I.
Gangguan
disosiatif (dissociative disorder)
Adalah sebuah
kelompok gangguan yang ditandai adanya suatu kekacauan atau disosiasi dari
fungsi identitas, ingatan, atau kesadaran. Gangguan disosiatif mayor mencakup
gangguan identitas disosiatif, amnesia disosiatif, fugue disosiatif, dan
gangguan depersonalisasi. Dalam setiap kasus, terdapat suatu gangguan atau
disosiasi (perpecahan) pada fungsi-fungsi identitas, ingatan, atau kesadaran
yang dalam keadaan normal membuat diri kita menjadi satu kesatuan.
A. Gangguan
Identitas Disosiatif atau Kepribadian Ganda
Adalah suatu
gangguan disosiatif dimana seseorang memiliki dua atau lebih kepribadian yang
berbeda atau kepribadian pengganti. Pada gangguan identitas disosiatif, acapkali
disebut sebagai “kepribadian terpecah”, dua atau lebih kepribadian yang masing-masing
memiliki trait dan ingatan yang terdefinisikan secara baik, yang menempati
tubuh satu orang. Mereka bisa sadar atau tidak sadar akan keberadaan satu dengan
yang lainnya. Dalam beberapa kasus, yang tidak dipublikasikan, kepribadian
pengganti (disebut juga kepribadian alter) bahkan dapat menunjukkan rekaman
EEG, reaksi alergi, dan respon terhadap pengobatan yang berbeda. Juga, hasil
pemeriksaan mata dan besar pupil yang berbeda.
Pada beberapa
kasus, kepribadian tuan rumah (utama) mungkin tidak sadar akan kehadiran
identitas lainnya, sementara kepribadian lainnya sadar akan keberadaan si tuan
rumah. Pada kasus-kasus lainnya, kepribadian-kepribadian yang berbeda
benar-benar tidak sadar satu sama lain. Acapkali kedua kepribadian bersaing
untuk mendapatkan kontrol terhadap orang tersebut. Terkadang ada satu
kepribadian dominan atau inti dan ada dua atau lebih kepribadian subordinat.
Beberapa dari kepribadian pengganti (kepribadian alter) umumnya mencakup
anak-anak dari beragam usia, remaja dengan jenis kelamin berbeda, pekerja seks
komersial, serta laki-laki homoseksual dan wanita lesbian. Beberapa kepribadian
dapat menunjukkan simtom-simtom psikosis putus dari realitas yang diekspresikan
dalam bentuk halusinasi dan pola pikir delusional.
Kepribadian
yang dominan sering tidak menyadari keberadaan kepribadian-kepribadian alter.
Hal ini sepertinya menunjukkan bahwa mekanisme disosiatif dikontrol oleh
proses-proses ketidaksadaran. Meskipun kepribadian dominan tidak menyadari
mengenai keberadaan kepribadian lainnya, ia dapat samar-samar merasakan bahwa
ada sesuatu yang tidak beres. Bahkan mungkin terjadi “persaingan
interpersonalitas” dimana satu kepribadian ingin memusnahkan kepribadaian yang
lainnya. Meskipun wanita merupakan mayoritas kasus dari kepribadian ganda,
proporsi dari laki-laki yang didiagnosis memiliki gangguan tersebut telah
mengalami peningkatan. Wanita yang menderita gangguan tersebut cenderung
memiliki lebih banyak identitas pengganti dimana rata-rata 15 atau lebih
daipada laki-laki, yang rata-rata sekitar 8 identitas (APA, 2000).
Ciri-ciri dari gangguan
identitas disosiatif (sebelumnya disebut kepribadian ganda), yaitu :
Sedikitnya dua kepribadian yang berbeda ada
dalam diri seseorang, dimana masing-masing memiliki pola yang relatif kekal dan
berbeda dalam memersepsikan, memikirkan dan berhubungan dengan lingkungan serta
self.
Dua atau lebih dari kepribadian ini secara
berulang mengambil kontrol penuh atas perilaku individu itu.
Ada kegagalan untuk mengingat kembali informasi
pribadi penting yang terlalu substansial untuk dianggap sebagai mekanisme lupa
biasa.
