BAB I
PENGANTAR
A.
Latar Belakang Masalah
Setiap perubahan kehidupan atau
serangkaian situasi menyebabkan perubahan respon yang meningkatkan resiko
terjadinya penyakit atau mempercepat berkembangnya penyakit tersebut. Terdapat beberapa perubahan hidup yang
menyebabkan keadaan stres, antara lain : kematian, perkawinan, pertengkaran,
penyakit, pekerjaan, perubahan status ekonomi, dan sebagainya. Berbicara mengenai stres yang disebabkan oleh
penyakit, disini akan dijabarkan mengenai stres pada penderita diabetes
mellitus yang merupakan salah satu penyakit cukup ditakuti.
Salah satu contoh di bawah
ini yang diungkapkan oleh Bapak Susilo dalam wawancara dengan penulis pada tanggal 18 Februari 2007 dapat memberikan gambaran bahwa penyakit diabetes mellitus ini juga
membutuhkan pemikiran yang cukup serius. Penyakit diabetes mellitus yang diidap
sejak 20 tahun yang lalu membuat kehidupan Bapak Susilo berubah. Walaupun diabetes mellitus yang diidap beliau
adalah diabetes mellitus tipe II (tidak tergantung insulin) tetapi rutinitas-rutinitas
untuk menjaga kesehatan tubuhnya pun
tidak kalah rumitnya dengan diabetes tipe I (tergantung insulin). Bapak Susilo harus menjaga pola makannya
seperti tidak banyak mengkonsumsi gula maupun makan-makanan yang manis,
menjalani diet, banyak berolahraga minimal berjalan kaki, banyak minum air
putih dan buah-buahan, tidak lupa pengecekan gula darah minimal 1 bulan
sekali. Hari-hari yang terkadang membuat
beliau sulit adalah jika harus menghadiri pesta dan bepergian jauh. Beliau harus lebih selektif memilih makanan
yang akan dikonsumsinya karena salah
memakan makanan dapat menyebabkan gula darahnya naik. Jika
hal tersebut terjadi, beliau langsung menjalani pengecekan gula
darah. Sepertinya rutinitas-rutinitas
tersebut mudah untuk dijalani tetapi terkadang beliau mengalami kejenuhan, seperti
ingin bebas dalam mengkonsumsi jenis makanan dan minuman. Aktivitas
lain yaitu pekerjaan
terkadang menambah beban beliau dalam menjaga kesehatannya. Aktivitas pekerjaan dan pikiran yang terlalu
berat akan meningkatkan glukosa dalam darah sehingga beliau harus lebih serius
dalam menjaga pola makannya dan mengkonsumsi obat-obatan. Beliau memang jarang mengkonsumsi obat
diabetes, beliau lebih cenderung menjaga kesehatannya tanpa bergantung dengan
obat-obatan. Maka dari itu, beliau harus lebih optimal dalam
menjalani larangan-larangan dan menghindari pikiran berat.
Perlu diingat bahwa Diabetes Mellitus yang kita kenal sebagai
penyakit kencing manis, merupakan penyakit keturunan yang menyebabkan gangguan
produksi hormon insulin, yaitu suatu zat yang bekerja sebagai petugas pengolah
gula. Sebenarnya Diabetes Mellitus
tidaklah menakutkan bila diketahui lebih awal, tetapi kesulitan diagnostik
timbul karena Diabetes Mellitus datang tenang dan bila dibiarkan akan
menghanyutkan pasien kedalam komplikasi fatal.
Lebih rumit lagi Diabetes Mellitus tidak menyerang satu alat tubuh saja,
tetapi berbagai komplikasi dapat diidap bersamaan dalam satu tubuh (Ranakusuma,
1982).
Miller (Soehardjono, Cokroprawiro, Adi, 2002) menyatakan bahwa penyakit ini merupakan
suatu penyakit kronis, sebagaimana lazimnya penyakit kronis sering menimbulkan
perasaan tidak berdaya pada diri penderitanya, suatu perasaan bahwa dirinya
sudah tidak mampu lagi mengubah masa depannya.
Perasaan tidak berdaya timbul karena berbagai macam sebab antara lain
karena kondisi kesehatan penderita yang tidak menentu yang diwarnai dengan
kesembuhan dan kekambuhan dan kemungkinan juga karena terjadinya kemunduran
fisik. Hal tersebut dapat memicu timbulnya
stres dalam kehidupan penderita sehingga dapat meningkatkan sakit penderita
menjadi bertambah parah dan prognosis menjadi jelek.
Wilkinson G (Soeharjono, Tjokroprawiro,
Margono, Tandra, 1993) dalam
tulisannya mengatakan bahwa seringkali ditemui adanya gangguan psikologis dan
psikiatris pada penderita diabetes mellitus dan biasanya dalam taraf ringan
serta seringkali terabaikan dalam pemeriksaan rutin pada klinik diabetes. Dikatakan pula bahwa stres psikologis dan
psikososial dapat memberatkan kontrol metabolit pada diabetes ataupun dapat
pula merupakan presipitasi (mempercepat) bagi timbulnya
diabetes mellitus. Hal tersebut terbukti
dari hasil penelitian dalam Soeharjono dkk menyatakan bahwa mereka yang
mempunyai kepribadian introvert
menunjukkan hasil pengendalian diabetesnya yang lebih baik daripada yang ekstrovert karena mereka lebih sensitive
terhadap hukuman atau hadiah yang diberikan oleh orang tua (terutama pada anak)
sehingga mereka cepat mencapai pengendalian diabetes dengan baik.
Lustman dkk. (Soeharjono, Tjokroprawiro,
Margono, Tandra, 1993) menemukan
bahwa penderita dengan gangguan psikiatrik ternyata mengalami metabolik kontrol
lebih jelek daripada penderita-penderita yang tidak mempunyai riwayat gangguan
psikiatrik. Perubahan psikologis yang
disebabkan oleh kontrol metabolik yang dipengaruhi oleh stres antara lain :
gangguan pergerakan usus,
penyerapan makanan, peredaran darah subcutan
dan absorbsi insulin.
Dalam penelitian lain terlihat bahwa stres yang dialami oleh 4
orang subjek remaja penyandang DM TI
terkait dengan kedisiplinan dalam melaksanakan menejemen diabetes yang meliputi
pelaksanaan diet, suntik insulin, periksa darah, olah raga dan rutinitas
pemerikaan kondisi kesehatan oleh tenaga medis professional. Terlihat juga adanya stress yang terkait dengan
penerimaan mereka terhadap kondisi yang mereka sandang, perasaan terhadap lingkungan sekitar mereka
yang tidak menyandang diabetes dan pandangan mereka terhadap masa depan terkait dengan diabetes
mellitus yang mereka sandang (Tanumidjojo,
Basoeki, dan Yudiarso, 2004).
Bertolak dari
kenyataan bahwa perasaan stres yang dialami seseorang ternyata lebih disebabkan
oleh pikiran dan perasaan yang tidak menyenangkan dalam menghadapi stresor
kehidupan, kecenderungan berpikir seseorang baik positif maupun negatif akan
membawa pengaruh terhadap penyesuaian dan kehidupan psikisnya.
Orang yang cenderung berpikir negatif, pesimis
dan irasional akan lebih mudah mengalami stres daripada mereka yang cenderung
berpikir positif, rasional dan optimis (Hardjana, 1994). Dengan membentuk sikap
positif terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan, akan membuat seseorang
melihat keadaan tersebut secara rasional, tidak mudah putus asa ataupun
menghindar dari keadaan tersebut, tetapi justru akan mencari jalan keluarnya.
Dengan demikian orang tersebut mempunyai mental yang kuat, yang akan
membantunya dalam menghadapi stresor kehidupan (Chaeruni, 1995).
Penelitian Cridder dkk (Chaeruni, 1995) menemukan bahwa dengan memusatkan perhatian pada sisi positif dari suatu
keadaan yang sedang dihadapi, akan membuat seseorang menjadi lebih mampu
mempertahankan emosi positifnya dan mencegah emosi negatif serta membantu dalam
menghadapi situasi yang mengancam dan menimbulkan stres.
Bila stres terus berlanjut pada penderita Diabetes Mellitus akan
menimbulkan perubahan-perubahan hemodinamik berupa rasa gelisah, hipertensi,
gangguan metabolisme glukosa dan dyslipidemia
(Jatno, 1995).
Penyandang diabetes memang
dituntut untuk
melaksanakan pelbagai rutinitas yang berkaitan dengan pengaturan makan,
penyuntikan insulin setiap hari dan pengontrolan glukosa darah. Maka, bila seseorang telah menyandang
Diabetes Mellitus akan terjadi perubahan-perubahan pada rutinitis kehidupannya,
apalagi apabila sudah dialami dalam waktu cukup lama, biasanya
perubahan-perubahan tersebut akan lebih dirasakan. Dalam menghadapi perubahan tersebut, setiap
individu akan berespons dan mempunyai persepsi yang berbeda-beda tergantung
pada kepribadian dan ketahanan diri terhadap stres, konsep diri dan citra diri,
serta penghayatan terhadap menjalani penyakit tersebut, misalnya ada yang
merasa marah karena merasa tidak beruntung sehingga cenderung menyalahkan
hal-hal atau orang lain disekitarnya atau menyesali nasibnya mengalami Diabetes
Mellitus, adapula yang merasa bersalah pada diri sendiri, sehingga merasa sedih
dan merasa masa depannya suram. Respon-respon tersebut merupakan beberapa ciri
dari seseorang yang memiliki penilaian terhadap diri sendiri yang buruk,
penerimaan diri sendiri pun menjadi negatif.
Di lain pihak banyak pula individu yang dapat menerima kenyataan bahwa
Diabetes Mellitus yang dialami sebetulnya tidak berbahaya, namun tetap harus
dihadapi agar tetap hidup lebih nyaman.
Hjelle dan
Ziegler (Izzaty, 1996) menyatakan bahwa toleransi terhadap
stres yang tinggi merupakan salah satu ciri dari individu yang mampu menerima
dirinya. Penerimaan diri ini terbentuk karena individu yang
bersangkutan dapat mengenal dirinya dengan baik. Hurlock mengatakan bahwa penerimaan diri inilah yang membuat perilaku individu menjadi well-adjusted
yang pada akhirnya memiliki daya tahan yang tinggi terhadap stres (Izzaty, 1996).
Penelitian Tanumidjojo, Basoeki danYudiarso dikatakan bahwa subjek dengan
kepribadian yang puas dengan diri sendiri, mudah dituntun, namun memiliki
fungsi ego yang lemah dan cenderung menyerah terhadap tekanan, cenderung
mengalami stres yang terkait dengan penerimaan diri. Subjek dengan kepribadian yang cemas akan diri
sendiri, mudah dituntun, memiliki ego yang cukup kuat namun cenderung
menghindar dari tekanan juga mengalami stres yang terkait dengan penerimaan
diri (Tanumidjojo, Basoeki, dan Yudiarso, 2004).
Sartain (Andromeda. 2006) mendefinisikan penerimaan diri sebagai
kesadaran seseorang untuk menerima dirinya sebagaimana adanya dan memahami
dirinya seperti apa adanya. Individu
yang memiliki penerimaan diri berarti telah menjalani proses yang menghantarkan
dirinya pada pengetahuan dan pemahaman tentang dirinya sehingga dapat menerima
dirinya secara utuh dan bahagia.
