A.
Overview
Bidang-bidang
psikologi forensik telah berkembang pesat seiring dengan banyaknya
penelitian-penelitian serta fokus organisasi-organisasi nasional yang
mementingkan pada yurisdiksi masing-masing. Internasional forensik berupaya
untuk menggambarkan mengenai kompleksitas dan pentingnya mengamati isu-isu
forensik pada berbagai negara. Topik-topik yang akan dibahas, yaitu psikologi
terorisme; mencakup motivasi, implikasi, dan penanganan, kompetensi untuk
diajukan di pengadilan, dan asesmen pada pelaku dengan risiko melakukan tindak
kekerasan serta para tersangka dengan gangguan mental.
Di
Amerika Serikat, telah dibentuk komisi nasional dalam psikologi forensik sejak
tahun 1978 yang dikenal dengan nama American
Board of Forensic Psychology (ABFP) dan American
Academy of Forensic Psychology (AAFP).
Terdapat klasifikasi tinggi yang harus dipenuhi untuk menjadi anggota komisi
tersebut, yaitu pengalaman minimal 1000 jam dalam 5 tahun, post-doctoral, telah mengikuti pelatihan minimun 200 jam dengan
supervisi, dan tes kelayakan (contoh kasus profesional yang pernah dilakukan
dan ujian lisan). Pesatnya perkembangan psikologi forensik di Amerika Serikat
menciptakan banyaknya universitas yang memiliki bidang studi psikologi
forensik, seperti John Jay College of
Criminal Justice New York, California School of Professional Psychology,
University of Arizona, Florida International University, dan University of Nebraska.
Pada
tahun 200 telah dibentuk International
Association of Forensic Mental Health Services (IAFMHS) berdasarkan
pertemuan di Vancouver. IAFMHS merupakan sarana untuk menghubungkan dan
mengefektifkan komunikasi antar area-area serta merencanakan studi yang
kolaboratif dan mendiskusikan temuan-temuan pada perencana kegiatan dan pembuat
kebijakan. IAFMHS memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut, yaitu meningkatkan
standar pelayanan kesehatan mental psikologi forensik dalam komunitas
internasional, mempromosikan dialog internasional mengenai kesehatan mental
forensik, mempromosikan pendidikan, pelatihan, serta penelitian-penelitian
dalam bidang kesehatan mental forensik, menginformasikan isu-isu terkini
mengenai kesehatan mental forensik pada komunitas profesional dan masyarakat,
mempromosikan teknologi-teknologi yang dapat mempermudah pencapaian tujuan, dan
membentuk kerjasama formal serta informal dengan organisasi-organisasi yang
memiliki tujuan sama.
Australia
lebih menekankan psikologi forensik pada terapi korban-korban kejahatan dan
penanganan terhadap pelaku pelecehan seksual. Untuk mengatur isu tersebut,
dibentuk CORE Sex Offender Program sebagai
lembaga koreksi publik untuk mengevaluasi, memanajemen, dan menangani pria-pria
pelaku pelecehan seksual. Berbeda dengan Australia yang memiliki lembaga
mandiri, di Jepang, penanganan tersangka dengan gangguan mental dimonitor oleh
Kementrian Kesehatan, Kesejahteraan, dan Ketenagakerjaan.
B.
Psikologi Terorisme
Isu
terorisme mulai berkembang pesat setelah terjadi beberapa peristiwa penyerangan
teroris dengan dampak masif, seperti pengeboman kereta di Madrid, Spanyol pada
Maret 2004 dan serangan terhadap WTC dan Pentagon di Amerika Serikat pada
September 2011. Peristiwa WTC telah memberikan dampak yang besar mengenai
pandangan dunia akan terorisme. Aksi terorisme tidak hanya mengakibatkan dampak
luka fisik, namun juga dampak emosional pada orang dan masyarakat, konsekuensi
psikologis, kebutuhan serta peran bantuan psikologis pertama selama dan setelah
peristiwa tragis tersebut.
Departemen
pertahanan Amerika Serikat mendefinisikan terorisme sebagai aksi kekerasan
bermotifkan politik yang dilakukan oleh kelompok-kelompok subnasional dengan
target golongan sipil (yang tidak bersenjata) untuk mempengaruhi masyarakat.
