PENDAHULUAN
- Sinta, perempuan, 23tahun, lebih kurang tiga tahun yang lalu, ketika sedang menunggu bis kota di sebuah perhentian bis saat pulang kuliah, dikejutkan oleh kecelakaan lalu lintas, tabrakan antara sebuah mobil dan sebuah sepeda motor yang dikendarai oleh seorang laki-laki dewasa disertai seorang anak perempuan kecil yang membonceng di belakangnya; kecelakaan itu terjadi tiga meter di hadapannya. Tubuh anak perempuan itu cedera berat, banyak darah mengalir di tubuhnya, kulit dan ototnya tampak terobek. Beberapa saat kemudian Sinta muntah-muntah, lalu terhuyung dan merasa seperti mau pingsan. Selama seminggu berikutnya, ia sulit tidur, sering terbangun waktu malam; bila makan ia sering merasa mual. Keadaannya berangsur pulih, namun hingga sekarang, bila berada di tengah jalan raya yang padat dan di tengah kesibukan lalu lintas serta bila mendengar pembicaraan tentang kecelakaan, ia merasa takut dan kadang-kadang disertai cemas.
- Adi seorang laki-laki, 46 tahun, wirausahawan yang dulunya cukup sukses, lebih kurang empat tahun yang lalu, mengalami kerugian besar dan perusahaannya jatuh; istrinya sering marah-marah, menghina, sering meminta bercerai dan akhirnya meninggalkannya satu tahun yang lalu. Menurutnya ia selalu berusaha untuk optimis, namun ia mengeluh bahwa dadanya terasa nyeri, seperti ditimpa barang berat dan nafasnya sering sesak. Ia memeriksakan diri ke dokter dan dikatakan bahwa jantungnya memang agak lemah; hal itu membuatnya merasa ‘terpukul’ dan optimismenya pun hilang. Sebulan terakhir ini ia lebih sering menarik diri dan kadang timbul pemikiran untuk bunuh diri.
Peristiwa seperti yang disampaikan di atas, tidak jarang kita dengar baik dalam pengalaman kedokteran maupun dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi, bagaimana hal itu dapat terjadi dan bagaimana penjelasannya? Biasanya, suatu organ dinyatakan patologis bila ditemukan adanya kelainan atau kerusakan pada organ itu. Namun tidak demikian halnya dengan yang terjadi pada jiwa seseorang; seseorang dapat mengalami nyeri kepala, atau muntah-muntah, atau tidak dapat melihat misalnya, tetapi setelah diperiksa secara lengkap ternyata tidak dijumpai kelainan apapun pada organnya. Secara anatomis, organnya normal, tetapi secara nyata diketahui bahwa fungsinya berubah atau menyimpang atau terganggu.
Telah lama diketahui bahwa kegentingan jiwa dapat berpengaruh pada alat-alat tubuh. Peristiwa yang dialami oleh Sinta dan Adi pada contoh di atas, menunjukkan berbagai unsur esensial dalam hubungan antara goncangan jiwa dan gangguan fungsi-fungsi tubuh:
- suatu peristiwa yang menggoncangkan emosi dapat mencetuskan gangguan fungsi atau penyakit tubuh;
- semua respons emosional biasanya disertai perubahan fisiologik tertentu (rasa jijik disertai mual, putus asa disertai hilangnya nafsu makan, rasa takut disertai keringat) dan gangguan fisiologik seringkali merupakan penyerta fisiologik yang berlebihan;
- respons fisik dapat menjadi berkepanjangan dan jauh melampaui masa rangsangnya berlangsung, sehingga dapat berupa penyakit yang mengganggu baik jasmani maupun jiwa, yang akibatnya kadang-kadang gawat;
- sikap, perilaku dan perkataan dokter berperan penting dalam perbaikan atau memburuknya kondisi pasien.
