Rabu, 15 Agustus 2012

Gangguan Disosiatif, Gangguan Buatan, dan Gangguan Somatoform




I.          Gangguan disosiatif (dissociative disorder)
Adalah sebuah kelompok gangguan yang ditandai adanya suatu kekacauan atau disosiasi dari fungsi identitas, ingatan, atau kesadaran. Gangguan disosiatif mayor mencakup gangguan identitas disosiatif, amnesia disosiatif, fugue disosiatif, dan gangguan depersonalisasi. Dalam setiap kasus, terdapat suatu gangguan atau disosiasi (perpecahan) pada fungsi-fungsi identitas, ingatan, atau kesadaran yang dalam keadaan normal membuat diri kita menjadi satu kesatuan.
A.   Gangguan Identitas Disosiatif atau Kepribadian Ganda
Adalah suatu gangguan disosiatif dimana seseorang memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda atau kepribadian pengganti. Pada gangguan identitas disosiatif, acapkali disebut sebagai “kepribadian terpecah”, dua atau lebih kepribadian yang masing-masing memiliki trait dan ingatan yang terdefinisikan secara baik, yang menempati tubuh satu orang. Mereka bisa sadar atau tidak sadar akan keberadaan satu dengan yang lainnya. Dalam beberapa kasus, yang tidak dipublikasikan, kepribadian pengganti (disebut juga kepribadian alter) bahkan dapat menunjukkan rekaman EEG, reaksi alergi, dan respon terhadap pengobatan yang berbeda. Juga, hasil pemeriksaan mata dan besar pupil yang berbeda.
Pada beberapa kasus, kepribadian tuan rumah (utama) mungkin tidak sadar akan kehadiran identitas lainnya, sementara kepribadian lainnya sadar akan keberadaan si tuan rumah. Pada kasus-kasus lainnya, kepribadian-kepribadian yang berbeda benar-benar tidak sadar satu sama lain. Acapkali kedua kepribadian bersaing untuk mendapatkan kontrol terhadap orang tersebut. Terkadang ada satu kepribadian dominan atau inti dan ada dua atau lebih kepribadian subordinat. Beberapa dari kepribadian pengganti (kepribadian alter) umumnya mencakup anak-anak dari beragam usia, remaja dengan jenis kelamin berbeda, pekerja seks komersial, serta laki-laki homoseksual dan wanita lesbian. Beberapa kepribadian dapat menunjukkan simtom-simtom psikosis putus dari realitas yang diekspresikan dalam bentuk halusinasi dan pola pikir delusional.
Kepribadian yang dominan sering tidak menyadari keberadaan kepribadian-kepribadian alter. Hal ini sepertinya menunjukkan bahwa mekanisme disosiatif dikontrol oleh proses-proses ketidaksadaran. Meskipun kepribadian dominan tidak menyadari mengenai keberadaan kepribadian lainnya, ia dapat samar-samar merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Bahkan mungkin terjadi “persaingan interpersonalitas” dimana satu kepribadian ingin memusnahkan kepribadaian yang lainnya. Meskipun wanita merupakan mayoritas kasus dari kepribadian ganda, proporsi dari laki-laki yang didiagnosis memiliki gangguan tersebut telah mengalami peningkatan. Wanita yang menderita gangguan tersebut cenderung memiliki lebih banyak identitas pengganti dimana rata-rata 15 atau lebih daipada laki-laki, yang rata-rata sekitar 8 identitas (APA, 2000).
Ciri-ciri dari gangguan identitas disosiatif (sebelumnya disebut kepribadian ganda), yaitu :
*      Sedikitnya dua kepribadian yang berbeda ada dalam diri seseorang, dimana masing-masing memiliki pola yang relatif kekal dan berbeda dalam memersepsikan, memikirkan dan berhubungan dengan lingkungan serta self.
*      Dua atau lebih dari kepribadian ini secara berulang mengambil kontrol penuh atas perilaku individu itu.
*      Ada kegagalan untuk mengingat kembali informasi pribadi penting yang terlalu substansial untuk dianggap sebagai mekanisme lupa biasa.
