Seminar Psikologi Transpersonal

Seminar Psikologi Transpersonal.

Asesmen Pegawai

Asesmen Pegawai.

Proses Rekrutmen Karyawan

Proses Rekrutmen Karyawan.

Pelatihan Pembelajaran Bahasa Inggris Menggunakan Flash Card

Pelatihan Pembelajaran Bahasa Inggris Menggunakan Flash Card.

Pelatihan Psikologi Transpersonal Dalam Menjawab Realita Kehidupan

Pelatihan Psikologi Transpersonal Dalam Menjawab Realita Kehidupan.

Kamis, 14 Agustus 2014

PENGANTAR KONSEP DASAR PSIKOLOGI KLINIS

Psikologi Klinis adalah salah satu cabang psikologi terapan yang menggunakan konsep-konsep psikologi abnormal, psikologi perkembangan, psikopatologi, dan psikologi kepribadian, serta prinsip-prinsip dalam assesment dan intervensi, untuk memahami dan menolong orang yang mengalami masalah-masalah psikologis, gangguan penyesuaian diri, dan tingkah laku abnormal. Menurut Phares (1992), ruang lingkup psikologi klinis yaitu kajian tentang diagnosis, dan penyembuhan (treatment), masalah-masalah psikologis, gangguan (disorders), atau tingkah laku abnormal. Dari beberapa definisi, psikologi klinis dapat diartikan ruang lingkupnya seputar assesment, psikodiagnostik, penelitian, dan terapi bagi masalah-masalah psikologis, gangguan penyesuaian diri, serta perilaku abnormal. Secara singkatnya ruang lingkup Psikologi Klinis mencakup assesment, treatment,  research, consultation, dan administration. Ditahun 1935, American Psychological Association’s Clinical Section meredefinisikan istilah psikologi klinis sebagai suatu wujud Psikologi Terapan yang bermaksud memahami kapasitas perilaku dan karakteristika individu yang dilaksanakan melalui metode pengukuran, analisis, serta pemberian saran dan rekomendasi, agar individu mampu melakukan penyesuaian diri secara patut.

Beberapa ciri atau sifat yang ada dalam psikolog klinis, yaitu :
  1. Memiliki orientasi yang ilmiah-profesional, artinya diggunaan metode ilmu dan kaidah psikologi, dalam pemberian bantuan kepada individu yang menderita masalah-masalah psikologis melalui intervensi dan evaluasi psikologis.
  2. Menampilkan kompetensi psikolog, karena psikolog klinis terlatih dalam menggunakan petunjuk dan pengetahuan psikologi dalam kerja profesionalnya.
  3. Menampilkan kompetensi klinisi, karena berusaha mengerti orang lain dalam kompleksitas alamiah dan transformasi adaptif secara terus menerus atau berkelanjutan (Wyatt, 1968).
  4. Ilmiah, karena menggunakan metode ilmiah untuk mencapai presisi dan objektivitas dalam cara kerja profesionalnya dengan menjaga validasi untuk setiap individu yang ditanganinya.
  5. Profesional, karena lebih menyumbangkan pelayanan kemanusiaan yang penting bagi individual, kelompok sosial, dan komunitas untuk memecahkan masalah psikososial, serta meningkatkan kualitas hidup.
Yap Kie Hien (1968) mengemukakan beberapa istilah lain untuk “Psikologi Klinis”. Istilah-istilah ini tidak sepenuhnya mempunyai arti yang sama, karena setiap istilah mewakili aliran berbeda. Istilah-istilah tersebut adalah Psikopatologi, Psikologi abnormal, Psikologi Medis, Patopsikologi, dan Psikologi Mental Health. Psikopatologi adalah bidang yang mempelajari kelainan dari proses kejiwaan. Psikologi Medis merupakan suatu penjabaran dari psikologi umum dan psikologi kepribadian untuk ilmu kedokteran. Tujuannya adalah untuk melengkapi pengetahuan dokter tentang gambaran biologis manusia dengan gambaran  kehidupan kejiwaan, fungsi-fungsi psikis, berpikir, pengamatan, afek serta kehidupan perasaan pada manusia normal. Akar Psikologi Klinis yaitu :
*      Tradisi penelitian dalam Psikologi Wilhelm Wundt (1879) yang menggunakan laboratorium dan metode eksperimental;
*      Perhatian terhadap Individual Differences (James McKeen Cattel);
*      Perubahan konsep terhadap gangguan perilaku.

