Nama
awal dari gangguan ini adalah dementia praecox yang dikemukakan
oleh Emil Kraepelin, lalu kemudian dinamakan skizofrenia oleh Eugen Bleuler. Skizofrenia
dicirikan dengan waham atau delusi, halusinasi, pikiran yang tidak logis,
pembicaraan yang tidak koheren, dan perilaku yang aneh. Selain itu, penderita
skizofrenia mungkin memiliki emosi dan perasaan hanya saja mereka kehilangan
dan tidak mampu untuk merealisasikannya dalam bentuk respon emosional yang
tepat. Perbedaan penderita skizofrenia dengan penderita kepribadian ganda yaitu
sebagai berikut :
Penderita skizofrenia mengalami perpecahan dalam
fungsi kognisi, afeksi, dan psikomotornya, karena pecahnya fungsi otak tersebut
menimbulkan respon yang inkoheren dan ketidakmampuan dalam mengintegrasikan
fungsi psikisnya.
Pada penderita kepribadian ganda, mengalami
pecahnya fungsi kepribadian. Meskipun kepribadian penderitanya mengalami
perpecahan menjadi lebih dari satu, tetapi kepribadian-kepribadian tersebut
mesing-masing masih menunjukkan integritas kepribadian dalam fungsi afeksi,
kognisi, dan psikomotornya.
Eugen
Bleuler mengajukan empat simtom primer penderita skizofrenia, yaitu :
Hubungan asosiatif antarpikiran mengalami
gangguan.
Afeknya menjadi datar atau tidak sesuai.
Penderita skizofrenia mengalami ambivalensi
perasaan terhadap orang lain.
Sedangkan
menurut Kurt Schneider, diagnosis skizofrenia dicirikan dengan adanya :
Simtom peringkat utama, yaitu waham dan
halusinasi.
Simtom peringkat kedua, misalnya gangguan mood.
Menurut
DSM-IV (APA, 2000) diagnosis skizofrenia dicirikan sebagai berikut :
Kondisi-kondisi yaitu waham, halusinasi,
inkoherensitas pembicaraan, katatonik, dan gangguan afek secara signifikan
muncul selama minimal sebulan.
Fungsi pada bidang-bidang seperti hubungan
sosial, pekerjaan, atau perawatan diri selama perjalanan penyakit secara nyata
berada di bawah tingkatan yang dapat dicapai sebelum munculnya gangguan.
Apabila gangguan muncul pada masa kanak-kanak atau remaja, terdapat suatu
kegagalan dalam mencapai tingkat perkembangan sosial yang seharusnya.
Tanda-tanda gangguan nyata terjadi secara
kontinuitas selama setidaknya 6 bulan, dan selama itu harus mencapai fase aktif
setidaknya sebulan dimana tierjadi simtom waham, halusinasi, inkoherensitas
pembicaraan, katatonik, dan gangguan afek.
Gangguan bukan karena penggunaan zat-zat
tertentu.
Ada
beberapa bentuk-bentuk gangguan psikotik lainnya, yaitu :
1) Gangguan
Psikotik Singkat, berlangsung satu hingga satu bulan dan ditandai dengan
minimal satu ciri yaitu halusinasi, waham, inkoherensitatif pembicaraan dan
perilaku, dan katatonik.
2) Gangguan
Skizofreniform, yang identik dengan skizofrenia, dikategorikan setelah simtom
muncul minimal sebulan dan maksimal 6 bulan. Sedangkan skizofrenia
dikategorikan setelah simtom minimal 6 bulan terjadi secara persisten.
3) Gangguan
Delusi, yang diberikan pada seseorang yang mengalami waham yang persisten dan
jelas yang acapkali meliputi topik-topik paranoid. Perilaku inidvidu tidak
menunjukkan bukti adanya keanehan atau keganjilan sebagaimana dalam
skizofrenia. Hanya saja, pikiran penderitanya menjadi kacau seperti penderita
skizofrenia. Waham terealisasi dalam persepsi, pikiran, dan dan kepercayaan.
Ada 7 macam gangguan delusi, yaitu :
ü
Jenis Erotomanik, dimana delusinya yaitu bahwa
orang dengan status sosial yang lebih tinggi jatuh cinta pada penderita.
ü
Jenis Grandiose, dimana delusinya yaitu bahwa
penderita memiliki keyakinan bahwa dirinya mempunyai hubungan khusus dengan
Tuhan atau orang terkenal.
ü
Jenis Cemburu, dimana delusinya yaitu bahwa
kekasih atau pasangan hidupnya tidak setia pada dirinya.
ü
Jenis Persekusi, dimana penderitanya mengalami
delusi dengan gambaran adanya konspirasi yang menentang dirinya, diikuti,
dimata-matai, dan sejenisnya.