*      Ganguan ini tidak terjadi akibat efek dari zat psikoaktif atau kondisi medis umum.
B.    Amnesia Disosiatif
Adalah suatu gangguan disosiatif dimana seseorang mengalami kehilangan ingatan tanpa sebab organis yang dapat teridentifikasi. Amnesia disosiatif  adalah tipe yang paling umum dari gangguan disosiatif. Amnesia berasal dari kata Yunani a-, berarti tanpa, dan mnasthai, berarti untuk mengingat. Dalam amnesia disosiatif (dissociative amnesia), sebelumnya disebut amnesia psikogenik, orang menjadi tidak mampu menyebutkan kembali informasi pribadi yang penting, biasanya melibatkan pengalaman yang traumatis atau penuh tekanan, dalam bentuk yang tidak bisa dianggap sebagai lupa biasa. Kehilangan ingatan ini tidak disebabkan oleh penyebab organik tertentu, seperti kerusakan pada otak atau kondisi medis tertentu, dan juga bukan efek langsung dari obat-obatan atau alkanol. Ingatan yang hilang dalam amnesia disosiatif dapat kembali,  meskipun gangguan ini bisa berlangsung selama beberapa hari, minggu atau bahkan bertahun-tahun. Mengingat kembali dalam amnesia disosiatif dapat terjadi secara bertahap, tetapi sering kali muncul secara tiba-tiba dan spontan. Kebanyakan kasus dari amnesia disosiatif mengambil bentuk amnesia terlokalisasi dimana peristiwa yang terjadi dalam suatu periode waktu tertentu hilang dari ingatan.
Bentuk lain dari amnesia disosiatif mencakup amnesia selektif dan amnesia menyeluruh. Dalam amnesia selektif, orang lupa hanya pada hal-hal khusus yang mengganggu yang  terdapat dalam suatu periode waktu tertentu. Dalam amnesia menyeluruh, orang melupakan seluruh kehidupannya meliputi siapa dirinya ?, apa pekerjaannya ?, dan dimana tempat tinggalnya ?. Orang dengan amnesia menyeluruh tidak dapat mengingat informasi pribadi, tapi cenderung untuk tetap mempertahankan kebiasaan, selera, dan keterampilan mereka. Orang dengan amnesia selektif biasanya lupa pada peristiwa atau periode kehidupan yang traumatis yang membangkitkan emosi negatif yang kuat seperti ketakutan serta rasa bersalah. Pura-pura mengaku amnesia sebagai suatu cara menghindari tanggung jawab disebut malingering, yang mencakup usaha untuk menirukan simtom terkait atau membuat pengakuan palsu demi keuntungan pribadi.
C.     Fugue Disosiatif
Adalah suatu gangguan disosiatif dimana seseorang tiba-tiba pergi dari lingkupan kehidupannya, melakukan perjalanan kelokasi baru, dengan mengasumsikan identitas baru dan mengalami amnesia untuk hal-hal pribadi. Fugue berasal dari bahasa latin fugere, yang berarti melarikan diri. Kata fugitive (pelarian/ buronan) memiliki asal kata yang sama fugue sama seperti amnesia dalam pelarian. Dalam fugue disosiatif (dissociative fugue), sebelumnya disebut fugue psikogenik, penderita melakukan perjalanan secara tiba-tiba tanpa diduga sebelumnya dari rumah atau tempat kerjanya, ia tidak mampu mengingat kembali informasi personal yang sudah-sudah, dan menjadi bingung akan identitasnya atau mengasumsikan identitas yang baru (baik secara sebagian atau secara lengkap). Selain perilaku yang aneh ini, orang tersebut dapat terkesan normal dan tidak menunjukkan tanda-tanda lain dari gangguan mental. Orang tersebut mungkin tidak memikirkan tentang masa lalu, atau mungkin melaporkan masa lalu yang penuh dengan memori yang salah tanpa menyadari bahwa memori itu salah. Hal yang utama disini yaitu bahwa disosiasi dalam tahap fugue melindungi seseorang dari ingatan traumatis atau sumber pengalaman maupun konflik lain yang menyakitkan secara emosi, yang diyakini oleh perspektif psikodinamik sebagai upaya pertahanan ego. Fugue juga sulit dibedakan dari malingering.