Sedangkan FBI menyebutkan bahwa terorisme merupakan aksi atau ancaman kekerasan
yang melanggar hukum dengan menyerang orang-orang atau properti-properti untuk
mengintimidasi pemerintah, masyarakat sipil, atau segmen-segmen lain yang dapat
digunakan sebagai objek politik ataupun sosial. Everly menjelaskan
karakteristik terorisme, yaitu memiliki tujuan eksplisit untuk menciptakan
kondisi ketakutan, ketidakpastian, demoralisasi, dan perasaan tidak berdaya yang
disebabkan kekuatan paksaan dan hukuman.
Teroris
biasanya bergerak sebagai kelompok atau sel atau unit yang saling berbagai
tujuan atau kepercayaan bersama. Tujuan atau kepercayaan tersebut yang
dijadikan sebagai justifikasi (pembenaran) atas tindakan mereka. Lawal
menyatakan bahwa teroris yang bergerak secara individual (pelaku bom bunuh
diri) terjadi saat mereka terinspirasi ekstrem oleh kelompok dan tindakan yang
dilakukan dapat diklasifikasikan dalam tindakan kolektif.
Dampak
terorisme lebih nampak dalam bentuk ketakutan dalam pikiran, perasaan, tingkah
laku, kebebasan personal individu. Everly mendeskripsikan terdapat empat
ancaman teroris pada Amerika Serikat, yaitu ancaman terhadap kehancuran fisik
dan kematian, persepsi akan ancaman disakiti atau kematian pada individu,
keluarga, dan komunitas, ancaman terhadap perubahan sosiologis (menciptakan
huru hara), dan ancaman resesi ekonomi yang ditimbulkan oleh matinya beberapa
sektor industri.
Berbagai
ahli mencoba membahas mengenai etiologi terorisme walaupun masih belum jelas
dan belum ada kesepakatan mengenai pemahaman akan fenomena tersebut. Crenshaw
menyatakan bahwa aksi terorisme didasarkan oleh pemikiran logis dan pilihan
strategis dengan intensi untuk memenuhi tujuan sesuai realita. Bandura menyatakan
bahwa teroris sudah terpisah dengan moralnya (morally detached) dan bergerak hanya berdasarkan dorongan
psikologis. Arena dan Arigo berpendapat bahwa terorisme terkait dengan
identitas kelompok dan adanya kebutuhan untuk mengambil peran, menyebarkan simbol,
dan meletakkan makna-makna pribadi sesuai dengan identitas. JM Davis
mengemukakan bahwa interaksi dari frustasi, emosi negatif yang intens, kontrol
impuls yang lemah, dan norma kelompok atau sosial yang mendukung dan
menvalidasi kekerasan sebagai kontributor akan fenomena terorisme.
Spencer
menyatakan bahwa pelaku bom bunuh diri tidak mengalami gangguan jiwa namun
memiliki altruistic suicide. Altruistic
suicide didefinisikan sebagai kematian yang dilakukan oleh diri sendiri
berdasarkan kepercayaan yang kuat, menyebabkan individu kehilangan rasa
otonominya. Jika individu menganut kepercayaan berdasarkan norma bahwa dunia
hanyalah persinggahan sementara menuju dunia utopis yang abadi, maka definisi
bunuh diri tersebut akan ambigu dan peran psikiatris dalam memberikan
intervensi akan dipertanyaan pelaksanaannya.
Para
korban terorisme umumnya mengalami trauma dan kehilangan. Diperlukan proses coping yang efektif untuk menggali makna
dari peristiwa yang telah terjadi dan membuat hidup kembali bermakna. Dalam
penelitian Bleich yang dilakukan pada 512 orang partisipan tahun 2012 di
Israel, para responden melaporkan adanya trauma dan stress terkait dengan
kesehatan mental. Simtom-simtom yang banyak dilaporkan adalah menghindar/mati
rasa (55,5%), hyperarousal (49,4%), dan teringat kembali (re-experiencing) peristiwa traumatik
yang pernah dialami (37,1%). Berdasarkan penelitian Bleich, dapat dikatakan 9%
responden mengalami PTSD sesuai dengan DSM-IV. Penelitian pada masyarakat
Amerika Serikat 2 bulan pasca penyerangan WTC September 2011 menunjukkan bahwa
20% responden melaporkan adanya simtom-simtom terkait trauma.
