnis
Child and Adolescent Mental Health Volume 15 No. 2. 2010. 73-78

A.    Permasalahan
RAD (Reactive Attachment Disorder) adalah gangguan psikososial serius pada bayi dan balita. RAD didefinisikan sebagai kelainan pada hubungan sosial dan terbagi kedalam dua tipe karakteristik perilaku yaitu segan (inhibited) dan sangat mudah akrab (disinhibited). Anak inhibited cenderung dilihat sebagai anak yang menarik dari dan sangat waspada, umumnya mencari kedekatan pada pengasuh potensial dengan cara yang aneh. Sedangkan anak disinhibited umumnya selalu mencari kedekatan dan kontak pada siapa saja.
Penelitian ini mendeskripsikan tentang pengembangan dan pengetesan awal mengenai observasi terstandar di ruang tunggu pada anak dengan gejala RAD, yang melibatkan wawancara semi terstruktur dengan orang tua, kuesioner bagi guru dan observasi di ruang tunggu. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat satu bentuk paradigma baru dalam observasi gejala RAD pada anak usia sekolah (5-8 tahun) yang berfokus pada interaksi anak dengan orang asing. Dikarenakan kelemahan penelitian dalam subtype inhibited, maka penelitian akan berfokus pada perilaku subtype disinhibited, yang ditujukan untuk menginvestigasi apakah aitem-aitem observasi ini mampu membedakan anak yang menderita RAD dengan anak normal dan juga untuk melihat reliabilitas antar aitem.  

B.     Metode
 Area utama perilaku RAD yang akan diobservasi direview oleh tim klinis. Terdapat dua kelompok sampel, yaitu kelompok kasus (anak dengan RAD) dan kelompok pembanding (anak tidak dengan RAD). Untuk memilih sampel anak di kelompok kasus, klinisi dan pekerja sosial menelpon keluarga yang sekiranya memiliki anak RAD umur 5-8 tahun. Review mengenai gejala anak dilakukan melalui telepon dan saat dipastikan bahwa ia termasuk dalam kategori RAD maka keluarga diberi tahu mengenai program ini. Ekslusi dilakukan apabila kemampuan verbal anak di bawah umur 4 tahun dan apabila setelah menjalani proses asesmen dinyatakan tidak mengalami RAD. Terkumpul 47 anak yang didagnosis RAD tetapi hanya 38 anak yang termasuk dalam penelitian.  Pemilihan Kelompok pembanding dilakukan dengan identifikasi 217 anak berumur 5-8 tahun. Kriteria eksklusi berdasarkan pada adanya indicator gejala RAD, anak yang terdaftar dalam perlindungan, anak panti asuhan dan anak yang berasal dari keluarga yang disfungsional. Terdapat 39 anak yang termasuk dalam kelompok pembanding.
Diagnosis RAD ditegakkan berdasarkan informasi orang tua, guru dan observasi di ruang tunggu. Orang tua diwawancara menggunakan 28 aitem wawancara semi terstruktur Child and Adolescent Psychiatric Assessment –RAD Module sedangkan guru diberikan 14 aitem kuesioner RPQ. Observasi dilakukan dengan 2 fase. Fase pertama adalah menempatkan 8 anak kelompok kasus dan 8 anak kelompok pembanding di setting ruang tunggu berserta dengan observer yang telah mengetahui peran masing-masing anak dalam kelompoknya dan kemudian mencatat secara kualitatif tentang interaksi anak dengan orang asing, perilaku eksplorasi anak, interaksi anak dengan pengasuhnya dan karakteristik perilaku umum. Terdapat juga pencatatan kuantitatif kejadian seperti berapa kali anak mengganggu percakapan antara pengasuh dan orang asing. Pada fase kedua, 20 aitem kuesioner Observasi Ruang Tunggu (Waiting Room Observation Schedule) yang dikembangkan di fase pertama diadministrasikan pada 61 anak (30 kelompok kasus, 31 kelompok pembanding). 2 observer kemudian memberikan penilaiannya pada situasi di ruang tunggu dan ini juga mampu memberikan data reliabilitas aitem antar rater.
Dalam analisis kategori antara inter rater dilakukan dengan statistik Kappa yang diambil dari Landis dan Koch (1977), internal konsistensi dianalisis melalui Cronbach’s alpha SPSS 11.