D.   Gangguan Depersonalisasi
Adalah perasaan ketidaknyataan atau keterpisahan dari self atau dari tubuhnya sendiri. Depersonalisasi (depersonalization) mencakup kehilangan atau perubahan temporer dalam perasaan yang biasa mengenai realitas diri sendiri. Dalam suatu tahap depersonalisasi, orang merasa terpisah dari dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Penderita mungkin merasa seperti sedang bermimpi atau bertingkah laku seperti robot. Derealisasi adalah kehilangan perasaan realitas terhadap lingkungan sekitar, dialami dalam bentuk perubahan yang aneh pada lingkungan atau pada periode waktu. Derealisasi (derealization) adalah suatu perasaan tidak riil  mengenai dunia luar yang mencakup perubahan yang aneh dalam persepsi mengenai lingkungan sekitar, atau dalam perasaan mengenai jangka waktu juga dapat muncul. Gangguan depersonalisasi adalah suatu gangguan yang ditandai oleh episode yang persisten atau berulang dari depersonalisasi. Ciri-ciri diagnostik dari gangguan depersonalisasi, yaitu :
*      Pengalaman yang berulang atau persisten dari depersonalisasi, yang ditandai oleh perasaan terpisah dari proses mental atau tubuh seseorang, seakan-akan seseorang menjadi pengamat luar dari dirinya sendiri. Pengalaman ini dapat memiliki karakteristik seperti mimpi.
*      Individu tersebut mampu mempertahankan pengujian realitas, contohnya, membedakan kenyataan dari ketidaknyataan saat keadaan depersonalisasi.
*      Pengalaman depersonalisasi menyebabkan distress atau hendaya pribadi yang signifikan pada satu atau lebih area fungsi yang penting, seperti fungsi sosial atau pekerjaan individu.
*      Pengalaman depersonalisasi tidak dapat dimasukkan ke dalam gangguan lain atau tidak merupakan efek langsung dari obat-obatan, alkanol, atau kondisi medis tertentu.
II.     Sudut Pandang Teoritis
*      Pandangan psikodinamis. Amnesia disosiatif dapat menjadi suatu fungsi adaptif dengan cara memutus atau mendisosiasi alam sadar seseorang dari kesadaran akan pengalaman traumatis atau sumber-sumber lain dari nyeri maupun konflik psikologis. Bagi teoretikus psikodinamis, gangguan disosiatif melibatkan penggunaan represi secara besar-besaran, yang menghasilkan terpisahnya impuls yang tidak dapat diterima dan ingatan yang menyakitkan dari kesadaran seseorang. Dalam amnesia dan fugue disosiatif, ego melindungi dirinya sendiri dari kebanjiran kecemasan dengan mengeluarkan ingatan-ingatan yang mengganggu atau dengan mendisosiasi impuls menakutkan yang bersifat seksual dan agresif. Pada kepribadian ganda, orang mungkin mengekspresikan impuls-impuls yang tidak dapat diterima ini melalui pengembangan kepribadian pengganti. Pada depersonalisasi, orang berada di luar dirinya sendiri, aman dengan cara menjauh dari pertarungan emosional di dalam dirinya.
*      Pandangan Kognitif dan Belajar. Teoretikus belajar dan kognitif memandang disosiasi sebagai suatu respon yang dipelajari yang meliputi proses tidak berpikir tentang tindakan atau pikiran yang mengganggu dalam rangka menghindari rasa bersalah dan rasa malu yang ditimbulkan oleh pengalaman-pengalaman tersebut. Spanos percaya bahwa gangguan identitas disosiatif merupakan suatu bentuk permainan peran yang dikuasai melalui observasi, yang melibatkan proses pembelajaran dan reinforcement.