Berubahnya fungsi suatu organ atau deviasi yang tampak pada perilaku dan pikiran seseorang, dapat disebabkan atau dicetuskan oleh pelbagai faktor organik, antara lain kerusakan sel-sel otak, ketidakseimbangan hormon, atau terjadinya degenerasi jaringan, yang muncul dalam bentuk perubahan perilaku, pikiran dan perasaan (misalnya perilaku gaduh gelisah pada delirium akibat tifus abdominalis, tumor otak atau intoksikasi zat tertentu, dll). Di lain pihak, malfungsi ini dapat pula disebabkan oleh atau merupakan manifestasi dari konflik psikologik. Yang juga sering terjadi ialah bahwa kondisi malfungsi itu disebabkan oleh gabungan antara faktor organik dan psikologik, yaitu substrat organiknya sudah ada kelainan walau tidak tampak dari luar, tetapi kondisinya sedemikian rupa sehingga konflik dapat tumbuh subur.
Untuk menjelaskan hal-hal tersebut (termasuk kondisi yang diceritakan pada contoh di atas), dalam psikiatri dikenal suatu pendekatan yang disebut dengan psikodinamik, yaitu pendekatan yang biasanya digunakan untuk memahami apa yang terjadi secara fungsional pada jiwa seseorang. Untuk itu kita membuat suatu model dari jiwa (mind) yang seolah-olah mempunyai struktur atau anatomi tertentu, dan mempunyai kekuatan yang dapat bergerak di dalam dan ke luar struktur itu, untuk mencapai suatu tujuan tertentu, dengan arah yang tertentu pula. Tentunya yang terjadi sebenarnya belum tentu atau bisa jadi tidaklah demikian; tetapi, untuk mempelajari sesuatu secara ilmiah, sering kita memerlukan suatu model tertentu, agar mudah dibayangkan sehingga lebih mudah dimengerti. Mungkin hal ini tidak mudah, karena semua bidang dalam ilmu kedokteran mengacu pada kuantitas (hal-hal yang kongkrit), dan bukannya kualitas, sebagaimana yang akan dibahas dalam konsep psikodinamik ini.
Pengetahuan mengenai psikodinamika diperlukan oleh seorang dokter untuk dapat mengerti dan memahami pasien melalui gejala dan keluhannya, disamping juga untuk menegakkan diagnosis dan untuk mencapai hasil terapi yang diinginkan serta untuk melengkapi, walaupun tidak selalu mutlak diperlukan, dalam keseluruhan tatalaksana pasien secara komprehensif (disamping pemberian medikasi psikotropik serta pelbagai macam bentuk terapi lain dalam psikiatri).
Dalam mempelajari psikodinamika, hendaknya terlebih dahulu kita mengetahui hal yang mendasarinya, yaitu konsep tentang dinamik, serta aplikasi konsep tersebut dalam fenomena psikologik.
APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN DINAMIK ?
Dinamika merupakan suatu konsep ilmiah, yang mempelajari peristiwa-peristiwa, dengan meninjaunya dari segi kekuatan-kekuatan, struktur atau bentuk, dan arah (direction) dari gerakan. Misalnya, peristiwa beriaknya gelombang laut; gelombang itu mempunyai bentuk atau struktur, yang bergerak atau berubah ke arah tertentu, dipacu oleh suatu kekuatan tertentu.