C.     Hasil
Anak dengan RAD memiliki kecenderungan untuk tidak tinggal dengan keluarga aslinya dan secara signifikan lebih cenderung untuk mengalami pengalaman hidup yang menyakitkan dibandingkan dengan anak pada kelompok pembanding.
20 aitem WRO memiliki internal konsistensi yang baik dengan Cronbach’s Alpha 0.75. kebanyakan pertanyaan memiliki reliabilitas antar aitem yang baik, meskipun begitu aitem no 5 pada bagian interaksi anak-orang asing, semua aitem dalam perilaku eksplorasi, aitem 1,2,4 dan 5 pada interaksi anak-pengasuh dan aitem 4 dan 6 dari karakteristik perilaku umum memiliki reliabilitas antar rater yang buruk dan tidak memiliki daya beda pada kelompok kasus dan kelompok pembanding. Kebanyakan aitem yang terpilih mampu secara spesifik untuk mendiskriminasikan anak pada kelompok kasus dengan kelompok pembanding, tetapi juga dikatakan bahwa tidak semua anak dengan RAD akan dapat teridentifikasi.


D.    Diskusi
Reliabilitas yang cukup baik terdapat dalam beberapa aitem, meskipun observasi dilakukan oleh berbagai orang dalam tim penelitian yang berasal dari area keahlian yang berbeda dan jam terbang. Beberapa aitem dinyatakan mampu untuk membedakan kelompok kasus dan kelompok pembanding. Kekuatan dalam penelitian ini adalah meskipun hanya melandaskan observasi pada perilaku disinhibited, observasi dari perilaku ini mampu menyusun daftar observasi. Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu meskipun kedua kelompok ini sama dalam hal umur dan gender, tetapi kemungkinan ada bias yang potensial yang tidak teridentifikasi yang mungkin saja tidak sama pada variabel tertentu seperti status sosiodemografis atau bervariasinya IQ verbal anak di dalam kelompok. Penelitian selanjutnya harus memperhatikan tentang masalah ini. Meskipun kelompok perbandingan didapat dari kelompok non klinis, penelitian ini tidak memberikan data mengenai apakah observasi yang dikembangkan ini mampu untuk membedakan kelompok kasus RAD dengan kelompok kasus lainnya. Kunci umum pada penelitian selanjutnya adalah pada penggunaan WRO pada kelompok klinis lainnya untuk melihat apakah perilaku-perilaku yang menjadi indicator dalam WRO adalah benar-benar karakteristik RAD sebenarnya.
Dengan tidak adanya standarisasi mengenai alasan mengapa anak berada di tempat itu, bisa saja pengasuh mengarang alasan tertentu yang justru makin meningkatkan kecemasan pada anak dan makin meningkatkan perilaku keterikatan anak. Hal yang menarik adalah tidak ditemukannya reliabilitas pada aspek perilaku eksplorasi anak, yang padahal pada penelitian terdahulu disebut sebagai komponen kunci pada diagnosis RAD. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pandangan kita saat ini yang sulit untuk membedakan perilaku anak yang tidak bisa diam dan selalu pergi kemana-mana sebagai perilaku impulsive atau perilaku percaya diri.

E.     Kesimpulan
Penelitian ini secara sepintas terlihat mudah, tetapi sebenarnya cukup rumit dan diperlukan pengetahuan mendasar untuk menentukan apakah instrument yang dikembangkan mampu untuk mengukur RAD. Sejak awal dijelaskan bahwa RAD terdiri atas 2 subtipe, inhibited dan dishibited. Penelitian ini hanya berfokus pada dishibited, sehingga belum bisa dikatakan bahwa instrument yang dikembangkan mampu mengukur RAD pada anak secara keseluruhan. Harus ada penelitian lanjutan yang berkofus pada sisi inhibited, sehingga pengukuran RAD dapat dilakukan dengan lebih tepat. 