*      Eklektisitas Perspektif. Meskipun memiliki konseptualisasi yang berbeda akan fenomena disosiatif, para psikolog menyadari bahwa penyiksaan di masa kecil sering memegang peranan penting. Pandangan yang paling banyak dianut dari gangguan identitas disosiatif adalah bahwa gangguan tersebut mewakili sebuah cara untuk mengatasi (coping) dan selamat dari penyiksaan masa kecil yang berat dan berulang, yang pada umumnya dimulai sebelum usia 5 tahun. Anak yang mengalami penyiksaan berat dapat memiliki kepribadian alter sebagai pertahanan psikologis menghadapi penyiksaan yang tak tertahankan. Pembentukan kepribadian alter ini memberi jalan bagi anak-anak seperti itu untuk secara psikologis menyelamatkan diri atau menjauhkan diri dari penderitaan mereka.
III.    Penanganan Terhadap Gangguan Disosiatif
Pada kasus-kasus seperti amnesia, fugue dan depersonalisasi, klinisi biasanya berfokus pada penanganan kecemasan atau depresinya. Untuk gangguan identitas disosiatif, penelitian secara khusus berfokus pada usaha mengintegrasikan keperibadian alter menjadi sebuah struktur kepribadian yang kohesif. Psikoanalisis berusaha membantu orang yang menderita gangguan identitas disosiatif untuk mengungkapkan dan belajar mengatasi trauma-trauma masa kecil. Mereka sering merekomendasikan membangun kontak langsung dengan kepribadian-kepribadian alter.
IV.    FACTITIOUS DISORDER (GANGGUAN BUATAN)
Dalam gangguan ini, penderita dengan sengaja membuat gejala medis dan mental, serta memalsukan sejarah dan gejalanya dengan tujuan mendapatkan peranan orang sakit. Perilaku memiliki kualitas kompulsif, menimbulkan gejala dengan disengaja (volunter), dan memiliki tujuan walaupun penderita tidak dapat mengontrolnya. Gangguan ini sering ditemukan pda pria. Menurut psikodinamika faktor penyebabnya sangat sulit ditemukan karena penderita sulit untuk dilibatkan dalam proses psikoterapi eksploratif. Hal ini disebabkan penderita beranggapan bahwa gejala yang ada secara fisik, sehingga pendekatan yang berorientasi psikologis akan diabaikan. Penderita mendapatkan penyiksaan dan penelantaran pada masa anak yang menyebabkan seringnya perawatan RS selama perkembangan awal. Perawat, dokter menjadi figur pengganti orangtua yang menolak. Mekanisme pertahanan diri yang terjadi adalah represi, identifikasi dengan agresor, regresi, dan simbolisasi. Kriteria Diagnostik Gangguan Buatan yaitu :
a)      Gajala dimunculkan secara sengaja atau dibuat-buat tanda, atau gejala fisik, atau psikologis.
b)      Motivasi perilaku untuk mendapatkan peranan sakit (sickrole).
c)       Tidak mendapatkan keuntungan eksternal untuk perilaku (tujuan ekonomi, menghindari tanggung jawab atau memperbaiki kesejahteraan fisik seperti pada pura-pura.
Tanda dan gejala psikologis yang menonjol jika simtom psikologis menguasai gambaran klinis. Tanda dan gejala fisik yang menonjol jika simtom fisik menguasai gambaran klinis. Kombinasi tanda dan gejala psikologis dan fisik jika keduanya ditemukan tetapi tidak ada yang menguasai gambaran klinis.
V.     Gangguan Somatoform
Gangguan Somatoform merupakan gangguan yang dicirikan dengan adanya simtom fisik yang tidak ditemukan penjelasannya secara medis. Penderita somatoform merasa percaya bahwa mereka punya penyakit yang serius padahal tidak ada kelainan fisik yang ditemukan.