Karp menambahkan bahwa berbagai masalah psikologis yang dihadapi penderita akan menimbulkan
stres bagi penderita. Kehidupan yang
penuh stres akan berpengaruh terhadap fluktuasi glukosa darah meskipun telah
diupayakan diet, latihan fisik maupun pemakaian obat-obatan dengan secermat
mungkin, oleh karena itu masalah-masalah psikologik yang dihadapi penderita
diabetes mellitus akan dapat mempersulit pengendalian gula darahnya. Hal tersebut disebabkan terjadinya
peningkatan hormon-hormon glucocorticoid,
cathecolamine, growth hormon, glicagon dan betaendorphine (Soeharjono, Tjokroprawiro dan Adi, 2002).
Berbagai masalah di atas dapat dilihat adanya hubungan yang erat
antara penerimaan diri seseorang dan kemampuan individu dalam menghadapi
stressor. Kemudian timbulah assumsi bahwa individu yang memiliki penerimaan
diri yang jelek akan mudah mengalami stress, sedangkan individu yang memiliki
penerimaan diri yang baik tidak mudah untuk mengalami stres.
B.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji hubungan antara penerimaan diri dengan stres pada penderita Diabetes
Mellitus.
C.
MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini dapat memberikan masukan
yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi khususnya Psikologi Klinis dan
Psikologi Kesehatan dengan memberikan tambahan data empiris yang teruji secara
statistik, baik hipotesis tersebut terbukti ataupun tidak.
Secara praktis penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak-pihak terkait seperti
masyarakat ataupun keluarga yang mengalami Diabetes Mellitus dalam memandang
penyakitnya dan membantu tenaga ahli di bidang kesehatan di dalam memberikan treatment
kepada penyandang Diabetes Mellitus.
D. KEASLIAN
PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian replikasi dari penelitiaan-penelitian
yang terdahulu karena adanya tingkat kesamaan pada salah satu variabelnya. Adapun penelitian-penelitian yang akan
digunakan penulis sebagai acuan dalam penulisan penelitian ini antara lain
sebagai berikut:
Penelitian sebelumnya “ Hubungan
Keasertifan dengan Penerimaan Diri Atas Kecacatan yang Disandang pada Para
Penyandang Cacat Tubuh di Pusat Rehabilitasi Penderita Cacat Tubuh (PRPCT)
Prof. Dr. Soeharso Surakarta “ telah dilakukan oleh Dwiyani Ratnawati
(1990). Penelitian ini menggunakan
subjek penyandang cacat tubuh usia remaja sampai dewasa awal yang bertempat di
PRPCT Prof.Soeharso Surakarta, dengan hasil semakin tinggi tingkat keasertifan
akan semakin tinggi pula penerimaan diri atas kecacatan yang disandang dan dari
analisis data selanjutnya menunjukkan bahwa ada perbedaan penerimaan diri atas
kecacatan yang disandang antara laki-laki dengan wanita dengan mengendalikan
tingkat keasertifan. Hal ini berarti
bahwa laki-laki menunjukkan penerimaan diri yang lebih tinggi dibandingkan
dengan wanita. Skala yang digunakan adalah skala keasertifan
dan skala penerimaan diri.
Penelitian lain dilakukan oleh Atmini
Restu Lestari (1994) dengan judul “Tingkat Stres Pada Penderita Penyakit
Jantung Iskemik dan Non Iskemik”. Subjek
dalam penelitian ini yaitu penderita penyakit jantung, sedang dirawat atau
berobat di RS Jantung Harapan Kita Jakarta ,
dengan hasil kelompok penderita jantung iskemik mempunyai tingkat stress yang
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok penderita penyakit jantung non
iskemik. Penelitian ini menggunakan teknik analisa
t-test karena yang akan dianalisis adalah pebedaan reratanya saja. Skala yang digunakan adlah skala stres,
dokumentasi dan wawancara.
Penelitian lain seperti “Hubungan
antara Berpikir Positif dan Harga Diri dengan Daya Tahan terhadap Stres pada
Remaja di SMA N 1 Cirebon ”
telah dilakukan oleh Chaeruni (1995).
Penelitian ini menggunakan subjek siswa SMA N I Cirebon yang berusia
16-18 tahun, dengan hasil semakin tinggi kecenderungan berpikir positif dan
harga diri maka akan semakin tinggi pula daya tahan terhadap stres.
Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi berganda. Skala yang digunakan adalah skala berpikir
positif, skala harga diri dan skala daya tahan terhadap stres.
Perbedaan mendasar dari ketiga
penelitian di atas dengan penelitian ini adalah dari skala yang digunakan,
subjek, dan metode analisis datanya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stres
1.
Pengertian Stres
Kata “stres” bisa diartikan berbeda bagi tiap-tiap individu. Sebagian individu mendefinisikan stres
sebagai tekanan, desakan atau respon emosional.
Para psikolog juga mendefinisikan stres
dalam pelbagai bentuk. Definisi stres
yang paling sering digunakan adalah definisi Lazarus dan Launier (Ognen dalam Tanumidjojo, Basoeki, Yudiarso,
2004) yang menitikberatkan pada hubungan antara individu dengan lingkungannya. Stres merupakan konskuensi dari proses penilaian individu, yakni
pengukuran apakah sumber daya yang dimilikinya cukup untuk menghadapi tuntutan
dari lingkungan.
Pengertian stres menunjukkan variasi antara ahli yang satu dengan
ahli yang lainnya. Folkman dan Lazarus
(Chaeruni, 1995)
mendefinisikan stres sebagai suatu akibat dari interaksi antara seseorang
dengan lingkungannya yang dinilai membahayakan dirinya. Gibson (Chaeruni, 1995) mendefinisikan stres sebagai
interaksi antara stimulus dan respon.
Stres sebagai stimulus adalah kekuatan atau dorongan terhadap individu
yang menimbulkan reaksi ketegangan atau menimbulkan perubahan-perubahan fisik
individu. Stres sebagai respon yaitu
respon individu baik respon yang bersifat fisiologik maupun respon yang
bersifat psikologik, terhadap stresor yang berasal dari lingkungan. Stresor tersebut merupakan peristiwa atau situasi
dari luar yang bersifat mengancam individu.
Selye (Saseno,2001) mendefinisikan stres
adalah respon tubuh yang tidak spesifik terhadap setiap kebutuhan yang
terganggu. Davis , dkk (Saseno,2001) mendefinisikan stres adalah kejadian kehidupan seharian
yang tidak dapat dihindari. Kozier, dkk
(Saseno,2001) mendefinisikan
stres adalah fenomena universal, setiap orang mengalaminya. Stres memberi dampak secara total pada individu
yaitu fisik, emosi, intelek, sosial, dan spiritual. Stres fisik mengancam keseimbangan
fisiologis. Stres emosi dapat
menimbulkan perasaan negatif atau destruktif terhadap diri sendiri. Stres intelektual akan mengganggu persepsi
dan kemampuan menyelesaikan masalah.
Stres sosial akan menggangu hubungan individu dengan orang lain. Stress spiritual akan merubah pandangan
individu terhadap kehidupan (Saseno, 2001).
Stres adalah
perasaan tertekan, perasaan tertekan ini membuat orang mudah tersinggung, mudah
marah, konsentrasi terhadap pekerjaan menjadi terganggu. Stres merupakan reaksi tubuh terhadap situasi
yang tampak berbahaya atau sulit. Stres
membuat tubuh untuk memproduksi hormon adrenalin yang berfungsi untuk
mempertahankan diri. Stres merupakan
bagian dari kehidupan manusia. Stres
yang ringan berguna dan dapat dapat memacu seseorang untuk berpikir dan
berusaha lebih berpikir dan berusaha lebih cepat dan keras sehingga dapat
menjawab tantangan hidup sehari-hari.
Stres ringan bisa merangsang dan memberikan rasa lebih bergairah dalam
kehidupan yang biasanya membosankan dan rutin.
Tetapi stres yang terlalu banyak dan berkelanjutan, bila tidak
ditanggulangi, akan berbahaya bagi kesehatan (duel.melsa.ned.id).
Stres dibedakan
menjadi dua yaitu stres yang merugikan dan merusak yang disebut distress, dan
stres yang positif dan menguntungkan, yang disebut eustres. Setiap individu mempunyai reaksi yang berbeda
terhadap jenis stres, dalam kenyataannya
stres menyebabkan sebagian individu menjadi putus asa tetapi bagi individu lain
justru dapat menjadi dorongan baginya untuk lebih baik (Tanumidjojo, Basoeki, Yudiarso, 2004).
Lebih lanjut Hans Selye (Subekti D.A, 1993), menyatakan bahwa ada tiga
tahap respon sistematik tubuh terhadap kondisi yang penuh stres, yaitu reaksi
alarm, tahap perlawanan dan penyesuaian, dan tahap kepayahan (exhaustion). Reaksi alarm dari sistem saraf otonom, dalam
reaksi ini tubuh akan
merasakan kehadiran stres dan tubuh akan mempersiapkan diri melawan atau
menghindar, persiapan ini akan merangsang hormon dari kelenjar endokrin yang akan
menyebabkan detak jantung dan pernapasan meninggi, kadar gula dalam darah,
berkeringat, mata membelalak dan melambatnya pencernaan. Pada tahap perlawanan dan penyesuaian yang merupakan bentuk respon
fisiologik, tubuh akan
memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh stres. Jika penyebab stress tidak hilang, maka tubuh
tidak bisa memperbaiki kerusakan dan terus dalam kondisi reaksi alarm.
Tahap yang ketiga yaitu kepayahan (exhaustion), yang terjadi apabila stres yang sangat kuat, stres
berjalan cukup lama, usaha perlawanan maupun penyesuaian terhadap stres gagal
dilakukan. Jika berlanjut cukup lama maka individu akan
terserang dari “penyakit stres”, seperti migren kepala, denyut jantung yang
tidak teratur, atau bahkan sakit mental seperti
depresi. Apabila stres ini berlanjut
selama proses kepayahan maka tubuh akan kehabisan tenaga
dan bahkan fungsinya jadi terhenti.
Beranjak dari
beberapa definisi beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa stres merupakan respon
spesifik dari organisme terhadap stresor yang dapat berakibat negatif maupun
positif. Bila organisme tidak kuat
menghadapi dan menganggap stresor tersebut sebagai tuntutan dari lingkungan
yang menekan, maka stresor dapat menyebabkan ketegangan yang selanjutnya dapat
mengakibatkan gangguan pada fisik dan psikisnya. Namun, bila individu tersebut mampu
menghadapi dan mengelola stresor dengan baik, maka akan timbul hal-hal yang
positif.
2.
Aspek-aspek Stres
Menurut Crider,
dkk (1983), gangguan-gangguan stress dibagi
menjadi tiga yaitu:
a.
gangguan emosional
Gangguan emosional biasanya berwujud keluhan-keluhan seperti tegang, khawatir, marah, tertekan dan perasaan bersalah. Secara umum, hal tersebut diatas adalah
sesuatu hal yang tidak menyenangkan atau emosi negatif yang berlawanan dengan
emosi positif seperti senang, bahagia dan cinta.
Hasil stress yang sering timbul adalah
kecemasan dan depresi. Kecemasan akan
dialami apabila individu dalam mengantisipasi yang akan dihadapi mengetahui
bahwa kondisi yang ada adalah sesuatu
yang menekan (stressful event), seperti hendak ujian, diwawancara dan
sebelum pertandingan.
b.
gangguan kognitif
Gejalanya tampak pada fungsi
berpikir, mental images, konsentrasi dan ingatan. Dalam keadaan stress, ciri berpikir dalam
keadaan normal seperti rasional, logis dan fleksibel akan terganggu karena
dipengaruhi oleh kekhawatiran tentang konsekuensi yang terjadi maupun evaluasi
diri yang negatif.
Mental images diartikan sebagai
citra diri dalam bentuk kegagalan dan ketidakmampuan yang sering mendominasi
kesabaran individu yang mengalami stress, seperti mimpi buruk, mimpi-mimpi yang
menimbulkan imajinasi visual menakutkan dan emosi negatif.
