Assesmen
Menurut Kendall, 1982, Assesmen klinis merupakan proses pengumpulan informasi mengenai klien atau subyek untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai seseorang.
Alasan penyelenggaraan assesmen adalah
1. Penyaringan dan diagnosis, fungsi penyaringan dalam assesmen meliputi kegiatan memilih dan mengelompokkan orang, menggunakan kemampuan klinikus untuk mengembangkan metode(assesmen), mengumpulkan data dan membuat keputusan yang canggih. Diagnosis adalah ditentukan atau ditemukannya gangguan dan termasuk kelompok atau jenis apakah penyakitnya itu.
2. Evaluasi dan intervensi klinis, melalui assesmen data dapat dihimpun melalui assesmen untuk menentukan kekuatan, kelemahan dan keparahan permasalahan psikologis klien, pada sebelum saat dan setelah intervensi diselenggarakan.
3. Riset, dalam riset assesmen dimaksudkan untuk menguji hipotesis yang spesifik dalam menangani baik perilaku normal maupun abnormal atau mengalami disfungsi psikologis, dan dirancang untuk mendapatkan informasi baru yang dapat meningkatkan pemahaman kita mengenai pemfungsian manusia.
Sasaran Assesmen
1. Disfungsi (psikologis) individual, memperhatikan abnormalitas atau kekurangan dalam aspek pikiran, emosi atau tindakannya.
2. Kekuatan klien, dalam hal kemampuan, ketrampilan atau sensitifitas yang menjadi target evaluasi.
3. Kepribadian subyektif. Dalam hal ini bisa jadi psikolog klinis akan menyelenggarakan tes, observasi dan interview untuk membantu menemukan kebutuhan, motivasi, pertahanan dan pola perilaku subyek.
Metode Assement
1) Wawancara
Definisi menurt sullivan adalah suatu situasi yang pertama-tama adalah komunikasi vokal dalam suatu dwi kelompok, kurang lebih dintergrasikan secara volunter,mengenai rentang progesif atas dasar ahli-klien denga tujuan membentangkan pola hidup seseorang yang dialami sebagai masalah atau gangguan yang mempunyai nilai khusus.
Dalam wawancara klinis pertama-tama yang harus diwaspadai adalah vokal,tetapi juga harus waspada mengenai pesan non verbal (postur,gestur dan exspressi wajah).
Empat tujuan umum wawancara klinis ialah:
1. memperoleh informasi tentang klien yang bersangkutan.
2. memberikan informasi selama dianggap perlu dan sesuai dengan tujuan wawancara
3. memeriksa kondisi psikologis klien
4. mempengaruhi ,merubah dan memodifikasi perilaku klien.
Beberapa jenis wawancara :
a. Wawancara mengenai status mental, yang bertujuan untuk mendeskripsikan setepat mungkin sejarah masa lalu dan masa depan dari penyakit psikiatrik pasien.
b. Wawancara sosial klinis, yang bertujuan menentukan asal dan keparahan masalah seperti yang dikemukakan klien.
c. Wawancara yang difraksikan yaitu wawancara yang substansinya bervariasi tergantung pada gaya teori dan pribadi pewawancara.
d. Wawancara terstruktur, yang bermaksud mencapai hasil yang lebih baik. Dimana pertanyaan bersifat terstruktur,menggunakan kata yang baku.
2) Tes Terstruktur
Tes ini meminta subjek untukmenjawab pertanyaan secara tegas, ya atau tidak. Tes terstruktur membutuhkan standarisasi yang berhati-hati dan norma yang representatif. Standarisasi adalah prosedur pengetesan dan keadaan klien serta tempat dan suasana dimana tes berlangsung. Yang dimaksud dengan norma adalah suatu set skor yang didapat dari sekelompok orang yang telah mengikuti tes melalui metode sampling.
3) Tes tak Terstruktur
Disebut tes tidak terstruktur karena tesnya tidak membutuhkan jawaban yang ditentukan secara tegas dan jelas. Faktor pribadi testee sangat menentukan.
4) Assesment keperilakuan
Observasi ni merupakan observasi sistematik yang dimaksudkan untuk:
a. Mendapat informasi yang tidak diperoleh dari wawancara.
b. Mengevaluasi ketepatan komunikasi verbal dan konsistensinya dengan komunikasi non verbal.
c. Membuat kesimpulan mengenai keadaan yang perlu mendapat perhatian khusus yang memunculkan perilaku klien.