Ganguan ini tidak terjadi akibat efek dari zat
psikoaktif atau kondisi medis umum.
B. Amnesia
Disosiatif
Adalah suatu
gangguan disosiatif dimana seseorang mengalami kehilangan ingatan tanpa sebab
organis yang dapat teridentifikasi. Amnesia disosiatif adalah tipe yang paling umum dari gangguan
disosiatif. Amnesia berasal dari kata Yunani a-, berarti tanpa, dan mnasthai, berarti untuk mengingat. Dalam amnesia
disosiatif (dissociative amnesia), sebelumnya disebut amnesia
psikogenik, orang menjadi tidak mampu menyebutkan kembali informasi pribadi
yang penting, biasanya melibatkan pengalaman yang traumatis atau penuh tekanan,
dalam bentuk yang tidak bisa dianggap sebagai lupa biasa. Kehilangan ingatan
ini tidak disebabkan oleh penyebab organik tertentu, seperti kerusakan pada
otak atau kondisi medis tertentu, dan juga bukan efek langsung dari obat-obatan
atau alkanol. Ingatan yang hilang dalam amnesia disosiatif dapat kembali, meskipun gangguan ini bisa berlangsung selama
beberapa hari, minggu atau bahkan bertahun-tahun. Mengingat kembali dalam
amnesia disosiatif dapat terjadi secara bertahap, tetapi sering kali muncul
secara tiba-tiba dan spontan. Kebanyakan kasus dari amnesia disosiatif
mengambil bentuk amnesia terlokalisasi dimana peristiwa yang terjadi dalam
suatu periode waktu tertentu hilang dari ingatan.
Bentuk lain
dari amnesia disosiatif mencakup amnesia selektif dan amnesia menyeluruh. Dalam
amnesia selektif, orang lupa hanya pada hal-hal khusus yang mengganggu
yang terdapat dalam suatu periode waktu
tertentu. Dalam amnesia menyeluruh, orang melupakan seluruh kehidupannya
meliputi siapa dirinya ?, apa pekerjaannya ?, dan dimana tempat tinggalnya ?.
Orang dengan amnesia menyeluruh tidak dapat mengingat informasi pribadi, tapi
cenderung untuk tetap mempertahankan kebiasaan, selera, dan keterampilan
mereka. Orang dengan amnesia selektif biasanya lupa pada peristiwa atau periode
kehidupan yang traumatis yang membangkitkan emosi negatif yang kuat seperti
ketakutan serta rasa bersalah. Pura-pura mengaku amnesia sebagai suatu cara
menghindari tanggung jawab disebut malingering,
yang mencakup usaha untuk menirukan simtom terkait atau membuat pengakuan palsu
demi keuntungan pribadi.
C. Fugue Disosiatif
Adalah suatu
gangguan disosiatif dimana seseorang tiba-tiba pergi dari lingkupan kehidupannya,
melakukan perjalanan kelokasi baru, dengan mengasumsikan identitas baru dan
mengalami amnesia untuk hal-hal pribadi. Fugue berasal dari bahasa latin fugere,
yang berarti melarikan diri. Kata fugitive (pelarian/ buronan) memiliki asal
kata yang sama fugue sama seperti amnesia dalam
pelarian. Dalam fugue disosiatif (dissociative fugue), sebelumnya
disebut fugue psikogenik, penderita melakukan perjalanan secara tiba-tiba tanpa
diduga sebelumnya dari rumah atau tempat kerjanya, ia tidak mampu mengingat
kembali informasi personal yang sudah-sudah, dan menjadi bingung akan
identitasnya atau mengasumsikan identitas yang baru (baik secara sebagian atau
secara lengkap). Selain perilaku yang aneh ini, orang tersebut dapat terkesan
normal dan tidak menunjukkan tanda-tanda lain dari gangguan mental. Orang
tersebut mungkin tidak memikirkan tentang masa lalu, atau mungkin melaporkan
masa lalu yang penuh dengan memori yang salah tanpa menyadari bahwa memori itu
salah. Hal yang utama disini yaitu bahwa disosiasi dalam tahap fugue melindungi
seseorang dari ingatan traumatis atau sumber pengalaman maupun konflik lain
yang menyakitkan secara emosi, yang diyakini oleh perspektif psikodinamik
sebagai upaya pertahanan ego. Fugue juga sulit dibedakan dari malingering.
