Jumat, 18 Mei 2012

INTERNATIONAL CRIMINAL FORENSICS



A.           Overview  
Bidang-bidang psikologi forensik telah berkembang pesat seiring dengan banyaknya penelitian-penelitian serta fokus organisasi-organisasi nasional yang mementingkan pada yurisdiksi masing-masing. Internasional forensik berupaya untuk menggambarkan mengenai kompleksitas dan pentingnya mengamati isu-isu forensik pada berbagai negara. Topik-topik yang akan dibahas, yaitu psikologi terorisme; mencakup motivasi, implikasi, dan penanganan, kompetensi untuk diajukan di pengadilan, dan asesmen pada pelaku dengan risiko melakukan tindak kekerasan serta para tersangka dengan gangguan mental.
Di Amerika Serikat, telah dibentuk komisi nasional dalam psikologi forensik sejak tahun 1978 yang dikenal dengan nama American Board of Forensic Psychology (ABFP) dan American Academy of Forensic Psychology (AAFP). Terdapat klasifikasi tinggi yang harus dipenuhi untuk menjadi anggota komisi tersebut, yaitu pengalaman minimal 1000 jam dalam 5 tahun, post-doctoral, telah mengikuti pelatihan minimun 200 jam dengan supervisi, dan tes kelayakan (contoh kasus profesional yang pernah dilakukan dan ujian lisan). Pesatnya perkembangan psikologi forensik di Amerika Serikat menciptakan banyaknya universitas yang memiliki bidang studi psikologi forensik, seperti John Jay College of Criminal Justice New York, California School of Professional Psychology, University of Arizona, Florida International University, dan University of Nebraska.
Pada tahun 200 telah dibentuk International Association of Forensic Mental Health Services (IAFMHS) berdasarkan pertemuan di Vancouver. IAFMHS merupakan sarana untuk menghubungkan dan mengefektifkan komunikasi antar area-area serta merencanakan studi yang kolaboratif dan mendiskusikan temuan-temuan pada perencana kegiatan dan pembuat kebijakan. IAFMHS memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut, yaitu meningkatkan standar pelayanan kesehatan mental psikologi forensik dalam komunitas internasional, mempromosikan dialog internasional mengenai kesehatan mental forensik, mempromosikan pendidikan, pelatihan, serta penelitian-penelitian dalam bidang kesehatan mental forensik, menginformasikan isu-isu terkini mengenai kesehatan mental forensik pada komunitas profesional dan masyarakat, mempromosikan teknologi-teknologi yang dapat mempermudah pencapaian tujuan, dan membentuk kerjasama formal serta informal dengan organisasi-organisasi yang memiliki tujuan sama.
Australia lebih menekankan psikologi forensik pada terapi korban-korban kejahatan dan penanganan terhadap pelaku pelecehan seksual. Untuk mengatur isu tersebut, dibentuk CORE Sex Offender Program sebagai lembaga koreksi publik untuk mengevaluasi, memanajemen, dan menangani pria-pria pelaku pelecehan seksual. Berbeda dengan Australia yang memiliki lembaga mandiri, di Jepang, penanganan tersangka dengan gangguan mental dimonitor oleh Kementrian Kesehatan, Kesejahteraan, dan Ketenagakerjaan.
           
B.            Psikologi Terorisme
Isu terorisme mulai berkembang pesat setelah terjadi beberapa peristiwa penyerangan teroris dengan dampak masif, seperti pengeboman kereta di Madrid, Spanyol pada Maret 2004 dan serangan terhadap WTC dan Pentagon di Amerika Serikat pada September 2011. Peristiwa WTC telah memberikan dampak yang besar mengenai pandangan dunia akan terorisme. Aksi terorisme tidak hanya mengakibatkan dampak luka fisik, namun juga dampak emosional pada orang dan masyarakat, konsekuensi psikologis, kebutuhan serta peran bantuan psikologis pertama selama dan setelah peristiwa tragis tersebut.