Psikologi Klinis berakar dari tradisi psikometris dan tradisi psikologi dinamis. Tradisi psikometri menekankan pada ukuran dan perbedaan individual dalam proses intelektual. Sedangkan, psikologi dinamis berfokus pada motivasi adaptasi dan perubahan kepribadian lalu menjadi dasar dari dinamika kepribadian, perkembangan, dan psikoterapi. Keduanya saling mendukung dan melengkapi dalam perkembangan Psikologi Klinis. Keduanya mulai muncul pada abad 19 di Eropa, tetapi kemudian berkembang pesat di dunia Psikologi Amerika yang berorientasi fungsionalis. Psikologi Amerika menekankan pada studi empiris dan pengukuran psikologis mulai usaha untuk mengubah dan memperbaiki fungsi psikis manusia. Saat itu di Amerika juga mulai berkembang Psikologi Terapan. Selama dekade pertama abad XX, tepatnya 1914, berdirilah Psikologi Klinis yang baru di Universitas. Para psikolog meninggalkan rumah sakit mental dan klinik lalu beralih kesetting khusus bagi penyandang mental retarded dan handicap fisik. Di rumah sakit juga diadakan riset untuk menggambarkan disfungsi psikologis pada pasien psikotik dengan menggunakan teknik, konsep, dan pengukuran laboratorium eksperimental.  Perang Dunia memacu perkembangan Psikologi Klinis. Dunia militer menghadapi masalah dalam hal mendiferensiasi kemampuan yang berbeda-beda pada laki-laki. Sejumlah psikolog terutama psikolog eksperimental bekerja untuk mengembangkan tes inteligensi. Tes yang dihasilkan pada saat itu adalah Army Alpha and Army Beta. Tahun 1917, banyak dikembangkan tipe-tipe tes inventori yang menggunakan kertas dan pensil. Seusai perang diperkirakan ada 1.762.000 pria yang telah di tes dan 83.000 individu diteliti (Reisman, 1966).
Selama PD II sejumlah psikolog menyadari bahwa bidang pekerjaan mereka berhubungan erat dengan psikiater dan pekerja sosial. Mereka mendirikan Veterans Administration (VA) untuk melayani para veteran perang dengan memberikan dukungan mental. Para psikolog di VA merekrut para siswa untuk bekerja di RS dan klinik mental di VA dan mengharapkan mereka dapat melakukan diagnosis, psikoterapi, dan riset. Sejalan dengan berkembangnya kebutuhan akan kesehatan mental, pemerintah mendirikan United State of Mental Health (NIMIH). Pada tahun 1920-an dan 1930-an terjadi konflik antara professional psikolog terapan dan psikolog akademis. Banyak professor dalam psikologi yang merasa khawatir dengan munculnya bidang psikologi klinis. Sesudah perang, American Psychological Association (APA) mengadakan komite CAPA, Committee on Training in Clinical Psychology. 1947-1949 mengadakan konferensi di Boulder, Colorado. Psikolog Klinis berasal dari fakultas psikologi dengan penjurusan dalam bidang klinis. Seorang psikolog klinis harus mampu melakukan diagnosis psikologis, psikoterapi dan riset. Selain itu, diperlukan juga praktikum seperti di kedokteran. Mereka juga harus melakukan praktek di RSJ dan klinik. Untuk menjadi professional, psikolog klinis juga harus menjadi murid dan peneliti, sehingga meningkatkan pengetahuannya.
Selama tahun 1950-1960, psikologi klinis semakin berkembang dan meenimbulkan suatu perdebatan sehingga APA mengembangkan etika standar dalam psikologi klinis yang berupa suatu sistem pemeriksaan dan akreditasi bagi klinisi. Beberapa saat setelah dikenalkan adanya spesialisasi medik di bawah perlindungan American Board of Examiner in Professional Psychology (ABEPP) yang kemudian berubah menjadi American Board of Proffesional Psychology (ABPP). Seusai PD II, banyak klinisi yang bekerja sebagai asisten psikiater di rumah sakit mental mengembangkan peran baru dalam psikologi dengan mengajar di universitas, klinik psikologi, praktek privat, unit penelitian klinis dan agen komunitas yang lain. Sekarang ini 25% dari pikolog klinis membuka praktek privat yang memfokuskan pada psikoterapi individu. Studi perilaku dalam psikologi klinis didasarkan pada pendekatan medis dan interaksi. Model pendekatan medis berdasarkan 3 hal, yaitu :
*      Pemikiran linear (satu jalan);
*      Pemikiran penyebab (mono kausal);
*      Pemikiran deterministis (penentu).