Konsentrasi diartikan sebagai kemampuan
untuk memusatkan pada suatu stimulus yang spesifik dan tidak memperdulikan stimulus
lain yang tidak berhubungan. Pada
individu yang mengalami stres, kemampuan konsentrasi akan menurun, yang
akhirnya akan menghambat performansi kerja dan kemampuan pemecahan masalah (problem-solving).
Memori pada individu yang mengalami stres akan terganggu dalam bentuk
sering lupa dan bingung. Hal ini
disebabkan karena terhambatnya kemampuan memilahkan dan menggabungkan
ingatan-ingatan jangka pendek dengan yang telah lama.
c.
gangguan fisiologik
Gangguan fisiologik adalah terganggunya
pola-pola normal dari aktivitas fisiologik yang ada. Gejala-gejalanya yang timbul biasanya adalah
sakit kepala, konstipasi, nyeri pada otot, menurunnya nafsu sex, cepat lelah
dan mual.
Beranjak dari
gangguan-gangguan stres yang diungkapkan oleh Crider di atas dapat diambil kesimpulan bahwa stres yang diderita dalam waktu
lama atau singkat dapat berpengaruh terhadap cara berpikir, kesabaran, emosi,
konsentrasi, daya ingat dan bahkan kesehatan tubuh. Bagi individu yang telah mengidap suatu
penyakit, stres dapat memperlambat penyembuhan dan mungkin dapat pula
memperparah penyakit tersebut.
3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres
Menurut Sue dkk (Izzaty, 1996) ada tiga faktor yang
menyebabkan timbulnya stres, yaitu:
a.
Faktor biologik
Faktor ini berasal dari adanya
kerusakan atau gangguan fisik atau organ tubuh individu itu sendiri. Misalnya : infeksi, serangan berbagai macam
penyakit, kurang gizi, kelelahan dan cacat tubuh.
b.
Faktor psikologik
Faktor ini berhubungan dengan keadaan psikis individu. Selanjutnya ditambahkan oleh Maramis (2004) yang mengatakan bahwa sumber-sumber stres psikologik itu dapat berupa:
1) Frustasi, timbul bila ada aral melintang
antara keinginan individu dan maksud atau tujuan individu. Ada frustasi yang datang dari luar, misalnya:
bencana alam, kecelakaan, kematian seseorang yang dicintai, norma-norma dan
adat-istiadat. Sebaliknya frustasi yang
berasal dari dalam individu, seperti: cacat badaniah, kegagalan dalam usaha dan
moral sehingga penilaian diri sendiri menjadi tidak enak, merupakan frustasi
yang berhubungan dengan kebutuhan rasa harga diri.
2) Konflik,
bila kita tidak tahan memilih antara dua atau lebih macam kebutuhan atau
tujuan. Misalnya: memilih mengurus rumah
tangga atau aktif di kegiatan kantor.
3)
Tekanan, yaitu sesuatu yang dirasakan menjadi beban bagi individu. Tekanan dari dalam dapat disebabkan individu
mempunyai harapan yang sangat tinggi terhadap dirinya namun tidak disesuaikan
dengan kemampuannya sendiri
atau tidak mau menerima dirinya dengan apa adanya, tidak berani atau bahkan
terlalu bertanggung jawab terhadap sesuatu tetapi dilakukan secara
berlebih-lebihan. Tekanan dari luar, misalnya: atasan di kantor
menuntut pekerjaan cepat diselesaikan sementara waktu yang disediakan sering
mendesak.
4)
Krisis, bila keseimbangan yang ada terganggu secara tiba-tiba sehingga
menimbulkan stres yang berat. Hal ini bisa disebabkan oleh kecelakaan,
kegagalan usaha ataupun kematian.
c.
Faktor sosial
Faktor ini berkaitan dengan lingkungan
sekitar, seperti kesesakan (crowding), kebisingan (noise) dan
tekanan ekonomi.
Berpijak dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa stres
dapat muncul jika individu tidak dapat mengatasi masalah-masalah dalam
kehidupannya seperti tekanan dalam pekerjaan, konflik dengan orang sekitar,
harapan yang tidak sesuai dengan keinginan, tidak dapat menyadari atau menerima dirinya dengan apa adanya, dan kesehatan
yang tak kunjung-kunjung sembuh pun dapat menimbulkan stres.
B. Penerimaan
Diri
1.
Pengertian Penerimaan Diri
Penerimaan diri dapat diartikan sebagai
suatu sikap penerimaan terhadap gambaran mengenai kenyataan diri. Rubin (Ratnawati, 1990) menyatakan bahwa penerimaan diri merupakan suatu
sikap yang merefleksikan perasaan senang sehubungan dengan kenyataan diri
sendiri.
Penerimaan diri ini mengandaikan adanya
kemampuan diri dalam psikologis seseorang, yang menunjukkan kualitas diri. Hal ini berarti bahwa tinjauan tersebut akan
diarahkan pada seluruh kemampuan diri yang mendukung perwujudan diri secara
utuh. Hal ini sesuai dengan pendapat
Schultz (Ratnawati, 1990) mengenai penerimaan diri. Dia menyatakan bahwa penerimaan diri yang
dibentuk merupakan hasil dari tinjauan pada seluruh kemampuan diri.
Suatu tingkat kemampuan individu untuk
hidup dengan segala kekhususan diri ini memang diperoleh melalui pengenalan
diri secara utuh. Kesadaran diri akan
segala kelebihan dan kekurangan diri haruslah seimbang dan diusahakan untuk
saling melengkapi satu sama lain, sehingga dapat menumbuhkan kepribadian yang sehat. Hurlock (Izzaty, 1996) menambahkan bila individu hanya melihat
dari satu sisi saja maka tidak mustahil akan timbul kepribadian yang timpang,
semakin individu menyukai dirinya maka ia akan mampu menerima dirinya dan ia
akan semakin diterima oleh orang lain yang mengatakan bahwa individu dengan
penerimaan diri yang baik akan mampu menerima karakter-karakter alamiah dan
tidak mengkritik sesuatu yang tidak bisa diubah lagi.
Hurlock (Izzaty,1996) mengatakan bahwa individu yang
menerima dirinya memiliki penilaian yang realistik tentang sumber daya yang
dimilikinya, yang dikombinasikan dengan apresiasi atas dirinya secara
keseluruhan. Artinya, individu itu
memiliki kepastian akan standar dan teguh pada pendirian, serta mempunyai
penilaian yang realistik terhadap keterbatasannya tanpa mencela diri. Jadi, orang yang memiliki penerimaan diri
yang baik tahu asset yang dimiliki dirinya dan bisa mengatasi cara
mengelolanya.
Ahli lain yaitu Chaplin (2004) berpendapat bahwa penerimaan diri
adalah sikap yang merupakan rasa puas
pada kualitas dan bakat, serta pengakuan akan keterbatasan diri. Pengakuan akan keterbatasan diri ini tidak
diikuti dengan perasaan malu ataupun bersalah.
Individu ini akan menerima kodrat mereka apa adanya.
Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya
penerimaan diri merupakan asset pribadi yang sangat berharga. Calhoun dan Acocella (Izzaty,1996) mengatakan penerimaan diri akan
membantu individu dalam menyesuaikan diri sehingga sifat-sifat dalam dirinya
seimbang dan terintegrasi. Pendapat ini
senada dengan pernyataan Skinner, (Maramis, 1998) yang menyebutkan bahwa
salah satu criteria utama bagi suatu kepribadian yang terintegrasi baik adalah
menerima diri sendiri. Selanjutnya
dijelaskan bahwa menerima diri sendiri artinya mempunyai harga diri, percaya
pada kemampuan diri sendiri, mengenal dan menerima batas-batas kemampuannya,
tidak terlalu kaku, serta mengenal perasaan-perasaan yang ada pada
dirinya. Kewajaran dan spontanitas yang
dimiliki oleh individu ini membuat langkahnya menjadi enak dan pasti. Ada
hubungan yang erat dengan kesehatan Psikologik seseorang,
penerimaan diri juga berkaitan erat dengan kesehatan fisik. Schlutz (Izzaty, 1996) mengatakan bahwa penerimaan diri memiliki hubungan yang erat dengan tingkat
fisiologik. Tingkat fisiologik yang
dimaksud adalah tingkat kesehatan individu yang dilihat dari kelancaran kerja
organ tubuh dan aktifitas dasar, seperti makan, minum, istirahat dan kehidupan
seksual, yang semuanya merupakan faktor penunjang utama kesehatan fisik. Individu yang bisa menerima keadaan dirinya
tidak memiliki hambatan dalam hal ini.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
penerimaan ini merupakan sikap individu yang mencerminkan perasaan menerima dan
senang atas segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya serta mampu
mengelola segala kekhususan diri dengan baik sehingga dapat menumbuhkan
kepribadian dan fisik yang sehat.
2.
Aspek-aspek Penerimaan Diri
Sheerer (Cronbach,1963) menjelaskan lebih lanjut mengenai karakteristik
individu yang dapat menerima dirinya, yaitu:
a. Individu
mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi persoalan. Hurlock (Izzaty, 1996) menambahkan bahwa artinya individu
tersebut memiliki percaya diri dan lebih memusatkan perhatian kepada
keberhasilan akan kemampuan dirinya menyelesaikan masalah.
b. Individu menganggap
dirinya berharga sebagai seorang manusia dan sederajat dengan orang lain. Individu ini mempunyai keyakinan bahwa ia
dapat berarti atau berguna bagi orang lain dan tidak memiliki rasa rendah diri
karena merasa sama dengan orang lain yang masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan.
c.
Individu tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal
dan tidak ada harapan ditolak orang lain.
Ini berarti individu tersebut tidak merasa sebagai orang yang menyimpang
dan berbeda dengan orang lain, sehingga mampu menyesuikan dirinya dengan baik
dan tidak merasa bahwa ia akan ditolak oleh orang lain.
d.
Individu tidak malu atau hanya memperhatikan dirinya
sendiri. Artinya, individu ini lebih
mempunyai orientasi keluar dirinya sehingga mampu menuntun langkahnya untuk
dapat bersosialisasi dan menolong sesamanya tanpa melihat atau mengutamakan
dirinya sendiri.
e.
Individu berani memikul tanggung jawab terhadap
perilakunya. Berarti individu memiliki
keberanian untuk menghadapi dan menyelesaikan segala resiko yang timbul akibat
perilakunya.
f.
Individu
dapat menerima pujian atau celaan secara objektif. Sifat ini tampak dari perilaku individu yang
mau menerima pujian, saran dan kritikan dari orang lain untuk pengembangan
kepribadiannya lebih lanjut.
g. Individu tidak menyalahkan diri atas
keterbatasan yang dimilikinya ataupun mengingkari kelebihannya. Hurlock (Izzaty, 1996) menambahkan bahwa individu
yang memiliki sifat ini memandang diri mereka apa adanya dan bukan seperti yang
diinginkan. Sikap realistik merupakan sesuatu
yang penting bagi pribadi yang sehat.
Individu juga dapat mengkompensasikan keterbatasannya dengan memperbaiki
dan meningkatkan karakter dirinya yang dianggap kuat, sehingga pengelolaan
potensi dan keterbatasan dirinya dapat berjalan dengan baik tanpa harus
melarikan diri dari kenyataan yang ada.
Beranjak dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa individu harus bisa bersikap menerima diri seadanya walaupun
banyak terdapat kelemahan. Apabila sikap
tersebut dapat tercipta serta mencoba untuk menghargai dan menyayangi diri
sendiri, fikiran pun akan menjadi lebih terbuka untuk menerima semua perubahan
yang terjadi. Individu yang senantiasa
memiliki kepercayaan diri, tidak mudah menyalahkan diri sendiri maupun orang
lain merupakan individu yang memiliki penerimaan diri yang baik.
