I.
KEKERASAN DAN PENGANIAYAAN
Tindakan kekerasan digolongkan kedalam
abnormalitas jika konteks kekerasan itu diluar kesepakatan sosial yang ada
dalam suatu konteks budaya atau lokasi, serta membahayakan bagi orang yang
menjadi objek kekerasan tersebut. Orang dengan gangguan psikologis biasanya
rentan melakukan kekerasan. Meskipun demikian, penyalahgunaan obat, alkanol,
dan riwayat kriminalitas lebih dekat dengan konteks kekerasan dibandingkan
gangguan mental (Bonta, Law, & Hanson, 1998). Kekerasan juga biasanya
merupakan karakteristik gangguan kepribadian antisosial dan gangguan perilaku
pada anak-anak dan remaja. Kekerasan berkaitan dengan agresi manusia itu.
Berikut adalah beberapa point of view
terhadap kekerasan.
1) Pendekatan
Biologis.
Agresi
merupakan hasil dari insting manusia yaitu pola perilaku yang menetap yang
dibawa secara genetis sejak individu itu lahir dari parentalnya, dan sifatnya
spesifik bagi tiap-tiap individu. Menilik pendapat Sigmund Freud, bahwa insting
mendasari agresi manusia yang disebut insting kematian. Insting menurutnya
bersifat self-destructive termasuk bunuh diri. Insting ini perlu untuk
diekspresikan dan dilepaskan dalam bentuk tertentu. Ego bertanggung jawab
terhadap ekspresi insiting dari id ini. Ego mempertimbangkan situasi sosial
yang ada di sekitarnya, apakah memungkinkan untuk penyaluran insting tersebut
atau tidak. Jika ya, maka insting itu disalurkan, jika tidak akan
direalisasikan dalam bentuk perilaku lainnya atau akan direpresikan oleh defense
mechanism ego. Apabila terjadi penumpukan dalam represi ego atau ego
menjadi lemah maka sewaktu-waktu insting ini akan keluar dalam wujud perilaku
agresi, karena kelebihan ego tekanan.
2) Pendekatan
Sosiobiologis.
Agresi
menurut pandangan ini, merupakan hasil pembelajaran individu atas fenomena
sosial yang ada di sekitarnya. Individu mungkin mewarisi disposisi-disposisi
perilaku secara genetis, tetapi yang menentukannya kemudian adalah lingkungan
sosialnya. Budaya, proses belajar, dan pilihan pribadi individulah yang menjadi
penentu perilaku agresi itu akan dimunculkan atau tidak (Eagly, & Wood,
1991). Berarti disini terjadi kombinasi antara faktor genetis dan faktor sosial
lainnya dalam pemunculan perilaku agresif tersebut (Buss, & Shacelford).
3) Pandangan
Neurobiologis Agresivitas.
Dalam
pandangan ini, dijelaskan bahwa agresi muncul karena adanya peran
hipotalamus pada mekanisme otak dalam memfokuskan perhatian individu. Hipotalamus
mungkin mengontrol kendali perilaku agresif itu sendiri pada beberapa kingdom
animalia. Pada manusia, perilaku tergantung pada proses belajar dibandingkan
refleks-refleks saraf ini. Selain itu, adanya peran serotonin dalam dalam
proses transmitters pada saraf manusia. Selain itu, juga perilaku agresi
diasumsikan dengan derajat hormon testosteron laki-laki. Semakin tinggi derajat
kuantitas hormon testosteron pada individu maka semakin besar
kecenderungan dalam memunculkan perilaku agresi. Serotonin berperan dalam
mengatur tepatnya menghambat kerja sistem limbik pada otak. Sistem limbik ini
berperan dalam mengatur dorongan-dorongan primitif seperti makan, pengaturan
emosi, belajar, ingatan, dan agresi. Tingkat serotonin yang rendah yang
menunjukkan abnormalitas otak tentunya cenderung memungkinkan memunculkan
perilaku agresif tersebut. Sedangkan, testosteron yang tinggipun demikian
adanya pada laki-laki maupun perempuan.
4) Pandangan
Sosio-Kognitif.
