PERUBAHAN
HORMON TERHADAP STRESS
Akmarawita
Kadir
Dosen
Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRAK
Berbagai rangsangan baik secara fisik,
kimiawi, psikologis, maupun psikososial yang merupakan ancaman gangguan pada
sistem homeostasis tubuh dapat memicu response stres. Berbagai stressor dapat
menimbulkan berbagai respon spesifik yang khas untuk stressor tersebut, namun
selain respon spesifik, semua stressor juga menimbulkan respon umum yang
berefek sama apa pun jenis stressor nya.
HORMONES CHANGES TO STRESS
Akmarawita
Kadir
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT
Various stimuli both physical, chemical,
psychological, or psychosocial disorders pose a threat to the homeostasis of
the body system can trigger the stress response. Various stressors can cause a
variety of specific responses to specific stressor, but in addition to specific
responses, all stressors also cause a general response to the same effect
whatever its type of stressor.
I.
STRESOR
Dr. Hans selye adalah orang pertama yang
mengenali kesamaan respon terhadap berbagai rangsangan yang mengganggu, yang ia
sebut sebagai syndrome adaptasi umum (general
adaptation syndrome / general stress syndrome). Jika tubuh bertemu dengan
stressor, tubuh akan mengaktifkan respon saraf dan hormon untuk melaksanakan
tindakan-tindakan pertahanan untuk mengatasi keadaan darurat. (Sherwood. 1996,
Hole 1981)
Faktor-faktor
yang menyebabkan stres berasal dari rangsangan fisik, psikologis, atau dapat
keduanya. Stres fisik disebabkan oleh exposure stressor yang berbahaya bagi
jaringan tubuh misalnya terpapar pada keadaan dingin atau panas, penurunan
konsentrasi oksigen, infeksi, luka / injuries,
latihan fisik yang berat dan lama, dll. Sedangkan pada stres psikologis
misalnya pada perubahan kehidupan, hubungan sosial, perasaan marah, takut,
depresi dll. (Hole. 1981)
II. PERUBAHAN
HORMON
Respon umum / general adaptation syndrome dikendalikan
oleh hipotalamus, hipotalamus menerima masukan mengenai stresor fisik dan
psikologis dari hampir semua daerah di otak dan dari banyak reseptor di seluruh
tubuh. Sebagai respon hipotalamus secara langsung mengaktifkan sistem saraf
simpatis. Mengeluarkan CRH untuk
merangsang sekresi ACTH dan kortisol, dan memicu pengeluaran Vasopresin.
Stimulasi simpatis pada gilirannya menyebabkan sekresi epinephrine, dimana
keduanya memiliki efek sekresi terhadap insulin dan glucagon oleh pancreas.
Selain itu vasokonstriksi arteriole di ginjal oleh katekolamin secara tidak
langsung memicu sekresi rennin dengan menurunkan aliran darah (konsumsi oksigen
menurun) ke ginjal. Renin kemudian
mengaktifkan mekanisme rennin-angiotensin-aldosteron. Dengan cara ini, selama
stres, hipotalamus mengintegrasikan berbagai respon baik dari sistem saraf
simpatis maupun sistem endokrin. (Gambar 1) (Hole. 1981, Sherwood. 1996)
Reaksi normal pada seseorang
yang sehat pada keadaan darurat, yang mengancam jiwanya, akan merangsang
pengeluaran hormon adrenalin, yang menyebabkan meningkatnya denyut nadi,
pernapasan, memperbaiki tonus otot dan rangsangan kesadaran yang kesemuanya
akan meningkatkan kewaspadaan dan siap akan kecemasan dan antisipasi yang akan
di hadapi, untuk kembali pada keadaan yang normal setelah suatu krisis yang
dihadapinya. Walaupun kondisi ini akan dilanjutkan dengan keadaan stress yang
siap akan terjadinya suatu kerusakan pada tubuh. Selanjutnya apabila suatu
krisis terjadi dengan suatu kasus sangat ekstrem maka dapat menimbulkan suatu
kepanikan yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan atau cidera. (Reilly,
1985)
Stress
adalah suatu psycho physiological
phenomenon, ini adalah kombinasi antara
maksud pikiran dan gerak tubuh. Olahraga sangat dekat dengan terjadinya stress.
Secara fisiologis, tubuh dapat menunjukkan 3 tahap (fase) ketika menghadapi
stress yaitu alarm stage, resistance
stage, dan exhaustion stage.
Reaksi ini oleh Dr. Hans Selye disebut
sebagai GAS Theory (General Adaptation
Syndrome).