Departemen pertahanan Amerika Serikat mendefinisikan terorisme sebagai aksi kekerasan bermotifkan politik yang dilakukan oleh kelompok-kelompok subnasional dengan target golongan sipil (yang tidak bersenjata) untuk mempengaruhi masyarakat. Sedangkan FBI menyebutkan bahwa terorisme merupakan aksi atau ancaman kekerasan yang melanggar hukum dengan menyerang orang-orang atau properti-properti untuk mengintimidasi pemerintah, masyarakat sipil, atau segmen-segmen lain yang dapat digunakan sebagai objek politik ataupun sosial. Everly menjelaskan karakteristik terorisme, yaitu memiliki tujuan eksplisit untuk menciptakan kondisi ketakutan, ketidakpastian, demoralisasi, dan perasaan tidak berdaya yang disebabkan kekuatan paksaan dan hukuman.
Teroris biasanya bergerak sebagai kelompok atau sel atau unit yang saling berbagai tujuan atau kepercayaan bersama. Tujuan atau kepercayaan tersebut yang dijadikan sebagai justifikasi (pembenaran) atas tindakan mereka. Lawal menyatakan bahwa teroris yang bergerak secara individual (pelaku bom bunuh diri) terjadi saat mereka terinspirasi ekstrem oleh kelompok dan tindakan yang dilakukan dapat diklasifikasikan dalam tindakan kolektif.
Dampak terorisme lebih nampak dalam bentuk ketakutan dalam pikiran, perasaan, tingkah laku, kebebasan personal individu. Everly mendeskripsikan terdapat empat ancaman teroris pada Amerika Serikat, yaitu ancaman terhadap kehancuran fisik dan kematian, persepsi akan ancaman disakiti atau kematian pada individu, keluarga, dan komunitas, ancaman terhadap perubahan sosiologis (menciptakan huru hara), dan ancaman resesi ekonomi yang ditimbulkan oleh matinya beberapa sektor industri.
Berbagai ahli mencoba membahas mengenai etiologi terorisme walaupun masih belum jelas dan belum ada kesepakatan mengenai pemahaman akan fenomena tersebut. Crenshaw menyatakan bahwa aksi terorisme didasarkan oleh pemikiran logis dan pilihan strategis dengan intensi untuk memenuhi tujuan sesuai realita. Bandura menyatakan bahwa teroris sudah terpisah dengan moralnya (morally detached) dan bergerak hanya berdasarkan dorongan psikologis. Arena dan Arigo berpendapat bahwa terorisme terkait dengan identitas kelompok dan adanya kebutuhan untuk mengambil peran, menyebarkan simbol, dan meletakkan makna-makna pribadi sesuai dengan identitas. JM Davis mengemukakan bahwa interaksi dari frustasi, emosi negatif yang intens, kontrol impuls yang lemah, dan norma kelompok atau sosial yang mendukung dan menvalidasi kekerasan sebagai kontributor akan fenomena terorisme.
Spencer menyatakan bahwa pelaku bom bunuh diri tidak mengalami gangguan jiwa namun memiliki altruistic suicide. Altruistic suicide didefinisikan sebagai kematian yang dilakukan oleh diri sendiri berdasarkan kepercayaan yang kuat, menyebabkan individu kehilangan rasa otonominya. Jika individu menganut kepercayaan berdasarkan norma bahwa dunia hanyalah persinggahan sementara menuju dunia utopis yang abadi, maka definisi bunuh diri tersebut akan ambigu dan peran psikiatris dalam memberikan intervensi akan dipertanyaan pelaksanaannya.
Para korban terorisme umumnya mengalami trauma dan kehilangan. Diperlukan proses coping yang efektif untuk menggali makna dari peristiwa yang telah terjadi dan membuat hidup kembali bermakna. Dalam penelitian Bleich yang dilakukan pada 512 orang partisipan tahun 2012 di Israel, para responden melaporkan adanya trauma dan stress terkait dengan kesehatan mental. Simtom-simtom yang banyak dilaporkan adalah menghindar/mati rasa (55,5%), hyperarousal (49,4%), dan teringat kembali (re-experiencing) peristiwa traumatik yang pernah dialami (37,1%). Berdasarkan penelitian Bleich, dapat dikatakan 9% responden mengalami PTSD sesuai dengan DSM-IV. Penelitian pada masyarakat Amerika Serikat 2 bulan pasca penyerangan WTC September 2011 menunjukkan bahwa 20% responden melaporkan adanya simtom-simtom terkait trauma.