Albert
Bandura (1973, 1986) berpendapat bahwa agresivitas seseorang merupakan perilaku
yang dipelajari dari social learning process. Adanya modelling
dan reinforcement
atas perilaku agresif ini memungkinkan inidividu mempelajari bahwa perilaku itu
baik adanya. Dengan melihat contoh ayahnya yang bertindak kasar terhadap
ibunya, mungkin saja seorang anak akan menirukan perilaku ayahnya tersebut
(modelling). Atau mungkin karena penguatan yang diberikan oleh lingkungan
sosialnya terhadap perilaku agresif tertentu memungkinkan sang anak menirukan
perilaku tersebut. Selain itu, adanya peran harapan dan kompetensi
dalam perilaku agresif ini jelas adanya. Seseorang yang berharap perilaku
agresif yang akan dimunculkan akan menghasilkan implikasi psositif akan lebih
mungkin melakukan tindakan tersebut. Berkaitan dengan kompetensi atau kemampuan
individu dalam mengelola dan mengontrol sifat agresif dalam dirinya juga nampak
bahwa individu yang kurang mampu dalam
mengelola dan mengontrol sifat agresif dalam dirinya memiliki prevalensi yang
cukup besar dalam memunculkan perilaku agresif dalam overt behavior.
Para
teoretikus sosio-kognitif juga memfokuskan pada cara-cara manusia dalam
mengintepretasikan situasi konfrontatif dan konflik (Berkowitz, 1994). Ketika
seseorang memandang motif orang lain kepada dirinya penuh dengan kenegativan,
maka perilaku agresif ini cenderung untuk muncul. Asumsi orang serupa ini yakin
bahwa orang tersebut bermaksud menyakiti, melukai, atau sejenisnya, dimana
kebenarannya berlainan adanya. Menurut pandangan ini, sifat agresivitas dan
desdruktif tidak dapat dikatarsis melalui beberapa perilaku yang dapat diterima
secara sosial misalnya olahraga seperti pandangan klasikal Freudian, menurut
mereka ini malahan memberi mereka suatu reinforcement pada sifat agresivitas
dan desdruktifnya. Mereka juga mengakui adanya peran modelling dan
tentunya reinforcement pada perilaku agresif tersebut. Disini mereka
menjelaskan peran orangtua dalam menjelaskan kepada anak bahwa kekerasan yang
ditayangkan pada media hanyalah sebuah sensasi belaka adanya, karena pada
kenyataannya manusia sebagai individu menangani situasi-situasi konflik dengan
cara damai.
5) Pandangan
Sosio-Kultural.
Dalam
pandangan sosio-kultural dijelaskan bahwa perilaku agresif berakar dari penyebab
sosial yang menyatu secara kompleks mencakup kemiskinan, kesempatan,
keretakan keluarga, dan pemaparan modelling dari pihak tertentu termasuk orang
tua dalam mencontohkan perilaku agresif. Anak yang dibesarkan dalam status
sosial yang miskin memungkinkan mereka mengalami tekanan hidup yang lebih dari
lingkungannya, hal ini memungkinkan pemunculan perilaku agresif itu sendiri.
Ini sejalan dengan hipotesis frustrasi-agresi yang mengatakan bahwa agresivitas
muncul karena terjadinya frustrasi pada individu tersebut. Rasa frustrasi ini
disebabkan karena adanya tekanan-tekanan sosial pada mereka. Disposisi
budaya seperti pada budaya barat (Amerika, misalnya) yang menunjukkan
ciri individualitas dan mungkin memberikan tekanan pada peran maskulin
laki-laki dalam hal ini menunjukkan ciri kelaki-lakiannya secara agresif juga
mendukung kecenderungan munculnya perilaku agresif individu. Nilai-nilai budaya
dan metode
pengasuhan yang keras dapat mengembangkan sifat kekerasan dan agresif
pada anak. Pembunuhan lebih sering terjadi pada kelompok ras dan etnik minoritas
dibandingkan etnik yang mayoritas (Council Of Economic Advisors, 1998).
Penyebabnya mungkin karena ras dan etnik minoritas merasa dirrugikan oleh
budaya mayor yang ada. Selain itu, juga mungkin peran penggunaan obat tertentu
acapkali terkait dengan kriminalitas di jalanan, terutama di kalangan
masyarakat miskin.