Pada alarm stage, terjadi
peningkatan sekresi pada glandula adrenalis, mempersiapkan tubuh melaksanakan
respon fight or fight. Seluruh efek tersebut menyebabkan orang tersebut dapat
melaksanakan aktivitas fisik yang jauh lebih besar daripada bila tidak ada efek
di atas.
Pada resistance stage,
terjadi setelah alarm stage. Selama fase ini tubuh memperbaiki dirinya sendiri
akibat sekresi adrenokortikal yang menurun.
Pada
exhaustion stage sudah mempengaruhi sistem organ, atau salah satu organ menjadi
tidak berfungsi yang menyebabkan terjadinya stress yang kronis. Stress kronis
ini dapat mengganggu fungsi otak, saraf otonom, sistem endokrin, dan sistem
immune yang kita sebut sebagai penyakit psikosomatis. (Arnheim, 1984; Sherwood.
1995, Guyton. 2000).
CATEKOLAMIN
Respon
saraf utama terhadap rangsangan stres adalah pengkatifan menyeluruh sistem
saraf simpatis. Hipotalamus akan menolong untuk mempersiapkan tubuh untuk fight to fight akibat rangsangan stres.
Hal ini menyebabkan : (Guyton. 2000, Hole. 1981)
1. peningkatan tekanan arteri
2. Peningkatan aliran darah untuk mengaktifkan
otot-otot, bersamaan dengan penurunan aliran darah ke organ-organ yang tidak
diperlukan untuk aktivitas motorik yang cepat.
3. peningkatan kecepatan metabolisme sel di
seluruh tubuh.
4. peningkatan konsentrasi glukosa darah.
5. peningkatan proses glikolisis di hati dan
otot
6. peningkatan kekuatan otot
7. peningkatan aktivitas mental
8. peningkatan kecepatan koagulasi darah.
Seluruh efek tersebut
menyebabkan orang tersebut dapat melaksanakan aktivitas fisik yang jauh lebih
besar daripada bila tidak ada efek di atas. (Sherwood. 1995, Guyton. 2000)
Perangsangan
saraf simpatis yang menuju medulla adrenalis menyebabkan pelepasan sejumlah
besar epinephrine dan norepinephrine ke dalam darah sirkulasi, dan kedua hormon
ini kemudian dibawa dalam darah ke semua jaringan tubuh. Secara simultan,
sistem simpatis memanggil kekuatan-kekuatan hormonal dalam bentuk pengeluaran
besar-besaran epinephrine dari medulla adrenal. Epinephrine memperkuat respon
simpatis dan mencapai tempat-tempat yang tidak dicapai oleh sistem simpatis
untuk melaksanakan fungsi tambahan,
misalnya memobilisasi simpanan karbohidrat dan lemak. (Guyton. 2000, Sherwood.
1996)
KORTISOL
Selain
epinephrine, sejumlah hormon terlibat dalam General Stress Syndrome ( Tabel 1).
Respon hormon yang predominan adalah pengkatifan sistem CRH-ACTH-KORTISOL.
Peran kortisol dalam membantu tubuh mengatasi stress, diperkirakan berkaitan
dengan efek metabolik nya. Kortisol mempunyai efek metabolik yaitu meningkatkan
konsentrasi glukosa darah dengan menggunakan simpanan protein dan lemak. Suatu
anggapan yang logis adalah bahwa peningkatan simpanan glukosa, asam amino, dan
asam lemak tersedia untuk digunakan bila diperlukan, misalnya dalam keadaan
stress. (Guyton. 2000, Sherwood 1996).
TABEL
1
HORMON
|
PERUBAHAN
|
TUJUAN
|
Epinephrine
|
Meningkat
|
Memperkuat sistem saraf simpatis untuk
mempersiapkan tubuh “fight to fight”
Memobilisasi simpanan karbohidrat dan
lemak; meningkatkan kadar glukosa dan asam lemak darah
|
CRH-ACTH-KORTISOL
|
Meningkat
|
Memobilisasi simpanan energi untuk
digunakan jika diperlukan, meningkatkan glukosa, asam amino, dan asam lemak
darah.