Tidak
hanya 2 bulan pasca penyerangan WTC, para korban juga masih menyimpan reaksi
emosi yang intens pada perayaan tahun pertama. Jordan mengatakan terdapat
kebutuhan merayakan tahun pertama untuk membantu individu meminimalisir stress
atau reaksi-reaksi emosional, memudahkan individu untuk kembali menjalani
hidupnya, dan melangkah pada proses berduka. Perayaan tahun pertama akan sangat
berat bagi individu yang memiliki afiliasi dengan korban, memiliki
karakteristik, minat, dan atribut yang serupa dengan korban, kemampuan coping yang lemah, menampilkan
reaksi-reaksi emosional yang ekstrem, dan adanya pengalaman traumatis
sebelumnya.
Profesional
dalam bidang kesehatan mental tidak kebal terhadap trauma terkait dengan
terorisme dan ketakutan. Dapat muncul kelelahan, burn-out, dan stress trauma sekunder (vicarious traumatization). APA menganjurkan agar para tenaga
profesional juga memiliki strategi perawatan diri dan dukungan dari profesional
yang lain.
Everly
mengindikasikan terdapat tiga level perlawanan melawan teroris, yatu pencegahan serangan teroris,
meredakan dampak merugikan dari ancaman terorisme yang persisten saat aksi
terorisme terjadi, dan penanganan psikologis pada efek merugikan dari ancaman
atau prilaku terorisme yang terjadi. Tahap ketiga sering disebut sebagai psychological counterterrorism. Peran
psikolog adalah bersama jajaran hukum membuat panduan profiling akan prilaku
terorisme, menyediakan konseling krisis bagi para survivor, dan melakukan penelitian lebih lanjut mengenai counterterrorism.
Psikologi
Forensik dan Implikasi Kebijakan
Everly
membagi usaha psikologis untuk mencegah terorisme menjadi empat bagian, yaitu
usaha untuk menghilangkan terorisme dengan mendorong komunitas global untuk
melihatnya sebagai hal yang ekstrem dalam segi hukum, moral, dan politik, usaha
untuk menghilangkan terorisme dengan tidak melakukan negosiasi apapun dalam
kondisi apapun, merespon terorisme dengan segera dan memberikan perhatian
lebih, dan membangun iklim global di mana keadilan dapat diakses dengan mudah
oleh semua orang. Everly juga menyebutkan terdapat beberapa usaha psikologis
yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari terorisme, yaitu
ketetapan pelaksanaan pelatihan dan edukasi pra-insiden, ketetapan pelaksanaan
pertolongan pertama psikologis (psychological
first aid), ketetapan untuk melakukan pertemuan rutin antar kota untuk
saling memberikan informasi-informasi penting, informasi manajemen stress,
serta membangun rasa keberdayaan individu dan komunitas, serta implementasi
berbagai sistem intervensi krisis dan pelayanan kesehatan mental gawat darurat.
Amerika
Serikat telah memiliki berbagai agen penanganan korban yang mengalami trauma
dan survivor. Berbagai contohnya
adalah American Red Cross (ARC), the Critical Incident Stress Management
group (CISM), dan the Green Cross. Agen-agen
tersebut menekankan pada hal-hal berikut ini, yaitu tanda-tanda klinis dan
simtom-simtom trauma yang bersifat akut ataupun kronis, perbedaan antara reaksi
yang berhubungan dengan trauma atau gangguan psikologis atau kesedihan yang
normal, identifikasi bermacam-macam dukungan bagi klien berdasarkan tahap-tahap
bencana yang dialami, menyadari dampak prilaku spiritual, mendorong survivor untuk secara adaptif mengatur
trauma mereka menjadi ingatan yang terkelola, dan kebutuhan akan
sukarelawan-sukarelawan yang potensial untuk menangani tugas-tugas dengan
meminimalkan rasa malu, stress, dan kelelahan.
Taylor
menyatakan tujuan langsung yang ingin dicapai dari penanganan adalah untuk
mengembalikan kondisi klien dalam “psychological
status quo”. Psikolog berperan untuk menjaga keamanan survivor dan mencoba menghubungkan individu-individu dengan
keluarga atau kelompok-kelompok dukungan dalam lingkup budaya dan agama mereka.
Arena dan Arrigo menyatakan bahwa psikolog yang bergerak dalam bidang terorisme
harus familiar dengan berbagai nilai dan konteks budaya untuk lebih mudah
memahami para survivor dan
berkontribusi dalam bidang tersebut.
