Istilah
stress menunjukkan adanya tekanan atau kekuatan pada tubuh yang dialami
individu agar ia mampu beradaptasi atau menyesuaikan dirinya. Dalam batas
tertentu stress sehat untuk diri kita, dan stress memantu kita untuk membantu
kita agar tetap waspada dan aktif. Ada 2 jenis stress yaitu eustress
(stress positif yang berguna bagi individu) dan distress (stress negatif
yang cenderung mengacu pada tekanan fisik atau psikis). Stress bersumber dari stressor
yang beragam macamnya, bisa fisik maupun psikis. Adakalanya stress yang
berlebihan dapat merusak kemampuan coping masalah seseorang. Stress dapat
berakibat pada gangguan penyesuaian diri individu.
Gangguan
penyesuaian bercirikan reaksi maladaptif individu terhadap suatu
stressor tertentu yang nampak dari penurunan yang signifikan dalam fungsi
sosial, pekerjaan, ataupun akademis individu. Dalam hal ini individu mengalami
stress diatas batas ambang normal. Bila ini berlangsung dalam minimal 6 bulan
setelah stressor terjadi, maka individu diagnosa mengalami gangguan tersebut.
Stressor gangguan ini bisa berupa putus cinta, sehingga individu mengalami
hendaya fungsi psikisnya yang terwujudkan dalam penurunan kinerja fungsinya.
Berikut ini adalah subtipe gangguan penyesuaian, yaitu :
Jenis Gangguan Penyesuaian Diri
|
Ciri Utamanya
|
Gangguan Penyesuaian Dengan Gangguan Mood
|
Sedih, menangis, merasa tak punya harapan.
|
Gangguan Penyesuaian Dengan Kecemasan
|
Khawatir, gelisah, gugup, pada anak mungkin tak mampu
|
lepas dari figur kelekatannya, umumnya ibunya.
|
|
Gangguan Penyesuaian Dengan Gejala Campuran Antara
Kece
|
Merupakan kombinasi antara depresi dan kecemasan.
|
masan dan Mood Depresi
|
|
Gangguan Penyesuaian Dengan Gangguan Perilaku
|
Melanggar norma sosial, dan hak orang lain, misalnya
berke
|
lahi, melalaikan kewajibannya.
|
|
Gangguan Penyesuaian Dengan Gejala Campuran Antara
|
Komplikasi gangguan emosi, misalnya depresi atau
kecema
|
Gangguan Emosi dan Tingkah Laku
|
san, dan gangguan perilakunya.
|
Gangguan Penyesuaian Yang Tidak Terklasifikasikan
|
Kategori Residual yang meliputi ciri-ciri yang tidak
termasuk
|
dalam jenis gangguan penyesuaian lainnya.
|
DSM-IV-TR
(APA, 2000).
Stress
dapat meningkatkan resiko terkena penyakit fisik, dari mulai gangguan pencernaan
hingga penyakit jantung (Cohen, dkk, 1993). Stress mempunyai efek berarti bagi
sistem endokrin manusia, yang juga langsung berhubungan dengan sistem sirkulasi
darah. Beberapa kelenjar hormon menunjukkan reaksi terhadap stress. Hipotalamus
melepaskan hormon tertentu yang menstimulasi kelenjar pituitari untuk
menghasilkan adrenocorticotrophic hormone
(ACTH) yang kemudian menstimulasi kelenjar adrenalin di ginjal. Dalam pengaruh
ACTH, kelenjar adrenalin melepas hormon steroid, dua diantaranya adalah kortisol
dan krotison. Kedua hormon ini berperan dalam mereduksi stress, dan membantu
perkembangan otot, yang menyebabkan hati melepaskan gula, sebagai energi dalam
mereduksi stress. Saat stress, individu juga melepaskan eprinefrina dan
noneprinefrina yang berperan dalam neurotransmitters, dan membantu meningkatkan
kerja jantung dan menstimulasi hati melepaskan gula. Stress yang kronis dapat
memacu aktivitas hormonal dalam tubuh sehingga tubuh manusia tersebut berada di
bawah ambang homeostatis, dan gangguan fungsi hormonal tubuh, sehingga dapat
berakibat pada terganggunya fungsi tubuh yang lainnya, misalnya sistem imun
tubuh.
Stress
dapat berupa stress fisik misalnya suara yang bising, maupun stress psikologis
misalnya stress karena perceraian. Stress yang berlebihan membuat kita menjadi
rentan terhadap penyakit karena lemahnya sistem kekebalan tubuh (Adler, 1999).
Nampak dari hasil penelitian tertentu bahwa dukungan sosial mengurangi efek
negatif dari stress ini. Misalnya saja motivasi dari orang tua terhadap mahasiswa
dapat membantu mereduksi stress pada mahasiswa. Bukti lainnya menunjukkan bahwa
menulis mengenai keadaan yang penuh tekanan dapat mereduksi efek negetif dari
stress dan meningkatkan optimalisasi respon imun terhadap stress (Carpenter,
2001b; Esterling, dkk, 1999; Smyth, & Pennebaker, 2001). Misalnya dengan
menulis cerpen, dan puisi. Sedangkan, menutupi situasi yang penuh tekanan dapat
menambah beban tekanan pada sistem saraf otonomik, yang dapat melemahkan sistem
imun tubuh, dan kerentanan terhadap stress (Pettie, Booth, & Pennbaker,
1998).
Dalam
menjelaskan pola respons individu secara biologis terhadap stress, Hans Selye
(1976) mengemukakan General Adaptation Syndrome (GAS). Sindrom ini mengisyaratkan
bahwa seseorang melalui siklus stress dengan melampaui 3 tahapannya, yaitu :
Alarm
Reaction, dalam tahapan ini individu mengalami suatu reaksi yang terus
mengawasi stressor, dan diri akan memberikan daya untuk mereduksinya.