THREE MODELS OF COMMUNITY MENTAL HEALTH SERVICES IN LOW-INCOME COUNTRIES


Alex Cohen, Julian Eaton, Birgit Radtke, Christina George, Bro Victor Manuel, Mary De Silva, Vikram Patel
Journal of Mental Health Systems, 2011, Vol. 5 No 3

A.    Permasalahan
Kesehatan mental secara keseluruhan telah berkembang menjadi sebuah area penting dalam dunia kesehatan. Hal ini ditandai dengan perkembangan tata cara intervensi dalam kasus kesehatan mental, gangguan neurologi dan penggunaan obat-obatan pada setting non-spesialisasi. Meskipun begitu, Negara-negara berpendapatan rendah menghadapi berbagai tantangan dalam usahanya untuk meningkatkan dan mengembangkan pelayanan kesehatan mental. Tantangan tersebut berupa minimnya perbandingan bukti nyata mengenai bagaimana pelayanan kesehatan mental berfungsi di dalam praktik kesehariannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan dan mengkontraskan 3 model pelayanan kesehatan mental komunitas pada Negara-negara berpendapatan rendah.

B.     Metode
Studi ini berlangsung di 3 negara berbeda yaitu di Service for People With Disabilities, Abuja, Federal Capital Territory, Nigeria; Holy Face Rehabilitation Center for Mental Health, Tabaco City, Albay Province, Philippines; Asia Psychosocial Rehabilitation Program, Karakonam, Kerala, India. Metodologi yang digunakan adalah metode kualitatif yang dilakukan melalui observasi, wawancara dengan staf dan pengumpulan informasi mengenai program dengan kunjungan selama 5-10 hari di masing-masing tempat. Aktivitas selama kunjungan adalah mendampingi staf selama bekerja dan kunjungan rumah, observasi klinik komunitas, mengunjungi kelompok Self Help, mewawancarai staf dan cek dokumen. Analisis data dilakukan dengan mengkonversikan narasi, transkrip wawancara dan dokumen ke dalam teks yang kemudian akan dianalisis melalui topic narasi dan indikator level program.

C.     Hasil
Hasil penelitian dibagi ke dalam beberapa domain, yaitu:
1.      Sejarah dan konteks
3 program (di 3 negara) dimulai pada tahun 2004-2006. Program di Nigeria dimulai karena mereka menyadari kebutuhan untuk pelayanan kesehatan mental (psikosis dan epilepsi), program di Filipina berdiri berkat diskusi antara pihak CBM dan NGO setempat untuk memberikan pelayanan kepada orang dengan gangguan mental, program di India lahir untuk menangani krisis akibat Tsunami pada Desember 2004. Program di Nigeria selain melayani kebutuhan pasien kesehatan mental juga menjalani kegiatan mengenai ketidakmampuan fisik dan intervensi psikososial. Terdapat 17 pekerja lapangan yang bertugas mencari dan menangani kasus para klien serta 1 perawat psikiatri yang bertanggung jawab atas klien kesehatan mental. Program di Filipina dibangun untuk memberikan fasilitas pada pasien metal kronis dan raat jalan bagi pasien dengan gangguan mental lainnya. Terdapat 2 pekerja social, 3 perawat, 1 psikiater, 1 tenaga lapangan dan tenaga administrative dan petugas kebersihan. Program di India memberikan fasilitas kepada pasien rawat inap bagi pasien psikiatri akut dan kondisi mental serius dan pasien rawat jalan. Terdapat 2 psikiater, 1 psikolog paruh waktu, 3 pekerja social, 10 relawan komunitas.
      Gaji yang ditawarkan rendah, terutama bagi pekerja di Nigeria dan India. Semua program berjalan di area dengan level kemiskinan yang tinggi. Pelayanan kesehatan di Nigeria sangat minim dan mereka mengalami kesulitan dalam transportasi karena luasnya area cakupan kerja mereka.