Menurut model ini, gangguan perilaku merupakan manifestasi dari suatu gejala. Apabila dianalogikan dengan munculnya suatu penyakit, maka jika ada suatu gejala, kemungkinan ada suatu proses yang menyebabkan gejala tersebut. Treatmentyang dibutuhkan adalah dengan memfokuskan pada penyebab. Pendekatan ini merupakan penerapan model lonear mono kausal terhadap gangguan perilaku (normal-tidak normal). Apabila terjadi suatu gangguan perilaku maka perlu dicari titik awal gangguan tersebut. Model ini merupakan titik pandang deterministis yaitu gangguan perilaku ditentukan oleh gangguan proses dalam intrapersonal. Contoh pendekatan model ini adalah teori Psikoanalisa yang beranggapan bahwa gangguan perilaku dilihat sebagai simtomatis dari patologi yang mendasar di dalam diri seseorang, yaitu adanya konflik yang tidak disadari dan tidak terpecahkan.
 Pada perkembangannya teori ini mengalami perubahan dan pengembangan yang dilakukan oleh ahli lain yaitu Sullivan dan Horney dengan teori NeoFreudian yang tidak mendasarkan pada proses intrapsikis, tetapi juga menekankan pada faktor sosial budaya. Kritik yang lainnya datang dari Allport, Cattel, dan Eysenck dengan Teori Traits Personality. Traits merupakan disposisi yang stabil untuk bertingkah laku dengan cara tertentu. Traits merupakan hal yang stabil dan tidak berubah dalam kurun waktu dan juga tidak berinteraksi dengan lingkungan. Kepribadian ditentukan (determined) oleh seperangkat traits intrapersonal yang stabil. Faktor traits dapat dilacak secara statistic dan analisa faktor. Instrumen yang digunakan mengungkap ciri-ciri kepribadian yang spesifik adalah Test MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory).
Teori ini mendapat bertentangan dengan teori Classic behavioral (Watson, 1900) yang memfokuskan pada perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dapat ditest secara eksperimental. Konsep traits yang stabil dan konsisten dalam kurun waktu dan situasi serta konsep bawah sadar (psikoanalisa). Teori ini berpandangan bahwa gangguan perilaku terjadi adanya proses belajar yang salah terhadap situasi yang seharusnya. Pendekatan ini melahirkan optimistik, karena perilaku yang salah tersebut dapat dipelajari kembali (relearned). Pada dasarnya teori ini masih menggunakan model mono-kausal linear yang deterministic karena tingkah laku ditentukan oleh lingkungan (diluar manusia) dengan reinforcement/punishment atau mekanisme conditioning. Pada tahun 1930, teori ini dikritik oleh Skinner dengan teori operant conditioningyang mengatakan bahwa konsekuensi-konsekuensi pemberian hadiah/ hukuman juga mempengaruhi pembentukan perilaku. Teori Learning dan Conditioning ini diterapkan dalam Behavioral Therapy. Pada tahun 1960 mendapat kritikan dari teori kognitif yang tidak setuju terhadap pendekatan behavioral yang hanya memfokuskan pada tingkah laku yang diamati tanpa memperhatikan inner process yang terjadi seperti proses berpikir (kognitif). Teori kognitif beranggapan bahwa gangguan perilaku terjadi karena kesalahan dalam proses berpikir atau cara pikir yang irrasional. Pada perkembangannya teori-teori diatas mulai ditinggalkan dengan mempertimbangkan adanya banyak faktor yang bisa mempengaruhi individu (multi kausal linar).
Social Learning Theory yang dikemukakan oleh Albert Bandura mengatakan bahwa individu dipengaruhi oleh lingkungan melalui modelling. Pendekatan ini mempertimbangkan adanya interaksi timbal balik yang dinamis antara tingkah laku manusia, proses kognitif, dan lingkungan. Pendekatan interaksi melihat individu sebagai keseluruhan struktural, bukan hanya pada traits, tingkah laku yang dapat diamati, dan konflik yang disadari. Disamping itu, penekanan pendekatan ini pada fungsi individu bukan karakteristiknya. Bukan pada penyebab tunggal akan tetapi aspek-aspek interaksi dan fungsi yang memberi arti pada perilaku. Sistem client secara keseluruhan (teman, keluarga, sekolah) mempunyai pengaruh terhadap individu sehingga perlu juga untuk dipahami.

PARTICIPATIVE LEADERSHIP

Definisi
Koopman & Wierdsma (dalam Somech, 2005) menyebutkan bahwa participative leadership adalah pengambilan keputusan bersama atau paling tidak berbagi pengaruh antara atasan dan bawahan dalam pengambilan keputusan.
Kim & Schachter (2013) menyebutkan dua level participation leadership, yakni delegasi (pemimpin memberi tanggung jawab pada bawahan) dan empowerment (sejauh mana power yang dirasakan individu berdasarkan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan).

Tujuan
Melalui participative leadership, diharapkan pemimpin dapat mendorong karyawan untuk menemukan kesempatan dan melakukan tantangan baru dengan belajar dan beradaptasi melalui berbagi pengetahuan (sharing knowledge) (Somech, 2005).
Huang (2012) menyebutkan bahwa participative leadership bertujuan untuk meningkatkan partisipasi karyawan dengan memberikan lebih banyak keterbukaan, perhatian, otonomi, dan pengaruh pada mereka, serta berbagi penyelesaian masalah dengan berkonsultasi pada karyawan sebelum membuat keputusan.