C. Diabetes
Mellitus
1.
Pengertian Diabetes Mellitus
Penyakit Diabetes Mellitus (DM)
merupakan penyakit degeneratif yang memerlukan upaya penanganan yang tepat dan
serius. Dampak dari penyakit tersebut akan membawa berbagai komplikasi
penyakit serius lainnya, seperti penyakit jantung, stroke, disfungsi ereksi,
gagal ginjal, dan kerusakan system syaraf.
Diabetes Mellitus itu sendiri didefinisikan sebagai penyakit dimana
tubuh penderita tidak bisa secara otomatis mengendalikan tingkat gula (glukosa)
dalam darahnya. Penderita diabetes tidak
bisa memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup, sehingga terjadi kelebihan
gula di dalam tubuh. Kelebihan gula yang
kronis di dalam darah (hiperglikemia) ini menjadi racun bagu tubuh (Octa).
Diabetes Mellitus adalah suatu kondisi, di mana kadar gula di dalam
darah lebih tinggi dari biasa/normal.
(Normal: 60 mg/dl sampai dengan 145 mg/dl), ini disebabkan tidak
dapatnya gula memasuki sel-sel. Ini
terjadi karena tidak terdapat atau kekurangan atau resisten terhadap
insulin. Diabetes adalah suatu kondisi
yang berjalan lama, disebabkan oleh kadar gula yang tinggi dalam darah. Diabetes dapat dikontrol. Kadar gula dalam darah akan kembali seperti
biasa atau normal, dengan merubah beberapa kebiasaan hidup seseorang yaitu :
mengikuti suatu susunan makanan yang sehat dan makan secara teratur,
mengawasi/menjaga berat badan, memakan obat resep dokter, olahraga secara
teratur (Bakar-Tobing, 2006).
2.
Jenis-jenis Diabetes Mellitus
Bakar-Tobing menjelaskan
dua jenis Diabetes atau penyakit kencing manis yang umum; masing-masing dapat
diobati dengan cara tersendiri.
a. Diabetes Tipe I (IDDM/ tergantung
insulin)
Seseorang dikatakan Diabetes tipe I, jika tubuh
perlu pasokan insulin dari luar. Hal ini
disebabkan karena sel-sel beta dari pulau-pulau Langerhans telah mengalami
kerusakan, sehingga pancreas berhenti memproduksi insulin. Kerusakan sel beta tersebut terjadi sejak
kecil ataupun setelah dewasa.
b. Diabetes Tipe II (NIDDM/ tidak
tergantung insulin)
Diabetes tipe II terjadi jika insulin hasil
produksi pancreas tidak cukup atau sel lemak dan otot tubuh menjadi kebal
terhadap insulin, sehingga terjadi gangguan pengiriman gula ke sel tubuh. Biasanya orang yang
terkena penyakit diabetes tipe ini yaitu orang dewasa.
3.
Tanda-tanda Diabetes Mellitus
Gejala diabetes tipe I muncul secara
tiba-tiba pada saat usia anak-anak (di bawah 20 tahun), sebagai akibat dari
adanya kelainan genetika, sehingga tubuh tidak dapat memproduksi insulin dengan
baik (octa). Gejala-gejala diabetes tipe I, antara lain:
a.
Berat badan menurun
b.
Kelelahan
c.
Penglihatan kabur
d.
Sering buang air kecil
e.
Terus menerus lapar dan haus
f.
Meningkatnya kadar gula dalam darah dan air seni
Gejala-gejala tipe II muncul secara
perlahan-lahan sampai menjadi gangguan yang jelas, dan pada tahap permulaannya
sama seperti gejala diabetes tipe I.
4.
Faktor-faktor Resiko Diabetes Mellitus
Diabetes dapat menimbulkan beberapa faktor seperti yang diungkap oleh
Ranakusuma yaitu :
a.
Mata Diabetes
Bagi penderita Diabetes mellitus, kesempatan
mendapat kelainan mata menjadi lebih besar dari orang sehat. Beberapa bentuk kelainan mata diabetes
yang perlu diketahui yaitu :
1)
Kelopak mata : adanya xanthelasma, yaitu timbunan lemak yang membentuk benjolan kecil. Kelainan tidak berbahaya akan tetapi dapat
memberi petunjuk adanya gangguan metabolisme lemakh yang justru berbahaya untuk
jantung.
2) Lensa
mata : katarak, yaitu kekeruhan lensa mata ini disebabkan oleh serbuan sorbitol yaitu gugus gula lemak kompleks
yang tak dapat diserap dan tetap tertinggal di dalam lensa mata. Katarak ini bisa terjadi segera atau lambat tergantung pada kadar gula
darah dan ketahanan lensa mata sendiri.
b.
Serangan Jantung Diabetes
Serangan jantung pada
diabetes mellitus yang disebut sebagai “Silent infaction” terjadi
tanpa diketahui, tidak nyeri, hanya tiba-tiba sesak nafas, lemas, rasa tidak
enak di ulu hati, biasanya penderita mengetahui terlambat dan telah masuk dalam
keadaan gawat darurat, seperti gagal jantung, gangguan irama yang sangat berat
dan syok. Sebenarnya komplikasi ini
hanya satu cetusan dari kondisi jantung yang buruk karena pada penderita diabetes mellitus
terjadi kekakuan dinding jantung oleh endapan jaringan, yang menyebabkan curah
jantung menjadi buruk di samping kelainan itu ada kelainan lapis dalam pembuluh
yang menyebabkan terjadi hambatan aliran dan pembekuan. Kondisi buruk ini meliputi hampir seluruh
pembuluh jantung.
c.
Ginjal Diabetes
Daerah yang terkena oleh
gangguan metabolisme gula ini adalah selaput dasar pembuluh kecil ginjal yang
menyebabkan gangguan fungsi ginjal.
Ginjal adalah pencuci darah setiap menit sekian ratus cc darah mengalir,
zat sisa pembakaran ataupun racun akan disaring dan dikeluarkan melalui urine.
Ginjal disebut juga “pembuang sampah”.
Bila alat ini gagal, sampah ini akan meracuni tubuh dan dapat berakibat
fatal. Proses kerusakan ini biasanya
timbul sejalan dengan waktu, makin lama diabetes mellitus makin berat juga
gangguan ginjal.
d.
Syaraf Diabetes
Kelainan syaraf diabetes
mellitus ini dapat mengenai seluruh jaringan mulai susunan syaraf pusat ataupun saraf gaib. Manifestasi syaraf otak
dapat menimbulkan berbagai kelumpuhan, misalnya: gangguan gerakan mata,
penciuman, syaraf muka. Manifestasi
syaraf tepi akan berupa hilangnya perasaan, kesemutan. Manifestasi syaraf gaib sering muncul sebagai
sulit buang air besar, sulit buang air kecil, ngompol, impotensi.
e.
Infeksi Diabetes
Penderita diabetes mudah mendapat
infeksi disertai gejala lebih hebat, antara lain:
1) Bisul pada kulit, pada orang normal bisul tak begitu menjadi masalah
tetapi bisul diabetes sangat berbeda, salah-salah bisa runyam. Operasi kecil harus dikerjakan sebaiknya dan
tepat. Nanah keluar bukan beberapa cc
akan tetapi ratusan cc, kadang-kadang dapat sebanyak satu liter,
penyembuhannyapun lama. Begitu pula bila
terjadi infeksi bawah kulit (cellulitis), infeksi ini mudah meluas dan
sangat berbahaya kadang-kadang harus dilakukan amputasi.
2) Infeksi pada gigi geligi, gigi dan
akar gigi akan mudah terinfeksi. Biaanya
infeksi dalam, sehingga gigi harus dicabut.
Kesukaran timbul saat gigi harus dicabut tetapi di pihak lain gula darah
sulit terkontrol karena adanya abces gigi.
3) Infeksi pada paru-paru, pada
penderita infeksi paru-paru yang mendadak seperti peradangan paru-paru (pneumonia
bronchopneumonia), peradangan selaput paru-paru (pleuritis)
meskipun tidak banyak tetapi bila menghinggapi penderita diabetes mellitus
sering menimbulkan koma.
4) Infeksi pada ginjal dan saluran,
ginjal pada penderita diabetes mellitus lebih mudah terkena infeksi, gambaran
klinik menjadi berat ditambah lagi jika kumannya tahan (resisten) terhadap
obat.
5) Infeksi pada saluran genital wanita,
peradangan pada kelenjar dan saluran vagina.
Keadaan ini menyulitkan dalam senggama.
Selain itu juga
terdapat peradangan
penyakit infeksi jamur yang sangat mengganggu pada wanita “keputihan, flour
albus”.
f.
Kelainan Gigi pada Diabetes Mellitus
Pada diabetes mellitus
keruakan gigi yang disebabkan penyempitan pembuluh darah, kelainan persyarafan,
kelainan komposisi air liur dan sering terjadi gigi berlubang (caries dentis),
abses gigi (pyoelveolans) begitu pula abses akar gigi (ganggren pulpa).
D. Penerimaan Diri dan Stres pada
Penderita Diabetes Mellitus
Masalah kesehatan dalam kehidupan kita sangat menarik perhatian, setiap
hari bahkan setiap saat. Berita-berita
mengenai timbulnya penyakit baru, yang belum ditemukan penanggulangannya,
pengobatan, bahkan penyebabnya, sangat mencemaskan kita semua Penyakit kronis yang telah lama merupakan
tantangan di bidang kesehatan, seperti penyakit kanker, penyakit jantung,
diabetes dan hepatitis, ditambah lagi munculnya virus HIV/AIDS yang masih
merupakan masalah baru, semua itu merupakan sumber stres/stresor yang tak dapat
diabaikan. Sehat menjadi idaman, bahkan
dambaan setiap orang dan perlu disadari, bahkan sehat dan sakit dipengaruhi
oleh bermacam-macam faktor, antara lain kondisi fisik, latihan fisik, kondisi
makan (diet), kondisi stres, hubungan sosial, gaya hidup, pola perilaku dan
penyesuaian diri (Partosuwido,1995).
Perlu diketahui bahwa setiap orang mempunyai
kelemahan masing-masing. Tiada manusia
biasa yang diciptakan Tuhan serba sempurna di dalam semua segi. Perlu adanya sikap menerima diri seadanya
walau dengan kelemahan yang ada. Apabila
sikap tersebut dapat tercipta serta mencoba untuk menghargai dan menyayangi
diri sendiri, fikiran pun akan menjadi lebih terbuka untuk menerima semua
perubahan yang terjadi.
Terlebih lagi bagi penderita diabetes mellitus yang belum ada pengobatan yang pasti tetapi hal tersebut bukanlah hal yang menghambat untuk
mengatasi penyakit diabetes mellitus ini agar tidak menjadi bertambah
parah. Beberapa faktor yang merupakan memperparah, stres merupakan salah satu
yang terpenting disamping faktor genetik dan faktor biologis lainnya. Stres dapat mengakibatkan perubahan-perubahan
psikologis penderita dan dapat mempengaruhi kontrol metabolik seperti : gangguan pergerakan usus, penyerapan makanan,
peredaran subcutan, dan
absorbsi insulin (Soehardjono, Tjokroprawiro, Margono, Tandra, 1993).