Saran Untuk Penelitian Berikutnya
Penelitan
berikutnya sebaiknya membandingkan antara profil tingkat efikasi teroris berdasarkan
penelitian-penelitian yang sudah dilakukan FBI dan agen-agen intel. Penelitian
berikutnya juga dapat melanjutkan fokus dalam menggali lebih dalam mengenai
kondisi psikologis individu yang berhubungan dengan terorisme, seperti
interaksi sosial, pandangan politik, kondisi ekonomi, agama, dan berbagai
ideologi yang dapat menjadi motivasi untuk aksi terorisme, serta tren-tren
globalisasi dan kekerasan ekstrem yang terjadi di berbagai negara. Merupakan
hal yang sangat penting untuk mengases dan menginterpretasikan proses coping yang efektif dan bermakna bagi
individu-individu yang mengalami trauma signifikan.
C.
Insanity Defense dan Kompetensi Untuk Diajukan ke Pengadilan
Hukum
umum yang berlaku dalam tiap sistem kriminal adalah dasar bahwa individu baru
dapat dituntut selama mereka mereka secara sukarela, sadar, dan rasional telah
memilih untuk melakukan tindak kejahatan tersebut. Untuk dapat dihadapkan ke
pengadilan, tersangka harus dapat memahami sanksi-sanksi yang berlaku,
peraturan, konsekuensi bila dinyatakan bersalah, mengetahui peran-peran serta
prosedur pengadilan, dan mampu membantu pengacara mempersiapkan pembelaan.
Sebagian
besar negara memiliki ketetapan mengenai pembelaan untuk sakit mental, mencakup
kompetensi untuk diajukan ke pengadilan, tanggung jawab bila prilaku gangguan
mental muncul dan tersangka tidak dapat dijadikan kriminal, dan memberikan
pernyataan akan sakit mental. Saat keadilan hukum dan gangguan mental bertemu,
seringkali timbul perdebatan antara otonomi individu, otoritas negara, dan
keamanan publik.
Kanada
telah merevisi kode-kode kriminal yang terkait dengan tanggung jawab dan
syarat-syarat yang dibutuhkan untuk dapat diajukan ke pengadilan. Individu
dengan sakit mental yang melakukan tindak kriminal membutuhkan penanganan
psikiatrik dan pemeriksaan lebih lanjut mengenai efek ganguan mereka terhadap
tanggung jawab akan tindak krimimal yang mereka lakukan atau kondisi mental
mereka saat memberikan pembelaan. Perubahan kode kriminal ini telah berjalan
seiring waktu dan melibatkan banyak pihak legislatif dan berbeda-beda antara
tiap yurisdiksi. Di Amerika Serikat, tersangka dengan gangguan mental dapat
dikenakan not guilty by reason of
insanity (NGRI).
Di
Inggris, kompetensi untuk diajukan ke pengadilan diatur oleh the European Convention for the Protection
of Human Rights (ECHR) yang mulai aktif pada tahun 1953. ECHR berpedapat
bahwa bila individu memiliki kriteria insanity
secara medis atau psikiatris, hal tersebut tidak diperlukan bila individu
tersebut menyerahkan diri secara sukarela. ECHR menyatakan bahwa tidak ada
seorang pun yang dapat diambil kebebasannya bila individu tersebut mengalami “unsound mind”. Pengadilan menganggap
kata “unsound mind” tidak memiliki
definisi yang jelas dan tidak dapat dioperasionalisasikan. Untuk itu, dilakukan
revisi dalam Winterwerp v The Netherland, yang mengajukan tiga syarat, yaitu:
Harus ada kedekatan antara opini medis dan
definisi mengenai kondisi mental yang dibutuhkan untuk melakukan pembelaan
Ketentuan pengadilan untuk kerusakan mental
harus didasarkan pada penilaian yang objektif dari ahli medis
Pengadilan memiliki keleluasaan untuk
menentukan apakah kondisi mental tersangka dapat dikenakan wajib tahanan atau
tidak
Pada
perkembangan berikutnya, dalam The
Criminal Procedure (Insanity and Unfitness to Plead) Act pada tahun 1991,
mengijinkan pengadilan untuk menentukan apakah tersangka dapat dimasukkan ke
rumah sakit, diberikan pengawasan dan supervisi, serta penanganan, atau akan
dikenakan hukuman bila tingkat insanity tidak
terlalu serius.