Ciri-ciri
Somech (2005) menyebutkan bahwa participative leadership dicirikan dengan adanya proses komunikasi yang terbuka dan pengambilan keputusan bersama sehingga dapat menurunkan jarak pembatas antar karyawan.
Ismail, Zainuddin, & Ibrahim (2010) menjelaskan bahwa participative leadership secara umum dicirikan dengan perilaku pemimpin yang sering bekerja dekat dengan karyawan dan melibatkan seluruh level karyawan dalam proses pengambilan keputusan.

Manfaat
Penerapan participative leadership terbukti meningkatkan inovasi tim. Melalui proses komunikasi yang terbuka, pemimpin yang menerapkan participative leadership memberikan kesempatan dan tantangan pada karyawannya untuk memperoleh, berbagi, dan mengkombinasikan pengetahuan, serta memastikan bahwa setiap karyawan mampu mengatasi permasalahan yang muncul selama bekerja. Pemberdayaan karyawan (employee empowerment) ini mendorong munculnya ide, proses, atau produk baru yang bermanfaat dari karyawan. Participative leadership juga mendorong munculnya komitmen organisasi karena pemimpin secara terbuka menjelaskan pada karyawan mengenai misi, visi, strategi, dan target yang akan dituju oleh organisasi sehingga setiap karyawan memahami dan dapat mengambil bagian (Somech, 2005).
Penelitian dari Ismail, Zaindusin, dan Ibrahim (2010) menunjukkan bahwa participative leadership dapat meningkatkan komitmen karyawan terhadap organisasi sehingga mendorong munculnya kepuasan kerja pada karyawan, sementara hasil penelitian Somech & Maayan (2006) menunjukkan bahwa participative leadership dapat meningkatkan performansi kerja karyawan, terutama pada pekerjaan-pekerjaan yang bersifat teknis, bukan bersifat manajerial.

Kelemahan
Somech (2005) menyebutkan bahwa dibandingkan directive leadership, participative leadership kurang dapat menerapkan prosedur yang rinci dan detail dalam pengaturan kerja karyawan dan cenderung menghabiskan banyak waktu untuk mengambil keputusan.
Somech & Maayan 92006) juga menemukan bahwa participative leadership tidak cocok untuk diterapkan pada organisasi yang strukturnya bersifat birokratis.

Faktor Pendorong
Berdasarkan hasil penelitian dari Kim & Schachter (2013), syarat pendukung yang paling penting terhadap efektivitas participative leadership adalah kolaborasi karyawan yang efektif (effective followership) karena karyawan juga ikt memberikan pengaruh dalam pengambilan keputusan. Effective followership membutuhkan individu yang secara aktif berpikir, terlibat, dan mau mengekspresikan pendapatnya untuk mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu, effective followership menjadi syarat utama berhasilnya effective participative leadership.
Huang (2012) menemukan bahwa participative leadership memiliki dampak yang kurang signifikan terhadap employee’s psychological empowerment bila karyawan tersebut memiliki controllability attributional style yang rendah. Controllability attributional style merujuk pada sejauh mana karyawan mempersepsi kejadian negatif organisasi sebagai hal yang dapat dikontrol atau tidak dapat dikontrol. Karyawan yang memiliki low controllability attributional style memandang kejadian negatif atau kegagalan organisasi yang berulang sebagai hal yang tidak dapat dikontrol. Hal ini menyebabkan mereka mengembangkan sikap pasif dan tidak acuh terhadap manajemen, termasuk bila mereka diminta untuk memberikan pendapat atau ide. Oleh karena itu, controllability attributional style karyawan yang tinggi, dimana karyawan memandang kejadian negatif di organisasi sebagai hal yang dapat dikontrol, menjadi syarat agar participative leadership dapat berjalan efektif.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Costa & Agnol (2011) terhadap perawat menunjukkan bahwa participative leadership sulit dan tidak efektif untuk diterapkan pada perawat yang sedang menjalani shift malam. Hal ini terjadi karena ketika perawat yang sedang menjalani shift malam memiliki stamina dan konsentrasi kurang bila dibandingkan perawat yang bekerja di siang hari. Lemahnya stamina dan konsentrasi ini mengakibatkan kurang hangatnya hubungan antar karyawan dalam tim. Hal ini sering menyebabkan muncul permasalahan dalam proses sharing knowledge dan diskusi pengambilan keputusan bersama. Oleh karena itu, salah satu faktor yang mendorong efektif atau tidak efektifnya participative leadership adalah beban dan kondisi kerja karyawan. Karyawan yang memiliki beban kerja (workload) tinggi dan menguras stamina, cenderung bersikap pasif dan mempersepsi participative leadership sebagai hal yang menghabiskan waktu dan tenaga.
Somech (2003) menemukan bahwa faktor demografis berpengaruh terhadap penerapan participative leadership. Semakin banyak kesamaan demografis (usia, masa kerja, pendidikan, dan jenis kelamin) antara pemimpin dengan karyawan, semakin besar tingkat participative leadership yang dilakukan pemimpin. Sebaliknya, pemimpin jarang menggunakan participative leadership pada karyawan yang memiliki sedikit kesamaan demografis dengan dirinya. Selain itu, semakin jauh level posisi pemimpin dengan karyawan, semakin jarang participative leadership diterapkan.