Struktur, arah dan kekuatan-kekuatan ini saling berkaitan (interrelated) dan masing-masing tergantung (interdependent) satu sama lain dengan cara tertentu. Dengan mempelajari hal ini, kita dapat menemukan hukum ilmiah (scientific laws). Hukum ilmiah merupakan ekspresi matematis dari hubungan antara ketiga faktor tersebut di atas (struktur, kekuatan dan arah); hal tersebut dapat membantu kita menjelaskan fenomena-fenomena secara kausalitas, yaitu dapat menjelaskan dan memprediksi suatu hal dalam hubungan kausalitas. Hal ini dapat diterapkan pada hampir semua peristiwa fisik; misalnya, terjadinya badai, atau mengapa dan bagaimana terjadinya gempa bumi. Oleh karena itu terdapatlah termodinamik, elektrodinamik, hidrodinamik, aerodinamik, kemodinamik, dsb. Dalam konteks yang sedang kita pelajari ini, kita berusaha untuk menjelaskan tidak hanya peristiwa fisik, namun juga peristiwa biologik,psikologik dan sosial. Kesulitannya ialah bahwa terhadap fenomena-fenomena biologik, psikologik dan sosial, biasanya hanya dapat dilakukan prediksi dan dijelaskan secara kausalitas sebagian saja, dan tidak dapat dijelaskan secara menyeluruh; fenomena biologik dapat dijelaskan sebagian, psikologik lebih sedikit, dan fenomena sosial akan lebih sedikit lagi.
Apabila kita membahas suatu peristiwa fisik, kita lalu akan bertanya:“Apakah penyebabnya?” Dalam membahas peristiwa-peristiwa biologik, psikologik dan sosial, kita tidak hanya bertanya mengenai penyebabnya, melainkan juga tentang tujuan dan latar belakangnya (hal-ihwal fisik tersebut biasanya tidak menerangkan tentang makhluk hidup, sebagaimana hal-hal yang bersifat biologik, terlebih psikologik dan sosial). Jadi, bila kita berbicara tentang dinamik dan yang kita maksud adalah fenomena fisik, maka yang dimaksud adalah mengenai struktur, kekuatan dan arahnya; sedangkan apabila kita membahas mengenai dinamik dalam biologik, psikologik dan sosial, bila kita bertanya tentang mengapa fenomena tersebut terjadi, kita akan bertanya bukan hanya apa penyebabnya, namun juga tujuannya, dengan maksud untuk menjelaskan dan mencoba melakukan prediksi. Dengan demikian, bila kita berbicara mengenai psikodinamik, yang akan kita bahas yaitu mengenai peristiwa-peristiwa psikologik, bukan hanya struktur, kekuatan dan arahnya, namun juga mengenai pertumbuhan,perkembangan dan tujuan (purpose). Misalnya, kita mempelajari jantung yang sedang dalam keadaan palpitasi; tentu kita akan mempelajari anatomi, fisiologi, kekuatan-kekuatan yang dapat menyebabkan denyut jantung menjadi lebih cepat, serta bagaimana pertumbuhan, perkembangan serta tujuan atau maksud dari keadaan palpitasi tersebut. Contoh lainnya, kita melihat seseorang sedang berlari dan tampak di belakangnya berlari pula seorang polisi. Tentunya kita akan bertanya, mengapa ia berlari? apa yang menyebabkannya? karena dikejar polisi atau dapat pula karena sebab lain? serta, apa maksudnya? misalnya untuk menyelamatkan diri, atau hanya kebetulan saja mereka berlari secara berurutan.
APAKAH PSIKODINAMIK?
Ialah suatu pendekatan konseptual yang memandang proses-proses mental sebagai gerakan dan interaksi kuantitas-kuantitas energi psikik yang berlangsung intra-individual (antar bagian-bagian struktur psikik) dan inter-individual (antar orang).
Berkaitan dengan definisi tersebut, dalam mempelajari psikodinamika, kita akan mempelajaristruktur (yaitu kepribadian), kekuatan (yaitu dorongan, drive, libido, instincts), gerakan(movement, action), pertumbuhan (growth) dan perkembangan (development), serta tentangmaksud dan tujuan fenomena-fenomena psikologik yang ada pada seseorang.
Dalam mempelajari struktur kepribadian individu, kita akan mengacu pada suatu model yang dasarnya ialah teori psikoanalisis klasik Sigmund Freud (seorang pakar yang memperkenalkan dan mengembangkan psikoanalisis). Walaupun teori ini kini tidak selalu dapat digunakan dalam menganalisis dan digunakan dalam tatalaksana pasien, namun sebagai dasar, kita tetap perlu mempelajarinya. Dalam buku ini pun hanya akan dibahas secara garis besar dan singkat,sebagai dasar agar lebih mudah mempelajari teori-teori pasca-Freud yang kinitelah berkembang pesat.
