Jumat, 18 Mei 2012

THREE MODELS OF COMMUNITY MENTAL HEALTH SERVICES IN LOW-INCOME COUNTRIES


Alex Cohen, Julian Eaton, Birgit Radtke, Christina George, Bro Victor Manuel, Mary De Silva, Vikram Patel
Journal of Mental Health Systems, 2011, Vol. 5 No 3

A.    Permasalahan
Kesehatan mental secara keseluruhan telah berkembang menjadi sebuah area penting dalam dunia kesehatan. Hal ini ditandai dengan perkembangan tata cara intervensi dalam kasus kesehatan mental, gangguan neurologi dan penggunaan obat-obatan pada setting non-spesialisasi. Meskipun begitu, Negara-negara berpendapatan rendah menghadapi berbagai tantangan dalam usahanya untuk meningkatkan dan mengembangkan pelayanan kesehatan mental. Tantangan tersebut berupa minimnya perbandingan bukti nyata mengenai bagaimana pelayanan kesehatan mental berfungsi di dalam praktik kesehariannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan dan mengkontraskan 3 model pelayanan kesehatan mental komunitas pada Negara-negara berpendapatan rendah.

B.     Metode
Studi ini berlangsung di 3 negara berbeda yaitu di Service for People With Disabilities, Abuja, Federal Capital Territory, Nigeria; Holy Face Rehabilitation Center for Mental Health, Tabaco City, Albay Province, Philippines; Asia Psychosocial Rehabilitation Program, Karakonam, Kerala, India. Metodologi yang digunakan adalah metode kualitatif yang dilakukan melalui observasi, wawancara dengan staf dan pengumpulan informasi mengenai program dengan kunjungan selama 5-10 hari di masing-masing tempat. Aktivitas selama kunjungan adalah mendampingi staf selama bekerja dan kunjungan rumah, observasi klinik komunitas, mengunjungi kelompok Self Help, mewawancarai staf dan cek dokumen. Analisis data dilakukan dengan mengkonversikan narasi, transkrip wawancara dan dokumen ke dalam teks yang kemudian akan dianalisis melalui topic narasi dan indikator level program.

C.     Hasil
Hasil penelitian dibagi ke dalam beberapa domain, yaitu:
1.      Sejarah dan konteks
3 program (di 3 negara) dimulai pada tahun 2004-2006. Program di Nigeria dimulai karena mereka menyadari kebutuhan untuk pelayanan kesehatan mental (psikosis dan epilepsi), program di Filipina berdiri berkat diskusi antara pihak CBM dan NGO setempat untuk memberikan pelayanan kepada orang dengan gangguan mental, program di India lahir untuk menangani krisis akibat Tsunami pada Desember 2004. Program di Nigeria selain melayani kebutuhan pasien kesehatan mental juga menjalani kegiatan mengenai ketidakmampuan fisik dan intervensi psikososial. Terdapat 17 pekerja lapangan yang bertugas mencari dan menangani kasus para klien serta 1 perawat psikiatri yang bertanggung jawab atas klien kesehatan mental. Program di Filipina dibangun untuk memberikan fasilitas pada pasien metal kronis dan raat jalan bagi pasien dengan gangguan mental lainnya. Terdapat 2 pekerja social, 3 perawat, 1 psikiater, 1 tenaga lapangan dan tenaga administrative dan petugas kebersihan. Program di India memberikan fasilitas kepada pasien rawat inap bagi pasien psikiatri akut dan kondisi mental serius dan pasien rawat jalan. Terdapat 2 psikiater, 1 psikolog paruh waktu, 3 pekerja social, 10 relawan komunitas.
      Gaji yang ditawarkan rendah, terutama bagi pekerja di Nigeria dan India. Semua program berjalan di area dengan level kemiskinan yang tinggi. Pelayanan kesehatan di Nigeria sangat minim dan mereka mengalami kesulitan dalam transportasi karena luasnya area cakupan kerja mereka.