D. Gangguan
Depersonalisasi
Adalah perasaan
ketidaknyataan atau keterpisahan dari self atau dari tubuhnya sendiri.
Depersonalisasi (depersonalization) mencakup kehilangan atau perubahan
temporer dalam perasaan yang biasa mengenai realitas diri sendiri. Dalam suatu
tahap depersonalisasi, orang merasa terpisah dari dirinya sendiri dan
lingkungan sekitarnya. Penderita mungkin merasa seperti sedang bermimpi atau
bertingkah laku seperti robot. Derealisasi
adalah kehilangan perasaan realitas terhadap lingkungan sekitar, dialami dalam
bentuk perubahan yang aneh pada lingkungan atau pada periode waktu. Derealisasi
(derealization) adalah suatu perasaan tidak riil mengenai dunia luar yang mencakup perubahan
yang aneh dalam persepsi mengenai lingkungan sekitar, atau dalam perasaan
mengenai jangka waktu juga dapat muncul. Gangguan depersonalisasi adalah suatu
gangguan yang ditandai oleh episode yang persisten atau berulang dari
depersonalisasi. Ciri-ciri diagnostik dari gangguan depersonalisasi, yaitu :
Pengalaman yang berulang atau persisten dari
depersonalisasi, yang ditandai oleh perasaan terpisah dari proses mental atau
tubuh seseorang, seakan-akan seseorang menjadi pengamat luar dari dirinya
sendiri. Pengalaman ini dapat memiliki karakteristik seperti mimpi.
Individu tersebut mampu mempertahankan pengujian
realitas, contohnya, membedakan kenyataan dari ketidaknyataan saat keadaan
depersonalisasi.
Pengalaman depersonalisasi menyebabkan distress
atau hendaya pribadi yang signifikan pada satu atau lebih area fungsi yang
penting, seperti fungsi sosial atau pekerjaan individu.
Pengalaman depersonalisasi tidak dapat
dimasukkan ke dalam gangguan lain atau tidak merupakan efek langsung dari obat-obatan,
alkanol, atau kondisi medis tertentu.
II. Sudut Pandang Teoritis
Pandangan psikodinamis. Amnesia
disosiatif dapat menjadi suatu fungsi adaptif dengan cara memutus atau
mendisosiasi alam sadar seseorang dari kesadaran akan pengalaman traumatis atau
sumber-sumber lain dari nyeri maupun konflik psikologis. Bagi teoretikus
psikodinamis, gangguan disosiatif melibatkan penggunaan represi secara
besar-besaran, yang menghasilkan terpisahnya impuls yang tidak dapat diterima
dan ingatan yang menyakitkan dari kesadaran seseorang. Dalam amnesia dan fugue
disosiatif, ego melindungi dirinya sendiri dari kebanjiran kecemasan dengan
mengeluarkan ingatan-ingatan yang mengganggu atau dengan mendisosiasi impuls
menakutkan yang bersifat seksual dan agresif. Pada kepribadian ganda, orang
mungkin mengekspresikan impuls-impuls yang tidak dapat diterima ini melalui
pengembangan kepribadian pengganti. Pada depersonalisasi, orang berada di luar
dirinya sendiri, aman dengan cara menjauh dari pertarungan emosional di dalam
dirinya.
Pandangan Kognitif dan Belajar. Teoretikus
belajar dan kognitif memandang disosiasi sebagai suatu respon yang dipelajari
yang meliputi proses tidak berpikir tentang tindakan atau pikiran yang
mengganggu dalam rangka menghindari rasa bersalah dan rasa malu yang
ditimbulkan oleh pengalaman-pengalaman tersebut. Spanos percaya bahwa gangguan
identitas disosiatif merupakan suatu bentuk permainan peran yang dikuasai
melalui observasi, yang melibatkan proses pembelajaran dan reinforcement.
Eklektisitas Perspektif. Meskipun
memiliki konseptualisasi yang berbeda akan fenomena disosiatif, para psikolog
menyadari bahwa penyiksaan di masa kecil sering memegang peranan penting.