Dalam mempelajari struktur kepribadian, tidak akan terlepas dan akan bertumpang tindih dengan pertumbuhan dan perkembangannya, serta dengan gerakan dari kekuatan (teori libido). Menurut teori ini, libido atau energi psikis yang mempunyai kekuatan tertentu, bergerak intra-individu dan inter-individu. Dalam keadaan seimbang, distribusinya sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan individu, dan disebut sebagai keadaan equilibrium atau homeostasis
Struktur kepribadian seseorang terdiri atas 3 komponen yaitu id, ego dan superego. Id (naluri, drive, instincts), telah ada sejak individu dilahirkan ke dunia ini. Selain mempunyai struktur (yang bentuknya belum jelas ketika lahir), id juga mempunyai kekuatan berupa dorongan.Dorongan ini merupakan dorongan untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia, antara lain instink bernapas, lapar, seks. Id biasanya mendominasi individu pada usia bayi hingga lebih kurang satu setengah tahun. Pada saat itu pula konsentrasi libido berada pada daerah mulut (menurut teori ini, konsentrasi libido akan berpindah-pindah sesuai dengan perkembangan psikoseksual anak serta daerah erogen pada fase perkembangan tersebut).
Dalam perkembangannya, sebagian dari id akan mengalami diferensiasi menjadi ego. Ego terbentuk karena pertentangan (konflik) antara id dengan lingkungan yang tidak selalu dapat memenuhi kebutuhannya. Prinsip yang dianut oleh id yaitu pleasure principle, sedangkan ego menganut prinsip realitas, bahwa kebutuhan atau dorongan dapat ditunda sesuai dengan realitas yang ada. Konsentrasi libido selanjutnya bergerak dari mulut ke daerah anus (fase perkembangannya disebut sebagai fase anal).
Superego terbentuk dari hasil absorbsi dan pengambilan nilai-nilai norma dalam kultur, agama, hal-hal kebaikan yang ditanamkan oleh orang tua; jadi bukan merupakan diferensiasi dari id sebagaimana ego. Superego merupakan wakil orang tua dalam diri anak, yang mengingatkan akan hal-hal yang baik dan buruk, yang boleh dan yang tidak. Terbentuk pada usia antara 3 hingga 5 atau 6 tahun. Pada saat ini konsentrasi libido terpusat pada daerah falus (fase perkembangannya disebut sebagai fase falik atau Oedipal).
Ketiga elemen struktur kepribadian tersebut saling berinteraksi, dengan kandungan energi psikis yang terdistribusi secara merata sesuai tingkat perkembangan individu. Bila terjadi konflik di antaranya, individu akan mengalami ketegangan, ketidakpuasan, kecemasan, dan atau gejala-gejala psikologik lain. Sebaliknya, bila seorang anak tidak pernah mengalami konflik sama sekali pun (disebut sebagai pemanjaan atau over indulgence), akan mengalami hal yang sama. Menurut Freud, konflik perlu dialami dalam batas tertentu agar seorang individu belajar menunda keinginan, menyadari realitas sehingga mampu mengatasi masalah-masalah yang dialami dalam hidupnya nanti. Tetapi, kalau konflik yang dialami itu berlebihan dan berat derajatnya, maka perkembangan kepribadian individu tidak akan optimal; perkembangan itu akan terhambat karena ada sebagian energi psikik yang tertahan pada suatu fase perkembangan tertentu (disebut sebagai fiksasi), sehingga energi yang bergerak ke fase berikutnya akan berkurang jumlahnya. Bila pada suatu saat, misalnya pada fase selanjutnya atau setelah dewasa nantinya, individu mengalami suatu tekanan atau stresor psikososial yang relatif berat untuknya, ia dapat kembali ke fase perkembangan saat fiksasi itu dialami (disebut sebagai regresi). Cara-cara individu tersebut mengatasi stresor itupun biasanya sesuai dengan