2.      Alur pelayanan dan karakteristik klien
Program di Nigeria dan India secara aktif mencari kasus yang ada di masyarakat. Dilatar belakangi alasan berdiri masing-masing, kebanyakan klien menerima penanganan tentang epilepsy di Nigeria dan kebanyakan klien di India menerima penanganan terhadap gangguan mental umum dan hanya sepertiga yang menerima penanganan psikosis. Program di Filipina tidak mencari klien, melainkan menerima rujukan dari pekerja kesehatan pemerintah dan LSM setempat. Semua program melaksanakan aktivitas ke luar organisasi seperti konsultasi dengan pemerintah, LSM, pemimpin komunitas dan juga memberikan sosialisasi mengenai pelayanan yang diberikan. Ketiga program juga mengajarkan warga, pihak pemerintah dan LSM serta guru untuk merujuk klien kepada mereka.

3.      Area Penanganan
Area penanganan di Nigeria dan Filipina sangat luas, sedangkan India menangani area yang lebih kecil. Meskipun begitu, didapatkan hasil bahwa ketiga program hanya mampu melayani sebagian kecil dari klien potensial.

4.      Akses terhadap pelayanan
Akses terhadap pelayanan tidak menjadi sebuah permasalahan bagi klien di Nigeria dan India, karena seringkali mereka memberikan pelayanan ke rumah. Akses di Filipina sedikit bermasalah dikarenakan transportasi ke tempat pelayanan yang mahal. Sehingga banyak masyarakat yang menghentikan kunjungan disaat tidak tersedianya lagi angkutan gratis ke tempat pelayanan. Program di Nigeria melaksanakan program pencarian dana bagi pengadaan obat sehingga harga obat dapat terjangkau, India menggratiskan obat bagi klien sedangkan di Filipina harga obat lebih mahal.

5.      Intervensi klinis
Perawat di India bertanggung jawab atas diagnosis dan medikasi bagi semua klien kesehatan mental, sedangkan psikiater di Filipina dan India menyediakan pelayanan klinis selama pasien rawat jalan atau pada klinik komunitas. Pengadaan obat di Nigeria dan Filipina harus bergantung pada obat-obatan yang lama dan lebih murah, hanya India yang mampu menyediakan obat-obatan yang baru, bahkan terdapat pula obat antipical antipsikotik dan anti depresan. Ketiga program tidak memiliki kecakapan dalam menangani keadaan darurat pada komunitas, meskipun India adalah yang terbaik disbanding ketiganya. Pekerja program di Nigeria dan India melakukan pengecekan pada klien secara teraturm sedangkan program di Filipina hanya mengandalkan pekerja kesehatan kota atau LSM.  

6.      Intervensi psikososial
Program di Filipina telah membentuk kelompok dukungan di beberapa komunitas. Kegiatannya umumnya berupa psikoedukasi, berbagi pengalaman dan berbagi kabar terbaru. Program di India menawarkan intervensi psikososial yang paling luas. Setiap sesi pengecekan klien seringkali termasuk ke dalam intervensi yang bertujuan meningkatkan kepedualian diri dan fungsi social juga konseling. Program di Nigeria baru memulai kelompok dukungan di 3 daerah.

7.      Alur rujukan
Ketiadaan pelayanan psikiatri di Nigeria membuat timbulnya kesulitan untuk merujuk ke spesialis. Program di Filipina belum memulai memialur rujukan ke spesialis atau rumah sakit terdekat. Lain lagi di India, dikarenakan basis pelayanan program di India ada di rumah sakit, maka alur rujukan dapat berlangsung dengan rutin.

8.      Hasil
Walaupun data tersedia, tetapi semua program tidak terorganisasi dengan baik. Oleh karena itu data mengenai jumlah klien, karakteristik sosiodemografis, penanganan yang diberikan, lama waktu yang digunakan untuk penanganan, konsistensi klien, begitu juga dengan data tentang hasil intervensi tidak dapat diakses. Meskipun begitu, semenjak 2009 program di India telah memulai monitoring dalam pelayanan, fungsi, hasil pelayanan dan kepuasan klien. Program di Nigeria pun mulai membuat system pengumpulan data.