Penggunaan
alkanol memungkinkan terdistorsinya pikiran dan proses neuron tertentu
dalam mengatur perilaku sehingga secara tak sadar perilaku agresif
dimunculkannya. Efek alkanol dalam merusak kemampuan pengamibilan keputusan
pada diri inidividu telah jelas berpengaruh. Alkanol juga memungkinkan
menimbulkan efek ketenangan dan mendistorsi kemampuan empati sehingga individu
berkurang kepakaannya terhadap rangsangan stimulus eksternal dan petunjuk yang
pada dasarnya membangkitkan kecemasan yang terkait dengan kemungkinan hukuman
diterima apabila perilaku agresif dimunculkan terdistorsi (dalam pandangan
Freud, superego mengalami distorsi fungsi).
6) Pandangan
Eklektistif Agresivitas.
Menggabungkan
semua pandangan mengenai kekerasan dan agresivitas merupakan alternatif bijak
dalam menjelaskan perilaku agresif itu sendiri. Dalam pandangan ini, agresif
disebabkan oleh multifaktoral disposisi. Individu mungkin mewarisi
insitingsecara genetis dari parental atau orangtuanya, tetapi kita juga
mempertimbangkan peran pembelajaran dan peran budaya dalam hal ini. Individu belajar dari teman sebaya, televisi,
internet, film, tokoh panutan modelling, dan bagaimana peran kognitif individu
dalam mempertimbangkan perilakunya, serta bagaimana peran harapan, kompetensi, copping stress, penyaluran agresivitas
itu sendiri, faktor fisiologis ,serta faktor neurobiologis, dan lainnya mungkin
berperan penting dalam perwujudan perilaku agresif individu tersebut. Beberapa
terapi yang disarankan dalam hal ini yaitu :
Pelatihan Empati, yang menolong
individu mengidentifikasikan perasaan-perasaan mereka dan menjadi lebih peka
terhadap perasaan orang lain.
Pelatihan Pengelolaan Rasa Amarah,
dimana individu diajarkan teknik penguasaan keterampilan mengendalikan amarah.
Pelatihan Pengendalian Impuls, dimana
individu diajarkan keterampilan menyelesaikan masalah dalam mengelola
stiuasi-situasi bermasalah.
Beberapa
jenis kekerasan antara lainnya sebagai berikut :
1) Kekerasan
Domestik.
Kekerasan
domestik meliputi kekerasan pada rumah tangga atau yangs sering disebut KDRT.
Selain resiko fisik yang diterima, korban kekerasan domestik juga rentan
terhadap gangguan psikologis lainnya misalnya depresi, self-esteem yang rendah, PTSD (Posttraumatic Stress Disorder),
gangguan emosi, gangguan perilaku, kesulitan dalam behubungan sosial secara
efektif yang sehat, kekurangan kapasitas empati, kegagalan dalam mengembangkan
suara hati dan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, keinginan untuk
bunuh diri, gangguan mood, perilaku yang tidak matang misalnya mengisapi
jempolnya, kesulitan untuk mengeksplorasi dunia sosialnya, dan bahkan bertindak
agresif pada individu yang lebih rentan. Seorang anak yang menyaksikan perilaku
agresif dalam keluarganya, meskipun kekerasan itu nonfisik sifatnya misalnya
membanting perabotan di rumah, anak tersebut memilikikecenderungan untuk
mengalami gangguan emosiona, depresi, dan perilaku anak tersebut (Jouriles,
dkk, 1996). Sebagian para ahli mengatakan bahwa perempuan
yang mengalami kekerasan domestik akan lebih baik dipahami bila dilihat dari survivor trauma daripada masokisme
(Strube, 1988). Seperti yang diungkapkan Leonore Walker (1979) dalam istilahnya
yaitu sindrom perempuan yang mengalami kekerasan (battered
woman syndrome). Sindrom ini
mencakup perasaan tidak tertolong dan rusaknya kemampuan penguasaan yang
membuatnya sulit untuk meninggalkan pelaku kekerasan dan menjalani hidup baru
lagi sendirian. Alasan ekonomi mungkin bisa menjadi salah satu penyebabnya
juga. Artinya perempuan yang berani meninggalkan rumah, adalah mereka yang
berani meninggalkan ketakutannya. Beberapa faktor psikologis yang mempengaruhi
efektivitas kemampuan coping perempuan (Follingstad, Neckerman, &
Vormbrock, 1988) yaitu :
Menghancurkan anggapan subjektif perempuan
mengenai ketidakrentanannya yang membantu mempertahankan rasa aman secara
personal dalam sebuah keluarga.