  1. Gangguan Konversi (Histeria Neurosis)
Adalah gangguan yang dicirikan dengan adanya satu atau lebih gejala neurologis (kebutaan, paralisis) yang tidak dapat dijelaskan oleh gangguan neurologis atau medis. Gejala  tersebut tidaklah dibuat secara sengaja. Orang tersebut tidak melakukan malingering. Simtom fisik itu biasanya timbul tiba-tiba dalam situasi yang penuh tekanan. Biasanya penderita mengalami kelumpuhan sebagian atau keseluruhan koordinasi, kejang, mati rasa, anosmia (kehilangan kemampuan membau), aphonia (kehilangan suara). Namun, gejala yang paling sering adalah paralisis, kebutaan dan mutisme. Adapun faktor penyebabnya menurut beberapa perspektif yaitu :
*      Psikoanalis; adanya represi konflik intrapsikis bawah sadar dan konversi kecemasan dalam gejala fisik. Konflik yang terjadi antara dorongan instinktif (seksual) dengan penghalangan ekspresi.
*      Behavioral; memanipulasi lingkungan untuk memberikan perhatian khusus pada penderita. Dengan penderitaan sakitnya tersebut, penderita mengendalikan lingkungan untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya.
*      Faktor Biologis; adanya hipometabolisme di hemisfer dominan dan hipermetabolisme di hemisfer nondominan dan melibatkan gangguan komunikasi hemisferis. Pada beberapa pasien ditemukan adanya gangguan serebrum yang tak jelas dalam komunikasi verbal, daya ingat, kewaspadaan, ketidaksesuaian efek dan perhatiannya.
Gambaran Klinis :
*      Gejala Sensoris :  melibatkan organ indera spesifik yang menyebabkan ketulian, dan kebutaan.
*      Gejala Motoris : kelainan pergerakan, cara berjalan, kelemahan, paralitis. Tiks dan gerakan sentakan-sentakan sering ditemukan. Pergerakan biasanya memburuk, jika ada perhatian padanya. Satu gaya berjalan penderita konversi Astasia-abasia : ataksik (tidak terkoordinasi antara otot dan otak) dan sempoyongan yang disertai oleg gerakan batang tubuh yang menyentak, iregular kasar, dan gerakan lengan yang menggelepar dan bergelombang.
*      Gejala Kejang :  adanya kejang semu (pseudoseizure). Kondisi kejang semu sulit dibedakan dengan kejang biasa.
Ciri penyerta lain :
*      Tujuan Primer   : mempertahankan konflik internal di luar kesadarn. Adnya nilai simbolik yang mewakili konflik psikologis bawah sadar.
*      Tujuan Sekunder : mendapatkan keuntungan yang nyata akibat sakit; dimaafkan, mendapat bantuan; bebas kewajiban dan situasi yang sukar, memanipulasi orang lain.
*      La Belle Indefence : sikap sombong, ketidakacuhan, pandai menahan sikap yang tidak sesuai dengan gejala serius.
Tanda-tanda Gangguan Konversi menurut DSM IV :
*      Satu atau lebih defisit mengenai fungsi motoris volunter atau sensoris yang mengarah pada kondisi medis atau neurologis.
*      Didahului konflik atau stressor psikologis.
*      Gejala tidak dibuat-buat secara sengaja.
*      Hasil pemeriksaan medis tidak ditemukan kondisi medis umum, efek zat tertentu atau perilaku kultural yang diterima secara akurat.
*      Meyebabkan penderitaan bermakna secara psikologis.
  1. Hipokondriasis
Ciri utama dari hipokondriasis adalah fokus atau ketakutan bahwa simtom fisik yang dialami seseorang merupakan akibat dari suatu penyakit serius yang mendasarinya, seperti kanker atau masalah jantung. Pada dasarnya tidak ada distorsi atau kemunduran fungsi tubuh. Penderita menginterpretasikan simtom tidak akurat dan menimbulkan rasa ketakutan yang tidak realistis terhadap simtom tersebut, walaupun tidak ditemukan penyebab medis dan menyebabkan gangguan yang bermakna dalam kehidupan sosial penderita. Orang dengan hipokondriasis tidak secara sadar berpura-pura akan simtom fisiknya. Mereka umumnya mengalami ketidaknyamanan fisik, sering kali melibatkan sistem pencernaan atau campuran antara rasa sakit dan nyeri. Biasanya dialami pada usia 20-30 tahun. Kebanyakan yang diduagnosa hipokondria juga menunjukkan tanda-tanda gangguan psikologis seperti depresi dan gangguan kecemasan.