Efektivitas organisasi
Somech (2005) menyebutkan dua indikasi efektivitas organisasi, yakni team in-role performance, yakni sejauh mana karyawan mencapai tujuan dan hasil yang diinginkan dan ditargetkan, dan team innovation, pengenalan atau penerapan ide, proses, produk, atau prosedur baru dari karyawan yang bermanfaat.








Hubungan PL dg Efektivitas Organisasi
Somech (2005) menemukan bahwa participative leadership mendorong munculnya efektivitas organisasi melalui pemberdayaan karyawan (employee empowerment) sehingga setiap karyawan dapat berkontribusi memberikan ide atau inovasi baru dalam organisasi.
Hasil penelitian Kim & Schahter (2013) menunjukkan bahwa participative leadership dapat meningkatkan efektivitas dan performansi organisasi bila karyawan mau berkolaborasi secara efektif (effective followersip. Tanpa effective followership, tidak ada dampak signifikan antara participative leadership dan peningkatan efektivitas dan performansi organisasi.





Costa, D.G; Agnol, C.. (2011). Participative Leadership in the Management Process of Nightshidt Nursing. Rev.Latino-Am.Enfermagem, 19(6), 1306-1313.

Huang, X. (2012). Helplessness of Empowerment: The Joint Effect of Participative leadership and Controllability Attributional style on Empowerment and Performance. Human Reations, 65(3), 313-334.

Ismail, A., Zainuddin, N., Ibrahim, Z. (2010). Linking Participative and Consultative Leadership Styles to Organizational Commitment as an Antecedent of Job Satisfaction. UNITAS e-Journal, 6 (1), 11-27.

Kim, C., Schachter, H. (2013). Exploring Followership in a Public Setting: is It a Missing Link Between Participative Leadership and Organizational Performance?. The American Review of Public Admiistration, 20(10), 1-22.

Somech, A. (2004). Relationships of Participative Leadership with Relational Demography Variables: A Multi-level Perspective. Journal of Organizational Behavior, 24, 1003-1018.

Somech, A. (2005). Directive versus Participative Leadership: Two Complementary Approaches to Managing Effectiveness. Educational Administration Quarterly, 41(5), 777-800.

Somech, A., Wenderow, M. (2006). The Impact of Participative and Directive Leadership on Teacher Performance: the Intervening Effects of Job Structuring, Decision Domain, and Leader-Member Exchange. Educational Administration Quarterly, 4(5), 746-772.


Remaja dan Permasalahannya

Pengantar

       Masa remaja seringkali dihubungkan dengan mitos dan stereotip mengenai penyimpangan dan tidak wajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya teori-teori perkembangan yang membahas ketidakselarasan, gangguan emosi dan gangguan perilaku sebagai akibat dari tekanan-tekanan yang dialami remaja karena perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya maupun akibat perubahan lingkungan.
       Sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri remaja, mereka juga dihadapkan pada tugas-tugas yang berbeda dari tugas pada masa kanak-kanak. Sebagaimana diketahui, dalam setiap fase perkembangan, termasuk pada masa remaja, individu memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi. Apabila tugas-tugas tersebut berhasil diselesaikan dengan baik, maka akan tercapai kepuasan, kebahagian dan penerimaan dari lingkungan. Keberhasilan individu memenuhi tugas-tugas itu juga akan menentukan keberhasilan individu memenuhi tugas-tugas perkembangan pada fase berikutnya.
         Hurlock (1973) memberi batasan masa remaja berdasarkan usia kronologis, yaitu antara 13 hingga 18 tahun. Menurut Thornburgh (1982), batasan usia tersebut adalah batasan tradisional, sedangkan alran kontemporer membatasi usia remaja antara 11 hingga 22 tahun.
         Perubahan sosial seperti adanya kecenderungan anak-anak pra-remaja untuk berperilaku sebagaimana yang ditunjukan remaja membuat penganut aliran kontemporer memasukan mereka  dalam kategori remaja. Adanya peningkatan kecenderungan para remaja untuk melanjutkan sekolah atau mengikuti pelatihan kerja (magang) setamat SLTA, membuat individu yang berusia 19 hingga 22 tahun juga dimasukan dalam golongan remaja, dengan pertimbangan bahwa pembentukan identitas diri remaja masih terus berlangsung sepanjang rentang usia tersebut.
           