5) Kunjungan Rumah
Diperlukan dalam rangka persiapan penyelenggaraan terapi keluarga. Terdapat 6 keuntungan yaitu:
a. Fungsi keseluruhan keluarga terlihat sebagaimana adanya.
b. Setiap anggota keluarga berpeluang melaksanakan peran sehari-harinya.
c. Terdapat lebih sedikit kemungkinan untuk tidak hadirnya anggota keluarga.
d. Terdapat peluang untuk melohat seluruh keluarga dalam permasalahan.
e. Terdapat kemungkinan untuk tidak cemas dalam lingkungan keluarga sehingga meminimalisir perilaku yang dibuat-buat.
f. Terapi berlaku terbebas dari hubungan formal dokter-pasien.
6) Catatan Kehidupan
Biasanya dalam bentuk buku harian yang berisi catatan peristiwa kehidupan dan kesan-kesan pribadi.
7) Dokumen Pribadi
Apapun yang tercatat dalam dokumen pribadi adalah proyeksi yang dapat ditafsirkan. Penting untuk mengetahui motif utama klien, maupun hal-hal yng disembunyikan.
8) Pemfungsian Psikofisiologis
Hubungan psikis, mental dan faal tubuh sangat erat. Misalnya tekanan darah sering berhubungan dengan adanya kecemasan dan juga merupakan reaksi atas tekanan psikologis.
Tahap-Tahap Dalam Proses Assesmen
Sundberg dan Tyler menjelaskan assesmen klinis dalam emapt proses besar yaitu
1. Persiapan : Mempelajari masalh pasien, merundingkan penyerahan pertanyaan-pertanyaan dan merencanakan langlah-langkah lebih lanjut dalam assesmen.
2. Input : Data dan situasi tentang pasien. Ada 4 cara untuk mendapat inforasi tentang pasien:
a. Bertanya pada yang bersangkutan.
b. Bertanya pada orang yang mengenal pasien.
c. Mengamati perilaku individu.
d. Observasi individu berdasar tes
3. Proses : Pengumpulan materi dengan terorganisasi, analisis dan interpretasi.
4. Output : Hasil belajar dari orang yang mengkomunikasikannya dan keputusan sebagai tindakan klinis yang lebih lanjut.
Laporan Psikologi
Hasil dari macam-macam metode assesmen itu dioranisasikan,diintegrasikan dan dikomunikasikan dalam laporan psikologi. Laporan itu dapat dibuat dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
a. Format umum
Laporan psikologi bisa berbagai bentuk, gaya dan panjangnya. Tergantung pada maksud dan tujuan serta kepada siapa laporan akan diberikan. Untuk laporan yang kurang lebih sama untuk setiap yang dilapori, disebut format umum.
b. Mengintregasikan data assestment
Pendekatan yang bermanfaat atas integrasi data asesment membutuhkan 3 langkah berikut:
1. Pemeriksaan seluruh tes dan membuat daftar pernyataan sesuai maksud melakukan asesment.
2. Pemeriksa mengambil setiap alat asesement dan membuat pertanyaan singkat sehingga yang dimaksudkan sebagai jawaban tiap pertanyaan.
3. Pemeriksa kembali pada pertanyaan singkat dari setiap tes dan mengintegrasikan bahan tersebut dihubungkan dengan rancangan laporan.
Nilai Ilmiah Asesment
Nilai ilmiah yang dimaksudkan adalah reliabilitas dan validitas. Reliabilitas adalah taraf yang menunjukkan tes atau deretantes atau observasi yang digunakan bersifat stabil, saling tergantung, dan memiliki konsistensi diri. Validitas menyangkut taraf dimana suatu pengukuran psikologi, baik tes, observasi, maupun hasil wawancara memberikan gambarn tentang apa yang sebenarnya mau diukur.
Assesment dalam Intelektual
Intelegensi menurut Wechsler merupakan pembangkit atau kapasitas global individu untuk bertindak bertujuan berfikir rasional dan berhubungan efektif dengan lingkungan.
Intelegensi menurut Rudolf Amathauer adalah suatu struktur khusus dalam keseluruhan kepribadian seeorang, suatu kebutuhan yang berstruktur yang berdiri atas kemmapuan jiwa-mental dan diungkapkan melalui prestasi, serta memberikan kemampuan kepada individu untuk bertindak.