ACTH mempermudah proses belajar dan
perilaku
|
Glukagon &
Insulin
|
Meningkat
Menurun
|
Bekerja bersama untuk meningkatkan
glukosa darah
|
Aldosteron
|
Meningkat
|
Menahan Na + H2O untuk
meningkatkan volume plasma, membantu mempertahankan tekanan darah, jika
terjadi pengeluaran akut plasma.
|
ADH
|
Meningkat
|
Vasopresin dan Angiotensin II menyebabkan
vasokonstriksi arteriol untuk meningkatkan tekanan darah
Vasopresin membantu proses belajar
|
Oksitosin
|
Meningkat
|
Stress Induced Tachycardia à menghambat respon takikardia pada stress akut.
|
Growth Hormon
|
Meningkat
|
Perubahan hormon utama selama respon stres
(Sherwood. 1995, Braga. 2000, Higa. 2002)
ACTH mungkin berperan dalam mengatasi
stres, karena ACTH adalah salah satu dari peptide yang mempermudah proses
belajar dan perilaku, masuk akal jika peningkatan ACTH selama stres psikososial
membantu tubuh agar lebih siap menghadapi stresor serupa di masa mendatang
dengan perilaku yang sesuai. (Sherwood. 1995)
Kortisol
juga berperan dalam kronik stress, di katakan bahwa akut stress berbeda dengan
kronik stress, fight to fight merupakan
respon dari akut stres sedangkan peningkatan adrenal kortisol merupakan respon
dari kronik stress, jadi adanya peningkatan kadar kortisol merupakan indikator
yang baik bagi seseorang yang mengalami kronik stres atau stres yang
berulang-ulang. Akibat kronik stress menyebabkan penekanan sistem immune tubuh
sebagai akibat efek dari kortisol. (Gambar.3) (Silverthorne. 2001).
GLUKAGON – INSULIN
Respon-respon
hormonal lain di luar kortisol juga berperan dalam keseluruhan respon metabolik
terhadap stres. Sistem saraf simpatis dan epinephrine yang dikeluarkan
menyebabkan hambatan pada insulin dan merangsang Glukagon. Perubahan-perubahan
hormonal ini bekerja sama untuk meningkatkan kadar glukosa dan asam lemak
darah. Epinephrine dan Glukagon, yang kadarnya meningkat selama stres,
meningkatkan glycogenolysis dan (bersama kortisol) glukoneogenesis di hati.
(gambar 2). Namun insulin yang sekresi nya tertekan selama stres mempunyai efek
yang berlawanan terhadap glycogenolysis di hati. Stimulus utama untuk sekresi
insulin adalah peningkatan glukosa darah, sebaliknya efek utama insulin adalah
menurunkan kadar glukosa darah. Apabila
insulin tidak dengan sengaja dihambat selama respon stres, hiperglikemia
yang ditimbulkan oleh stres akan merangsang sekresi insulin untuk menurunkan
kadar glukosa. Akibatnya peningkatan kadar glukosa darah tidak dapat
dipertahankan. Respon-respon hormonal yang berkaitan dengan stres juga
mendorong pengeluaran asam-asam lemak dari simpanan lemak, karena epinephrine
glucagon dan kortisol meningkatkan lipolisis, sedangkan insulin menghambat nya.(Sherwood.
1996)
Selama
stres selain terjadi perubahan-perubahan hormon yang memobilisasi simpanan energi,
hormon-hormon lain secara bersamaan juga diaktifkan untuk mempertahankan volume
dan tekanan darah selama keadaan darurat. Sistem simpatis dan epinephrine
berperan penting dengan langsung bekerja pada jantung dan pembuluh darah untuk
meningkatkan fungsi sirkulasi. Selain itu sistem rennin-angiotensin- aldosteron
juga diaktifkan sebagai akibat dari penurunan aliran darah ke ginjal yang
dipicu oleh sistem simpatis. Sekresi aldosteron juga disebabkan oleh rangsangan
dari angiotensin II dan peningkatan K+ plasma, dan rangsangan dari ACTH
walaupun lemah. (Gambar.4 dan 5) (Sherwood.1996, Baron, 2003)
Sekresi Vasopresin juga
meningkat selama keadaan stres. Secara keseluruhan hormon-hormon ini
meningkatkan volume plasma dengan efek retensi Na dan H2O. Diperkirakan
peningkatan volume plasma ini merupakan tindakan pencegahan untuk membantu
mempertahankan tekanan darah sekiranya terjadi pengeluaran akut cairan plasma
melalui perdarahan atau keringat berlebihan selama masa darurat tersebut.
Vasopresin dan angiotensin juga memiliki efek vasopressor langsung yang akan
bermanfaat untuk mempertahankan tekanan darah apabila terjadi pengeluaran akut
darah. Vasopresin juga diperkirakan mempermudah proses belajar, yang berdampak
pada adaptasi terhadap stres di masa mendatang.(Gambar 5) (Sherwood. 1996)
Oksitosin dikatakan mempunyai
efek Stress Induced Tachycardia, melalui n. vagus menyebabkan bradikardia,
yaitu menghambat respon tachycardia
akibat stress physic (exercise). Sehingga Vasopresin dan Oksitosin
diduga bertugas mengontrol denyut nadi pada saat stres physic. (Braga. 2000,
Higa. 2002)
GROWTH HORMONE (GH)
GH
adalah hormon yang di sekresi oleh hipofisis anterior, GH ini mempunyai efek
merangsang pertumbuhan seluruh jaringan tubuh, dan mempunyai efek metabolik yaitu
meningkatkan hampir semua ambilan asam amino dan sintesis protein oleh sel,
menggunakan lemak dari tempat penyimpanannya dan menghemat karbohidrat.