ü
Jenis Somatik, dimana delusinya yaitu bahwa
dirinya yakin bahwa dirinya mengalami sesuatu yang mal atau kerusakan, atau
penyakit tanpa adanya bukti yang riil.
4) Gangguan
Spektrum Skizofrenia, yang meliputi gangguan yang bervariasi tingkat
keparahannya mulai dari skizoid hingga skizofrenia itu sendiri. Salam satunya
adalah skizoafektif yang ditandai dengan pencampuran simtom termasuk ciri
psikotik layaknya skizofrenia (waham dan halusinasi), bersama dengan gangguan
utama dari mood misalnya depresi mayor.
Skizofrenia
biasanya berkembang pada masa akhir remaja atau dewasa awal (Cowan &
Kandel, 2001; Harrop & Trower, 2001). Semaikin lama penderita skizofrenia
akan semakin terlepas dari lingkungan sosialnya, karena gagal berfungsi
sebagaimana peran mereka dalam lingkungan sosialnya. Adanya hal ini menimbulkan
pengurangan rasa toleran pada penderita skizofrenia. Mereka semakin
terkucilkan. Meskipun munculnya pada akhir remaja atau dewasa awal, tetapi
gejala awal biasanya muncul pada usia ± 25 tahun (Keith, Regier, & Rae,
1991). Mulanya gejala muncul dengan ditandai penurunan fungsi individu yang
mungkin butuh bertahun-tahun untuk memunculkan perilaku psikotiknya. Periode
ini disebut Fase Prodromal. Episode akut yang mungkin saja
terjadi secara berkala selama rentang hidup penderita. Fase ini ditandai dengan
adanya waham dan halusinasi. Kemudian diantara epsiode yang akut tersebut ada Fase
Residual dimana simtom yang muncul sama dengan simtom pada fase
prodromal.
Mengenai
kecenderungan antargender, antarkultur, dan antarusia dalam hal skizofrenia,
berikut adalah gambaran umumnya :
Kecenderungan lebih tinggi pada lelaki,
dibandingkan dengan perempuan.
Perempuan cenderung mengalaminya pada usia 25 –
30 tahun.
Laki-laki cenderung mengalaminya pada usia 15 –
25 tahun.
Perjalanan penyakitnya cenderung memprihatinkan
lebih pada laki-laki. Mengapa ?. Dalam hal ini, dijelaskan berikutnya.
Dalam sejarah penyakitnya, kebudayaan timur
lebih cenderung mengalami halusinasi dan waham (Ndetei, & Vadher, 1984).
Hal ini disebabkan fakta bahwa budaya timur lebih menekankan pada perasaan dan
olah rasa, sedangkan budaya barat cenderung menekankan pada logika dan
rasionalitas. Waham dan halusinasi nampaknya lebih berhubungan dengan budaya
timur yang lebih mengarah pada olah perasaan ketimbang rasio dan logika.
Beberapa
ciri utama pada penderita skizofrenia yaitu bahwa ia mengalami :
Gangguan dalam pikiran dan pembicaraan yang
tidak koherentif.
Gangguan pada isi pikiran yang mencakup waham
dan halusinasi.
Gangguan dalam bentuk pikiran, dimana penderita
skizofrenia cenderung tidak logis. Selain itu, juga mencakup organisasi,
pemrosesan, kelonggaran dalam asosiasi, pikiran yang kacau balau, dan kendali
pikiran yang terganggu. Penderita skizofrenia dasarnya mengalami juga :
ü
Neologisme, dimana ucapan mereka tidak dipahami
orang lain.
ü
Preseverasi, dimana pengulangan kata terjadi
secara tidak sesuai.
ü
Clanging, yaitu merangkaikan kata-kata
berdasarkan irama atau rima verbal.
Ketidakmampuan dalam konsentrasi atau pemusatan
perhatian. Hal ini dikerenakan penderita skizofrenia mengalami kesulitan dalam
hal menyaring informasi stimulus yang tidak relevan dan yang relevan, sehingga
informasi yang tidak relevan menjadi pengganggu dalam pikiran mereka, mungkin
saja ini disebabkan kerusakan genetis mencakup kerusakan pada otak (Grady,
1997a).
Gangguan gerakan bola mata. Hal ini dikarenakan
kerusakan pada proses involunter di otak yang berfungsi mengatur perhatian
visual seseorang. Masih diduga juga ini melibatkan peran gen dalam gangguan
gerakan penelusuran bola mata ini (Sweeney, dkk, 1994).
Kekurangan dalam Event-Related Potentials (ERP).