2.      Alur pelayanan dan karakteristik klien
Program di Nigeria dan India secara aktif mencari kasus yang ada di masyarakat. Dilatar belakangi alasan berdiri masing-masing, kebanyakan klien menerima penanganan tentang epilepsy di Nigeria dan kebanyakan klien di India menerima penanganan terhadap gangguan mental umum dan hanya sepertiga yang menerima penanganan psikosis. Program di Filipina tidak mencari klien, melainkan menerima rujukan dari pekerja kesehatan pemerintah dan LSM setempat. Semua program melaksanakan aktivitas ke luar organisasi seperti konsultasi dengan pemerintah, LSM, pemimpin komunitas dan juga memberikan sosialisasi mengenai pelayanan yang diberikan. Ketiga program juga mengajarkan warga, pihak pemerintah dan LSM serta guru untuk merujuk klien kepada mereka.

3.      Area Penanganan
Area penanganan di Nigeria dan Filipina sangat luas, sedangkan India menangani area yang lebih kecil. Meskipun begitu, didapatkan hasil bahwa ketiga program hanya mampu melayani sebagian kecil dari klien potensial.

4.      Akses terhadap pelayanan
Akses terhadap pelayanan tidak menjadi sebuah permasalahan bagi klien di Nigeria dan India, karena seringkali mereka memberikan pelayanan ke rumah. Akses di Filipina sedikit bermasalah dikarenakan transportasi ke tempat pelayanan yang mahal. Sehingga banyak masyarakat yang menghentikan kunjungan disaat tidak tersedianya lagi angkutan gratis ke tempat pelayanan. Program di Nigeria melaksanakan program pencarian dana bagi pengadaan obat sehingga harga obat dapat terjangkau, India menggratiskan obat bagi klien sedangkan di Filipina harga obat lebih mahal.

5.      Intervensi klinis
Perawat di India bertanggung jawab atas diagnosis dan medikasi bagi semua klien kesehatan mental, sedangkan psikiater di Filipina dan India menyediakan pelayanan klinis selama pasien rawat jalan atau pada klinik komunitas. Pengadaan obat di Nigeria dan Filipina harus bergantung pada obat-obatan yang lama dan lebih murah, hanya India yang mampu menyediakan obat-obatan yang baru, bahkan terdapat pula obat antipical antipsikotik dan anti depresan. Ketiga program tidak memiliki kecakapan dalam menangani keadaan darurat pada komunitas, meskipun India adalah yang terbaik disbanding ketiganya. Pekerja program di Nigeria dan India melakukan pengecekan pada klien secara teraturm sedangkan program di Filipina hanya mengandalkan pekerja kesehatan kota atau LSM.  

6.      Intervensi psikososial
Program di Filipina telah membentuk kelompok dukungan di beberapa komunitas. Kegiatannya umumnya berupa psikoedukasi, berbagi pengalaman dan berbagi kabar terbaru. Program di India menawarkan intervensi psikososial yang paling luas. Setiap sesi pengecekan klien seringkali termasuk ke dalam intervensi yang bertujuan meningkatkan kepedualian diri dan fungsi social juga konseling. Program di Nigeria baru memulai kelompok dukungan di 3 daerah.

7.      Alur rujukan
Ketiadaan pelayanan psikiatri di Nigeria membuat timbulnya kesulitan untuk merujuk ke spesialis. Program di Filipina belum memulai memialur rujukan ke spesialis atau rumah sakit terdekat. Lain lagi di India, dikarenakan basis pelayanan program di India ada di rumah sakit, maka alur rujukan dapat berlangsung dengan rutin.

8.      Hasil
Walaupun data tersedia, tetapi semua program tidak terorganisasi dengan baik. Oleh karena itu data mengenai jumlah klien, karakteristik sosiodemografis, penanganan yang diberikan, lama waktu yang digunakan untuk penanganan, konsistensi klien, begitu juga dengan data tentang hasil intervensi tidak dapat diakses. Meskipun begitu, semenjak 2009 program di India telah memulai monitoring dalam pelayanan, fungsi, hasil pelayanan dan kepuasan klien. Program di Nigeria pun mulai membuat system pengumpulan data.