Lebih lanjut Thornburgh membagi usia remaja menjadi tiga kelompok, yaitu:
a.       Remaja awal : antara 11 hingga 13 tahun
b.      Remaja pertengahan: antara 14 hingga 16 tahun
c.       Remaja akhir: antara 17 hingga 19 tahun.

Pada usia tersebut, tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
1.      Mencapai hubungan yang baru dan lebih masak dengan teman sebaya baik sesama jenis maupun lawan jenis
2.      Mencapai peran sosial maskulin dan feminin
3.      Menerima keadaan fisik dan dapat mempergunakannya secara efektif
4.      Mencapai kemandirian secara emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya
5.      Mencapai kepastian untuk mandiri secara ekonomi
6.      Memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja
7.      Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan dan kehidupan keluarga
8.      Mengembangkan kemampuan dan konsep-konsep intelektual untuk tercapainya kompetensi sebagai warga negara
9.      Menginginkan dan mencapai perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial
10.  Memperoleh rangkaian sistem nilai dan etika sebagai pedoman perilaku (Havighurst dalam Hurlock, 1973).

Tidak semua remaja dapat memenuhi tugas-tugas tersebut dengan baik. Menurut Hurlock (1973) ada beberapa masalah yang dialami remaja dalam memenuhi tugas-tugas tersebut, yaitu:
1.      Masalah pribadi, yaitu masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi dan kondisi di rumah, sekolah, kondisi fisik, penampilan, emosi, penyesuaian sosial, tugas dan nilai-nilai.
2.      Masalah khas remaja, yaitu masalah yang timbul akibat status yang tidak jelas pada remaja, seperti masalah pencapaian kemandirian, kesalahpahaman atau penilaian berdasarkan stereotip yang keliru, adanya hak-hak yang lebih besar dan lebih sedikit kewajiban dibebankan oleh orangtua.
Elkind dan Postman (dalam Fuhrmann, 1990) menyebutkan tentang fenomena akhir abad duapuluh, yaitu berkembangnya kesamaan perlakuan dan harapan terhadap anak-anak dan orang dewasa. Anak-anak masa kini mengalami banjir stres yang datang dari perubahan sosial yang cepat dan membingungkan serta harapan masyarakat yang menginginkan mereka melakukan peran dewasa sebelum mereka masak secara psikologis untuk menghadapinya. Tekanan-tekanan tersebut menimbulkan akibat seperti kegagalan di sekolah, penyalahgunaan obat-obatan, depresi dan bunuh diri, keluhan-keluhan somatik dan kesedihan yang kronis.
Lebih lanjut dikatakan bahwa masyarakat pada era teknologi maju dewasa ini membutuhkan orang yang sangat kompeten dan trampil untuk mengelola teknologi tersebut. Ketidakmampuan remaja mengikuti perkembangan teknologi yang demikian cepat dapat membuat mereka merasa gagal, malu, kehilangan harga diri, dan mengalami gangguan emosional.
Bellak (dalam Fuhrmann, 1990) secara khusus membahas pengaruh tekanan media terhadap perkembangan remaja. Menurutnya, remaja masa kini dihadapkan pada lingkungan dimana segala sesuatu berubah sangat cepat. Mereka dibanjiri oleh informasi yang terlalu banyak dan terlalu cepat untuk diserap dan dimengerti. Semuanya terus bertumpuk hingga mencapai apa yang disebut information overload. Akibatnya timbul perasaan terasing, keputusasaan, absurditas, problem identitas dan masalah-masalah yang berhubungan dengan benturan budaya.
Tugas-tugas perkembangan pada masa remaja yang disertai oleh berkembangnya kapasitas intelektual, stres dan harapan-harapan baru yang dialami remaja membuat mereka mudah mengalami gangguan baik berupa gangguan pikiran, perasaan maupun gangguan perilaku. Stres, kesedihan, kecemasan, kesepian, keraguan pada diri remaja membuat mereka mengambil resiko dengan melakukan kenakalan (Fuhrmann, 1990).
Uraian di atas memberikan gambaran betapa majemuknya masalah yang dialami remaja masa kini. Tekanan-tekanan sebagai akibat perkembangan fisiologis pada masa remaja, ditambah dengan tekanan akibat perubahan kondisi sosial budaya serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat seringkali mengakibatkan timbulnya masalah-masalah psikologis berupa gangguan penyesuaian diri atau ganguan perilaku. Beberapa bentuk gangguan perilaku ini dapat digolongkan dalam delinkuensi.