Pandangan yang paling banyak dianut dari gangguan identitas disosiatif adalah
bahwa gangguan tersebut mewakili sebuah cara untuk mengatasi (coping) dan
selamat dari penyiksaan masa kecil yang berat dan berulang, yang pada umumnya
dimulai sebelum usia 5 tahun. Anak yang mengalami penyiksaan berat dapat
memiliki kepribadian alter sebagai pertahanan psikologis menghadapi penyiksaan
yang tak tertahankan. Pembentukan kepribadian alter ini memberi jalan bagi
anak-anak seperti itu untuk secara psikologis menyelamatkan diri atau
menjauhkan diri dari penderitaan mereka.
III. Penanganan Terhadap Gangguan Disosiatif
Pada
kasus-kasus seperti amnesia, fugue dan depersonalisasi, klinisi biasanya
berfokus pada penanganan kecemasan atau depresinya. Untuk gangguan identitas
disosiatif, penelitian secara khusus berfokus pada usaha mengintegrasikan
keperibadian alter menjadi sebuah struktur kepribadian yang kohesif. Psikoanalisis
berusaha membantu orang yang menderita gangguan identitas disosiatif untuk
mengungkapkan dan belajar mengatasi trauma-trauma masa kecil. Mereka sering
merekomendasikan membangun kontak langsung dengan kepribadian-kepribadian
alter.
IV. FACTITIOUS DISORDER (GANGGUAN
BUATAN)
Dalam gangguan
ini, penderita dengan sengaja membuat gejala medis dan mental, serta memalsukan
sejarah dan gejalanya dengan tujuan mendapatkan peranan orang sakit. Perilaku
memiliki kualitas kompulsif, menimbulkan gejala dengan disengaja (volunter),
dan memiliki tujuan walaupun penderita tidak dapat mengontrolnya. Gangguan ini
sering ditemukan pda pria. Menurut psikodinamika faktor penyebabnya sangat sulit
ditemukan karena penderita sulit untuk dilibatkan dalam proses psikoterapi
eksploratif. Hal ini disebabkan penderita beranggapan bahwa gejala yang ada
secara fisik, sehingga pendekatan yang berorientasi psikologis akan diabaikan. Penderita
mendapatkan penyiksaan dan penelantaran pada masa anak yang menyebabkan
seringnya perawatan RS selama perkembangan awal. Perawat, dokter menjadi figur
pengganti orangtua yang menolak. Mekanisme pertahanan diri yang terjadi adalah
represi, identifikasi dengan agresor, regresi, dan simbolisasi. Kriteria Diagnostik Gangguan Buatan yaitu :
a)
Gajala dimunculkan secara sengaja atau
dibuat-buat tanda, atau gejala fisik, atau psikologis.
b)
Motivasi perilaku untuk mendapatkan peranan
sakit (sickrole).
c)
Tidak mendapatkan keuntungan eksternal untuk
perilaku (tujuan ekonomi, menghindari tanggung jawab atau memperbaiki
kesejahteraan fisik seperti pada pura-pura.
Tanda dan gejala psikologis yang menonjol
jika simtom psikologis menguasai gambaran klinis. Tanda dan gejala fisik yang menonjol jika simtom fisik menguasai
gambaran klinis. Kombinasi tanda dan
gejala psikologis dan fisik jika keduanya ditemukan tetapi tidak ada
yang menguasai gambaran klinis.
V. Gangguan Somatoform
Gangguan
Somatoform merupakan gangguan yang dicirikan dengan adanya simtom fisik yang
tidak ditemukan penjelasannya secara medis. Penderita somatoform merasa percaya
bahwa mereka punya penyakit yang serius padahal tidak ada kelainan fisik yang
ditemukan.
- Gangguan Konversi (Histeria Neurosis)
Adalah gangguan
yang dicirikan dengan adanya satu atau lebih gejala neurologis (kebutaan,
paralisis) yang tidak dapat dijelaskan oleh gangguan neurologis atau medis.