Stres pada penderita diabetes mellitus dipicu
oleh rutinitas-rutinitas seperti penyuntikan insulin setiap hari, pengecekan
kadar gula darah, pola makan yang harus dijaga dan yang terpenting adalah
ketakutan akan kerusakan syaraf-syaraf dan organ-organ tubuh. Pengalaman-pengalaman tersebut membuat
penderita menjadi tidak nyaman. Tetapi
tidak semua penderita diabetes mellitus memerlukan bantuan atau dukungan dari
orang lain, karena setiap penderita memiliki cara untuk mengatasi
ketidaknyamanan psikologisnya menurut tipe kepribadiannya.
Masalah stres
sebetulnya dapat diatasi untuk individu yang mengalaminya apabila individu yang bersangkutan mempunyai
penyesuaian diri yang baik. Penyesuaian diri individu yang tidak baik mengenai stres akan cenderung
menyebabkan individu mengalami gangguan misalnya terjadi depresi, psikosomatik dan jantung iskemik
(Lestari,1994).
Namun stres itu sendiri muncul tergantung dari
penerimaan diri individu tersebut.
Seseorang yang senantiasa rendah diri, tidak berpuas hati dengan
dirinya, tidak menerima apa yang ada pada dirinya, tidak akan merasa sejahtera
dengan dirinya. Ini juga menimbulkan
perasaan marah, benci kepada diri, tidak menghormati diri dan kadangkala
mengurangi keyakinan individu untuk mencoba sesuatu yang baru dan menjadi
penghalang kepada kemajuan di dalam hidupnya.
Akibatnya individu dapat mengalami stres sehingga merasa tidak bahagia
di dalam dirinya dan menjadi tertekan (geocities.com).
Bagaimana individu mengamati kehidupan
ditentukan oleh cara individu menerima diri sendiri. Suatu kenyataan tersebut bukan dijadikan
untuk individu, tetapi dibentuk oleh individu sendiri. Bergantung pada diri individu, ada yang
bangkit dengan berbagai kesukaran kehidupan, ada yang mengelak, ada yang terus
hidup bergelumang dengan kesukaran dan ada yang terus hilang daya dengan wujud
gangguan fisiologik seperti sakit kepala, kesehatan menurun, konstipasi, dll.
Bagaimana seseorang bereaksi
terhadap stres dan bagaimana baiknya mengawal stres adalah tergantung kepada
penerimaan individu itu menerima dirinya dan orang lain. Seperti juga penerimaan seseorang itu kepada
kebahagiaan di dalam kehidupannya (Geocities.com).
Individu yang sehat
mental adalah individu yang mau menerima kondisi dirinya sendiri dengan
bahagia. Individu yang mampu untuk
menerima dirinya sendiri, biasanya adalah orang yang juga mampu untuk menerima
orang lain apa adanya. Tidak memaksakan
orang lain untuk melakukan yang diminta, menghargai usaha orang lain, bersikap
hormat, tidak dikendalikan oleh ambisi yang tidak realistis, tidak terlalu
banyak mengeluh, tidak mudah tersinggung, belajar mengendalikan kemarahan
dengan benar, tidak terobsesi oleh masa lampau, serta tidak menuntut orang lain
untuk memenuhi semua kebutuhannya (Andangsari,2007).
Setiap individu
mempunyai cita-cita dan impian tersendiri.
Impian atau cita-cita ini biasanya menjadi kenyataan apabila individu
berusaha mencapai impiannya. Yang
menjadi masalah adalah apabila impian-impian tersebut tidak terwujud seperti
keinginan individu.
Penerimaan diri
penting karena adalah asas untuk membentuk diri yang baik supaya kita dapat
menerima kelebihan dan kekurangan yang ada.
Penerimaan diri adalah asas meningkatkan diri untuk menghadapi cobaan
hidup. Apabila individu tidak memiliki
penerimaan diri yang baik, perasaan kecewa, sedih, ketidakpuasan dan hilang
semangat akan timbul, disamping itu, individu juga akan hilang keyakinan dan
tujuan dalam hidup. Ciri-ciri tersebut
dapat mengakibatkan individu tersebut masuk dalam situasi stres apabila menemui
kegagalan dan kemungkinan dapat membuat individu akan bersikap pasif (pts.com,
2005).
Individu yang
mempunyai penerimaan diri baik dikatakan sebagai orang yang menyukai atau
menghargai dirinya dengan melihat dirinya berhubungan dengan dunia luar. Manakala individu yang mempunyai penerimaan
diri yang buruk melihat dirinya sebagai orang yang membenci dan tidak
menghargai diri. Individu merasakan
dirinya tidak nyaman dalam berhubungan dengan sekitarnya.
Penerimaan diri juga
berlaku melalui sosialisasi dengan individu lain. Penerimaan diri mempengaruhi tindak-tanduk
individu dalam menghadapi cobaan hidup.
Individu yang mempunyai penerimaan diri yang baik dapat mengatasi dalam
mengendalikan masalah yang timbul dalam hidupnya.
Penerimaan diri yang
buruk akan memberi kesan buruk pada diri individu. Individu
senantiasa memikirkan sesuatu yang buruk atau tidak baik pada diri sendiri,
senantiasa individu bersikap pesimistik dengan masa depan, bertingkah laku
buruk ataupun bersikap emosi pada pendapat, pandangan ataupun kritikan orang
lain. Seperti, mudah kecewa, sering
menyalahkan orang lain, merendahkan diri sendiri, membenci orang lain, marah
dan sebagainya. Sikap-sikap diatas
merupaka wujud bahwa individu tersebut mengalami stress berkaitan dengan
gangguan emosi dan kognitif. Secara
psikologis, individu yang memiliki penerimaan diri yang buruk dipengaruhi oleh
pengalaman atau keyakinan diri yang tidak baik pada masa lalu (pts.com).
Individu yang
memiliki penerimaan diri yang rendah cenderung tidak berani menghadapi cobaan
dan senantiasa mencoba melarikan diri dari masalah atau tanggungjawab. Ini disebabkan karena, individu yang dengan
penerimaan diri yang rendah takut menghadapi kegagalan, oleh karena itu
individu mencoba lari dari aktivitas yang akan menyebabkan kegagalan. Apabila boleh memilih, individu tidak ingin
melibatkan diri dalam berbagai aktivitas dan akan mengasingkan diri dari orang
lain.
Individu yang
mempunyai penerimaan diri yang rendah mempunyai emosi dan mental yang mudah
dipengaruhi oleh unsur-unsur luar karena tidak mempunyai keyakinan, tidak
berpendirian dan tidak tabah. Individu
tidak dapat membuat keputusan berkenaan apa yang baik dan apa yang buruk bagi
dirinya.
Menyadari
diri dalam mencapai apa yang dihayati dan melaksanakan segala tanggungjawabnya
adalah prasyarat penting kebanyakan individu professional dalam penerimaan
diri, nilai diri yang positif dan kesejahteraan hidupnya. Jika kepentingan ini terlampau kuat dalam
diri seseorang itu, maka ia akan lebih cenderung kepada stres yang tercipta
dalam dirinya sendiri.
E.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas
maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Ada Hubungan Negatif
Antara Penerimaan Diri dengan Stres Penderita Diabetes Mellitus”. Semakin
tinggi penerimaan diri seseorang akan semakin rendah stres yang dialaminya,
sebaliknya pula jika semakin rendah penerimaan diri akan mengakibatkan
tingginya stres.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Identifikasi Variabel-variabel Penelitian
Variabel
yang digunakan pada penelitian ini adalah :
Variabel bebas :
Penerimaan Diri
Variabel tergantung :
Stres
B.
Definisi Operasional Variabel Penelitian
Definisi
operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1.
Penerimaan Diri
Penerimaan diri merupakan sikap individu yang mencerminkan
perasaan menerima, senang atas kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya
serta dapat mengelola potensi dan keterbatasan dirinya dengan baik. Penerimaan diri akan diukur dengan
menggunakan skala berdasarkan aspek penerimaan diri menurut Sheerer (Cronbach,
1963). Adapun wujud dari
penerimaan diri ditunjukkan oleh skor jawaban individu dalam angket penerimaan
diri. Semakin tinggi skor yang dicapai
oleh subjek maka semakin tinggi pula penerimaan dirinya, begitupun sebaliknya,
semakin rendah skor yang dicapai maka semakin rendah pula penerimaan dirinya.
2.
Stres
Stres adalah pola-pola tertentu dari
reaksi psikologis dan fisiologis yang menggangu individu, yang diungkap dengan skala stres yang mengacu berdasarkan teori yang dikemukakan oleh
Crider dkk (1983). Stres diukur
dengan skala stres yang diperlihatkan oleh tinggi rendahnya skor. Semakin tinggi skor yang dicapai maka semakin
tinggi pula stresnya, begitupun sebaliknya, semakin rendah skor yang dicapai maka
semakin rendah pula stresnya.
C.
Subjek Penelitian
Subjek
penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah penderita diabetes mellitus yang
sedang menjalani rawat jalan berusia antara 40 – 80
tahun dan sudah mengidap diabetes minimal sejak lima tahun yang lalu.
D.
Metode Pengumpulan Data
Alat
yang digunakan untuk pengumpulan data adalah menggunakan metode kuosioner atau
angket. Metode ini menggunakan dasar
pikiran bahwa orang yang paling tahu tentang keadaan seseorang adalah orang itu
sendiri. Adapun angket yang akan
digunakan dalam penelitian akan dijelaskan sebagai berikut :
1. Angket penerimaan diri
Untuk
mengungkap tingkat Penerimaan Diri khususnya Penerimaan Diri pada penderita
Diabetes Mellitus digunakan angket.
Angket ini merupakan angket modifikasi dari Izzaty (1996).
Butir-butir angket
disusun berdasarkan tujuh aspek yang merupakan cirri-ciri dari penerimaan diri
yaitu :
a. Adanya keyakinan akan kemampuan diri dalam
menghadapi persoalan
b. Adanya anggapan berharga terhadap diri
sendiri sebagai manusia dan sederajad dengan orang lain
c. Tidak ada anggapan aneh/abnormal terhadap
diri sendiri dan tidak ada harapan ditolak oleh orang lain
d.
Tidak adanya rasa malu atau tidak memperhatikan diri
sendiri
e.
Adanya keberanian memikul tanggungjawab atas
perilaku sendiri
f.
Adanya
objektivitas dalam penerimaan pujian/celaan
g. Tidak ada penyalahan atas keterbatasan yang
ada ataupun pengingkaran kelebuhan.
Angket
ini terdiri dari 40 butir, 19 butir favorable dan 21 butir unfavorable. Masing-masing butir mempunyai 4 alternatif
jawaban, yaitu SS (sangat sesuai), S (sesuai), KS (kurang sesuai, TS (tidak
sesuai). Penilaian angket bergerak dari empat sampai
satu untuk butir-butir favorable dan
satu sampai dengan empat untuk butir-butir yang unfavorable.
Untuk
menentukan taraf penerimaan diri yang dimiliki subjek dapat dilihat dari jumlah
skor angket tersebut. Semakin tinggi
jumlah skor yang diperoleh berarti semakin tinggi taraf penerimaan dirinya.
Blue print dan sebaran/distribusi item skala ini tertera dalam tabel 1.