Tidak hanya 2 bulan pasca penyerangan WTC, para korban juga masih menyimpan reaksi emosi yang intens pada perayaan tahun pertama. Jordan mengatakan terdapat kebutuhan merayakan tahun pertama untuk membantu individu meminimalisir stress atau reaksi-reaksi emosional, memudahkan individu untuk kembali menjalani hidupnya, dan melangkah pada proses berduka. Perayaan tahun pertama akan sangat berat bagi individu yang memiliki afiliasi dengan korban, memiliki karakteristik, minat, dan atribut yang serupa dengan korban, kemampuan coping yang lemah, menampilkan reaksi-reaksi emosional yang ekstrem, dan adanya pengalaman traumatis sebelumnya.
Profesional dalam bidang kesehatan mental tidak kebal terhadap trauma terkait dengan terorisme dan ketakutan. Dapat muncul kelelahan, burn-out, dan stress trauma sekunder (vicarious traumatization). APA menganjurkan agar para tenaga profesional juga memiliki strategi perawatan diri dan dukungan dari profesional yang lain.
Everly mengindikasikan terdapat tiga level perlawanan melawan  teroris, yatu pencegahan serangan teroris, meredakan dampak merugikan dari ancaman terorisme yang persisten saat aksi terorisme terjadi, dan penanganan psikologis pada efek merugikan dari ancaman atau prilaku terorisme yang terjadi. Tahap ketiga sering disebut sebagai psychological counterterrorism. Peran psikolog adalah bersama jajaran hukum membuat panduan profiling akan prilaku terorisme, menyediakan konseling krisis bagi para survivor, dan melakukan penelitian lebih lanjut mengenai counterterrorism.

Psikologi Forensik dan Implikasi Kebijakan
Everly membagi usaha psikologis untuk mencegah terorisme menjadi empat bagian, yaitu usaha untuk menghilangkan terorisme dengan mendorong komunitas global untuk melihatnya sebagai hal yang ekstrem dalam segi hukum, moral, dan politik, usaha untuk menghilangkan terorisme dengan tidak melakukan negosiasi apapun dalam kondisi apapun, merespon terorisme dengan segera dan memberikan perhatian lebih, dan membangun iklim global di mana keadilan dapat diakses dengan mudah oleh semua orang. Everly juga menyebutkan terdapat beberapa usaha psikologis yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari terorisme, yaitu ketetapan pelaksanaan pelatihan dan edukasi pra-insiden, ketetapan pelaksanaan pertolongan pertama psikologis (psychological first aid), ketetapan untuk melakukan pertemuan rutin antar kota untuk saling memberikan informasi-informasi penting, informasi manajemen stress, serta membangun rasa keberdayaan individu dan komunitas, serta implementasi berbagai sistem intervensi krisis dan pelayanan kesehatan mental gawat darurat.
Amerika Serikat telah memiliki berbagai agen penanganan korban yang mengalami trauma dan survivor. Berbagai contohnya adalah American Red Cross (ARC), the Critical Incident Stress Management group (CISM), dan the Green Cross. Agen-agen tersebut menekankan pada hal-hal berikut ini, yaitu tanda-tanda klinis dan simtom-simtom trauma yang bersifat akut ataupun kronis, perbedaan antara reaksi yang berhubungan dengan trauma atau gangguan psikologis atau kesedihan yang normal, identifikasi bermacam-macam dukungan bagi klien berdasarkan tahap-tahap bencana yang dialami, menyadari dampak prilaku spiritual, mendorong survivor untuk secara adaptif mengatur trauma mereka menjadi ingatan yang terkelola, dan kebutuhan akan sukarelawan-sukarelawan yang potensial untuk menangani tugas-tugas dengan meminimalkan rasa malu, stress, dan kelelahan.
Taylor menyatakan tujuan langsung yang ingin dicapai dari penanganan adalah untuk mengembalikan kondisi klien dalam “psychological status quo”. Psikolog berperan untuk menjaga keamanan survivor dan mencoba menghubungkan individu-individu dengan keluarga atau kelompok-kelompok dukungan dalam lingkup budaya dan agama mereka. Arena dan Arrigo menyatakan bahwa psikolog yang bergerak dalam bidang terorisme harus familiar dengan berbagai nilai dan konteks budaya untuk lebih mudah memahami para survivor dan berkontribusi dalam bidang tersebut.