Gejala tersebut tidaklah dibuat secara
sengaja. Orang tersebut tidak melakukan malingering. Simtom fisik itu biasanya
timbul tiba-tiba dalam situasi yang penuh tekanan. Biasanya penderita mengalami
kelumpuhan sebagian atau keseluruhan koordinasi, kejang, mati rasa, anosmia
(kehilangan kemampuan membau), aphonia (kehilangan suara). Namun, gejala yang
paling sering adalah paralisis, kebutaan dan mutisme. Adapun faktor penyebabnya menurut beberapa
perspektif yaitu :
Psikoanalis;
adanya represi konflik intrapsikis bawah sadar dan konversi kecemasan dalam
gejala fisik. Konflik yang terjadi antara dorongan instinktif (seksual) dengan
penghalangan ekspresi.
Behavioral;
memanipulasi lingkungan untuk memberikan perhatian khusus pada penderita.
Dengan penderitaan sakitnya tersebut, penderita mengendalikan lingkungan untuk
mencapai tujuan yang dikehendakinya.
Faktor Biologis;
adanya hipometabolisme di hemisfer dominan dan hipermetabolisme di hemisfer
nondominan dan melibatkan gangguan komunikasi hemisferis. Pada beberapa pasien
ditemukan adanya gangguan serebrum yang tak jelas dalam komunikasi verbal, daya
ingat, kewaspadaan, ketidaksesuaian efek dan perhatiannya.
Gambaran
Klinis :
Gejala Sensoris : melibatkan
organ indera spesifik yang menyebabkan ketulian, dan kebutaan.
Gejala Motoris : kelainan pergerakan, cara berjalan,
kelemahan, paralitis. Tiks dan gerakan sentakan-sentakan sering ditemukan.
Pergerakan biasanya memburuk, jika ada perhatian padanya. Satu gaya berjalan
penderita konversi Astasia-abasia : ataksik (tidak terkoordinasi antara otot
dan otak) dan sempoyongan yang disertai oleg gerakan batang tubuh yang
menyentak, iregular kasar, dan gerakan lengan yang menggelepar dan
bergelombang.
Gejala Kejang : adanya kejang semu (pseudoseizure). Kondisi
kejang semu sulit dibedakan dengan kejang biasa.
Ciri
penyerta lain :
Tujuan Primer : mempertahankan konflik internal di luar kesadarn. Adnya nilai
simbolik yang mewakili konflik psikologis bawah sadar.
Tujuan Sekunder : mendapatkan
keuntungan yang nyata akibat sakit; dimaafkan, mendapat bantuan; bebas
kewajiban dan situasi yang sukar, memanipulasi orang lain.
La
Belle Indefence : sikap sombong, ketidakacuhan, pandai menahan sikap
yang tidak sesuai dengan gejala serius.
Tanda-tanda
Gangguan Konversi menurut DSM IV :
Satu atau lebih defisit mengenai fungsi motoris
volunter atau sensoris yang mengarah pada kondisi medis atau neurologis.
Didahului konflik atau stressor psikologis.
Gejala tidak dibuat-buat secara sengaja.
Hasil pemeriksaan medis tidak ditemukan kondisi
medis umum, efek zat tertentu atau perilaku kultural yang diterima secara
akurat.
Meyebabkan penderitaan bermakna secara
psikologis.
- Hipokondriasis
Ciri utama dari
hipokondriasis adalah fokus atau ketakutan bahwa simtom fisik yang dialami
seseorang merupakan akibat dari suatu penyakit serius yang mendasarinya,
seperti kanker atau masalah jantung. Pada dasarnya tidak ada distorsi atau
kemunduran fungsi tubuh. Penderita menginterpretasikan simtom tidak akurat dan
menimbulkan rasa ketakutan yang tidak realistis terhadap simtom tersebut,
walaupun tidak ditemukan penyebab medis dan menyebabkan gangguan yang bermakna
dalam kehidupan sosial penderita. Orang dengan hipokondriasis tidak secara
sadar berpura-pura akan simtom fisiknya. Mereka umumnya mengalami
ketidaknyamanan fisik, sering kali melibatkan sistem pencernaan atau campuran
antara rasa sakit dan nyeri. Biasanya dialami pada usia 20-30 tahun. Kebanyakan
yang diduagnosa hipokondria juga menunjukkan tanda-tanda gangguan psikologis
seperti depresi dan gangguan kecemasan.