Diagnosa tanda-tanda hipokondria:
a)      Orang memikirkan dengan ketakutan bahwa mempunyai penyakit yang serius tanpa adanya laporan medis mendukung pernyataannya.
b)      Yang menjadi pokok adalah bukannya intensitas delusi, tetapi emosi yang berada di bawah stress.
c)       Dialami selama enam bulan atau lebih.
d)      Indikasi hipokondria yang terjadi secara eksklusif dengan tanda gangguan lain.
Orang dengan hipokondriasis menjadi sangat sensitif terhadap perubahan ringan dalam sensasi fisik, seperti sedikit perubahan dalam detak jantung dan sedikit sakit serta nyeri. Padahal, kecemasan akan simtom fisik dapat menimbulkan sensasi fisik tersendiri, misalnya keringat berlebihan dan pusing bahkan pingsan. Orang yang mengalami hipokondriasis memiliki lebih lanjut kekhawatiran akan kesehatan, lebih banyak simtrom psikiatris, dan mempersepsikan kesehatan yang lebih buruk daripada orang lain.
  1. Gangguan Somatik (Somatisasi)
Gangguan Somatisasi (somatization disorder), sebelumnya dikenal sebagai Sindrom Briquet. Merupakan gangguan dengan karakteristik banyaknya keluhan atau gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya secara medis. Dibedakan dengan gangguan somatoform lainnya karena banyaknya keluhan dan melibatkan sistem organ multiple (gangguan saraf dan pencernaan). Sifat gangguan ini kronis (dialami selama beberapa tahun dan dimulai sebelum usia 30 tahun) dan disertai dengan penderitaan yang bermakna, gangguan fungsi sosial dan perilaku mencari bantuan medis berlebihan. Adapun Faktor penyebabnya yaitu :
*      Psikososial : interpretasi gejala sebagai suatu tipe komunikasi sosial yang hasilnya adalah menghindari kewajiban (melakukan hal yang tidak disenangi), mengekspresikan emosi (kebencian), simbolisasi perasaan atau kesakitan (nyeri kepala). Menurut psikoanalisis, simtom merupakan substitusi dorongan instinktif yang direpresikan. Pandangan behavioral melihat adanya proses belajar parental. Di samping itu, juga ditemukan pasien berasal dari rumah yang tidak stabil dan mengalami penyiksaan fisik.
*      Faktor Biologis : adanya gangguan pada neurologis. Faktor genetika juga dilaporkan mempunyai pengaruh munculnya gangguan somatisasi.
Kriteria diagnostik gangguan somatisasi menurut DSM IV :
*      Empat gejala nyeri; riwayat nyeri berhubungan setidaknya empat tempat atau fungsi yang berlainan (kepala, perut, punggung, sendi, dada, anggota gerak, sexual intercourse, menstruasi, urine).
*      Dua gejala gastrointestinal (mual, kembung, muntah selain kehamilan, diare ateu intoleransi terhadap jenis makanan).
*      Satu gejala seksual (kurang bergairah, ejakulasi dini, menstruasi tidak teratur).
*      Satu gejala saraf (sulit menelan, hilangnya sensasi sentuh, dissosiatif (amnesia), afonia, kebutaan, kelumpuhan dan hilang ingatan).
Penderita gangguan somatisasi mempunyai banyak keluhan dan riwayat medis yang lama dan sulit, mual, muntah (selama kehamilan), kesulitan menelan, nyeri di lengan dan tungkai, amnesia, komplikasi kehamilan dan menstruasi gejala yang paling sering. Riwayat medis digambarkan secara sepintas, samar-samar, tidak jelas, tidak konsisten, dan tidak sistematis. Penderita wanita biasanya berpakaian secara eksibisionistis, tergantung, berpusat pada diri sendiri, haus pujian, dan manipulatif. Sering disertai dengan adanya gangguan mental lainnya, termasuk depresif berat, gangguan kepribadian, adiksi zat, kecemasan umum, dan phobia.