Saran Untuk Penelitian Berikutnya
Penelitan berikutnya sebaiknya membandingkan antara profil tingkat efikasi teroris berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan FBI dan agen-agen intel. Penelitian berikutnya juga dapat melanjutkan fokus dalam menggali lebih dalam mengenai kondisi psikologis individu yang berhubungan dengan terorisme, seperti interaksi sosial, pandangan politik, kondisi ekonomi, agama, dan berbagai ideologi yang dapat menjadi motivasi untuk aksi terorisme, serta tren-tren globalisasi dan kekerasan ekstrem yang terjadi di berbagai negara. Merupakan hal yang sangat penting untuk mengases dan menginterpretasikan proses coping yang efektif dan bermakna bagi individu-individu yang mengalami trauma signifikan.


C.           Insanity Defense dan Kompetensi Untuk Diajukan ke Pengadilan
Hukum umum yang berlaku dalam tiap sistem kriminal adalah dasar bahwa individu baru dapat dituntut selama mereka mereka secara sukarela, sadar, dan rasional telah memilih untuk melakukan tindak kejahatan tersebut. Untuk dapat dihadapkan ke pengadilan, tersangka harus dapat memahami sanksi-sanksi yang berlaku, peraturan, konsekuensi bila dinyatakan bersalah, mengetahui peran-peran serta prosedur pengadilan, dan mampu membantu pengacara mempersiapkan pembelaan.
Sebagian besar negara memiliki ketetapan mengenai pembelaan untuk sakit mental, mencakup kompetensi untuk diajukan ke pengadilan, tanggung jawab bila prilaku gangguan mental muncul dan tersangka tidak dapat dijadikan kriminal, dan memberikan pernyataan akan sakit mental. Saat keadilan hukum dan gangguan mental bertemu, seringkali timbul perdebatan antara otonomi individu, otoritas negara, dan keamanan publik.
Kanada telah merevisi kode-kode kriminal yang terkait dengan tanggung jawab dan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk dapat diajukan ke pengadilan. Individu dengan sakit mental yang melakukan tindak kriminal membutuhkan penanganan psikiatrik dan pemeriksaan lebih lanjut mengenai efek ganguan mereka terhadap tanggung jawab akan tindak krimimal yang mereka lakukan atau kondisi mental mereka saat memberikan pembelaan. Perubahan kode kriminal ini telah berjalan seiring waktu dan melibatkan banyak pihak legislatif dan berbeda-beda antara tiap yurisdiksi. Di Amerika Serikat, tersangka dengan gangguan mental dapat dikenakan not guilty by reason of insanity (NGRI).
Di Inggris, kompetensi untuk diajukan ke pengadilan diatur oleh the European Convention for the Protection of Human Rights (ECHR) yang mulai aktif pada tahun 1953. ECHR berpedapat bahwa bila individu memiliki kriteria insanity secara medis atau psikiatris, hal tersebut tidak diperlukan bila individu tersebut menyerahkan diri secara sukarela. ECHR menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat diambil kebebasannya bila individu tersebut mengalami “unsound mind”. Pengadilan menganggap kata “unsound mind” tidak memiliki definisi yang jelas dan tidak dapat dioperasionalisasikan. Untuk itu, dilakukan revisi dalam Winterwerp v The Netherland, yang mengajukan tiga syarat, yaitu:
*      Harus ada kedekatan antara opini medis dan definisi mengenai kondisi mental yang dibutuhkan untuk melakukan pembelaan
*      Ketentuan pengadilan untuk kerusakan mental harus didasarkan pada penilaian yang objektif dari ahli medis
*      Pengadilan memiliki keleluasaan untuk menentukan apakah kondisi mental tersangka dapat dikenakan wajib tahanan atau tidak
Pada perkembangan berikutnya, dalam The Criminal Procedure (Insanity and Unfitness to Plead) Act pada tahun 1991, mengijinkan pengadilan untuk menentukan apakah tersangka dapat dimasukkan ke rumah sakit, diberikan pengawasan dan supervisi, serta penanganan, atau akan dikenakan hukuman bila tingkat insanity tidak terlalu serius.