Tabel 1
Distribusi Item Skala Penerimaan Diri
ASPEK
|
Nomor Item Terseleksi
|
Jumlah
|
Favourabel Unfavourabel
|
||
Adanya
keyakinan akan kemampuan
diri
dalam menghadapi persoalan 1,14,3
8,38,27 6
|
||
ASPEK
|
Nomor Item Terseleksi
|
Jumlah
|
Favourabel Unfavourabel
|
||
Adanya
anggapan berharga pada diri 6,20,35
9,11,39 6
sendiri
sebagai seorang manusia dan
sederajat
|
||
Tidak
ada anggapan aneh.abnormal 10 2,3,13,15
5
terhadap
diri sendiri dan tidak ada
harapan
ditolak
|
||
Tidak
adanya rasa malu atau 4,30,36 16,21,26
6
memperhatikan
dirinya sendiri
|
||
jawab
terhadap perilaku sendiri
|
||
Dapat
menerima pujian, saran, 18,22,32 7,24,29
6
kritikan
atau celaan secara objektif
|
||
Tidak
adanya penyalahan diri 5,19,23 25,33 5
atas
keterbatasan yang dimiliki
ataupun
pengingkaran kelebihan
|
||
Jumlah
19 21 40
|
2. Angket stres
Data
stres diungkap dengan menggunakan angket stres yang dimodifikasi dari Lestari
(1994) berdasarkan teori yang
dikemukakan oleh Crider dkk (1983) yang meliputi reaksi-reaksi sebagai
berikut :
a.
Reaksi emosional seperti tegang, marah, khawatir,
tetekan dan merasa bersalah.
b.
Reaksi kognitif meliputi sulit berkonsentrasi, sering
mimpi buruk, tidak dapat memecahkan masalah dan sering lupa serta bingung.
c.
Reaksi fisiologis meliputi sakit kepala, konstipasi
(sembelit), nyeri pada otot, cepat lelah, mual dan menurunnya nafsu sex.
Berdasarkan
ketiga aspek diatas telah disusun aitem-aitem dalam blue-print. Jumlah keseluruhan aitem yang berhasil dibuat
adalah 40 butir, terdiri dari 21 aitem favorable
dan 19 aitem unfavorable. Bentuk aitem
pada skala ini berupa pernyataan dengan empat alternatif jawaban, yaitu sangat
sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS) yang
bergerak dari skor empat sampai satu untuk aitem-aitem yang favorable dan satu
sampai empat untuk aitem-aitem yang tidak favorable.
Blue print dan sebaran/distribusi item skala
ini tertera dalam tabel 2.
Tabel 2
Distribusi
Item Skala Stres
ASPEK
|
Nomor Item Terseleksi
|
Jumlah
|
Favourable Unfavourable
|
||
Emosional 3,5,7,,30,31 15,18,20,24,33 10
|
||
Kognitif 1,4,12,13,16,21,34 8,11,19,23,26,36,39
14
|
||
Fisiologis 2,6,14,22,24,27,28,29,40
9,10,17,32,35,37,38 16
|
||
Jumlah
21 19 40
|
E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
Penelitian
Baik atau tidaknya alat pengumpul data dalam mengungkap keseluruhan
situasi yang ingin diukur adalah tergantung validitas dan reliabilitasnya. Secara luas, validitas dan reliabilitas
mencakup mutu seluruh proses pengumpulan data sejak konsep disiapkan sampai
kepada data siap dianalisis (Nasir, 1983).
1.
Uji Validitas
Validitas mempunyai
arti tingkat ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur melakukan fungsi ukurnya
(Azwar, 1997) lebih jauh lagi dikatakan bahwa suatu alat ukur mempunyai validitas
yang tinggi bila alat tersebut dapat menjalankan fungsi ukurnya atau memberi
hasil yang sesuai dengan tujuan dilakukannya pengukuran tersebut.
Perhitungannya dilakukan dengan menggunakan SPSS seri 12.0 for windows.
2.
Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah
sejauh mana alat ukur dapat dipercaya artinya apabila dalam beberapa kali
pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang
relatif sama, selama aspek dalam diri subjek yang diukur memang belum berubah
maka alat ukur tersebut dapat dipercaya (Azwar, 1997). Untuk mengetahui koefisien reliabilitas pada
penelitian ini, digunakan teknik analisis koefisien reliabilitas alpha dari
Cronbach. Item yang diikut sertakan
dalam uji reliabilitas hanyalah item yang lolos dalam uji konsistensi internal
pengujian kualitas item dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan
konsistensi internal, yaitu dengan mengkorelasikan skor tiap item dengan nilai
totalnya. Penghitungan korelasi ini
dilakukan dengan menggunakan teknik total
correlation. Sedangkan untuk
menentukan batas/kriteria item terpilih dilakukan dengan cara membuang item
dengan alpha yang lebih besar dari alpha item total yang tinggi berarti skala
ini dapat dikatakan valid untuk mengukur apa yang akan diukur (Azwar, 1997).
F. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode analisis Korelasi Product Moment dari
Pearson. Penggunaan metode ini bertujuan
untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara penerimaan diri dengan
stres. Analisa data penelitian yang
diperoleh dalam bentuk angka yang dianalisis dengan memanfaatkan fasilitas
komputerisasi SPSS versi 12.0 for
windows.
BAB IV
PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN
A.
Persiapan Penelitian
1.
Orientasi Kancah dan Proses Perijinan
Penelitian untuk try out ini
dilaksanakan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Subjek penelitian di ambil dari Poli Penyakit Dalam khususnya pada
bagian Diabetes Mellitus. RSUP Dr. Sardjito memiliki pasien rawat jalan
penderita diabetes mellitus sekitar 30-50 pasien tiap harinya. Khusus dokter diabetes mellitus buka praktek
hanya pada hari senin, selasa, kamis dan jumat.
Alasan di pilihnya rumah sakit ini sebagai kancah penelitian karena : a.
Terdapat banyak subjek penelitian, b. Adanya kecenderungan untuk stres karena
ruang tunggu poli tersebut kurang nyaman bagi penderita yang semuanya relatif
berusia lanjut, c. Adanya kecenderungan mengalami kejenuhan karena lamanya
waktu untuk menunggu pemeriksaan, d. Termasuk rumah sakit umum besar sehingga
diassumsikan pasien bukan hanya berasal dari satu daerah saja, e. Dari beberapa
rumah sakit yang diajukan hanya rumah sakit ini yang memperbolehkan untuk
diadakan penelitian.
Adapun langkah-langkah yang harus
dilakukan sebelum melaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Meminta ijin kepada Kepala Bagian
Pendidikan dan Penelitian RSUP Dr. Sardjito
b.
Mengurus
perijinan formal dari Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya. Surat perijinan penelitian yang dikeluarkan
dengan nomor surat 300/Dek/70/Akd/IV/2007 tertanggal 18 April 2007.
c.
Mengurus
perijinan formal dari Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya untuk mendapatkan
Ethical Clearance. Surat perijinan
permohonan Ethical Clearance yang dikeluarkan dengan nomor
363/Ka.Prodi/70/Psi/V/2007 tertanggal 3 Mei 2007 yang selanjutnya diserahkan
kepada Kepala Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada beserta proposal penelitian
pada tanggal 4 Mei 2007.
d.
Mendapatkan
surat Ethical Clerance dari Fakultas Kedokteran UGM yang ditandai dengan
keluarnya surat dengan nomor surat KE/FK/101/EC tertanggal 15 Juni 2007 yang selanjutnya diserahkan kepada Kepala
Bagian Pendidikan dan Penelitian RSUP Dr. Sardjito dan Direktur RSUP Dr. Sardjito beserta surat ijin penelitian dan
proposal.
e.
Mendapatkan
ijin penelitian dari Kepala Bagian Pendidikan dan
Penelitian RSUP Dr. Sardjito pada
tanggal 4 Juli 2007
f.
Mempersiapkan
segala keperluan pengambilan data.
g.
Pelaksanaan
pengambilan data.
2.
Penyusunan Alat Ukur dan Uji Coba
Dua alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala penerimaan
diri dan skala stres. Kedua skala
tersebut merupakan modifikasi dari skala sebelumnya. Skala penerimaan diri disusun berdasarkan
aspek-aspek penerimaan diri dari Sheerer (Cronbach, 1963) sedangkan skala stres
disusun berdasarkan aspek-aspek stres dari Crider dkk (1983).
Penyusunan skala didahului dengan
pembuatan blue print untuk kedua
skala tersebut. Skala penerimaan diri
terdiri dari 40 butir aitem yang terdiri dari masing-masing 5-6 aitem yang mewakili 7 aspek penerimaan
diri. Skala stres terdiri dari 40 butir
aitem yang terdiri dari masing-masing 10-16 aitem yang mewakili 3 aspek stres.
Uji
coba dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 2007. Penulis melaksanakan
penelitian dengan cara mendatangi satu per satu pasien rawat jalan yang sedang
duduk-duduk di ruang tunggu pasien. Keseluruhan
penelitian hanya mendapatkan 40 pasien diabetes mellitus rawat jalan. Sebelum
memulai pengisian skala, terlebih dahulu penulis memperkenalkan diri dan
meminta ijin kepada responden kemudian menerangkan tujuan dan maksud
penelitian. Responden diminta untuk
mengisi formulir ethical clearance
kemudian penulis memberikan penjelasan cara pengerjaan skala seperti yang
terdapat pada halaman depan skala tersebut.
Langkah berikutnya subjek dibimbing oleh penulis dalam mengerjakan skala
tersebut. Ini dikarenakan usia subjek
relatif tua sehingga terkadang perlu bimbingan untuk membacanya. Sebagai ucapan terima kasih di akhir try out diberikan tanda terima kasih
berupa souvenir. Skala penerimaan diri
dan skala stres dijadikan satu booklet
oleh penulis. Ada terdapat komentar
selama pengerjaan skala seperti terlalu banyak pernyataannya, bingung dengan jawabannya, subjek sering
berbalik tanya kepada penulis, penulis sering mendapatkan cerita-cerita dari
subjek mengenai pribadinya sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama berkisar
setengah sampai satu jam hanya untuk mendapatkan satu subjek, namun secara
keseluruhan proses uji coba ini berlangsung dengan baik dan lancar.
3.
Uji Coba Alat Ukur
Pengujian validitas ukur dilaksanakan dengan menggunakan validitas isi
yaitu dengan melihat apakah aitem-aitem dalam skala telah di uji sesuai dengan blue printnya (Azwar, 1997). Kemudian dilakukan cara membuang aitem-aitem
yang dianggap kurang mengungkap apa yang akan diungkap.
a.
Skala Penerimaan Diri
Berdasarkan hasil analisis aitem
dengan SPSS for window version 12.0
pada 40 subjek, didapatkan 29 aitem terpilih dan 11 aitem
gugur. Korelasi aitem total (rix) terpilih bergerak antara 0,335 sampai dengan 0,737. langkah selanjutnya adalah uji reliabilitas skala
yang memuat aitem-aitem terpilih. Hasil
analisis reliabilitas dengan menggunakan teknik Cronbach Alpha menunujukkan
koefisien reliabilitas (rxx’) sebesar 0,923 hasil
analisis aitem selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran.
Tabel 3
Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri Terseleksi
ASPEK
|
Nomor Item Terseleksi
|
Jumlah
|
Favourabel Unfavourabel
|
||
Adanya keyakinan akan kemampuan 1(1),14(8),
8(4),38(28),
diri dalam menghadapi persoalan
34(24) 27(18) 6
|
||
Adanya anggapan berharga pada 6(3),20(13),
9(5),39(29)
diri
sendiri sebagai seorang manusia
dan
sederajat 35(25)
5
|
||
Tidak ada anggapan aneh.abnormal 10(6) 2(2),13(7) 3
terhadap
diri sendiri dan tidak ada
harapan
ditolak
|
||
Tidak
adanya rasa malu atau 30(21),36(26) 16(9),21(14) 4
memperhatikan
dirinya sendiri
|
||
jawab
terhadap perilaku sendiri
|
||
Dapat
menerima pujian, saran, 18(11),22(15), 24(17),29(20) 5
kritikan
atau celaan secara objektif 32(23)
|
||
Tidak
adanya penyalahan diri 19(12),23(16) 2
atas
keterbatasan yang dimiliki
ataupun
pengingkaran kelebihan
|
||
Jumlah
16 13 29
|
||
Catatan: angka dalam kurung ( ) adalah nomor urut butir baru setelah uji
coba
|
b.