Ini melibatkan kerusakan pada pola aktivitas neurotransmitter dan pola
gelombang pada otak, dimana terjadi muatan sensoris yang berlebihan.
Gangguan Persepsi. Ini diasumsikan penyebabnya
yaitu kerusakan pada bagian otak tertentu yang saling terkait fungsinya (dalam
hal mempersepsikan) sehingga otak menciptakan realitasnya sendiri yang berbeda.
Gangguan Emosi, dimana penderita skizofrenia
memiliki afek yang tidak sesuai ataupun datar terhadap stimulus luar dan
internal. Terkadang mereka tertawa disaat sedih. Hal ini bukan berarti mereka
tidak mampu merasakan emosi, melainkan mereka diasumsikan juga merasakan emosi
itu, hanya saja mereka kehilangan kemampuan dalam mengekspresikan afeknya. Ini
berkaitan dengan kerusakan pada sistem otak mungkin saja pada korteks
prefrontalisnya.
Hendaya Inisiatif, dan komunikasi interpersonal.
Hendaya pada perilaku yang sesuai.
Jenis-jenis
skizofrenia dalam DSM-IV ada tiga tipe yaitu :
1) Tipe
Disorganitatif. Tipe ini ditandai dengan perilaku yang tak terorganisasi, waham
yang aneh, dan respon yang kurang terhadap lingkungannya. Mereka mungkin
bergerak-gerak dan tertawa-tawa tanpa alasan yang jelas. Jelas ini mengalami
gangguan afek.
2) Tipe
Katatonik. Tipe ini ditandai dengan gangguan pada aktivitas motorik, seperti
stupor katatonik. Mereka umumnya mengalami waxy flexibility yaitu statis pada
posisi tertentu yang umumnya sukar dilakukan oleh orang normal. Hal ini bisa
berlangsung berjam-jam.
3) Tipe
Paranoid. Tipe ini ditandai dengan waham dan halusinasi audiotoris yang sering
terjadi. Perilaku mereka cenderung wajar dan terlihat normal, gangguan terlihat
pada reaksinya terhadap waham dan halusinasi yang dialaminya.
Diatas
sebelumnya telah penulis singgung ciri dan gangguan skizofrenia, dalam
berikutnya akan dijelaskan pandangan berbagai point of view dalam memandang skizofrenia. Berikut adalah
penjelasannya.
1)
Teoretis
Psikoanalisis.
Dalam
pandangan ini, penderita skizofrenia dibanjiri dengan dorongan-dorongan seksual
primitif yang berasal dari id. Ini kemudian berkembang menjadi konflik
intrapsikis yang kuat. Kerusakan pada fungsi ego disebabkan adanya konflk yang
kuat ini, dan oleh karena rusaknya fungsi ego ini realitas dunia dan diri
mengalami putus hubungan sehatnya dan menimbulkan waham dan halusinasi. Hubungan
yang buruk antara ibu dan anak mungkin mendorong penarikan diri anak dan
permusuhan, kemudian anak mengembangkan defense mechanismnya dengan
membentuk dunia fantasi pribadinya sendiri yang berbeda dengan realitas. Pendekatan
terapi psikodinamika Freudian terhadap pasien skizofrenia mungkin dilakukan
untuk membantu menemukan asal penyebab gangguannya sehingga dapat dilakukan penanganan
yang sesuai. Asosiasi bebas dapat dilakukan untuk menemukan penyebab
gangguan skizofrenia tersebut.
2)
Teoretis
Biokimia.
Teoretis
biokimia dan kedokteran mengasumsikan adanya gangguan pada otak dan faktor
genetika dalam menjelaskan gangguan ini. Skizofrenia cenderung menurun dalam
hubungan biologis atau keluarga. Prevalensi akan semakin besar untuk mengidap
gangguan ini jika seseorang semakin dekat dalam hubungan genetis keturunan
dengan penderita skizofrenia. Kembar satu telur lebih memiliki prevalensi yang
tinggi ketimbang kembar dua telur (Onstad, dkk, 1991). Selain itu, juga
berhubungan dengan usia orang tua saat melakukan konsepsi berperan dalam
kemunculan skizofrenia. Prevalensi akan semakin besar dalam kondisi usia yang
jauh lebih tua saat melakukan konsepsi (Fertilisasi). Teori Dopamin menjelaskan
pada penderita skizofrenia terjadi terlalu aktifnya reseptor dopamin yang
terletak di postsynpatic neuron dimana molekul dopamin terikat (Haber &
Fudger, 1997). Secara umum, bukti menjelaskan adanya
ketidakteraturan pada jalur saraf di otak yang memanfaatkan dopamin
(Maedor-Woodruff, dkk, 1997).