Autralia
dan Selandia Baru tidak berada di bawah yurisdiksi ECHR. Sembilan yurisdiksi
hukum di Australia dan Selandia Baru terkait dengan insanity defense berdasarkan standar M’Naughten Rules. Sama halnya dengan kritik yang diajukan pada
Inggris, aturan insanity defense Australia
dan Selandia Baru memiliki konten yang tidak kongruen antara definisi insanity secara psikiatris dan legal.
Perbedaan daerah atau yurisdiksi menggunakan istilah-istilah yang diharapkan
memuat referensi psikolegal, seperti penyakit pikiran (disease of the mind), kerusakan mental (mental impairment), dan keabnormalan pikiran (abnormality of mind). Istilah-istilah tersebut dapat menimbulkan
berbagai interpretasi yang ambigu dan tidak sesuai dengan definisi psikiatris
atau psikologi dari mental illnesasess.
Di
Queensland, salah satu daerah di Australia, ketentuan untuk menentukan tanggung
jawab atas perbuatan kriminal didasarkan pada Queensland Mental Health Tribunal (MHT) yang dibentuk pada tahun
1984. MHT bertujuan untuk membebaskan tersangka-tersangka dengan sakit mental (mentally ill) dan ketidakmampuan
intelektual dari sistem pengadilan sosial dan meletakkan mereka dalam sistem
kesehatan mental. Dalam MHT, perintah untuk dimasukkan dalam rumah sakit
psikiatris dapat diberikan bila terdapat permintaan khusus dan tindakan
kejahatan yang serius. Sistem ini sangat populer di kalangan komunitas
kesehatan mental namun dikritisi oleh media dan politisi karena mengijinkan
pelaku kriminal untuk menghindari tanggung jawab atas prilaku mereka.
Permintaan
pada MHT dapat diajukan oleh anggota keluarga, petugas polisi, dan lainnya.
Bila terjadi penolakan terhadap penahanan maka pengadilan dapat menolak putusan
bersalah dan merujuknya ke MHT. Tersangka diasumsikan memiliki sakit mental
sampai muncul bukti-bukti yang dapat mematahkan asumsi tersebut. Hakim dapat
menggunakan testimoni atau meminta psikiatris mengklarifikasi bukti-bukti
klinis tersebut.
Brazil
tidak memiliki aturan khusus mengenai kompetensi untuk diajukan ke pengadilan.
Terdapat tiga fase proses pengadilan di Brazil, yaitu pemeriksaan, proses
yudisial, dan eksekusi yudisial. Proses ini akan tetap dilakukan pada tersangka
dengan sakit mental. Hukuman dapat dilakukan bila tersangka sepenuhnya sadar
atau semi-sadar pada saat melakukan kejahatan. Hukuman dapat diganti dengan
paksaan untuk mengambil penanganan psikiatris bila dapat dibuktikan tersangka
tidak sadar saat melakukan kejahatan. Sedangkan standar Amerika Utara untuk insanity tidak mengijinkan gangguan
kepribadian antisosial dan berbagai patologi kepribadian dijadikan dasar untuk insanity. Sama halnya dengan Brazil yang
memasukkan gangguan kepribadian dalam semi-sadar (semi-imputtable).
Di
Tasmania, Australia, the Criminal Justice
(Mental Impairment) Act 1999, mendefinisikan kriteria untuk individu yang unfit to stand trial (UST).
Kriteria-kriteria tersebut adalah saat individu tidak mampu memahami instruksi,
hak-haknya, prosedur pengadilan, atau tidak dapat membantu pengacara untuk
menyiapkan pembelaan. Ketidaklayakan (unfit)
harus diputuskan oleh juri dan bila tersangka diputuskan tidak layak, juri
harus memutuskan apakah tersangka akan layak dalam waktu 12 bulan ke depan.
Apabila layak, hearing ditunda dan
dilakukan special hearing. Di
Queensland, tersangka yang diputuskan tidak layak akan dirujuk ke rumah sakit
jiwa dan dievaluasi tiap 3 bulan sampai dinyatakan telah layak untuk diadili.
Bila tidak ada kemajuan dalam tiga tahun, pengadilan umum akan menghapus
tuntutan kriminal namun tetap melanjutkan pembatasan atau perawatan di rumah
sakit jiwa.