Menurunkan kemampuan dalam menyelesaikan masalah
dan kemampuan menimbang solusi-solusi alternatif dari masalahnya, yang
diakibatkan oleh kekerasan tersebut.
Kecenderungan mengalami PTSD yang pada
implikasinya menyebabkan makin buruknya kemampuan coping masalah.
Konversi pikiran perempuan dalam memandang pelaku
kekerasan terhadap diri mereka secara positif, penuh empati, dan pada saat yang
sama mengembangkan asumsi negatif pada individu yang mencoba berperan sebagai
penolong.
Menemukan makna dari kekerasan. Hal ini
diungkapkan oleh Viktor Frankl (1959) bahwa perempuan yang mengalami kekerasan
domestik akan lebih berusaha menemukan makna dari peristiwa tersebut,
merasionalisasinya, dan terkadang membenarkannya.
Belajar akan ketidakberdayaan mereka. Hal ini
dapat menurunkan motivasinya dalam problem solving masalah, dan dapat
membuat pasif individu sehingga mereka enggan mencari bantuan untuk
menyelesaikan masalahnya (Walker, 1979; Wilson, dkk, 1992).
Mengalami kesulitan dalam mengelola emosi-emosi
terutama yang bersifat menmberatkan dirinya, sehingga mereka susah dalam
mengontrol kemarahannya, depresi, menimbulkan perasaan suicide, dan cenderung menyalahkan diri mereka sendiri.
Faktor
budaya yang menempatkan peran perempuan untuk selalu mengorbankan diri juga
mendorong kesemua hal di atas terjadi riil. Lalu bagaimana penanganan bagi
korban dan pelaku kekerasan domestik ?. Terapi pasangan dapat dilakukan
sebagai salah satu tindakan penanganannya. Hal ini berguna bagi pasangan atau
keluarga dengan sejarah kekerasan domestik (O’Leary, 1995). Dalam terapi ini
terapis membantu kedua dari pasangan untuk memahami kemarahan mereka sebagai
ekspresi ketidakberdayaan, dan untuk memahami kesakitan emosional keduanya
secara lebih empati dan baik. Selain itu, terapi ini juga mengajarkan keduanya
dalam pegelolaan amarah, penyelesaian konflik yang efektif, dan beragam cara
yang lebih produktif (Mones, & Panitz, 1994). Terapi kelompok juga
dapat dilakukan. Terapi ini diaplikasikan guna memberikan penjelasan pada
korban kekerasan terhadap siklus kekerasan, mengembangkan strategi penyelamatan
diri, alternatif laijn dalam perkawinan, meningkatkan harga diri, dan
mengurangi sikap self-blame mereka.
2) Penganiayaan
Terhadap anak.
Ada
beberapa jenis jenis penganiayaan terhadap anak, yaitu :
Penganiayaan fisik, mencakup pencelakaan fisik
anak.
Penelantaran fisik, mencakup pembiaran fisik
tanpa perhatian orangtuanya.
Penganiayaan seksual.
Perlakuan salah secara emosional, termasuk
kritik dan selalu menyalahkan sang anak seara berlebihan.
Dalam
menjelaskan kekerasan fisik, ada banyak hal yang menyertainya antara lainnya
yaitu faktor kognitif seperti terus menerus menyalahkan anak terhadap
sebuah kelakuannya yang sewajarnya dalam batasan anak secara sosial. Orangtua
seperti ini, cenderung melihat perilaku anak selalu disengaja meski itu tak
disengaja. Anggapan orangtua bahwa penggunaan atau pemberian punishment fisik
dapat mengatasi perilaku nakal anaknya, dan tentunya dianggap secara sosial hal
itu diterima adanya. Disini terlihat peran budaya yang mengajarkan
pembenaran dalam penggunaan hukuman fisik terhadap anak tanpa batasan yang
jelas.
Beberapa
faktor resiko dalam penganiayaan anak antara lainnya (Belsky, 1993; Pogge,
1992) :
Stress mencakup stress kerja, dan sebagainya.
Menyaksikan kekerasan dalam keluarga sendri, dan
modelling.
Pernah mengalami kekerasan pada masa kecilnya.
Kurang baiknya kemampuan mengelola amarah, dan
coping stress.
Penyalahgunaan alkanol, dan obat-obatan tertentu.
Aturan-aturan budaya yang kaku dalam pengasuhan
anak.
Berikut
ini adalah efek dari penganiayaan terhadap anak, antara lainnya :
Luka-Luka secara fisik.