Autralia dan Selandia Baru tidak berada di bawah yurisdiksi ECHR. Sembilan yurisdiksi hukum di Australia dan Selandia Baru terkait dengan insanity defense berdasarkan standar M’Naughten Rules. Sama halnya dengan kritik yang diajukan pada Inggris, aturan insanity defense Australia dan Selandia Baru memiliki konten yang tidak kongruen antara definisi insanity secara psikiatris dan legal. Perbedaan daerah atau yurisdiksi menggunakan istilah-istilah yang diharapkan memuat referensi psikolegal, seperti penyakit pikiran (disease of the mind), kerusakan mental (mental impairment), dan keabnormalan pikiran (abnormality of mind). Istilah-istilah tersebut dapat menimbulkan berbagai interpretasi yang ambigu dan tidak sesuai dengan definisi psikiatris atau psikologi dari mental illnesasess.
Di Queensland, salah satu daerah di Australia, ketentuan untuk menentukan tanggung jawab atas perbuatan kriminal didasarkan pada Queensland Mental Health Tribunal (MHT) yang dibentuk pada tahun 1984. MHT bertujuan untuk membebaskan tersangka-tersangka dengan sakit mental (mentally ill) dan ketidakmampuan intelektual dari sistem pengadilan sosial dan meletakkan mereka dalam sistem kesehatan mental. Dalam MHT, perintah untuk dimasukkan dalam rumah sakit psikiatris dapat diberikan bila terdapat permintaan khusus dan tindakan kejahatan yang serius. Sistem ini sangat populer di kalangan komunitas kesehatan mental namun dikritisi oleh media dan politisi karena mengijinkan pelaku kriminal untuk menghindari tanggung jawab atas prilaku mereka.
Permintaan pada MHT dapat diajukan oleh anggota keluarga, petugas polisi, dan lainnya. Bila terjadi penolakan terhadap penahanan maka pengadilan dapat menolak putusan bersalah dan merujuknya ke MHT. Tersangka diasumsikan memiliki sakit mental sampai muncul bukti-bukti yang dapat mematahkan asumsi tersebut. Hakim dapat menggunakan testimoni atau meminta psikiatris mengklarifikasi bukti-bukti klinis tersebut.
Brazil tidak memiliki aturan khusus mengenai kompetensi untuk diajukan ke pengadilan. Terdapat tiga fase proses pengadilan di Brazil, yaitu pemeriksaan, proses yudisial, dan eksekusi yudisial. Proses ini akan tetap dilakukan pada tersangka dengan sakit mental. Hukuman dapat dilakukan bila tersangka sepenuhnya sadar atau semi-sadar pada saat melakukan kejahatan. Hukuman dapat diganti dengan paksaan untuk mengambil penanganan psikiatris bila dapat dibuktikan tersangka tidak sadar saat melakukan kejahatan. Sedangkan standar Amerika Utara untuk insanity tidak mengijinkan gangguan kepribadian antisosial dan berbagai patologi kepribadian dijadikan dasar untuk insanity. Sama halnya dengan Brazil yang memasukkan gangguan kepribadian dalam semi-sadar (semi-imputtable).
Di Tasmania, Australia, the Criminal Justice (Mental Impairment) Act 1999, mendefinisikan kriteria untuk individu yang unfit to stand trial (UST). Kriteria-kriteria tersebut adalah saat individu tidak mampu memahami instruksi, hak-haknya, prosedur pengadilan, atau tidak dapat membantu pengacara untuk menyiapkan pembelaan. Ketidaklayakan (unfit) harus diputuskan oleh juri dan bila tersangka diputuskan tidak layak, juri harus memutuskan apakah tersangka akan layak dalam waktu 12 bulan ke depan. Apabila layak, hearing ditunda dan dilakukan special hearing. Di Queensland, tersangka yang diputuskan tidak layak akan dirujuk ke rumah sakit jiwa dan dievaluasi tiap 3 bulan sampai dinyatakan telah layak untuk diadili. Bila tidak ada kemajuan dalam tiga tahun, pengadilan umum akan menghapus tuntutan kriminal namun tetap melanjutkan pembatasan atau perawatan di rumah sakit jiwa.