Beberapa alat tes intelegensi yang umum dipakai:
1. Stanford-Binet Intelligence Scale
2. Wechsler Adult Intelligence Skill (WAIS)
Assesment dalam Aspek Kepribadian
Dalam assesment kepribadian terdapat pembagian menjadi projective assesment dan Objective Assesment.
a. Projective Assessment
Projective assessment berkembang dari perspektif teoritis yang menampilkan karakteristika dinamis sebagai inti kepribadian (teori psikoanalisis). Menurut Linzey, teknik projective merupakan alat yang dianggap memiliki sensitivitas yang khusus untuk aspek perilaku yang tertutup dan tidak sadar, memungkinkan atau menggali varietas respon subjek yang luas, sangat multidimensional, dan menggali data respon yang kaya atau sangat kaya dan bersenyawa dengan kesadaran subjek yang minimun menyangkut tujuan dari tes. Linzey membagi alat-alat tes proyektif yaitu:
· Asosiasi, ialah meminta subjek untuk mengasosiasikan atau menjawab stimulus yang diberikan pemerkasa, misalnya tes Roscahch atau asosiasi kata.
· Konstruksi tes meminta subjek untuk membangun atau menciptakan cerita gambar. Tes konstruksi merupakan aktivitas kognitif yang lebih rumit daripada teknik asosiasi. Thematic Aperception Test merupakan salah satu contohnya.
· Melengkapi. Cara melengkapinya diserahkan pada subjek. Sebagai misal adalah tes Picture Completion dari Wartegg atau Sentence Completion Test dari Sullivan dan Murray.
· Memilih atau membuat peringkat.
· Ekspresi. Contoh alat ukur proyektif yang ekspresif bermain, menggambar, melukis dan psikodrama dapat.
b. Objective Assessment
Pendekatan objective assessment kepribadian merupakan usaha yang secara ilmiah berusaha menggambarkan karakteristik atau sifat-sifat individu atau kelompok sebagai alat untuk memprediksi perilaku.
Assesment dalam Aspek NeuroPsikologi
Assessment neuropsikologi melibatkan pengukuran-pengukuran tanda-tanda tingkah laku yang mencerminkan kesehatan atau kekurangan dalam fungsi otak. Terdapat 3 kegiatan psikologi klinis dalam assesment neuropsikologis, yaitu menyangkut fokus perhatian dalam assesment ini, banyak tes neuropsikologis utama dan bukti-bukti riset yang menyangkut reliabilitas dan validitas tes untuk assesment neuropsikologis.
Aspek Intelektual
Sir Francis Galton pada tahun 1869 menemukan Kualitas Genius Herediter, dimana dalam istilah “genius” itu terkandung berbagai macam prestasi yang pada umumnya tidak dimasukkan kedalam hal yang berhubungan dengan pengukuran intelegensi.
Spearman (1904) mengemukakan adanya suatu kemampuan yang disebut sebagai faktor umum intelegensi (general factor of intellegence), sehingga saat ini kita mengenal salah satu teori Spearman mengenai intelegensi sebagai “General Factor Theory”.
Menurut Wechsler (1958), intelegensi merupakan pembangkit atau kapasitas gobal individu untuk bertindak bertujuan, berfikir rasional dan berhubungan efektif dengan lingkungannya.
Menurut Rudolf Amathauer, intelegensi adalah suatu struktur khusus dalam keseluruhan kepribadian seseorang, suatu kebutuhan yang berstruktur yang terdiri atas kemampuan jiwa-mental dan diungkapkan melalui persepsi, serta memberikan kemampuan kepada individu untuk bertindak. Intelegensi hanya dapat dikenal melalui ungkapan-ungkapan, yaitu terlihat melalui prestasi (1970).
Penelitian dan Evaluasi dalam Psikiologi Klinis
Metode-Metode Penelitian dalam Psikologi Klinis, antara lain :
1. Metode observasi
Ada beberapa jenis observasi, yaitu :
a. Observasi tak sistematik, misalnya observasi yang dilakukan oleh pemeriksa secara kebetulan terhadap seorang subjek saat subjek sedang menunggu giliran, atau saat subjek sedang menjalani tes.
b. Observasialamiah atau naturalistik ialah yang dilakukan dalam setting alamiah.
c. Observasi terkendali. Jenis observasi ini dilakukan untuk memperbaiki observasi alami yang kurang sistematik dengan memberi suatu stimulus kepada orang yang akan diamati dengan setting alamiah untuk mengetahui sejauh mana itu berpengaruh dalam tingkah laku.
d. Studi kasus ialah suatu penelitian intensif terhadap satu subjek, yang bertujuan memberikan deskripsi yang mendetail tentang subjek yang diteliti itu. Penelitian bisa dilakukan dengan cara wawancara, observasi atau dipelajari catatan biografinya.