Skala Stres
Berdasarkan hasil analisis aitem
SPSS for window version 12.0 pada 40
subjek, didapatkan 33 aitem
terpilih dan 7 aitem
gugur. Korelasi aitem total (rix) terpilih bergerak antara 0,308 sampai dengan 0,750. Langkah
selanjutnya adalah uji reliabilitas skala yang memuat aitem-aitem
terpilih. Hasil analisis seliabilitas (rxx’) sebesar 0,927. Hasil analisis aitem selengkapnya dapat di lihat
dalam lampiran.
Tabel 4
Distribusi Aitem Skala Stres Terseleksi
ASPEK
|
Nomor Item Terseleksi
|
Jumlah
|
Favourable Unfavourable
|
||
Emosional 3(2),5(4),7(5), 15(11)18(14),
30(25),31(26) 24(19),33(28)
9
|
||
Kognitif 1(1),4(3),12(8),13(9), 8(6),19(15),23(18),
16(12),21(16),34(29) 26(21),36(31),39(33) 13
|
||
Fisiologis 14(10),22(17),25(20),
10(7),17(13),32(27),
27(22),28(23),29(24)
35(30),37(32) 11
|
||
Jumlah
33
|
Catatan: angka dalam kurung ( ) adalah nomor urut butir baru setelah uji
coba
B.
Pelaksanaan Penelitian
Banyaknya kendala dalam penelitian, seperti faktor subjek penelitian yang tidak dapat dijumpai setiap
saat, lamanya dalam mengambil data, untuk itu uji coba penggunaan angket
yang penulis buat langsung digunakan untuk penelitian tanpa meninggalkan
perhitungan validitas dan reliabilitas alat ukur tersebut. Perhitungan
validitas dan reliabilitas alat ukur serta program yang dipergunakan
dalam pengukuran alat ukur tersebut digunakan program komputer SPSS 12.0
for windows.
Seperti telah diuraikan di atas
bahwa pelaksanaan uji coba juga merupakan pelaksanaan penelitian mengenai
permasalahan yang diajukan oleh penulis yaitu tentang “Penerimaan Diri dan
Stres Pada Penderita Diabetes Mellitus” dilakukan pada tanggal 6 Juli 2007
sampai dengan 16 Agustus 2007. Penelitian
dilakukan pada penderita diabetes mellitus yang datang berobat di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta ,
dengan cara berkomunikasi secara langsung dan dilakukan satu per satu.
Banyaknya pasien yang datang berobat di RS itu, tidak semuanya
diambil sebagai subjek dalam penelitian, tetapi dalam pelaksanaannya hanya
pasien-pasien yang mampu diajak berkomunikasi dengan baik saja yang diambil dalam pelaksanaan penelitian
ini. Seluruh subjek yang dikenai angket semuanya
menjawab pernyataan yang disajikan dalam angket penelitian itu. Empat
puluh item untuk variabel penerimaan diri dan 40 item untuk variabel stres
setelah di uji analisis hanya terdapat 29 item untuk variabel penerimaan diri
dan 33 item untuk variabel stres yang bersifat valid dan reliabel, karena hal
itu akhirnya hanya terdapat 62 item yang dapat memenuhi syarat untuk di uji
analisis dan digunakan dalam penelitian.
C.
Analisis Data
1.
Deskripsi Subjek Penelitian
Berikut ini akan disajikan deskripsi subjek penelitian yang kemudian
diikuti oleh rangkuman data penelitian.
Deskripsi subjek penelitian dan deskripsi data penelitian ini memberikan
gambaran pertama dan penting mengenai keadaan subjek penelitian yang akan
memperkuat dan memperkaya hasil analisis interfisial guna pengujian hipotesis
(Azwar, 1997).
Adapun gambaran kecenderungan
stres pada penderita diabetes mellitus berdasarkan pengamatan dan intervensi
penulis selama ini. Penulis mendengar,
melihat dan merasakan bahwa adanya kecenderungan stres pada penderita diabetes
mellitus di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Hal ini dapat dilihat dari sikap para penderita diabetes yang merasa
bosan harus menunggu antrian periksa di ruang tunggu, sedangkan waktu periksa
itu tidak hanya satu atau dua kali saja tetapi berkala dan terus-menerus.
Subjek penelitian ini total
berjumlah 40 subjek. Mereka berusia
antara 41-80 tahun serta terdiri dari laki-laki 17
orang dan perempuan 23 orang.
Untuk gambaran selengkapnya mengenai subjek penelitian tersaji dalam
tabel berikut ini.
Tabel 5
Deskriptif Subjek Penelitian Berdasarkan
Jenis Kelamin
No
Aspek Kategori
|
Subjek
|
|
Jumlah %
|
||
1.
Jenis Kelamin
|
Pria 17 42,5%
Wanita 23 57.5%
|
|
Tabel 6
Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
No.
Usia subjek
|
subjek
|
|
Jumlah %
|
||
1.
2.
3.
4.
|
41 -
50 tahun 7 17,5%
51 -
60 tahun 16 40%
61 –
70 tahun 12 30%
71 –
80 tahun 5 12,5%
|
|
Jumlah
|
40 100%
|
|
|
|
|
|
||
Tabel 7
Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Lama
Menderita
No. Lama menderita
|
Subjek
|
Jumlah %
|
|
1. 5 -10 tahun 8 20%
2. 11 – 15 tahun 19 57,5%
3. 16 – 20 tahun 9
22,5%
4. 21 – 25 tahun 4 10%
|
|
Jumlah
40 100%
|
2.
Deskripsi Statistik
Gambaran umum data penelitian dapat dilihat pada tabel deskripsi data
penelitian yang meliputi variabel Penerimaan Diri dan Stres pada penderita
diabetes mellitus berikut ini :
Tabel 8
Deskripsi
Statistik Data Penelitian
Variabel Skor X Skor X
Yang
Dimungkinkan (Hipotetik) Yang
Diperoleh (Empirik)
Xmin Xmax
Mean SD Xmin
Xmax Mean SD
Penerimaan 29 116 72,5
14,5 32 107
73 13,3
Diri
Stres 33 132 82,5
16,5 53 132
80,8 14,7
Nilai X min, X max, mean, dan SD
empirik dapat di lihat pada output
hasil analisis SPSS 12.0 for windows.
Deskripsi data penelitian di atas
menggambarkan kategorisasi dari masing-masing variabel yaitu Penerimaan Diri
dan Stres. Kategorisasi di buat menjadi
lima golongan yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah.
Penemuan kategori tersebut didasarkan
pada tingkat diferensiasi yang dikehendaki.
Namun untuk memperoleh kategori perlu ditentukan terlebih dahulu
ditentukan batasan yang akan digunakan berdasarkan nilai deviasi standar dengan
memperhitungkan rentangan nilai maksimal dan minimum teoritisnya. Kategori ini ditentukan berdasarkan sebaran
empirik.
Berdasarkan pendapat Azwar (1999), maka peneliti menetapkan lima
kategori, yaitu sangat tinggi,
tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah. Adapun rumus yang digunakan adalah :
a.
Sangat Tinggi : X > µ + 1.8σ
b.
Tinggi : µ + 0.6σ < X ≤ µ
+ 1.8σ
c.
Sedang : µ - 0.6σ
< X ≤ µ + 0.6σ
d.
Rendah : µ - 1.8σ ≤ X ≤ µ - 0.6σ
e.
Sangat
Rendah : X < µ - 1.8σ
Keterangan
:
µ =
mean hipotetik
σ =
standar deviasi
1) Penerimaan
diri
Berdasarkan sebaran
empirik dari skor skala penerimaan diri maka subjek penelitian dapat
dikelompokkan menjadi lima , seperti pada
tabel berikut :
Tabel 9
Kriteria kategorisasi penerimaan diri
Kategorisasi norma jumlah subjek %
|
Sangat Tinggi
x > 98.6 2 5%
Tinggi 81.2 < x ≤ 98.6 5 12.5%
Sedang 63.8 < x ≤ 81.2
26 65%
Rendah 46.4 ≤ x
≤ 63.8 6 15%
Sangat Rendah x < 46.4 1 2.5%
|
2)
Stres
Berdasarkan sebaran
empirik dari skor skala stres maka subjek penelitian dapat dikelompokkan
menjadi lima , seperti pada
tabel berikut :
Tabel 10
Kriteria kategorisasi stres
Kategorisasi norma jumlah subjek %
|
Sangat Tinggi x
> 112.2 1
2,5%
Tinggi 92.4 < x ≤
112.2 4 10%
Sedang 72.6 < x ≤ 92.4 27 67.5%
Rendah 52.8 ≤ x ≤ 72.6 8 20%
Sangat Rendah x < 52.8 0 0%
|
3.
Hasil Uji Asumsi
Uji asumsi meliputi uji normalitas dan uji liniearitas sebagai syarat
untuk menentukan uji hipotesis. Uji
asumsi dilakukan dengan menggunakan program SPSS 12.00 for windows.
a. Uji Normalitas
Uji
Normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah setiap variable terdistribusi
secara normal. Uji normalitas dilakukan
pada variable penerimaan diri dan stress pada penderita diabetes mellitus
dengan menggunakan tehnik One Sample Kolmogorov-Smirnov Test pada
program SPSS 12.00 for windows.
Data dikatakan normal apabila p>0,05.
dari hasil analisis diperoleh sebaran skor variable penerimaan diri
adalah normal (KS-Z = 0,786 ; p = 0,567) dan untuk variable stress juga normal
(KS-Z = 0,891; p = 0,406)
b. Uji Linearitas
Uji
linearitas dilakukan untuk mengetahui linearitas hubungan antara variable
penerimaan diri dan stress. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan
tehnik means linearity dari program SPSS 12.00 for windows. Data dikatakan linear apabila p linearity < 0,05 dan p deviation
from linearity > 0,05.
dari hasil analisis diperoleh hasil yang linear (p linearity =
0,000 dan p deviation from linearity = 0,056).
4.
Hasil Uji Hipotesis
Syarat untuk melakukan uji hipotesis terpenuhi, yakni uji asumsi yang
terdiri dari uji normalitas (data normal) dan uji linearitas (data
linear). Dengan demikian uji hipotesis
pada penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan teknik Product Moment dari
Pearson yang hasilnya dapat dilihat dalam table dibawah ini:
Tabel 11
Korelasi Penerimaan Diri dan Stres
Penerimaan Diri Stres
|
Penerimaan Diri 1 -0,848
Stres -0,848 1
|
Hasil analisis yang telah dilakukan dengan bantuan program SPSS 12.00 for windows
diperoleh hasil bahwa koefisien korelasi (r antara stress dan penerimaan diri
pada penderita diabetes mellitus sebesar –0,848). Angka tersebut menunjukkan kuatnya korelasi
antara stress dan penerimaan diri pada penderita diabetes mellitus (di atas
0,05) dan tanda ‘ – ‘ menunjukkan bahwa semakin tinggi stress pada penderita
diabetes mellitus maka semakin rendah
penerimaan diri dan sebaliknya. Hal ini
menunjukkan bahwa ada hubungan negatif
yang signifikan antara penerimaan diri dan stress pada penderita diabetes
mellitus. Dengan demikian hipotesa yang
diajukan peneliti diterima.
D.
Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data dengan teknik
Product Moment Pearson menunjukkan bahwa ada korelasi negatif yang signifikan antara penerimaan diri dan
stress pada penderita diabetes mellitus.
Penerimaan diri dan stress pada penderita diabetes mellitus (r =
-0,848). Semakin tinggi stress pada penderita diabetes mellitus,
maka semakin rendah penerimaan diri. Sebaliknya, semakin rendah stress pada penderita diabetes mellitus,
maka semakin tinggi penerimaan diri.