Psikologi Forensik dan Implikasi Kebijakan
Hopper dan McSherry menekankan pentingnya review yang kritis dan sistematis pada versi-versi terdahulu insanity defense yang muncul di Inggris, Australia, dan Selandia Baru sebagai dasar pembentukan hukum internasional hak-hak asasi manusia. Psikolog forensik sebaiknya familiar dengan undang-undang yang relevan dan definisi psikolegal pada tiap-tiap yurisdiksi tempat mereka berpraktek. Perlu diperhatikan juga waktu untuk memberikan keputusan yang terkadang terlalu lama dan tersangka harus menunggu lama, khususnya tersangka dengan tindakan kejahatan rendah. Waktu yang terlalu lama untuk menentukan kelayakan tersangka untuk diajukan ke pengadilan dapat menyebabkan tersangka, yang ditahan, mengalami tindakan kriminal dari tersangka lain dan mengakibatkan gangguan psikiatris lebih lanjut.
Psikolog-psikolog forensik harus dapat memahami perbedaan antara alat-alat asesmen yang digunakan di tiap negara. Peralatan-peralatan tersebut seringkali memiliki perbedaan kriteria, seperti di Kanada, evaluasi kelayakan hanya dapat dilakukan oleh psikiatris. Oleh karena itu, psikolog-psikolog forensik yang mengetes kelayakan untuk diajukan ke pengadilan harus mengingat bahwa ketetapan akan kelayakan relatif pada tiap negara dan tergantung pada kasus-kasus yang diberikan.

D.           Asesmen Risiko Kekerasan Pada Individu dengan Gangguan Mental
Tema ini telah menjadi isu penting sejak tiga dekade belakangan (Woods, Reed, & Collins, 2003). Asesmen ditujukan pada risiko yang akan terjadi dan prediksi perilaku berbahaya yang mungkin terjadi (Molbert & Beck, 2003). Penderita gangguan mental bertambah cukup pesat. Meskipun keterkaitan antara penyakit psikiatris dan kekerasan tidak begitu kuat diterima oleh publik secara umum, tetapi ada upaya yang menekankan prediksi akurat mengenai efek kekerasan dan menerapkan strategi manajemen yang efektif sebagai upaya preventif terhadap efek dikemudian hari. Akan tetapi, banyak media terlalu membesar-besarkan masalah dan risiko ini.
Faktor risiko terdiri dari dua macam, yaitu faktor yang sifatnya statis dan dinamis. Faktor yang sifatnya statis meliputi historis dan tidak bisa diubah. Faktor yang sifatnya dinamis mencakup hal-hal yang bisa diubah. Beberapa faktor risiko dapat saling berkorelasi pada tindak kekerasan mencakup sejarah kekerasan, sejarah sosial yang negatif, nilai-nilai antisosial, gangguan jiwa, usia, status sosioekonomis, jenis kelamin, peran gender, lingkungan dan kekerasan yang terjadi, sejarah substansi kekerasan, sejarah gangguan jiwa, paranoia, ketakutan, ketidakterpenuhiannya tritmen dan tritmen yang tidak tepat, rendahnya insight, sejarah luka kepala (geger), inteligensi dibawah rata-rata.
Faktor lainnya yang berperan dalam risiko kekerasan diantaranya sikap saat ini, motivasi mengikuti tritmen, status kesehatan mental saat ini, dan penerimaan sosial terhadap tujuan dan nilai-nilai (Woods dkk, 2003). Kekerasan dalam ruangan rumah sakit terutama rumah sakit forensik adalah biasa (Bhui dkk, 2001). Bhui menambahkan kekerasan yang terjadi biasanya merupakan efek dari gabungan gangguan mental yang dialami pasien misalnya psikosis dan gangguan kepribadian.


Tinjauan Teoretis
Penekanan Jerman pada risiko kekerasan dan potensi untuk menjadi residivis pada pasien rumah sakit jiwa. Penurunan kriteria dalam asesmen risiko dalam praktik forensik menimbulkan banyak komplain dimana adanya perilaku adaptif dalam suatu lingkungan perlu diartikan dalam kompetensi sosial dan risiko rendah terhadap kekerasan yang mungkin terjadi dikemudian hari (Seifert, 2002). Ditambahkan, penelitian Seifert terhadap 188 partisipan rumah sakit jiwa menggunakan kuesioner prognostik sebelum mereka keluar dari rumah sakit jiwa. Partisipan dimonitor selama 5 tahun setelah keluar dari rumah sakit jiwa forensik untuk membuktikan validitas kuesioner.