Mengenai
adanya infeksi virus tertentu dalam skizofrenia masihlah bersifat dugaan
sementara. Meskipun ini terbukti, penderita skizofrenia hanya sedikit yang
mendapatkan penyakitnya dari viru tersebut. Yang pasti adanya kerusakan pada
otak jelas mendukung asumsi skizofrenia. Kerusakan otak ditemukan terjadi
dengan pembesaran ventrikel di otak yang menandai hilangnya jaringan otak
tertentu pada korteks prefrontalis. Asumsi lainnya yaitu terjadi infeksi virus
pada masa prenatal, nutrisi janin yang buruk, kerusakan genetis, trauma
kelahiran, berkurangnya aktivitas gelombang otak (ERP) pada korteks
prefrontalis yang mengatur proses berpikir dan pengaturan otak. Bagian inilah
yang juga mengatur fungsi kognitif dan emosional. Terapi yang diajukan teoretis
ini yaitu dengan menggunakan obat antipsikotik (neuroleptis) yang bertujuan
untuk menormalkan reseptor dopamin yang terlalu aktif pada penderita
skizofrenia, sehingga mengurangi tingkat aktivitas dopamin (Kane, 1996). Konsekuensinya,
Neoruleptis menghambat transmisi berlebihan dari impuls-impuls neuron yang
dapat meningkatkan perilaku skizofrenia.
3)
Teoretis
Behaviorisme dan Belajar.
Perspektif
teoretis perilaku keluarga menjelaskan ibu yang dingin, angkuh, overprotektif,
dan mendominasi memungkinkan menghilangkan kepercayaan, melumpuhkan kemandirian
dan memaksa ketergantungan anak pada ibunya. Anak yang didik serupa ini
memiliki kecenderungan yang tinggi terkena gangguan skizofrenia, apalagi
ditambah dengan ayah yang tidak mampu menetralkan perilaku tersebut. Komunikasi
double
blind dalam keluarga terutama antara ibu dan anaknya, rupanya
berkontribusi juga. Kondisi keluarga seperti ini dapat meningkatkan resiko tersebut.
Keluarga yang kaku dan pola ekspresi emosi yang tinggi dapat menjadi sumber
stress yang potensial. Terapi yang dapat dilakukan yaitu dengan modifikasi
perilaku agar mengembangkan perilaku yang efektf dalam lingkungannya. Model
terapinya yaitu :
Pemberian
Reinforcement secara selektif terhadap perilaku tertentu yang diharapkan.
Pelatihan
keterampilan sosial yang sesuai dengan prinsip belajar. Pelatithan ini mencakup
program yang membantu individu memperoleh sejumlah keterampilan sosial dan
vokasional. In dilakukan demi menigkatkan fungsi adaptif individu (Hunter,
Bedell, & Corrigan, 1997).
Penerapan Terapi Modelling.
Melakukan
rehabilitasi sosial penderita skizofrenia. Hal ini bertujuan agar penderita
skizofrenia menemukan tempatnya di dalam masyarakat.
4)
Teoretis
Model Diatesis-Stress.
Zubin
dan Spring (1977) mengemukakan bahwa skizofrenia sebagai interaksi atau
kombinasi dari diatesis dalam bentuk predisposisi genetis untuk berkembangnya
gangguan, dengan stress lingkungan yang melebihi ambang stress atau coping
individu. Adanya kombinasi antara genetis dan lingkungan dalam hal ini.
Kerusakan struktural pada otak meliputi gangguan neurotransmitters. Skizofrenia
cenderung berkembang pada masa remaja akhir atau dewasa awal ketika individu
mengalami tekanan yang berhubungan dengan tantangan perkembangan yang berkaitan
dengan pemerolehan kemandirian dan penemuan sebuah peran dalam kehidupan.
Stress psikososial mempeburuk simtom yang ada sehingga meningkatkan resiko
kambuhnya (King, & Dixon, 1997). Faktor-faktor lingkungan tertentu misalnya
pola asuh yang baik mempunyai peran penting dalam hal mencegah perkembangan
gangguan tersebut. Intinya model ini menekankan bahwa kerentanan bawaan genetis
skizofrenia yang didukung oleh faktor stress potensial dari lingkungan
sosialnya dan faktor pelindung sosial yang rendah dapat menyokong perkembangan
gangguan skizofrenia. Terapi dapat
dilakukan untuk mempertahankan hubungan antara penderita gangguan skizofrenia
dan lingkungannya. Perlunya dukungan sosial sangat menyokong penyembuhan
skizofrenia itu sendiri. Inti terapinya yaitu mengatasi faktor stress potensial
dan menguatkan faktor pelindung potensialnya.
0 komentar:
Posting Komentar