  1. Body Dysmorphic Disorder (BDD)
Orang dengan gangguan dismorfik tubuh (Body dismorphic disorder/ BDD) sering terpaku pada kerusakan fisik yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal penampilan mereka. Mereka dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk memerikasakan diri di depan cermin dan mengambil perilaku yang ekstrem untuk mencoba memerbaiki kerusakan yang mereka persepsikan. Bahkan, bisa menjalani operasi plastik yang tidak dibutuhkan. Gangguan ini menyebabkan penderitaan yang bermakna bagi penderita, sehingga terganggu fungsi sosial dan kehidupan sehari-hari. Faktor penyebab belum banyak dipelajari. Diperkirakan adanya pengaruh kultural atau sosial yang bermakana karena penekanan konsep mengenai kecantikan yang stereotipe pada keluarga tertentu atau budaya tertentu. Pandangan psikodinamika menjelaskan adanya pengalihan konflik seksual atau emosional ke dalam bagian tubuh yang tidak berhubungan melalui defense mechanism represi, disosiasi, simbolisasi, dan proyeksi. Permasalahan banyak melibatkan kerusakan tubuh yang berhubungan dengan bagian spesifik (dagu). Kadangkala permasalahan terlihat tak jelas dan susah untuk dipahami, seperti permasalahan bentuk bibir yang aneh. Gejala penyerta yang sering adalah ide yang menyangkut diri (ideas of reference), waham yang menyangkut diri (orang lain yang membicarakan kekurangan pada tubuhnya). Hampir semua penderita menghindari pertemuan sosial dan pekerjaan, terus tinggal di rumah karena takut diteretawakan, dan beberapa kasus berusaha untuk melakukan upaya bunuh diri.
Kriteria diagnostik gangguan Somatisasi menurut DSM IV :
*      Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan sedikit anomali tubuh, maka individu akan merasakan kekhawatiran yang berlebihan.
*      Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis, fungsi sosial atau fungsi penting lainnya.
*      Tidak dapat diterangkan lebih baik dengan mental lain (ketidakpuasan bentuk dan ukuran tubuh pada anoreksia nervosa).
  1. Gangguan Nyeri
Adanya rasa nyeri pada satu atau lebih tempat yang tidak sepenuhnya disebabkan oleh kondisi medis atau neirologis nonpsikiatris. Gejala nyeri disertai penderitaan emosional dan gangguan fungsional, dan gangguan memiliki hubungan kausal yang logis dengan faktor psikologis. Nama lain dari gangguan ini yaitu : gangguan nyeri psikogenik; gangguan nyeri idiopatik, dan gangguan nyeri atipikal eufemestik. Berikut adalah pandangan beberapa perspektif mengenai faktor penyebab gangguan nyeri :
*      Psikodinamis : merupakan ekspresi simbolik dari konflik intrapsikis melalui tubuh. Beberapa penderita mengalami aleksitima yaitu kesulitan mengartikulasikan perasaan internal ke dalam kata-kata, sehingga tubuh mengekspresikan perasaan. Pengalihan masalah kedalam tubuh menjadikan penderita merasa memiliki kekuasaan untuk memenuhi kebutuhan ketergantungan. Arti simbolis dapat juga berhubungan dengan penebusan dosa, kesalahan ataupun agresi yang ditekan. Beberapa pasien sukar disembuhkan karena merasa pantas untuk menderita. Nyeri dapat berfungsi sebagai cara untuk mendapatkan cinta, hukuman kesalahan, dan cara menebus kesalahan. Pola defens mekanism yang digunakan adalah pengalihan, substitusi, dan represi.
*      Behavioral : gejala nyeri menjadi kuat jika diikuti oleh perlakuan cemas dan perhatian orang lain atau keberhasilan menghindari aktivitas yang tidak disenangi.
*      Interpersonal : cara untuk dapat memanipulasi dan mendapatkan keuntungan dalam berhubungan interpersonal, misalnya untuk menjadi anggota keluarga yang paling disayangi atau mempertahankan perkawinan yang rapuh.
*      Biologis : adanya kelainan limbik atau kelainan kimiawi pada otak.