D.    Diskusi
Dalam pelaksanaan studi ini, terdapat 2 tantangan umum yang terjadi yaitu tanpa adanya CBM sebagai penyuntik dana, maka keberlangsungan program ini akan menjadi sebuah tanda tanya besar, yang kedua yaitu minimnya sumber daya manusia yang bekerja dalam ketiga program di ketiga Negara. Contohnya di Nigeria tidak ada psikiater sehingga perawat yang harus menangani semua permasalahan psikiatri, di awal program berdiri Filipina tidak memiliki psikiater sedangkan India lebih sukses dalam merekrut berbagai sumber daya berkualitas. Kelemahan paling krusial adalah kurangnya dukungan spesialis di masing-masing Negara pada program. Seperti staf klinis yang minim dalam menangani banyaknya pasien rawat jalan di Filipina dan terisolasinya lokasi sehingga susah untuk mengembangkan program komunitas.
Kekuatan program ini adalah disamping tetap berlangsungnya berbagai hambatan, semua program masih tetap mampu untuk terus beroperasi dan berfungsi untuk memberikan pelayanan. Hal ini terjadi tidak lain karena kerja dari para pekerja lapangan di masing-masing program yang masih tetap mau bekerja walaupun dibayar rendah dan harus menghadapi tekanan fisik dan emosional bertubi-tubi.
Terdapat 3 model yang teridentifikasi dalam 3 program di 3 negara yaitu model pelayanan berdasarkan komunitas yang eksklusif di Nigeria, model pelayanan individu yang berdasarkan pelayanan klinis tetapi dengan beberapa aktivitas di komunitas Filipina dan model yang meneydiakan pelayanan komunitas, klinis dan rumah sakit di India.
Kekuatan penggunaan metode kualitatif adalah didapatkannya data detail mengenai deskripsi model pelayanan dan bagaimana mereka berfungsi didalam konteks sosiobudaya dan sosioekonomi. Kelemahannya adalah kebanyakan data didapatkan dari kunjungan singkat, apabila kunjungan dilakukan lebih lama maka akan lebih didapatkan data yang lebih komprehensif; dengan disewanya pengamat independen maka biaya yang dikeluarkan lebih besar; dibutuhkan penelitian yang lebih focus untuk mengukur aspek tertentu pada masing-masing program, seperti pengukuran kepuasan klien dan pengukuran efek program kelompok dukungan di komunitas; kurangnya data adalah keterbatasan yang paling besar. Hal ini menyebabkan peneliti tidak mampu mengevaluasi keefektifan intervensi.

E.     Kesimpulan
Penelitian ini memberikan gambaran yang cukup banyak mengenai model pelayanan kesehatan mental komunitas di 3 negara dengan pendapatan rendah. Peneliti memberikan alur penulisan yang baik mengenai awal terbentuknya program sampai pada pemaparan detail mengenai jumlah sumber daya manusia yang dimiliki masing-masing program, berikut dengan aktivitas dan sistem pelayanan serta tantangan dan keunggulan masing-masing program.
Sebagai pendatang baru dalam pelayanan kesehatan mental komunitas, saya merasa bahwa informasi yang telah diberikan jurnal ini cukup lengkap dan sistematis. Tidak ada salahnya apabila Indonesia, sebagai Negara berkembang mencoba mengevaluasi sistem pelayanan kesehatan komunitas (berhubung masih terbatasnya jumlah pelayanan kesehatan mental komunitas) yang ada sehingga kita memiliki gambaran utuh mengenai bagaimana pelayanan kesehatan  komunitas berjalan di Indonesia. Penelitian ini pun dapat menjadi satu titik awal bagi pencanangan berdiri dan berkembangnya pelayanan kesehatan mental komunitas di Indonesia. Dengan adanya berbagai indikator dan topik narasi di penelitian ini, kita dapat menilai hal apa yang perlu dipersiapkan unuk mendirikan satu pelayanan kesehatan mental komunitas.
Hal yang perlu ditiru adalah terintegrasinya pelayanan kesehatan mental dengan rumah sakit atau klinik, yang dapat menjadi satu langkah awal. Dengan terintegrasinya pelayanan kesehatan mental dengan rumah sakit, maka akses masyarakat dan perujukan dapat dilakukan dengan mudah. Walaupun, kedepannya pemikiran untuk memperpanjang pelayanan untuk mendekati masyarakat haruslah dirintis sejak awal. 

0 komentar:

Posting Komentar

jadwal-sholat