            Perkembangan pada remaja merupakan proses untuk mencapaikemasakan dalam berbagai aspek sampai tercapainya tingkat kedewasaan. Proses ini adalah sebuah proses yang memperlihatkan hubungan erat antara perkembangan aspek fisik dengan psikis pada remaja.
1.      Perkembangan fisik remaja
Menurut Imran (1998) masa remaja diawali dengan masa pubertas, yaitu masa terjadinya perubahan-perubahan fisik (meliputi penampilan fisik seperti bentuk tubuh dan proporsi tubuh) dan fungsi fisiologis (kematangan organ-organ seksual). Perubahan fisik yang terjadi pada masa pubertas ini merupakan peristiwa yang paling penting, berlangsung cepat, drastis, tidak beraturan dan terjadi pada sisitem reproduksi. Hormon-hormon mulai diproduksi dan mempengaruhi organreproduksi untuk memulai siklus reproduksi serta mempengaruhi terjadinya perubahan tubuh. Perubahan tubuh ini disertai dengan perkembangan bertahap dari karakteristik seksual primer dan karakteristik seksual sekunder. Karakteristik seksual primer mencakup perkembangan organ-organ reproduksi, sedangkan karakteristik seksual sekunder mencakup perubahan dalam bentuk tubuh sesuai dengan jenis kelamin misalnya, pada remaja putri ditandai dengan menarche (menstruasi pertama), tumbuhnya rambut-rambut pubis, pembesaran buah dada, pinggul, sedangkan pada remaja putra mengalami pollutio (mimpi basah pertama), pembesaran suara, tumbuh rambut-rambut pubis, tumbuh rambut pada bagian tertentu seperti di dada, di kaki, kumis dan sebagainya.
Menurut Mussen dkk., (1979) sekitar dua tahun pertumbuhan berat dan tinggi badan mengikuti perkembangan kematangan seksual remaja. Anak remaja putri mulai mengalami pertumbuhan tubuh pada usia rata-rata 8-9 tahun, dan mengalami menarche rata-rata pada usia 12 tahun. Pada anak remaja putra mulai menunjukan perubahan tubuh pada usia sekitar 10-11 tahun, sedangkan perubahan suara terjadi pada usia 13 tahun (Katchadurian, 1989). Penyebab terjadi makin awalnya tanda-tanda pertumbuhan ini diperkirakan karena faktor gizi yang semakin baik, rangsangan dari lingkungan, iklim, dan faktor sosio-ekonomi (Sarwono, dalam JEN, 1998).
Pada masa pubertas, hormon-hormon yang mulai berfungsi selain menyebabkan perubahan fisik/tubuh juga mempengaruhi dorongan seks remaja. Menurut Bourgeois dan Wolfish (1994) remaja mulai merasakan dengan jelas meningkatnya dorongan seks dalam dirinya, misalnya muncul ketertarikan dengan orang lain dan keinginan untuk mendapatkan kepuasan seksual.
Selama masa remaja, perubahan tubuh ini akan semakin mencapai keseimbangan yang sifatnya individual. Di akhir masa remaja, ukuran tubuh remaja sudah mencapai bentuk akhirnya dan sistem reproduksi sudah mencapai kematangan secara fisiologis, sebelum akhirnya nanti mengalami penurunan fungsi pada saat awal masa lanjut usia (Myles dkk, 1993). Sebagai akibat proses kematangan sistem reproduksi ini, seorang remaja sudah dapat menjalankan fungsi prokreasinya, artinya sudah dapat mempunyai keturunan. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa remaja sudah mampu bereproduksi dengan aman secara fisik. Menurut PKBI (1984) secara fisik, usia reproduksi sehat untuk wanita adalah antara 20 – 30 tahun. Faktor yang mempengaruhinya ada bermacam-macam . Misalnya, sebelum wanita berusia 20 tahun secar fisik kondisi organ reproduksi seperti rahim belum cukup siap untuk memelihara hasil pembuahan dan pengembangan janin. Selain itu, secara mental pada umur ini wanita belum cukup matang dan dewasa. Sampoerno dan Azwar (1987) menambahkan bahwa perawatan pra-natal pada calon ibu muda usia biasanya kurang baik karena rendahnya pengetahuan dan rasa malu untuk datang memeriksakan diri ke pusat pelayanan kesehatan.
2.      Perkembangan Psikis Remaja
Ketika memasuki masa pubertas, setiap anak telah mempunyai sistem kepribadian yang merupakan pembentukan dari perkembangan selama ini. Di luar sistem kepribadian anak seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi, pengaruh media massa, keluarga, sekolah, teman sebaya, budaya, agama, nilai dan norma masyarakat tidak dapat diabaikan dalam proses pembentukan kepribadian tersebut. Pada masa remaja, seringkali berbagai faktor penunjang ini dapat saling mendukung dan dapat saling berbenturan nilai.
   