Psikologi Forensik dan Implikasi Kebijakan
Hopper
dan McSherry menekankan pentingnya review yang kritis dan sistematis pada
versi-versi terdahulu insanity defense yang
muncul di Inggris, Australia, dan Selandia Baru sebagai dasar pembentukan hukum
internasional hak-hak asasi manusia. Psikolog forensik sebaiknya familiar
dengan undang-undang yang relevan dan definisi psikolegal pada tiap-tiap
yurisdiksi tempat mereka berpraktek. Perlu diperhatikan juga waktu untuk
memberikan keputusan yang terkadang terlalu lama dan tersangka harus menunggu
lama, khususnya tersangka dengan tindakan kejahatan rendah. Waktu yang terlalu
lama untuk menentukan kelayakan tersangka untuk diajukan ke pengadilan dapat
menyebabkan tersangka, yang ditahan, mengalami tindakan kriminal dari tersangka
lain dan mengakibatkan gangguan psikiatris lebih lanjut.
Psikolog-psikolog
forensik harus dapat memahami perbedaan antara alat-alat asesmen yang digunakan
di tiap negara. Peralatan-peralatan tersebut seringkali memiliki perbedaan
kriteria, seperti di Kanada, evaluasi kelayakan hanya dapat dilakukan oleh
psikiatris. Oleh karena itu, psikolog-psikolog forensik yang mengetes kelayakan
untuk diajukan ke pengadilan harus mengingat bahwa ketetapan akan kelayakan
relatif pada tiap negara dan tergantung pada kasus-kasus yang diberikan.
D.
Asesmen
Risiko Kekerasan Pada Individu dengan Gangguan Mental
Tema
ini telah menjadi isu penting sejak tiga dekade belakangan (Woods, Reed, &
Collins, 2003). Asesmen ditujukan pada risiko yang akan
terjadi dan prediksi perilaku berbahaya yang mungkin terjadi (Molbert &
Beck, 2003). Penderita gangguan mental bertambah cukup pesat. Meskipun
keterkaitan antara penyakit psikiatris dan kekerasan tidak begitu kuat diterima
oleh publik secara umum, tetapi ada upaya yang menekankan prediksi akurat
mengenai efek kekerasan dan menerapkan strategi manajemen yang efektif sebagai upaya
preventif terhadap efek dikemudian hari. Akan tetapi, banyak media terlalu
membesar-besarkan masalah dan risiko ini.
Faktor
risiko terdiri dari dua macam, yaitu faktor yang sifatnya statis dan dinamis.
Faktor yang sifatnya statis meliputi historis dan tidak bisa diubah. Faktor
yang sifatnya dinamis mencakup hal-hal yang bisa diubah. Beberapa faktor risiko
dapat saling berkorelasi pada tindak kekerasan mencakup sejarah kekerasan,
sejarah sosial yang negatif, nilai-nilai antisosial, gangguan jiwa, usia,
status sosioekonomis, jenis kelamin, peran gender, lingkungan dan kekerasan
yang terjadi, sejarah substansi kekerasan, sejarah gangguan jiwa, paranoia,
ketakutan, ketidakterpenuhiannya tritmen dan tritmen yang tidak tepat,
rendahnya insight, sejarah luka kepala (geger),
inteligensi dibawah rata-rata.
Faktor
lainnya yang berperan dalam risiko kekerasan diantaranya sikap saat ini,
motivasi mengikuti tritmen, status kesehatan mental saat ini, dan penerimaan
sosial terhadap tujuan dan nilai-nilai (Woods dkk, 2003). Kekerasan dalam
ruangan rumah sakit terutama rumah sakit forensik adalah biasa (Bhui dkk,
2001). Bhui menambahkan kekerasan yang terjadi biasanya merupakan efek dari
gabungan gangguan mental yang dialami pasien misalnya psikosis dan gangguan
kepribadian.
Tinjauan
Teoretis
Penekanan
Jerman pada risiko kekerasan dan potensi untuk menjadi residivis pada pasien
rumah sakit jiwa. Penurunan kriteria dalam asesmen risiko dalam praktik forensik
menimbulkan banyak komplain dimana adanya perilaku adaptif dalam suatu lingkungan
perlu diartikan dalam kompetensi sosial dan risiko rendah terhadap kekerasan
yang mungkin terjadi dikemudian hari (Seifert, 2002). Ditambahkan, penelitian
Seifert terhadap 188 partisipan rumah sakit jiwa menggunakan kuesioner
prognostik sebelum mereka keluar dari rumah sakit jiwa. Partisipan dimonitor
selama 5 tahun setelah keluar dari rumah sakit jiwa forensik untuk membuktikan
validitas kuesioner.