Luka emosional yang biasanya berlangsung cukup
lama.
Kesulitan dalam membina hubungan relasi yang
sehat dan ketertarikan yang sehat dengan teman sebayanya.
Mengalami kekurangan kapasitas emosionalnya.
Gagal mengembangkan suara hati, dan kepedulian
terhadap orang lain.
Menurunnya self-esteem, depresi, dan kinerja
yang buruk.
Menimbulkan pikiran-pikiran dengan tema bunuh
diri (suicide), dan lain sebagainya.
Penanganan
dapat dilakukan dengan program pelatihan bagi orangtua yang bertujuan membantu
orangua dalam menguasai stress dengan lebih baik, dan meningkatkan interaksi
yang sehat dengan anak mereka (DeAngelis, 1995b). Terapi keluarga dalam hal
ini juga penting adanya.
3) Agresi
Seksual.
Pemerkosaan
tidak digolongkan kedalam gangguan mental, tetapi kebanyakan hal itu
berasosiasi dengan simdrom klinis tertentu, misalnya sadisme seksual. Dua tipe
pemerkosaan yaitu :
Pemerkosaan yang melibatkan paksaan
terhadap korbannya.
Pemerkosaan berdasarkan batasan hukum,
dimana korban dianggap belum atau tidak mampu memberikan persetujuan, atau oleh
karena ketidakmampuan mental, meskipun korban tidak menolak tindakan yang
diakukan pemerkosa.
Semua
perempuan beresiko mengalami pemerkosaan, termasuk semua perempuan dari
golongan usia, ras, dan tingkat ekonomi manapun. Meskipun demikian, perempuan
muda lebih beresiko, terutama remaja. Lebih dari itu, bukan hanya perempuan
saja, lelaki juga terkadang menjadi korban pemerkosaan meskipun prevalensinya
kecil sekali. Pemerkosaan lebih terkait dengan impuls kekerasan dan isu
kekuatan serta pengendalian, daripada pemuasan seksual. Pemerkosa biasanya
memiliki perasaan canggung atau malu dan inadekuat dalam dirinya,
ketidakmampuan menemukan pasangan, umumnya antisosial, kurang pertimbangan
matang. Acapkali mereka pernah mengalami kekerasan seksual pada masa
kanak-kanaknya. Dalam hal ini nampak peran faktor sosio-kultural, yaitu
meliputi budaya yang kurang kuat mengatur pemerkosaan dan individualitas, dan
sosialisasi atas peran gender masing-masing beserta stereotipe dan asumsi yang
diharapkan dalam sebuah kehidupan yang benar. Budaya yang mengajarkan peran
laki-laki untuk cenderung agresif, dan maskulin membentuk sebuah anggapan
stereotipe pada individu yang mendukung terjadinya pemerkosaan. Pemerkosaan
pastilah membawa efek negatif pada korbannya. Berikut adalah beberapa efek dari
pemerkosaan yang halusnya disebut pelecehan seksual :
Efek pada perempuan mungkin bisa kehilangan
selera makan, sakit kepala, mudah tersinggung, cepat marah, ketidakteraturan
menstruasi, ketidakrealitisan perilaku dan asumsi.
Bisa menyebabkan depresi, disfungsi seksual
misalnya susah mengalami rangsangan seksual dan orgasme, mengalami ingatan yang
mengganggu mengenai pelaku pemerkosaan, dan dapat menyebabkan gangguan kecemasan
mencakup PTSD, dan lain sebagainya.
Efek pada anak-anak mungkin saja sama dalam
beberapa halnya, ditambah masalah psikologis lainnya seperti self-esteem yang
buruk, perilaku seksual yang prematur, mengisap jempol, takut gelap, masalah
dalam relasi sosial, gangguan kepribadian ambang (Murray, 1993; Weaver, &
Clum, 1995), dan ketidakpercayaan terhadap pelaku pemerkosaan apalagi jika
pelakunya adalah ayah atau keluarga dekatnya sendiri. Hal ini menyebabkan
individu mengalami distorsi pada rasa ketidakpercayaan terhadap mereka yang
dahulunya dipercaya mereka, sehingga hal ini terbawa hingga dewasa.
Penanganan
terhadap kasus pemerkosaan, dilakukan dalam dua tahapan yaitu :
Mendampingi korban dalam mengatasi situasi
setelah pemerkosaan.