2. Metode penelitian epidemiologis
Metode ini mempelajari kejadian (incidence), prevalensi, dan distribusi penyakit atau gangguan dalam suatu populasi. Kebanyakan penelitian epidemiologis didasarkan atas hasil survei berdasarkan kuesioner yang disebarkan di suatu daerah tertentu, dengan harapan bahwa subjek yang mengisi kuesioner akan melaporkan yang sebenarnya.
3. Metode korelasi
Metode korelasi memungkinkan peneliti untuk menetukan apakah suatu variabel tertentu, misalnya penyakit influenza, berkaitan dengan variabel lain, misalnya cuaca di suatu daerah.
Teknik korelasi memerlukan dua set data (dari observasi, skor tes, dan lain-lain) untuk dicari apakah data set pertama berhubungan dengan data set lainnya, yang kemudian menghasilkan suatu koefisien korelasi yang berkisar antara -1 (korelasi negatif) dan +1 (korelasi positif). Koefisien korelasi dapat bermakna (signifikan) pada tingkatan 0.05 (berarti berlaku pada 95 persen pengamatan). Bermakna atau tidaknya suatu korelasi bergantung pada jumlah sampel yang sedang diteliti. Untuk penelitian bidang klinis kadang-kadang suatu koefisien korelasi yang secara statistik bermakna tidak mempunyai makna praktis, atau sebaliknya, yang mempunyai makna praktis, tidak menunjukan korelasi yang bermakna secara statistik.
Metode korelasi dapat berlanjut dengan mengadakan matriks korelasi yang menggambarkan korelasi antara sejumlah banyak variabel, dan identifikasi adanya faktor-faktoryang jumlahnya lebih sedikit dari variabel-variabel tadi. Identifikasi faktor-faktor ini dinamakan analisis faktor, misalnya bila dilakukan antarkorelasi antara sejumlah variabel seperti umur, pendidikan, lingkungan sosial, berat badan, keluhan fisik, keluhan psikis. Bisa jadi variabel pendidikan, lingkungan sosial merupakan satu faktor, artinya, keduanya saling berkorelasi tinggi.
4. Penelitian longitudinal versus cross-sectional
Dua pendekatan ini seringkali dilakukan terhadap populasi lanjut usia, atau anak-anak dengan kelainan khusus. Desain penelitian cross-sectional adalah penelitian yang membandingkan dua kelompok pada satu kurun waktu tertentu yang sama. Misalnya membandingkan anak balita dan anak usia 10 tahun pada tahun 1977.
5. Metode penelitian eksperimental
Untuk memastikan adanya suatu hubungan sebab akibat antara dua peristiwa, perlu dilakukan metode eksperimen. Misalnya, bila peneliti ingin memperkenalkan pengaruh musik pada emosi gembira pada sejumlah penghuni panti werdha. Untuk menguji dugaan tersebut perlu dilakukan metode eksperimen. Peneliti memilih dahulu penghuni di wisma yang akan menjadi kelompok eksperimental ─yakni yang akan diberi stimulus musik dangdut pada waktu tertentu misalnya jam 5 sore. Kelompok ini dibandingkan dengan kelompok kontrol ─yakni mereka yang ada di wisma lain, yang tidak diberi musik. Atas dua kelompok ini dicatat observasi perilaku penghuni yang dapat menggambarkan emosi gembira misalnya: ekspresi wajah, gerakan, kata-kata yang diucapkan. Observasi akan lebih objektif bila dilakukan pemotretan dengan kemera video.
Setelah ada Observasi awal, yang dinamakan data dasar (baseline data), baru diberikan stimulus pada kelompok eksperimental. Observasi dilakukan sekali lagi terhadap kedua kelompok itu pada saat yang sama. Untuk kelompok eksperimental dan kelompok kontrol. Bila pada kelompok eksperimental terjadi peningkatan perilaku gembira, sedangkan pada kelompok kontrol tidak terdapat peningkatan, maka dapat dikatakan bahwa musik itu yang menyebabkan peningkatan perilaku itu. Dalam contoh ini perilaku gembira dinamakan variabel tergantung, dan stimulus musik dinamakan variabel bebas.