Kuesioner
banyak dipakai untuk menentukan apakah seseorang kompeten untuk diadili atau
dianggap mengalami suatu gangguan mental. Kuesioner terdiri atas item-item
terkait sosiostatistik dan historikal, tes psikologi, dan item-item biologis misalnya
tes inteligensi, CCT, dan EEG, serta item-item klinis. Kuesioner klinis
didesain berdasarkan faktor-faktor prediksi dalam beragam literatur dan
item-item indeks prediksi digunakan biasanya pada institusi Jerman (Seifert
dkk, 2002).
Hasil
penelitian seifert menunjukkan jika seorang pasien dalam sebuah rumah sakit
jiwa forensik dinyatakan oleh tim tritmen bahwa dirinya secara umum berperilaku
dan memiliki skil sosial yang baik maka prognosis cenderung positif.
Bagaimanapun, jika saat tritmen dihadapkan pada situasi keras, tegang, maka
cenderung memiliki risiko tinggi untuk menjadi residivis. Ditemukan bahwa
persentase kekerasan seksual yang terjadi adalah sekitar 13,3% dan lebih dari
dua pertiga (70%) pasien dengan psikosis-skizofrenia memiliki potensi kriminal
mencakup kekerasan.
Peran
psikologi pada sebuah rumah sakit forensik yaitu berkaitan dengan kriteria
klinis untuk menentukan apakah pasien secara prognosis sah atau berisiko untuk
dijadikan terdakwa (residivis). Studi ini penting menggunakan telaah sejarah
kasus dan klinis pasien. Di Inggris, diterapkan suatu sistem untuk menentukan
dan memanajemen risiko diantara kekerasan dengan gangguan mental (Bindman,
2002). Tahun 1994, Mental Health Services
memberikan mandat untuk mengidentifikasi dan membuat suatu standar bagi
pasien terhadap risiko melakukan kekerasan atau melukai diri sendiri (self-harm), dan memberikan prioritas
dalam menentukan pertolongan yang tepat (Bindman, 2002). Masalahnya, beberapa
dokumen penelitian seperti yang disebutkan dalam dokumen Modernizing Mental Health Services dikaitkan antara kekerasan dan
gangguan jiwa. Disebutkan juga di dalamnya bahwa ada hubungan antara penderita
gangguan mental aktif dan kekerasan. Akan tetapi, pada dasarnya kenyataan
membuktikan bahwa risiko ini signifikan jika individu dengan gangguan mental
kehilangan kontak dengan layanan yang diterimanya atau mendapatkan tritmen yang
inadekuat. Yang dipahami oleh publik adalah seputar risiko kekerasan, dengan
demikian layanan harus melindungi publik secara aman, sehingga harus juga
menekankan pada penanganan layanan bagi penderita.
Meningkatnya
isu yang menekankan pada layanan kesehatan mental untuk memanajemen risiko
sebagai suatu konsekuensi dari kultur politis, meningkatkan perhatian layanan
publik dan spesialis forensik dalam merespons perilaku manusia (Bindman, 2002).
Dari isu tersebut muncullah sebuah proposal yang kontroversial. Pemerintah
membuat suatu klasifikasi baru dalam kekerasan gangguan mental dan dimasukkan
kedalam dangerous severe personality disorder (DSPD). Diagnosis ini tanpa
disertai definisi yang benar atau dimengerti secara medis atau memiliki
definisi yang legal (Bindman, 2002). Individu dengan DSPD mungkin atau tidak
mungkin memiliki gangguan mental yang seharusnya ditritmen atau kepastian
menjadi kriminalis dan mereka dengan tidak sukarela dimasukkan kedalam
pengamanan rumah sakit dengan jangka waktu yang tidak ditentukan untuk
menghindari risiko kekerasan dikemudian hari.
Penelitian
lainnya yaitu Watts dkk (2003) menitikberatkan pada studi longitudinal untuk
memprediksikan kekerasan dalam lingkup unit psikiatris. Penelitian ini
dilakukan selama dua minggu terhadap dua unit psikiatris di London. Hasilnya,
32 pasien menunjukkan penyerangan, 41 berperilaku agresif, dan 27 tidak
menunjukkan perilaku kekerasan. Sayangnya, penelitian ini tidak
mempertimbangkan variabel klinis seperti status kesehatan mental dan respons
terhadap tritmen dari pasien. Selama ini, prediksi risiko kekerasan pada
penderita gangguan mental didasarkan pada professional
judgement (Doyle dkk, 2002).