Diagnosa
tanda-tanda hipokondria:
a)
Orang memikirkan dengan ketakutan bahwa
mempunyai penyakit yang serius tanpa adanya laporan medis mendukung
pernyataannya.
b)
Yang menjadi pokok adalah bukannya intensitas
delusi, tetapi emosi yang berada di bawah stress.
c)
Dialami selama enam bulan atau lebih.
d)
Indikasi hipokondria yang terjadi secara
eksklusif dengan tanda gangguan lain.
Orang dengan
hipokondriasis menjadi sangat sensitif terhadap perubahan ringan dalam sensasi
fisik, seperti sedikit perubahan dalam detak jantung dan sedikit sakit serta
nyeri. Padahal, kecemasan akan simtom fisik dapat menimbulkan sensasi fisik
tersendiri, misalnya keringat berlebihan dan pusing bahkan pingsan. Orang yang
mengalami hipokondriasis memiliki lebih lanjut kekhawatiran akan kesehatan,
lebih banyak simtrom psikiatris, dan mempersepsikan kesehatan yang lebih buruk
daripada orang lain.
- Gangguan Somatik (Somatisasi)
Gangguan Somatisasi
(somatization disorder), sebelumnya dikenal sebagai Sindrom Briquet.
Merupakan gangguan dengan karakteristik banyaknya keluhan atau gejala somatik
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya secara medis. Dibedakan dengan gangguan
somatoform lainnya karena banyaknya keluhan dan melibatkan sistem organ multiple (gangguan saraf dan
pencernaan). Sifat gangguan ini kronis (dialami selama beberapa tahun dan
dimulai sebelum usia 30 tahun) dan disertai dengan penderitaan yang bermakna,
gangguan fungsi sosial dan perilaku mencari bantuan medis berlebihan. Adapun Faktor penyebabnya yaitu :
Psikososial : interpretasi gejala
sebagai suatu tipe komunikasi sosial yang hasilnya adalah menghindari kewajiban
(melakukan hal yang tidak disenangi), mengekspresikan emosi (kebencian),
simbolisasi perasaan atau kesakitan (nyeri kepala). Menurut psikoanalisis,
simtom merupakan substitusi dorongan instinktif yang direpresikan. Pandangan
behavioral melihat adanya proses belajar parental. Di samping itu, juga
ditemukan pasien berasal dari rumah yang tidak stabil dan mengalami penyiksaan
fisik.
Faktor Biologis : adanya gangguan pada neurologis. Faktor
genetika juga dilaporkan mempunyai pengaruh munculnya gangguan somatisasi.
Kriteria
diagnostik gangguan somatisasi menurut DSM IV :
Empat gejala nyeri; riwayat nyeri
berhubungan setidaknya empat tempat atau fungsi yang berlainan (kepala, perut,
punggung, sendi, dada, anggota gerak, sexual intercourse, menstruasi,
urine).
Dua gejala gastrointestinal (mual,
kembung, muntah selain kehamilan, diare ateu intoleransi terhadap jenis makanan).
Satu gejala seksual (kurang
bergairah, ejakulasi dini, menstruasi tidak teratur).
Satu gejala saraf (sulit menelan,
hilangnya sensasi sentuh, dissosiatif (amnesia), afonia, kebutaan, kelumpuhan
dan hilang ingatan).
Penderita gangguan
somatisasi mempunyai banyak keluhan dan riwayat medis yang lama dan sulit,
mual, muntah (selama kehamilan), kesulitan menelan, nyeri di lengan dan
tungkai, amnesia, komplikasi kehamilan dan menstruasi gejala yang paling
sering. Riwayat medis digambarkan secara sepintas, samar-samar, tidak jelas,
tidak konsisten, dan tidak sistematis. Penderita wanita biasanya berpakaian
secara eksibisionistis, tergantung, berpusat pada diri sendiri, haus pujian,
dan manipulatif. Sering disertai dengan adanya gangguan mental lainnya, termasuk
depresif berat, gangguan kepribadian, adiksi zat, kecemasan umum, dan phobia.