Desain antarkelompok(between-group design) ialah bila dua kelompok yang dibandingkan, menerima stimulus yang berbeda, yang dibandingkan akibatnya. Dalam penelitian eksperimental ada dua hal yang harus diperhatikan, yakni masalah validitas internal dan eksternal. Validitas internal ialah adanya jaminan bahwa yang menyebabkan terjadinya suatu perubahan yang direncanakan oleh eksperimen itu adalah hanya stimulus yang diberikan dan bukan hal-hal lainnya. Jadi agar validitas internal baik, haruslah ada kelompok kontol. Kadang-kadang validitas internal penelitian eksperimental kurang baik, karena perubahan yang dihasilkan oleh eksperimen lebih disebabkan oleh karena adanya subjek yang diteliti (untuk memenuhi keinginan peneliti). Untuk mencegah hal itu ada baiknya dilakukan penelitian eksperimen secara double–blind, artinya baik peneliti maupun subjek yang diteliti sama-sama tidak tahu siapa yang menjadi kelompok eksperimen dan siapa yang kelompok kontrol, juga kelompok mana yang mendapat perlakuan dan mana yang tidak (phares, 1992).
6. Desain satu kasus
Desain satu kasus mempunyai persamaan dengan desain studi kasus dan desain eksperimental. Dalam desain studi kasus, diukur perilaku individu sebelum dan sesudah perlakuan, dan hal ini dilakukan dalam situasi eksperimen. Desain satu kasus adalah perwujudan dari pendekatan perilaku (behavioral approach), yang mengutamakan pengukuran perilaku nyata, seperti yang dianjurkan dalam belajar operan (Phares, 1992).
a. Desain A-B-A-B
Salah satu contoh desain satu kasus yang dapat direncanakan ialah perlakuan misalnya terhadap seorang anak yang perilaku agresif. Di ruang terapi anak diamati selama beberapa jam/ beberapa hari, dicatat perilaku agresif apa saja yang ia tampilkan, dan dicatat frekuensinya (situasi A). Kemudian diberikan perlakuan, yakni apabila anak memperlihatkan perilaku baik, maka ia diberi imbalan. Misalnya kalau ia duduk diam meski hanya sejenak, ia diberi perhatian oleh terapis, misalnya diberi permen atau ditanggapi dengan senyuman. Perlakuan ini dipertahankan selama beberapa jam/ beberapa hari, dan dicatat lagi perilaku anak yang positif, yakni duduk diam (B). Setelah itu, kembali lagi anak dibiarkan seperti situasi A, yakni tidak diberi perlakuan. Setelah itu kembali diberlakukan situasi B.
b. Desain Multiple Baseline
Kadangkala situasi pemberian imbalan seperti yang terjadi pada situasi B tidak mudah untuk ditiadakan demi pertimbangan etis. Dalam desain ganda dilakukan hal yang sama dengan kasus anak dengan kasus anak dengan perlakuan agresif, namun desain ABAB itu diberlakukan dalam dua situasi, yakni di rumah dan di ruang terapi. Yang diamati dan dicatat base-line-nya adalah dalam dua situasi di rumah. Dalam situasi terapi tidak perlu diadakan peniadaan imbalan, penghentian imbalan dilakukan hanya dalam situasi di rumah. Apabila peningkatan perilaku positif selalu terjadi menyusul perlakuan (pemberian imbalan), maka dapat disimpulkan bahwa perlakuan itulah yang menyebabkan bertambahnya perilaku positif dan berkurangnya perilaku agresif.
c. Desain Campuran
Dalam desain ini teknik eksperimental dan teknik korelasi digabung. Sebagai contohnya rancangan penelitian yang dikemukakan Davidson & Neale pada tahun 1990 (Dalam Phares, 1992) ialah penelitian mengenai efektivitas tiga jenis terapi pada penderita gangguan psikiatrik tertentu. Bila pasien untuk masing-masing jenis terapi tersebut, dianggap sebagai masing-masing satu kelompok maka salah satu jenis terapi itu mungkin terlihat lebih berhasil. Namun bila pasien dalam tiga jenis terapi itu dibedakan dalam kelompok dengan gangguan parah dan gangguan ringan, maka kesimpulannya bisa berbeda untuk tiap kelompok itu (Phares, 1992, hlm. 117).
0 komentar:
Posting Komentar