D.    Diskusi
Dalam pelaksanaan studi ini, terdapat 2 tantangan umum yang terjadi yaitu tanpa adanya CBM sebagai penyuntik dana, maka keberlangsungan program ini akan menjadi sebuah tanda tanya besar, yang kedua yaitu minimnya sumber daya manusia yang bekerja dalam ketiga program di ketiga Negara. Contohnya di Nigeria tidak ada psikiater sehingga perawat yang harus menangani semua permasalahan psikiatri, di awal program berdiri Filipina tidak memiliki psikiater sedangkan India lebih sukses dalam merekrut berbagai sumber daya berkualitas. Kelemahan paling krusial adalah kurangnya dukungan spesialis di masing-masing Negara pada program. Seperti staf klinis yang minim dalam menangani banyaknya pasien rawat jalan di Filipina dan terisolasinya lokasi sehingga susah untuk mengembangkan program komunitas.
Kekuatan program ini adalah disamping tetap berlangsungnya berbagai hambatan, semua program masih tetap mampu untuk terus beroperasi dan berfungsi untuk memberikan pelayanan. Hal ini terjadi tidak lain karena kerja dari para pekerja lapangan di masing-masing program yang masih tetap mau bekerja walaupun dibayar rendah dan harus menghadapi tekanan fisik dan emosional bertubi-tubi.
Terdapat 3 model yang teridentifikasi dalam 3 program di 3 negara yaitu model pelayanan berdasarkan komunitas yang eksklusif di Nigeria, model pelayanan individu yang berdasarkan pelayanan klinis tetapi dengan beberapa aktivitas di komunitas Filipina dan model yang meneydiakan pelayanan komunitas, klinis dan rumah sakit di India.
Kekuatan penggunaan metode kualitatif adalah didapatkannya data detail mengenai deskripsi model pelayanan dan bagaimana mereka berfungsi didalam konteks sosiobudaya dan sosioekonomi. Kelemahannya adalah kebanyakan data didapatkan dari kunjungan singkat, apabila kunjungan dilakukan lebih lama maka akan lebih didapatkan data yang lebih komprehensif; dengan disewanya pengamat independen maka biaya yang dikeluarkan lebih besar; dibutuhkan penelitian yang lebih focus untuk mengukur aspek tertentu pada masing-masing program, seperti pengukuran kepuasan klien dan pengukuran efek program kelompok dukungan di komunitas; kurangnya data adalah keterbatasan yang paling besar. Hal ini menyebabkan peneliti tidak mampu mengevaluasi keefektifan intervensi.

E.     Kesimpulan
Penelitian ini memberikan gambaran yang cukup banyak mengenai model pelayanan kesehatan mental komunitas di 3 negara dengan pendapatan rendah. Peneliti memberikan alur penulisan yang baik mengenai awal terbentuknya program sampai pada pemaparan detail mengenai jumlah sumber daya manusia yang dimiliki masing-masing program, berikut dengan aktivitas dan sistem pelayanan serta tantangan dan keunggulan masing-masing program.
Sebagai pendatang baru dalam pelayanan kesehatan mental komunitas, saya merasa bahwa informasi yang telah diberikan jurnal ini cukup lengkap dan sistematis. Tidak ada salahnya apabila Indonesia, sebagai Negara berkembang mencoba mengevaluasi sistem pelayanan kesehatan komunitas (berhubung masih terbatasnya jumlah pelayanan kesehatan mental komunitas) yang ada sehingga kita memiliki gambaran utuh mengenai bagaimana pelayanan kesehatan  komunitas berjalan di Indonesia. Penelitian ini pun dapat menjadi satu titik awal bagi pencanangan berdiri dan berkembangnya pelayanan kesehatan mental komunitas di Indonesia. Dengan adanya berbagai indikator dan topik narasi di penelitian ini, kita dapat menilai hal apa yang perlu dipersiapkan unuk mendirikan satu pelayanan kesehatan mental komunitas.
Hal yang perlu ditiru adalah terintegrasinya pelayanan kesehatan mental dengan rumah sakit atau klinik, yang dapat menjadi satu langkah awal. Dengan terintegrasinya pelayanan kesehatan mental dengan rumah sakit, maka akses masyarakat dan perujukan dapat dilakukan dengan mudah. Walaupun, kedepannya pemikiran untuk memperpanjang pelayanan untuk mendekati masyarakat haruslah dirintis sejak awal. 

jadwal-sholat