- Body Dysmorphic Disorder (BDD)
Orang dengan
gangguan dismorfik tubuh (Body dismorphic disorder/ BDD) sering terpaku
pada kerusakan fisik yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal
penampilan mereka. Mereka dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk
memerikasakan diri di depan cermin dan mengambil perilaku yang ekstrem untuk
mencoba memerbaiki kerusakan yang mereka persepsikan. Bahkan, bisa menjalani
operasi plastik yang tidak dibutuhkan. Gangguan ini menyebabkan penderitaan
yang bermakna bagi penderita, sehingga terganggu fungsi sosial dan kehidupan
sehari-hari. Faktor penyebab belum banyak dipelajari. Diperkirakan adanya
pengaruh kultural atau sosial yang bermakana karena penekanan konsep mengenai
kecantikan yang stereotipe pada
keluarga tertentu atau budaya tertentu. Pandangan psikodinamika menjelaskan
adanya pengalihan konflik seksual atau emosional ke dalam bagian tubuh yang
tidak berhubungan melalui defense mechanism represi, disosiasi, simbolisasi,
dan proyeksi. Permasalahan banyak melibatkan kerusakan tubuh yang berhubungan
dengan bagian spesifik (dagu). Kadangkala permasalahan terlihat tak jelas dan susah
untuk dipahami, seperti permasalahan bentuk bibir yang aneh. Gejala penyerta
yang sering adalah ide yang menyangkut diri (ideas of reference), waham
yang menyangkut diri (orang lain yang membicarakan kekurangan pada tubuhnya).
Hampir semua penderita menghindari pertemuan sosial dan pekerjaan, terus
tinggal di rumah karena takut diteretawakan, dan beberapa kasus berusaha untuk
melakukan upaya bunuh diri.
Kriteria
diagnostik gangguan Somatisasi menurut DSM IV :
Preokupasi dengan bayangan cacat dalam
penampilan. Jika ditemukan sedikit anomali tubuh, maka individu akan merasakan
kekhawatiran yang berlebihan.
Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna
secara klinis, fungsi sosial atau fungsi penting lainnya.
Tidak dapat diterangkan lebih baik dengan mental
lain (ketidakpuasan bentuk dan ukuran tubuh pada anoreksia nervosa).
- Gangguan Nyeri
Adanya rasa
nyeri pada satu atau lebih tempat yang tidak sepenuhnya disebabkan oleh kondisi
medis atau neirologis nonpsikiatris. Gejala nyeri disertai penderitaan
emosional dan gangguan fungsional, dan gangguan memiliki hubungan kausal yang logis
dengan faktor psikologis. Nama lain dari gangguan ini yaitu : gangguan nyeri
psikogenik; gangguan nyeri idiopatik, dan gangguan nyeri atipikal eufemestik.
Berikut adalah pandangan beberapa perspektif mengenai faktor penyebab gangguan
nyeri :
Psikodinamis : merupakan ekspresi
simbolik dari konflik intrapsikis melalui tubuh. Beberapa penderita mengalami
aleksitima yaitu kesulitan mengartikulasikan perasaan internal ke dalam
kata-kata, sehingga tubuh mengekspresikan perasaan. Pengalihan masalah kedalam
tubuh menjadikan penderita merasa memiliki kekuasaan untuk memenuhi kebutuhan
ketergantungan. Arti simbolis dapat juga berhubungan dengan penebusan dosa,
kesalahan ataupun agresi yang ditekan. Beberapa pasien sukar disembuhkan karena
merasa pantas untuk menderita. Nyeri dapat berfungsi sebagai cara untuk
mendapatkan cinta, hukuman kesalahan, dan cara menebus kesalahan. Pola defens
mekanism yang digunakan adalah pengalihan, substitusi, dan represi.
Behavioral : gejala nyeri menjadi kuat
jika diikuti oleh perlakuan cemas dan perhatian orang lain atau keberhasilan
menghindari aktivitas yang tidak disenangi.
Interpersonal : cara untuk dapat
memanipulasi dan mendapatkan keuntungan dalam berhubungan interpersonal,
misalnya untuk menjadi anggota keluarga yang paling disayangi atau
mempertahankan perkawinan yang rapuh.
Biologis : adanya kelainan limbik atau
kelainan kimiawi pada otak.