Kriteria diagnostik gangguan somatisasi menurut DSM IV :
*      Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis merupakan pusat gambaran klinis dan cukup parah.
*      Menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis, sosial atau fungsi lainnya.
*      Adanya faktor psikologis dianggap berperan dalam onset, keparahan, bertahannya nyeri.
*      Tidak ditimbulkan secara sengaja.
*      Nyeri tidak dapat diterangkan dengan kecemasan atau gangguan psikotik dan tidak memenuhi dispareunia.
Gangguan nyeri bukan merupakan suatu kelompok yang seragam, akan tetapi simtom yang dikeluhkan sangat heterogen dengan berbagai nyeri, seperti punggung, ataupun kepala. Untuk memenuhi kriteria diagnosis gangguan nyeri diharuskan adanya faktor psikologis yang terlibat secara signifikan dalam gejala nyeri dan permasalahannya. Sering timbul keinginan-keinginan untuk melakukan pembedahan. Pasien sering menyangkal adanya faktor emosional dan menyatakan hidup dalam kebahagiaan kecuali adanya rasa nyeri. Untuk mengatasi rasa nyerinya, biasanya pasien menggunakan alkanol dan zat untuk meringankan penderitaannya.
  1. Sindrom Koro dan Dhat
Sindrom Koro (Koro Syndrome) adalah sebuah sindrom yang terkait dengan budaya yang ditemukan terutama di China dan sejumlah negara timur jauh lainnya (Sheung-Tak, 1996). Orang dengan sindrom koro takut alat genitalnya mengalami pengecilan dan masuk kedalam tubuh, yang mereka percaya dapat menyebabkan kematian. Sindrom ini diidentifikasi terutama pada pria muda, meski beberapa kasus juga dilaporkan pada wanita. Tanda-tanda fisiologis kecemasan yang mendekati proporsi panik umum terjadi, mencakup keringat yang berlebihan, tidak dapat bernapas, dan jantung berdebar-debar. Pria yang menderita koro diketahui menggunakan alat-alat mekanis, seperti sumpit, untuk mencoba mencegah penis masuk ke dalam tubuh. Sindrom Dhat (Dhat Syndrome) ditemukan diantara laki-laki muda di Asia-India dan melibatkan ketakutan yang berlebihan akan kehilangan air mani saat buang air di malam hari (Akhtar, 1988). Beberapa pria dengan sindrom ini juga percaya (secara tidak benar) bahwa air mani bercampur dengan urine dan dikeluarkan saat buang air kecil. Pria dengan sindrom dhat akan berkeliling dari satu dokter ke dokter lain mencari bantuan untuk mencegah pembuangan di malam hari atau hilangnya air mani (yang dibayangkan) yang bercampur dengan urine yang dibuang.
VI.    Treatment
1)      Psikoanalisis
Membuka dan membawa konflik ketidaksadaran yang dimulai pada masa kecil sehingga simptom-simptomnya akan hilang.
2)      Behavioral
Teoretikus Behavioris memfokuskan pada penghilangan secondary reinforcement yang mungkin berhubungan dengan keluhan fisik. Terapis behavioral dapat mengajarkan anggota keluarga untuk menghargai usaha memenuhi tanggung jawab dan mengabaikan tuntutan dan keluhan.
3)      Kognitif-Bahavioral
Pemaparan terhadap Pencegahan respons dan rekstrukturisasi kognitif. Pemaparan dapat dilakukan dengan secara sengaja memunculkan sesuatu yang ditakutinya. Dalam rekstrukturisasi kognitif, terapis menantang keyakinan klien dengan cara menyemangati mereka untuk mengevaluasi keyakinan mereka dengan bukti yang jelas. Perhatian akhir-akhir ini beralih pada pengguanaan antidepresan, terutama fluoxetine (Prozac), dalam menangani beberapa tipe gangguan somatoform. Meski kita kekurangan terapi obat yang spesifik untuk gangguan konversi.

1 komentar:

  1. Mau tanya, Untuk kasus DID.. apa penderita sering sakit kepala berat saat ingin mengingat masa lalu saat terjadi trauma??

    BalasHapus

jadwal-sholat