Resistance
Stage, dalam tahapan ini individu telah mengalami kepersistensian dari
suatu jenis stressor. Tahap ini dikenal juga dengan tahap adaptasi, dimana
terjadi upaya diri untuk menghimpun tenaga dan memperbaiki kerusakan dan
keadaan pasca stress. Apabila stress berlanjut jua, maka individu akan mencapai
pada tahapan selanjutnya.
Exhaustion
Stage, dimana persistensian dari stressor membuat suatu kelelahan
(exhaustion) diri dalam menanggapinya. Apabila sumber stress menetap maka
individu bisa mengalami diseases of adaptation, yang
berkisar mulai dari alergi hingga kematian.
Beberapa
faktor pencetus stress adalah sebagai berikut :
Perubahan pola hidup menjadi sumber
stress bila perubahan hidup tersebut menuntut kita untuk beradaptasi secara
berlebihan di luar ambang kemampuan diri kita.
Akulturasi budaya, sebuah penelitian
yang dilakukan terhadap individu Meksiko-Amerika oleh Zamanian, dan
rekan-rekannya (1992) mengidentifikasikan bahwa mereka yang menunjukkan
akulturasi yang rendah menunjukkan tingkat depresi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan mereka yang terakulturasi dan bikultural. Status akulturasi
yang rendah menunjukkan rendahnya status sosial ekonomi, kesulitan inilah yang
diasumsikan menjadi pemicu tambahan bagi stress, dengan disertai ketidakmampuan
berakulturasi terhadap kultur setempat, memungkinkan meningkatkan resiko depresi,
dan masalah psikologis lainnya. Menutup diri dari kultur tertentu dapat
menghambat individu dalam berkegiatan sebagai mana mestinya, sehingga dirinya
mengalami maladjustment.
Metode
coping stress diri yang buruk. Ada dua cara coping stress, yang akan
dijelaskan berikut ini beserta resikonya terhadap kemunculan stress individu.
ü
Coping
stress berfokus pada emosi, misalnya dengan penyangkalan, berkhayal, dan
penghindaran diri dari masalah. Beberapa penelitian mengisyaratkan bahwa jenis
coping serupa ini dapat memicu buruknya kondisi medis mereka, dan mereka
cenderung bisa mengalami distress emosional, dan berakibat pada hendaya fungsi
imun tubuh.
ü
Coping
stress yang berfokus pada masalah. Jenis coping stress ini cenderung
menilai stressor yang dihadapi dan melakukan sesuatu untuk mengubah reaksi guna
meringankan efek dari stressor tersebut. Hal ini juga melibatkan strategi untuk
menghadapi secara langsung sumber stress.
Harapan akan Self Efficacy meliputi
harapan terhadap kemampuan diri dalam mengatasi tantangan hidup, harapan akan
kemampuan diri untuk melakukan perilaku terampil, dan harapan terhadap
kemampuan diri untuk dapat mengatasi stressor secara efektif.semakin tinggin
harapan akan self-efficacy, maka semakin kecil kecenderungan individu dalam hal
mengalami stress.
Daya tahan psikologis individu yang buruk.
Bagaimana seseorang mengatasi stress dan mengelolanya merupakan bagian dari
ketahanan psikologis. Asumsi sebuah studi mengisyaratkan bahwa semakin tinggi
komitmen hidup, kepercayaan bahwa perubahan hidup adalah wajar adanya, dan
pengendalian hidup yang kuat pada individu, maka semakin tinggi ketahanan
psikologis seseorang pada dasarnya (Kobasa, Maddi, & Kahn, 1982, hal.
196-170).
Rasa pesimistis individu. Dalam hal
ini ada hubungan antara rasa optimistis dan kesehatan yang lebih baik.
Optimisme berkaitan dengan mood dan respon sistem imun tubuh yang lebih baik
(Segerstrom, dkk, 1998).
Dukungan sosial yang kurang baik.
Dengan adanya dukungan sosial yang cukup dari lingkungan, kita mendapatkan alternatif
dalam coping stress dalam menghadapi stressor atau sekadar memberikan dukungan
emosional yang dibituhkan selama masa-masa rumit kehidupan.
Identitas etnik. Identitas etnik
tertentu pada suatu budaya, misalnya kaum Afrika-Amerika yang menerima diskriminasi
budaya dari budaya kulit putih di Amerika, cenderung memiliki resiko kesehatan
fisik dan psikis yang tinggi, begitu halnya dengan stress.
Faktor Psikologis Stress, misalnya
kepribadian seseorang, emosi-emosi negatif seperti mara dan kecemasan, dan
lingkungan sosial. Sebuah penelitian mengemukakan bahwa tipe kepribadian A
merupakan faktor resiko psikologis juga terhadap stress. Tipe kepribadian ini
dicirikan dengan berkemauan sangat keras, ambisius, tidak sabaran, dan
kompetitif yang tinggi. Sedangkan
lingkungan sosial sendiri juga dapat meningkatkan resiok stress, atau
sebaliknya.
Faktor-Faktor Gangguan Fisik.
Faktor-faktor ini bisa mencakup segala gangguan ringan misalnya sakit kepala.
Sebuah studi menunjukkan bahwa stress juga dapat menimbulkan gangguan fisik
seperti sakit kepala, cardiovascular diseases, kanker, dan penyakit lainnya.
Dan sebaliknya juga, gangguan fisik dapat mengakibatkan stress misalnya AIDS,
cacat organ tubuh tertentu, dan sebagainya. Kesemuanya juga saling
mempengaruhi, dan mungkin bergantung pada taraf penyesuaian diri seseorang
terhadap penyakit, dan lingkungannya.
0 komentar:
Posting Komentar