Membantu dalam penyesuaian diri korban untuk
jangka panjang, dan membantu mengembangkan strategi untuk mengatasi trauma
psikis.
Penganiayaan
seksual pada anak biasanya jarang melibatkan kekerasan fisik, tetapi lebih
kearah penggunaan manipulasi, tipuan, ancaman kekerasan, dan sejenisnya untuk
mendapatkan kepatuhan anak. Beberapa terapi dapat diajukan dalam proses
penanganannya antara lain dengan terapi seks, dalam hal ini anak
dibantu untuk mengatasi disfungsi seksual dan ketakutannya pada masa dewasanya
nanti. Terapi kelompok dapat dilakukan untuk membantu menghadapi
masalah perasaan dalam lingkungan suportif dengan orang lain yang mengalami
trauma yang serupa. Pendekatan multikomponental adalah salah satu cara alternatif
yang baik, dimana terapi difokuskan pada penyediaan dukungan bagi anak,
membahas ketidakberdayaan dan pengkhianatan, dan membantu anak memahami bahwa
ia bukanlah pihak yang harus disalahkan. Lalu bagaimana menagani pelaku
pemerkosaan dan pelecehan seksual ?. Dalam hal ini dapat dilakukan juga terapi
kelompok dengan teknik terapi kognitif-behavioral, serta pelatihan
empati dalam meningkatkan kepekaan sosial pelaku terhadap korban. Penggunaan
obat berbasis bologis juga dapat dilakukan, yaitu pemberian obat
antiandrogen yang bisa menurunkan kadar testosteron. Hal ini diibaratkan
karena kebanyakan kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual melibatkan tingginya
tingkat testosteron dalam tubuh pelakunya. Anti androgen ini dapat membantu
ketika digabungkan penggunaannya dengan konseling psikologis (Leary, 1998).
II. IMPULSIVE
CONTROL DISORDER (ICD)
Gangguan
Impuls Kontrol (ICD) adalah gangguan yang disebabkan oleh
ketidakmampuan seseseorang dalam mengendalikan dorongan atau godaan untuk melakukan perbuatan tertentu. Tanda dari
gangguan ini adalah ketidakmampuan individu untuk menghentikan impuls-impuls
yang dapat membahayakan mereka sendiri ataupun orang lain.
DSM-IV-TR memasukkan lima
gangguan pengendalian impuls tambahan yaitu :
- Intermitten explosive disorder : dimana seseorang bertindak berdasarkan impuls-impuls agresif yang menghasilkan tindakan tindakan penyerangan serius atau perusakan harta benda (American Psychiatric Association, 2000). Diduga, faktor psikososial seperti stress, gaya asuh orang tua, dan sebagainya. Berpengaruh dalam memicu gangguan tersebut. Biasanya diderita oleh lak-laki, dan meliputi agresivitas yang meledak-ledak yang menuntun untuk melakukan penyerangan dan perusakan properti. Ledakan ini tidak diprovikasi atau kelihatan sebagai bagian dari suatu peristiwa yang mendahului mereka.
- Kleptomania : ketidakmampuan seseorang menolak dorongan berulang untuk mencuri barang barang yang seebenarnya tidak diperlukan untuk kegunaan pribadi atau yang dicuri bukan karena nilai uangnya. Tindakannya mengikuti pola tertentu yaitu merasakan ketegangan tepat sebelum mencuri dan diikuti rasa puas atau lega saat pencurian dilakukan (Mc. Elroy dan Arnold, 2001). Kleptomania biasanya diderita oleh perempuan.
- Piromania : gangguan pengendalian impuls yang melibatkan adanya dorongan yang tidak dapat ditolak untuk melakukan pembakaran. Polanya sama dengan kleptomania, dimana muncul perasaan puas atau lega saat api mulai membakar. Biasanya diderita oleh laki-laki, dan menyangkut pembakaran untuk merasakan kesenangan dan pengurangan ketegangan
- Judi Patologis : Adanya kebutuhan untuk mempertaruhkan uang dalam jumlah yang semakin banyak dari waktu ke waktu dan timbul gejala gelisah ketika berusaha berhenti (withdrawal). Trikotilomania : Adanya dorongan untuk mencabuti rambut sendiri dari bagian tubuh yang manapun, termasuk rambut di kulit kepala, alis dan bulu bulu tangan. Hal ini kerapkali dimulai sejak masih kanak-kanak, dan sering diasosiasikan dengan depresi mayor atau gangguan defisit/ hiperaktif perhatian.