Kuesioner banyak dipakai untuk menentukan apakah seseorang kompeten untuk diadili atau dianggap mengalami suatu gangguan mental. Kuesioner terdiri atas item-item terkait sosiostatistik dan historikal, tes psikologi, dan item-item biologis misalnya tes inteligensi, CCT, dan EEG, serta item-item klinis. Kuesioner klinis didesain berdasarkan faktor-faktor prediksi dalam beragam literatur dan item-item indeks prediksi digunakan biasanya pada institusi Jerman (Seifert dkk, 2002).
Hasil penelitian seifert menunjukkan jika seorang pasien dalam sebuah rumah sakit jiwa forensik dinyatakan oleh tim tritmen bahwa dirinya secara umum berperilaku dan memiliki skil sosial yang baik maka prognosis cenderung positif. Bagaimanapun, jika saat tritmen dihadapkan pada situasi keras, tegang, maka cenderung memiliki risiko tinggi untuk menjadi residivis. Ditemukan bahwa persentase kekerasan seksual yang terjadi adalah sekitar 13,3% dan lebih dari dua pertiga (70%) pasien dengan psikosis-skizofrenia memiliki potensi kriminal mencakup kekerasan.
Peran psikologi pada sebuah rumah sakit forensik yaitu berkaitan dengan kriteria klinis untuk menentukan apakah pasien secara prognosis sah atau berisiko untuk dijadikan terdakwa (residivis). Studi ini penting menggunakan telaah sejarah kasus dan klinis pasien. Di Inggris, diterapkan suatu sistem untuk menentukan dan memanajemen risiko diantara kekerasan dengan gangguan mental (Bindman, 2002). Tahun 1994, Mental Health Services memberikan mandat untuk mengidentifikasi dan membuat suatu standar bagi pasien terhadap risiko melakukan kekerasan atau melukai diri sendiri (self-harm), dan memberikan prioritas dalam menentukan pertolongan yang tepat (Bindman, 2002). Masalahnya, beberapa dokumen penelitian seperti yang disebutkan dalam dokumen Modernizing Mental Health Services dikaitkan antara kekerasan dan gangguan jiwa. Disebutkan juga di dalamnya bahwa ada hubungan antara penderita gangguan mental aktif dan kekerasan. Akan tetapi, pada dasarnya kenyataan membuktikan bahwa risiko ini signifikan jika individu dengan gangguan mental kehilangan kontak dengan layanan yang diterimanya atau mendapatkan tritmen yang inadekuat. Yang dipahami oleh publik adalah seputar risiko kekerasan, dengan demikian layanan harus melindungi publik secara aman, sehingga harus juga menekankan pada penanganan layanan bagi penderita.
Meningkatnya isu yang menekankan pada layanan kesehatan mental untuk memanajemen risiko sebagai suatu konsekuensi dari kultur politis, meningkatkan perhatian layanan publik dan spesialis forensik dalam merespons perilaku manusia (Bindman, 2002). Dari isu tersebut muncullah sebuah proposal yang kontroversial. Pemerintah membuat suatu klasifikasi baru dalam kekerasan gangguan mental dan dimasukkan kedalam  dangerous severe personality disorder (DSPD). Diagnosis ini tanpa disertai definisi yang benar atau dimengerti secara medis atau memiliki definisi yang legal (Bindman, 2002). Individu dengan DSPD mungkin atau tidak mungkin memiliki gangguan mental yang seharusnya ditritmen atau kepastian menjadi kriminalis dan mereka dengan tidak sukarela dimasukkan kedalam pengamanan rumah sakit dengan jangka waktu yang tidak ditentukan untuk menghindari risiko kekerasan dikemudian hari.
Penelitian lainnya yaitu Watts dkk (2003) menitikberatkan pada studi longitudinal untuk memprediksikan kekerasan dalam lingkup unit psikiatris. Penelitian ini dilakukan selama dua minggu terhadap dua unit psikiatris di London. Hasilnya, 32 pasien menunjukkan penyerangan, 41 berperilaku agresif, dan 27 tidak menunjukkan perilaku kekerasan. Sayangnya, penelitian ini tidak mempertimbangkan variabel klinis seperti status kesehatan mental dan respons terhadap tritmen dari pasien. Selama ini, prediksi risiko kekerasan pada penderita gangguan mental didasarkan pada professional judgement (Doyle dkk, 2002).  