Kutub Keluarga ( Rumah Tangga)
            Dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan, dikemukakan bahwa anak/remaja yang dibesarkan dalam lingkungan sosial keluarga yang tidak baik/disharmoni keluarga, maka resiko anak untuk mengalami gangguan kepribadian menjadi berkepribadian antisosial dan berperilaku menyimpang lebih besar dibandingkan dengan anak/remaja yang dibesarkan dalam keluarga sehat/harmonis (sakinah).
            Kriteria keluarga yang tidak sehat tersebut menurut para ahli, antara lain:
a.       Keluarga tidak utuh (broken home by death, separation, divorce)
b.      Kesibukan orangtua, ketidakberadaan dan ketidakbersamaan orang tua dan anak di rumah
c.       Hubungan interpersonal antar anggota keluarga (ayah-ibu-anak) yang tidak baik (buruk)
d.      Substitusi ungkapan kasih sayang orangtua kepada anak, dalam bentuk materi daripada kejiwaan (psikologis).

Selain daripada kondisi keluarga tersebut di atas, berikut adalah rincian kondisi keluarga yang merupakan sumber stres pada anak dan remaja, yaitu:
a.       Hubungan buruk atau dingin antara ayah dan ibu
b.      Terdapatnya gangguan fisik atau mental dalam keluarga
c.       Cara pendidikan anak yang berbeda oleh kedua orangtua atau oleh kakek/nenek
d.      Sikap orangtua yang dingin dan acuh tak acuh terhadap anak
e.       Sikap orangtua yang kasar dan keras kepada anak
f.       Campur tangan atau perhatian yang berlebih dari orangtua terhadap anak
g.      Orang tua yang jarang di rumah atau terdapatnya isteri lain
h.      Sikap atau kontrol yang tidak konsisiten, kontrol yang tidak cukup
i.        Kurang stimuli kongnitif atau sosial
j.        Lain-lain, menjadi anak angkat, dirawat di rumah sakit, kehilangan orang tua, dan lain sebagainya.

Sebagaimana telah disebutkan di muka, maka anak/remaja yang dibesarkan dalam keluarga sebagaimana diuraikan di atas, maka resiko untuk berkepribadian anti soial dan berperilaku menyimpang lebih besar dibandingkan dengan anak/maja yang dibesarkan dalam keluarga yang sehat/harmonis (sakinah).

Kutub Sekolah
            Kondisi sekolah yang tidak baik dapat menganggu proses belajar mengajar anak didik, yang pada gilirannya dapat memberikan “peluang” pada anak didik untuk berperilaku menyimpang. Kondisi sekolah yang tidak baik tersebut, antara lain;
a.       Sarana dan prasarana sekolah yang tidak memadai
b.      Kuantitas dan kualitas tenaga guru yang tidak memadai
c.       Kualitas dan kuantitas tenaga non guru yang tidak memadai
d.      Kesejahteraan guru yang tidak memadai
e.       Kurikilum sekolah yang sering berganti-ganti, muatan agama/budi pekerti yang kurang
f.       Lokasi sekolah di daerah rawan, dan lain sebagainya.

Kutub Masyarakat (Kondisi Lingkungan Sosial)
            Faktor kondisi lingkungan sosial yang tidak sehat atau “rawan”, dapat merupakan faktor yang kondusif bagi anak/remaja untuk berperilaku menyimpang. Faktor kutub masyarakat ini dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu pertama, faktor kerawanan masyarakat dan kedua, faktor daerah rawan (gangguan kamtibmas). Kriteria dari kedua faktor tersebut, antara lain:
a.       Faktor Kerawanan Masyarakat (Lingkungan)
1)      Tempat-tempat hiburan yang buka hingga larut malambahkan sampai dini hari
2)      Peredaran alkohol, narkotika, obat-obatan terlarang lainnya
3)      Pengangguran
4)      Anak-anak putus sekolah/anak jalanan
5)      Wanita tuna susila (wts)
6)      Beredarnya bacaan, tontonan, TV, Majalah, dan lain-lain yang sifatnya pornografis dan kekerasan
7)      Perumahan kumuh dan padat
8)      Pencemaran lingkungan
9)      Tindak kekerasan dan kriminalitas
10)  Kesenjangan sosial

b.      Daerah Rawan (Gangguan Kantibmas)
1)      Penyalahgunaan alkohol, narkotika dan zat aditif lainnya
2)      Perkelahian perorangan atau berkelompok/massal
3)      Kebut-kebutan
4)      Pencurian, perampasan, penodongan, pengompasan, perampokan
5)      Perkosaan
6)      Pembunuhan
7)      Tindak kekerasan lainnya
8)      Pengrusakan
9)      Coret-coret dan lain sebagainya


Kondisi psikososial dan ketiga kutub diatas, merupakan faktor yang kondusif bagi terjadinya kenakalan remaja. 

jadwal-sholat