tingkat regresi yang dialaminya. Menurut Freud, psikopatologi akan timbul, bila konflik yang bermakna dialami oleh individu pada masa lima tahun pertama kehidupannya. Sulitnya, kita biasanya menjumpai pasien setelah dewasa sehingga penelusuran penghayatan hal-hal psikologik yang bermakna tidak mudah dilakukan, karena banyak faktor yang mempengaruhi, antara lain daya ingat, mekanisme defensi individu (akan dibahas kemudian), serta hal-hal nirsadar lainnya. Teori klasik ini kini telah berkembang dan banyak mengalami modifikasi, namun sebagai dasar, hingga kini teori ini tetap digunakan sebagai acuan, agar lebih mudah mempelajari teori-teori baru. Psikodinamika yang kini digunakan telah banyak berubah berdasarkan kemajuan perkembangan teorinya, hasil-hasil penelitian serta pengalaman empirik, antara lain dasar teorinya bukan hanya teori psikoanalisis klasik ini, melainkan juga teori relasi-objek dan psikologi self.
Psychodynamic psychiatry (psikiatri dengan pendekatan psikodinamik) atau psikiatri dinamik, telah berusia lebih kurang seabad; istilah dinamik pertama kali digunakan oleh Leibniz untuk menekankan perbedaannya dengan yang statis. Dalam abad ini, psikiatri dinamik modern disebutkan sebagai suatu cabang psikiatri yang menjelaskan fenomena mental sesuai dengan perkembangan konflik. Namun, dalam dua dekade terakhir ini, psikiatri dinamik bukan hanya berpegangan pada konflik untuk menjelaskan fenomena-fenomena mental dan gangguan jiwa. Sebetulnya orientasi psikodinamik bukan satu teori, melainkan lebih merupakan ciri dari sejumlah teori yang mempunyai kesamaan atau tumpang tindih dalam konsep-konsep, esensi, struktur dan funksi kepribadian, psikopatogenesis, psikopatologi, terapi dan hubungan terapeutik. Kini, psikodinamik didefinisikan sebagai: ‘suatu pendekatan dalam psikiatri, untukmendiagnosis dan memberikan terapi, yang dicirikan oleh cara berpikir baik mengenai pasien maupun klinikusnya, yang didalamnya termasuk konflik nirsadar, defisit dan distorsi struktur intrapsikik, serta relasi-obyek internal. Yang penting diingat sekali lagi ialah bahwa psikodinamik merupakan suatu pendekatan konseptual, yang merupakan salah satu cara memandang suatu fenomena psikologik, yang amat bermanfaat dalam menganalisis pasien serta merencanakan tatalaksana yang komprehensif. Sebagaimana kita maklumi, hingga saat ini fenomena psikologik yang terjadi pada manusia masih belum dapat dijelaskan secara menyeluruh, apalagi untuk menjelaskannya secara kausal, walaupun kini telah ditemukan pelbagai fenomena biologik yang berupaya menjelaskan hal-hal yang masih menjadi misteri tersebut yang bermanfaat dalam tatalaksana pasien (misalnya penemuan beberapa neurotransmiter yang diketahui berperan pada beberapa gangguan jiwa, antara lain depresi, skizofrenia, dll.).
MEKANISME DEFENSI
Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu biasanya berusaha – sedapat mungkin – untuk memenuhi kebutuhannya, dengan segala kemampuan fisik dan intelektual yang ada, di lingkungan tempat ia berada. Hal ini senantiasa menghadapkan individu tersebut dengan masalah, oleh karena kemampuan fisik dan intelektualnya pada saat tertentu berada dalam batas tertentu, dan, lingkungannya tidak dengan sendirinya bekerjasama dengannya, menyediakan hal-hal yang dibutuhkan, bahkan kadang sebaliknya, justru melawan kebutuhan tersebut. Jadi, dalam upaya memenuhi kebutuhannya, individu menghadapi kemungkinan bahwa kebutuhannya tidak dipenuhi, atau tidak terpenuhi dengan memuaskan, atau dengan kata lain terancam kegagalan.