(Guyton. 2000)
Dikatakan bahwa kadar GH akan
meningkat pada keadaan stres, latihan fisik, tidur. (Gambar. 6 dan 7)
III. PERUBAHAN HORMON OLEH STRES PSIKOLGIS
KRONIS YANG DAPAT MERUGIKAN
Akselerasi aktivitas kardiovaskuler dan
pernapasan, retensi garam dan H2O, serta mobilisasi bahan bakar
metabolik dan bahan-bahan pembangun dapat bermanfaat sebagai respon terhadap
stres fisik, misalnya kompetisi olahraga atletik. Ternyata sebagian besar stresor dalam kehidupan kita
sehari-hari adalah stres psikologis, meskipun stresor tersebut memicu respon
yang sama. Apabila tidak diperlukan energi tambahan, tidak ada kerusakan
jaringan, dan tidak ada pengeluaran darah, penguraian cadangan energi tubuh dan
retensi cairan merupakan tindakan yang sia-sia, mungkin merugikan bagi individu
yang mengalami stres. Akibat respon stres yang tidak digunakan mungkinkah
hipertensi disebabkan oleh vasokonstriksi simpatis yang berlebihan? Mungkinkah
peningkatan kortisol yang ringan namun kronik, seperti stres psikologis yang
berkepanjangan, menimbulkan hal yang sama. Ini harus dilakukan penelitian lebih
lanjut. (Sherwood. 1996)
IV.
RANGKUMAN
1. Berbagai stressor dapat menimbulkan
berbagai respon spesifik yang khas untuk stressor tersebut, namun selain respon
spesifik, semua stressor juga menimbulkan respon umum yang berefek sama apa pun
jenis stressor nya.
2. Respon umum / general adaptation syndrome
dikendalikan oleh hipotalamus.
3. Perubahan-perubahan hormon yang terjadi
dalam keadaan stres adalah :
a. Peningkatan epinephrine
b.
Peningkatan
ACTH dan Kortisol
c. Peningkatan glucagon dan penurunan insulin
d. eningkatan
aldosteron
e. Peningkatan ADA/Vasopresin
f. Peningkatan kadar Oksitosin
g. Peningkatan kadar Growth Hormon
4. Ternyata
sebagian besar stresor dalam kehidupan kita sehari-hari adalah stres
psikologis, meskipun stresor tersebut memicu respon yang sama.
5. Jika tubuh bertemu dengan stressor, tubuh
akan mengaktifkan respon saraf dan hormon untuk melaksanakan tindakan-tindakan
pertahanan untuk mengatasi keadaan darurat,
V.
DAFTAR PUSTAKA
Arnheim D.D, 1984. Modern principles of
athletic training. 7th ed. USA : Mosby college publishing, p. 139,
178, 179
Baron W.F., Boulpep E.L. 2003. Medical Physiology. Philadelphia. Sounders.
Braga DC, Mori E, Higa KT.2000. Central
Oxytocin modulates exercise-induced Tachycardia. AJP – Regulatory,
Integrative and Comparative Physiology, Vol.278, Issue 6. June 2000.
Greenspan F.S., Baxter J.D. 1994. Basic and Clinical Endocrinology, 4th.
Ed. San Francisco. Prentice Hall
Guyton A.C. 2000. Text Book of Medical Physiology, 10th. Ed. USA. W.B.
Saunders Co.
Higa K, Mori E, Viana FF.2002. Baroreflex
Control of Heart rate by oxytocin in the Solitary-vagal complex. AJP
– Regulatory, Integrative and Comparative Physiology, Vol.278, Issue 2. February
2002
Hole J.W. 1981. Human Anatomy and Physiology, 2th. Ed. Dubuque-Lowa.
WCB.
Reilly, 1985. Sports fitness and sports injuries.
London : Faber and faber limited, p.25-26, 46.
Sherwood L. 1996. Human Physiology : from Cells to Systems ,2th. Ed. Virginia.
Thomson Publishing, Inc.
Spence A.P., Mason E.B. 1983. Human Anatomy and Physiology, 2th. Ed.
California. The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc.
Silverthorne. 2001. Human Physiology an
Inntegrated Approach, 2th. Ed. San Francisco. Pearson Education, Inc.
0 komentar:
Posting Komentar