Instrumen mulai dikembangkan untuk melengkapi pengambilan keputusan klinis tentang risiko kekerasan tersebut, diantaranya Screening Version (PCL:SV), Violence Risk Appraisal Guide (VRAG), HCR-20. The HCR-20 dibangun dari 20 item skala rating dari 0-2. The Historical (H) merepresentasikan variabel backgorund yang relatif statis yang berhubungan dengan tindak kekerasan. The Clinical (C) merepresentasikan risiko yang berkorelasi dengan faktor individual yang sifatnya dinamis, misalnya insight dan sikap. Risk Management (R) berkaitan dengan struktur asesmen risiko kedepan, seperti dukungan sosial dan faktor-faktor kontekstual lainnya. Perilaku kekerasan dibedakan menjadi 5 kategori yaitu agresi verbal, agresi fisik terhadap orang lain, self-harm, kekerasan terhadap objek selain manusia, dan perilaku lainnya seperti teror telepon, mengejar hewan, dan sebagainya.
Tingkat risiko juga dibedakan dalam tiga kode yaitu level satu (high security), level dua (medium security), dan level tiga (low security). High security mencakup perilaku merusak diri sendiri (self-harm) dan kekerasan fisik termasuk dalam low security dan medium security tergantung frekuensi dan intensitasnya. Psikopatologis merupakan faktor risiko kekerasan dimasa depan dan cenderung membekas serta relatif konstan dalam kehidupan pasien (Arrigo & Shipley, 2001; Arrigo & Shipley, 2004). Dernevik dkk (2002) menambahkan bahwa psikopatologis adalah isu fundamental dalam manajemen risiko serta persoalan intervensi dan prevensi.

Psikologi Forensik dan Implikasi Kebijakan
Evaluasi terhadap asesmen risiko seharusnya dilakukan dengan lebih sistematis dan prosedural. Indikator perilaku dalam instrumen asesmen didetail menjadi komponen-komponen yang spesifik, sehingga dapat dijadikan bahan evaluasi dalam pengambilan keputusan (Woods dkk, 2003). Psikolog forensik sebaiknya mempertimbangkan kedua aspek baik kriteria klinis yang bersifat dinamis (dapat berubah) maupun faktor historis yang relatif statis. Seifert (dkk, 2002) menambahkan pentingnya prognosis setelah adanya asesmen risiko.
Model yang diajukan Seifert dkk (2003) yaitu keterkaitan antara rerlasi eksistensi dan sebab akibat dari faktor risiko yang spesifik serta potensi kemunculan efek negatif dari individu. Semua itu harus tercakup dalam pertanyaan dalam instrumen asesmen. Asesmen risiko bermanfaat untuk mengambil keputusan klinis mengenai potensi terjadinya kekerasan, berperan dalam strategi tritmen, serta rasionalisasi bagi keputusan klinis yang akan diambil (Doyle dkk, 2003).
Sebuah penelitian membuktikan tingkat kekerasan residivis akan berkurang dan keamanan publik akan tercipta secara efektif jika dalam pengambilan keputusan klinis berdasar pada risiko terjadinya kekerasan dikemudian hari, terutama pada program pemulihan pasien gangguan mental (Rice, 1997). Menurut Rice (1997) kekerasan dari pasien bisa diturunkan dengan adanya monitoring dan supervisi dari profesional terhadap perilaku destruktif, serta deteksi dini risiko. Diperlukan penelitian-penelitian lanjutan terhadap bidang psikologi forensik, diantaranya asesmen risiko kekerasan untuk pasien akut, validitas prediktif instrumen asesmen risiko diantaranya adalah VRAG dan HCR-20, dan eksplorasi efek dari manajemen risiko (Dernevik dkk, 2002).


DAFTAR PUSTAKA
Arrigo, Bruce A & Shipley, Stacy L. 2005. Introduction to Forensic Psychology: Issues and Controversies in Crime and Justice, Second Edition. USA: Elsevier Academic Press.

0 komentar:

Posting Komentar

jadwal-sholat