Dalam upaya pemenuhan kebutuhannya, individu selalu atau senantiasa melakukan perbuatan dan berperilaku sedemikian rupa demi tercapainya tujuan tersebut, dan setidaknya menghindarkan atau meminimalkan kegagalan.Untuk hal tersebut, manusia memiliki kemampuan yang besar, karena, bila seseorang kurang berhasil mencapai pemuasan kebutuhannya dalam realitas dan kurang berhasil menghindarkan ancaman kegagalan dalam realitas, ia dapat “bergeser” (atau menggunakan) ke fantasinya.
Untuk menghadapi masalah tersebut, individu memiliki seperangkat cara atau metode atau teknik, yang dapat dikerahkan, dan akan digunakan bila diperkirakan efektif untuk menanggulangi masalah yang sedang dihadapi.Cara-cara ini disebut mekanisme pertahanan atau defensi.
Mekanisme defensi dapat ditinjau dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, yaitu semua cara penanggulangan masalah, baik yang rasional maupun irasional, yang sadarmaupun nirsadar, yang realistik maupun yang fantastik. Dalam arti sempit, ialah mekanisme yang dipakai ego untuk menyingkirkan ansietas dan yang mengandung potensi patogen (potensi untuk membentuk gejala psikopatologik), yaitu mekanisme yang berlangsung dengan pemindahan (shift) ke fantasi dan pengolahan fantasi itu dilakukan dengan berbagai cara, yang tidak disadari dan tidak rasional; dalam kepustakaan psikiatri istilah ini lazim dipakai dalam arti sempit.
Lalu, apa yang dilakukan oleh individu bila menghadapi masalah? Biasanya ia akan:
a. Mengadakan perubahan terhadap situasi yang dihadapi, mungkin memang itu pernah
dialaminya dan ia tahu cara mengatasinya; mungkin juga situasi itu baru sehingga ia
harus bereksperiman terlebih dahulu sebelum menemukan cara yang tuntas.
b. Menghindar dan menjauhkan diri dari situasi yang dihadapi.
Dari kedua macam cara ini kemungkinannya akan berhasil sehingga ia merasa aman dan puas, atau bila kurang berhasil tetap ada sisa ketidakamanan dan ketidakpuasan.
c. Berusaha dan belajar untuk hidup dengan ketidakamanan dan ketidakpuasan.
Dalam hal ini, individu menggunakan mekanisme defensi untuk menghadapi dan mengatasi masalah-masalah kehidupan tersebut. Tidak ada seorang pun dari kita yang tidak menggunakan mekanisme defensi ini. Semua mekanisme defensi dilakukan oleh ego melawan tuntutan instinktual dari id. Mekanisme defensi diklasifikasikan dari yang paling imatur atau patologik hingga yang matur (merupakan suatu kontinum).
Beberapa mekanisme defensi yang tergolong matur (Vaillant), yaitu:
1. Supresi: membuang pikiran-pikiran dan perasaan yang tidak dapat diterima secara
sadar
2. Altruisme: menangguhkan atau menganggap tidak penting kebutuhan atau minat pribadi
dibandingkan dengan orang lain.
3. Sublimasi: mengganti dorongan-dorongan atau harapan-harapan (secara nirsadar)
yang tidak dapat diterima oleh alam sadar dengan alternatif lain yang dapat diterima
secara sosial.
4. Humor: kemampuan membuat hal-hal yang lucu untuk diri sendiri atau pada situasi
tempat individu berada, yang merupakan bagian dari jiwa yang sehat.