Kriteria
diagnostik gangguan somatisasi menurut DSM IV :
Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis
merupakan pusat gambaran klinis dan cukup parah.
Menyebabkan penderitaan yang bermakna secara
klinis, sosial atau fungsi lainnya.
Adanya faktor psikologis dianggap berperan dalam
onset, keparahan, bertahannya nyeri.
Tidak ditimbulkan secara sengaja.
Nyeri tidak dapat diterangkan dengan kecemasan
atau gangguan psikotik dan tidak memenuhi dispareunia.
Gangguan nyeri
bukan merupakan suatu kelompok yang seragam, akan tetapi simtom yang dikeluhkan
sangat heterogen dengan berbagai nyeri, seperti punggung, ataupun kepala. Untuk
memenuhi kriteria diagnosis gangguan nyeri diharuskan adanya faktor psikologis
yang terlibat secara signifikan dalam gejala nyeri dan permasalahannya. Sering
timbul keinginan-keinginan untuk melakukan pembedahan. Pasien sering menyangkal
adanya faktor emosional dan menyatakan hidup dalam kebahagiaan kecuali adanya
rasa nyeri. Untuk mengatasi rasa nyerinya, biasanya pasien menggunakan alkanol
dan zat untuk meringankan penderitaannya.
- Sindrom Koro dan Dhat
Sindrom Koro (Koro Syndrome) adalah
sebuah sindrom yang terkait dengan budaya yang ditemukan terutama di China dan
sejumlah negara timur jauh lainnya (Sheung-Tak, 1996). Orang dengan sindrom
koro takut alat genitalnya mengalami pengecilan dan masuk kedalam tubuh, yang
mereka percaya dapat menyebabkan kematian. Sindrom ini diidentifikasi terutama
pada pria muda, meski beberapa kasus juga dilaporkan pada wanita. Tanda-tanda
fisiologis kecemasan yang mendekati proporsi panik umum terjadi, mencakup
keringat yang berlebihan, tidak dapat bernapas, dan jantung berdebar-debar.
Pria yang menderita koro diketahui menggunakan alat-alat mekanis, seperti
sumpit, untuk mencoba mencegah penis masuk ke dalam tubuh. Sindrom Dhat (Dhat
Syndrome) ditemukan diantara laki-laki muda di Asia-India dan melibatkan
ketakutan yang berlebihan akan kehilangan air mani saat buang air di malam hari
(Akhtar, 1988). Beberapa pria dengan sindrom ini juga percaya (secara tidak
benar) bahwa air mani bercampur dengan urine dan dikeluarkan saat buang air
kecil. Pria dengan sindrom dhat akan berkeliling dari satu dokter ke dokter
lain mencari bantuan untuk mencegah pembuangan di malam hari atau hilangnya air
mani (yang dibayangkan) yang bercampur dengan urine yang dibuang.
VI. Treatment
1)
Psikoanalisis
Membuka dan membawa konflik ketidaksadaran yang dimulai pada masa kecil
sehingga simptom-simptomnya akan hilang.
2) Behavioral
Teoretikus Behavioris memfokuskan pada penghilangan secondary reinforcement
yang mungkin berhubungan dengan keluhan fisik. Terapis behavioral dapat
mengajarkan anggota keluarga untuk menghargai usaha memenuhi tanggung jawab dan
mengabaikan tuntutan dan keluhan.
3)
Kognitif-Bahavioral
Pemaparan
terhadap Pencegahan respons dan rekstrukturisasi kognitif. Pemaparan dapat
dilakukan dengan secara sengaja memunculkan sesuatu yang ditakutinya. Dalam
rekstrukturisasi kognitif, terapis menantang keyakinan klien dengan cara
menyemangati mereka untuk mengevaluasi keyakinan mereka dengan bukti yang
jelas. Perhatian akhir-akhir ini beralih pada pengguanaan antidepresan,
terutama fluoxetine (Prozac), dalam menangani beberapa tipe gangguan
somatoform. Meski kita kekurangan terapi obat yang spesifik untuk gangguan
konversi.
Mau tanya, Untuk kasus DID.. apa penderita sering sakit kepala berat saat ingin mengingat masa lalu saat terjadi trauma??
BalasHapus