Selain kelima
macam gangguan tersebut, juga terdapat dorongan tidak terkendali lainnya
seperti dorongan berbelanja (oniomania), mutilasi diri, kebiasaan menggigit
kuku, kecanduan internet dan sebagainya. Penyebab sebenarnya dari gangguan impulsif kontrol belum diketahui pasti.
Beberapa kasus gangguan impulsif kontrol kelihatan sebagai efek dari kondisi
pengobatan pada umumnya. Beberapa dewasa akhir dengan penyakit Parkinson
menjadi penjudi kompulsif sebagai perkembangan penyakitnya. Pemikirannya bahwa
perilaku berjudi ini sebagai akibat dari penggunaan obat-obatan, sebagaimana
ini tidak memberi respon terhadap perlakuan standard untuk judi kompulsif
tetapi hanya untuk mengubah pengobatan pasien. Traumatic Brain Injury mungkin menghasilkan beberapa individu berkembang perilaku impulsif atau
gangguan impulsif kontrol. Terutama sekali ketika terjadi kerusakan pada daerah
korteks frontal (lebih lanjut, baca Jentsch & Taylor, 1999).
Penyalahgunaan
zat kimia, tampaknya umum diasosiasikan dengan impulsivitas. Meskipun demikian,
peneliti telah mengobservasi bahwa individu yang menyalahgunakan berbagai macam
zat kimia lebih menunjukkan perilaku impulsif dibandingkan yang menyalahgunakan
satu macam zat kimia. Beberapa
gangguan mental utama sering diasosiasikan dengan impulsivitas ketika individu
dalam keadaan psikosis. Ini berkaitan dengan gangguan bipolar dimana perilaku
impulsif paling banyak dihubungkan dengan tahap manik. Gangguan impuls kontrol sering tampak dalam
sejumlah jenis gangguan kepribadian, terutama borderline, anti-sosial,
narsistik, dan histrionik. Diagnosis pada beberapa gangguan impulsif
kontrol hanya dapat dibuat setelah pengobatan dan gangguan psikiatri yang bisa
menyebabkan simtom yang sama telah diputuskan. Intermitten explosive
disorder meliputi
tindakan penyerangan keras atau bersifat perusak. Kleptomania menyangkut
pencurian benda-benda yang tidak dibutuhkan dan tidak menghasilkan uang. Piromania ditandai dengan tindakan yang
secara sengaja membakar sesuatu lebih dari sekali. Judi patologis adalah
gangguan berjudi yang terus berlangsung dan berulang-ulang meskipun kalah dan
adanya ketidakcukupan keuangan. Tipikal gangguan ini dimulai pada masa muda,
dan individu sering merasa kompetitif, mudah bosan, gelisah, dan dermawan. Trikotilomania
adalah gangguan yang ditandai oleh kerontokan rambut kepala yang berulang-ulang. Kombinasi dari
konseling psikologis dan pengobatan adalah perlakuan yang lebih baik bagi
penderita gangguan impulsif kontrol. Anak-anak penderita trikotilomania sering
ditolong dengan pengobatan antidepresi. Pada kasus gangguan ekplosif,
pengelolaan kemarahan dan pengobatan
bisa digunakan dalam kasus agresi yang ekstrim. Gangguan biasanya dapat
dikontrol dengan penggunaan obat, meskipun membutuhkan waktu yang cukup lama
dan berkesinambungan untuk membantu mencegah ledakan agresivitas berikutnya.
Konseling jangka panjang adalah hal yang biasanya dibutuhkan. Dukungan kelompok
dan pertemuan-pertemuan juga mampu menolong individu penderita gangguan ini. Prognosis
untuk Intermitten explosive disorder, Kleptomania dan Piromania cukup
wajar. Sedikit yang diketahui tentang prognosis untuk trikotilomania, dan studi
menunjukkan bahwa kondisi dapat hilang untuk waktu yang lama (bulan hingga
tahun) tanpa konseling psikologi. Untuk judi patologis, prognosis sangat
bervariasi dari orang satu ke orang yang lain. Secara alami, beberapa gangguan
impuls kontrol dapat menghasilkan perilaku kriminal dan ilegal.
0 komentar:
Posting Komentar