Instrumen
mulai dikembangkan untuk melengkapi pengambilan keputusan klinis tentang risiko
kekerasan tersebut, diantaranya Screening Version (PCL:SV), Violence Risk
Appraisal Guide (VRAG), HCR-20. The HCR-20 dibangun dari 20 item skala rating
dari 0-2. The Historical (H) merepresentasikan variabel backgorund yang relatif
statis yang berhubungan dengan tindak kekerasan. The Clinical (C)
merepresentasikan risiko yang berkorelasi dengan faktor individual yang
sifatnya dinamis, misalnya insight dan sikap. Risk Management (R) berkaitan
dengan struktur asesmen risiko kedepan, seperti dukungan sosial dan
faktor-faktor kontekstual lainnya. Perilaku kekerasan dibedakan menjadi 5
kategori yaitu agresi verbal, agresi fisik terhadap orang lain, self-harm,
kekerasan terhadap objek selain manusia, dan perilaku lainnya seperti teror
telepon, mengejar hewan, dan sebagainya.
Tingkat
risiko juga dibedakan dalam tiga kode yaitu level satu (high security), level dua (medium
security), dan level tiga (low
security). High security mencakup perilaku merusak diri sendiri (self-harm)
dan kekerasan fisik termasuk dalam low security dan medium security tergantung
frekuensi dan intensitasnya. Psikopatologis merupakan faktor risiko kekerasan
dimasa depan dan cenderung membekas serta relatif konstan dalam kehidupan
pasien (Arrigo & Shipley, 2001; Arrigo & Shipley, 2004). Dernevik dkk
(2002) menambahkan bahwa psikopatologis adalah isu fundamental dalam manajemen
risiko serta persoalan intervensi dan prevensi.
Psikologi
Forensik dan Implikasi Kebijakan
Evaluasi
terhadap asesmen risiko seharusnya dilakukan dengan lebih sistematis dan
prosedural. Indikator perilaku dalam instrumen asesmen didetail menjadi
komponen-komponen yang spesifik, sehingga dapat dijadikan bahan evaluasi dalam
pengambilan keputusan (Woods dkk, 2003). Psikolog forensik sebaiknya
mempertimbangkan kedua aspek baik kriteria klinis yang bersifat dinamis (dapat
berubah) maupun faktor historis yang relatif statis. Seifert (dkk, 2002)
menambahkan pentingnya prognosis setelah adanya asesmen risiko.
Model
yang diajukan Seifert dkk (2003) yaitu keterkaitan antara rerlasi eksistensi
dan sebab akibat dari faktor risiko yang spesifik serta potensi kemunculan efek
negatif dari individu. Semua itu harus tercakup dalam pertanyaan dalam
instrumen asesmen. Asesmen risiko bermanfaat untuk mengambil keputusan klinis
mengenai potensi terjadinya kekerasan, berperan dalam strategi tritmen, serta
rasionalisasi bagi keputusan klinis yang akan diambil (Doyle dkk, 2003).
Sebuah
penelitian membuktikan tingkat kekerasan residivis akan berkurang dan keamanan
publik akan tercipta secara efektif jika dalam pengambilan keputusan klinis
berdasar pada risiko terjadinya kekerasan dikemudian hari, terutama pada
program pemulihan pasien gangguan mental (Rice, 1997). Menurut Rice (1997)
kekerasan dari pasien bisa diturunkan dengan adanya monitoring dan supervisi
dari profesional terhadap perilaku destruktif, serta deteksi dini risiko.
Diperlukan penelitian-penelitian lanjutan terhadap bidang psikologi forensik,
diantaranya asesmen risiko kekerasan untuk pasien akut, validitas prediktif
instrumen asesmen risiko diantaranya adalah VRAG dan HCR-20, dan eksplorasi
efek dari manajemen risiko (Dernevik dkk, 2002).
DAFTAR PUSTAKA
Arrigo, Bruce A
& Shipley, Stacy L. 2005. Introduction
to Forensic Psychology: Issues and Controversies in Crime and Justice, Second
Edition. USA: Elsevier Academic Press.
0 komentar:
Posting Komentar