Beberapa mekanisme defensi yang lain (yang potensial patologik), yaitu 1,5 :
1. Penyangkalan ( denial ) :
yaitu menganggap tidak ada sensasi-sensasi nyeri atau antisipasi suatu peristiwa yang tidak menyenangkan. Mungkin inilah mekanisme yang paling sederhana. Cara ini lazim digunakan untuk meringankan ansietas. Contohnya antara lain anak kecil yang “tidak merasa sakit” ketika disuntik, orang dewasa yang meyakini diri sendiri bahwa perkawinan, atau perceraian, atau penggantian pekerjaan akan membereskan segala persoalan.
2. Represi :
perasaan-perasaan dan impuls yang nyeri atau tidak dapat diterima (memalukan, membangkitkan rasa bersalah, membahayakan) didorong ke luar kesadaran, tidak diingat, “dilupakan”. Ini dapat membentuk gejala karena materi yang dilupakan itu mencari penyaluran dalam fungsi-fungsi sistem badaniah tertentu (misalnya dalam sindrom histeria), atau terjadi “lowongan” dalam pola ingatan. Hal-hal yang direpresikan dapat juga bermanifestasi dalam ide-ide atau perasaan-perasaan yang dipegang teguh dan kaku tanpa alasan yang masuk akal.
3. Proyeksi :
kegagalan diri sendiri dipersalahkan kepada orang lain atau pada “situasi”, misalnya kalah dalam pertandingan karena wasitnya curang, tidak lulus ujian karena dosennya sentimen, usaha merosot karena situasi umum. Cara ini dapat meringankan kecemasan, rasa bersalah dan rasa gagal. Proyeksi dapat meningkat sampai taraf ekstrim yang disertai penyimpangan persepsi lingkungan, yaitu berupa waham kejaran dan halusinasi.
4. Introyeksi :
arti harafiahnya yaitu “memasukkan ke dalam diri”. Individu dapat menyingkirkan ketakutan terhadap seseorang dan impuls-impuls permusuhan terhadapnya dengan cara mengambil-alih (memasukkan ke dalam diri) sifat-sifat orang tersebut. Hal ini dapat menjadi gejala psikopatologik bila ia kemudian merasa “terancam dari dalam” yang menjelma dalam kecenderungan untuk “menghukum diri” dan perasaan bersalah irasional yang tidak dapat dikuasai.
5. Pembentukan reaksi (reaction formation) :
mekanisme ini mempunyai hubungan dengan represi sebagai jalan untuk mengolah atau menyalurkan materi yang direpresi. Terhadap impuls-impuls dalam dirinya yang dirasakannya sebagai ancaman, individu menyusun sikap reaktif terhadapnya; dengan demikian ia akan merasa aman dan percaya bahwa impuls-impuls tersebut tidak ada. Namun, sikap reaktif ini sering bersifat kaku dan seperti berlebihan, dan dapat membentuk gejala obsesi dan kompulsi. Contohnya, seseorang yang merasa terancam misalnya oleh impuls agresif atau seksual yang tercela (dari dalam dirinya), dapat menjadi seorang dengan fanatisme religius yang kaku dan menentang segala bentuk kesenangan bagi dirinya sendiri.
6. Peniadaan (undoing) :
Mekanisme ini biasanya berkaitan dengan reaction formation. Terdiri atas perbuatan-perbuatan ritualistik yang mempunyai arti simbolik untuk meniadakan, menghapus, melupakan suatu kejadian, pemikiran atau impuls. Individu tidak mengetahui (tidak menyadari) hal yang “ditiadakan” olehnya; ia hanya mengalami suatu dorongan yang kuat untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, yang biasanya berulang kali.Contoh, seseorang kadang-kadang berkumur untuk “menghapus” perkataan yang baru dikatakannya namun disesalkan karena terdengar memalukan.
7. Isolasi :
Mekanisme ini memisahkan ingatan tentang peristiwa traumatik (peristiwa yang membangkitkan ansietas) dari penghayatan emosinya. Pasien dapat mengingat dan menceritakan peristiwa asalnya, tanpa menghayati emosi yang berkaitan dengan peristiwa itu; emosi itu disalurkan pada obyek-obyek lain yang tampaknya tidak relevan.
8. Penghalangan ( blocking ) :
Digunakan bila seseorang tidak dapat mengatasi emosinya dengan penyangkalan dan represi; dengan demikian suatu fungsinya dihentikan, dihadang. Mekanisme ini praktis selalu bersifat patologik; misalnya frigiditas sebagai mekanisme defensi terhadap hal-ihwal seksual, pasivitas yang ekstrim pada orang yang sebenarnya sangat hostil (bermusuhan) atau sangat takut. Emosi yang “dihadang” demikian dapat disalurkan terhadap obyek atau situasi lain yang tampaknya tak bersangkut paut.
9. Regresi :
Mundur kembali pada jenis adaptasi yang lebih dini. Digunakan dalam usaha untuk mengatasi atau menyesuaikan diri dengan situasi yang amat sukar atau situasi buntu. Tingkat regresi memainkan peran penting dalam penentuan sifat reaksi, apakah neurotik atau psikotik, yang dipertunjukkan seseorang bila situasinya tidak dapat dihadapi secara konstruktif.
10. Splitting:
merupakan mekanisme defensi yang primitif, yang bermanifestasi secara klinis dalam bentuk:a). Ekspresi perasaan dan perilaku yang berubah-ubah secara cepat, b). Kemampuan pengendalian impuls berkurang secara selektif, c). Memisahkan orang-orang di lingkungannya menjadi dua macam, yaitu yang baik dan yang buruk, d).Representasi self yang berubah-ubah secara bergantian dari hari ke hari bahkan dari jam ke jam. Banyak dijumpai pada pasien dengan gangguan kepribadian ambang.
11. Identifikasi proyektif:
Merupakan sarana masuknya splitting intrapsikik kedalam splitting interpersonal. Terdiri atas tiga tahap, yaitu: a). Pasien memproyeksikan representasi self dan obyek kepada terapis, b). Terapis secara nirsadar mengidentifikasi hal-hal yang diproyeksikan itu dan mulai berperilaku sesuai atau seperti yang diproyeksikan sebagai respons terhadap tekanan interpersonal dari pasien, c). Materi yang diproyeksikan diolah secara psikologik dan dimodifikasi oleh terapis dan kemudian dikembalikan kepada pasien (re-introyeksi) Materi yang dikembalikan itu akan mengubah represntasi self dan obyek dalam pola hubungan interpersonal.
PUSTAKA ACUAN :
- Lubis DB. Pengantar Psikiatri Klinik, Balai Penerbit FKUI, 1993, 43-5, 105.
- Gabbard GO. Long-term Psychodynamic Psychotherapy A Basic Text. Washinton DC, London. American University Press 2004: 99-100
- Gabbard GO. Psychodynamic Psychiatry in Clinical Practice, The DSM-IV Edition, American Psychiatric Press, Washington, 2000, 3-5, 32-4.
- Lubis DB & Elvira SD. Penuntun Wawancara Psikodinamik dan Psikoterapi. Balai Penerbit FKUI, 2005: 13.
- Nemiah JC. Foundations of Psychopatology. Jason Aronson Inc New York 1983: 7-8.
- Lubis DB. Ikhtisar Teori dan Klinik Neurosa, Bumi Grafika Jaya, 1979,5-6.
- Elvira SD. Kumpulan Makalah Psikoterapi. Balai Penerbit FKUI, 2005: 64.
- Fenichel O. The Psychoanalytic Theory of Neurosis, Basic Book, W.W. Norton & Co.,Inc., New York, 1972, 53-63.
- Karasu T.B. Psychotherapies: An Overview, American J. Psychiatry, 134: 8, 1977, 857- 8.
0 komentar:
Posting Komentar