Hasil penelitian ini sesuai
dengan pendapat Sani (Lestari, 1994) yang mengatakan bahwa penyesuaian diri
individu yang tidak baik akan cenderung menyebabkan individu mengalami gangguan
stres. Stres muncul karena adanya
keinginan dengan kenyataan yang tidak sesuai oleh karena itu diharapkan para
penderita memiliki penerimaan diri yang baik sehingga penderita diabetes
mellitus tidak mengalami stres yang terlalu tinggi. Seseorang dapat mengalami stres itu
dipengaruhi banyak faktor salah satunya tergantung pada besar kecilnya
penerimaan diri yang dimiliki oleh individu tersebut.
Penderita memiliki penerimaan
diri dengan bertujuan agar dapat memperkecil kemungkinan mengalami stres karena
dengan adanya penerimaan diri maka penderita diabetes mellitus akan terus
mencoba melawan penyakitnya. Secara umum
penderita memiliki penerimaan diri yang baik dalam melawan penyakitnya.
Penelitian ini sejalan dengan
pernyataan bahwa perasaan stres yang dialami seseorang ternyata lebih
disebabkan oleh pikiran dan perasaan yang tidak menyenangkan dalam menghadapi
stresor kehidupan, kecenderungan berpikir seseorang baik positif maupun negatif
akan membawa pengaruh terhadap penyesuaian dan kehidupan psikisnya (Chaeruni,
1995).
Penelitian ini juga sependapat
dengan pernyataan bahwa penerimaan diri penting karena merupakan asas bagi
membentuk diri yang baik supaya dapat menerima kelebihan dan kekurangan yang ada. Penerimaan diri yang baik dapat mengawali
diri dari unsur-unsur yang tidak baik serta menunjukkan tingkah laku yang
terbaik dan dapat meningkatkan diri untuk menghadapi cobaan hidup (ptsn.com,
2005).
Pernyataan Hurlock (dalam Izzaty,
1996) berikut juga sejalan dengan penelitian ini yaitu bahwa individu yang
menerima dirinya memiliki penilaian yang realistik tentang sumber daya yang
dimilikinya. Artinya, individu tersebut
memiliki kepastian akan standar dan teguh dalam pendirian, serta mempunyai
penilaian yang realistik terhadap keterbatasannya tanpa mencela diri. Jadi, orang yang memiliki penerimaan diri
yang baik tahu kemampuan yang dimilikinya dan bisa mengatasi cara mengelolanya.
Di dalam penelitian ini juga dapat
dikatakan bahwa stres itu sendiri muncul tergantung dari penerimaan diri
individu tersebut. Seseorang yang
senantiasa rendah diri, tidak berpuas hati dengan dirinya, tidak menerima apa
yang ada pada dirinya, tidak akan merasa sejahtera dengan dirinya. Ini juga menimbulkan perasaan marah, benci
kepada diri, tidak menghormati diri dan kadangkala mengurangi keyakinan
individu untuk mencoba sesuatu yang baru dan menjadi penghalang kepada kemajuan
di dalam hidupnya. Akibatnya individu
dapat mengalami stres sehingga merasa tidak bahagia di dalam dirinya dan
menjadi tertekan.
Tidak ada sesuatu yang sempurna, seperti juga penelitian ini terdapat
kekurangan yaitu terjadi overlap (tumpang
tindih) pada aitem-aitemnya sehingga menghasilkan korelasi yang sangat
tinggi. Salah satu contoh aitem yang
overlap yaitu aitem nomor 19 pada skala stres.
Aitem tersebut termasuk salah satu aspek dari skala penerimaan
diri. Sesuai pernyataan yang dikemukakan
oleh Azwar (1997) bahwa alat ukur yang bertujuan untuk mengukur suatu aspek
tertentu akan tetapi tidak dapat memberikan hasil ukur yang cermat dan teliti
tentu akan menimbulkan berbagai kesalahan.
Kesalahan itu dapat berupa hasil yang terlalu tinggi (overestimasi).
Jika dilihat antara kenyataan di
lapangan dengan hasil penelitian keadaannya tidaklah sama atau terjadi
perbedaan. Hal ini wajar saja terjadi
karena ada beberapa faktor yang di luar kendali penulis dan tidak dapat
dikontrol sehingga mempengaruhi hasil penelitian. Adapun beberapa sebab yang menjadikan mengapa
penelitian ini kurang dapat mengungkap fakta sebenarnya yang terjadi
dilapangan: 1) saat melakukan penelitian, subjek sering melakukan perbincangan
dengan teman sebelah, 2) waktu pengerjaan terkadang kurang kondusif karena
subjek juga harus menunggu antrian yang terkadang tiba-tiba panggilan
pemeriksaan terdengar, 3) usia subjek yang tergolong lanjut sehingga pemikiran
yang terkadang tidak stabil, 4) pernyataan-pernyataan yang dibuat penulis dalam
skala yang diberikan kurang mengungkap hal yang terjadi, 5) karena adanya bias
dari diri individu ingin terlihat baik sehingga tidak dapat mengungkap fakta yang
sebenarnya, 6) di samping itu pengisian kuosioner oleh penderita kurang bisa
dilakukan dengan konsentrasi yang baik karena dilakukan di ruang tunggu dalam
situasi yang cukup ramai.
BAB V
PENUTUP
B.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis data hasil
penelitian maka dapat disimpulkan bahwa ada korelasi yag signifikan antara
penerimaan diri dan stres. Semakin tinggi penerimaan diri, maka semakin
rendah stres. Sebaliknya, semakin rendah
penerimaan diri, maka semakin tinggi stres.
C.
Saran
Penelitian ini disadari jauh dari kesempurnaan
karena masih banyak kekurangan, berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan
kesimpulan pada penelitian ini diajukan saran-saran sebagai berikut:
1.
Saran untuk Penderita
Secara umum
berdasarkan hasil penelitian ini, subjek dalam penelitian ini memiliki stres
yang sedang akan tetapi pada faktanya ada juga penderita yang memiliki
kecenderungan mengalami stres. Penderita
disarankan untuk bisa menerima dan menjalani penyakitnya dengan ikhlas,
menerima diri apa adanya. Hal ini akan
membuat penderita tidak terlalu berpikir keras dalam menghadapi dan menjalani
penyakitnya dan berusaha agar penyakitnya dapat cepat sembuh. Mereka akan menerima diri mereka apa adanya
tanpa harus mengalami stres sehingga penderita dapat mengoptimalkan dalam
mencari pengobatan sehingga glukosa darahnya dapat terkontrol. Salah satu cara untuk mencegah terjadinya
stres diperlukan penerimaan diri yang kuat sehingga mereka dapat berpikir
positif dan ikhlas dalam menjalani pengobatannya. Penderita diharapkan dapat mengetahui
sumber-sumber penyebab timbulnya stres, misalnya berterus terang dengan orang
lain tentang kesulitan yang dihadapi atau mengembangkan hobinya.
2.
Saran untuk keluarga maupun masyarakat
Seperti diketahui
bahwa penyakit diabetes mellitus sampai saat ini merupakan salah satu jenis
penyakit yang sangat ditakuti. Bagi
penderitanya akan diperlukan biaya yang cukup tinggi untuk menanganinya, sehingga
tidak mengherankan bahwa akan mengalami stres.
Di dalam menghadapi situasi semacam ini seyogyanya keluarga maupun
lingkungan terdekat dapat menunjukkan empati dan memberikan dorongan hidup
kepada individu yang bersangkutan, sehingga individu dapat mengurangi segala
stres dan termotivasi untuk sembuh dari penyakitnya.
3.
Saran untuk Rumah Sakit
a. Dibuka suatu unit konsultasi psikologi,
dengan harapan yang sedang mengalami gejala atau yang pernah dirawat sebagai
penderita diabetes mellitus dapat dicegah ke arah yang lebih fatal.
b. Seyogyanya paramedis dapat memberikan
interaksi yang lebih hangat kepada pasien, karena perlakuan tersebut akan
menumbuhkan harapan hidup lebih tinggi terhadap kondisi pasien.
4.
Saran untuk Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya yang berminat
terhadap tema yang sama dengan penelitian ini disarankan agar mempertimbangkan
beberapa hal.
a. Peneliti memperbanyak jumlah subjek
penelitian.
b. Pengumpulan data hendaknya dapat dilakukan
di tempat khusus yang cukup tenang sehingga penderita dapat menilai dirinya
dengan lebih baik dan menjawab pernyataan-pernyataan dengan lebih benar.
c. Peneliti dapat lebih cermat mengontrol
faktor-faktor lain yang diperkirakan dapat mempengaruhi tingkat stres seperti
keluarga, sosial.
d. Diharapkan peneliti dapat membuat
pernyatan-pernyataan dalam skala yang dapat lebih mengungkap fakta yang terjadi
di lapangan sehingga dapat diperoleh hasil yang murni.
DAFTAR PUSTAKA
Andangsari,E.W.2007. menerima Diri Sendiri. www.binuscareer.com
Andromeda,Y.2006.
penerimaan Diri Wanita Penderita Kanker Payudara Ditinjau dari Kepribadian
Tahan Banting (Hardiness) dan Status
Pekerjaan. Skirpsi (Tidak Diterbitkan).
Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia.
Atrofiyati. 1996.
Hubungan Antara Penerimaan Diri dengan Kecemasan Sosial. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi
Univarsitas Gajah Mada.
Azwar, S. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
Azwar, S. 1999. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bakar-Tobing, 2006. Diabetes. www.bpkpenabur.or.id
Chaplin, J.P. 2004. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada
Cholidah, L.
1996. Hubungan Kepadatan dan Kesesakan dengan Stres dan Intensi Proposial pada
Remaja di Pemukiman Padat. Skripsi (Tidak
Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Univarsitas Gajah Mada.
Crider, A.B.,
Goesthals, G.R., Kavanough, R.D dan Solomon, P.R.1983. Psychology. Illinois: Sott, Foresman & Company.
Cronbach,
L.J.1963. Educational Psychology. New
York: Harcourt, Brace & World, Inc.
Endarti. E & Teguh W. 2004. SPSS 12. Yogyakarta: Navida Compusains.
Hadi, S. 1972. Metodologi Research. Jilid II.
Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM.
Hardjana,AM. 1994. Stres Tanpa Distres.Seni
Mengolah Stres. Jakarta: Kanisius.
Iga. 2004. Stres Proses Pelatihan. http://duel.melsa.ned.id
Izzaty, R.E.
1996. Penerimaan Diri dan Toleransi Terhadap Stres pada Wanita Berperan Ganda. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta:
Fakultas Psikologi Univarsitas Gajah Mada.
Jatno. 1995.
Pengaruh Stres Pada Sistem Kardiovaskuler. Jurnal
Anima,vol X no 39 april-juni
Lestari, A.R.
1994. Tingkat Stres Pada Penderita Penyakit Jantung Iskemik Dan Non Iskemik. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta:
Fakultas Psikologi Univarsitas Gajah Mada.
Maramis,W.F.
1998. Catatan Ilmu Kedokteran. Surabaya
: Airlangga University Press
Nasir, M. 1983. Metode Penelitian. Jakarta:
Penerbit Ghalia
Octa. Diabetes Mellitus. http://jawaban.com
Partosuwido,S.R. 1995. Psikologi
Kesehatan, Sumbangan Psikologi Di Bidang Kesehatan, Prevensi Dan Intervensi. Anima, vol. X. No 40, Juli – September
Ranakusuma, Dr.
1987. Penyakit Kencing Manis Diabetes
Mellitus. Jakarta: UI-Press
Ratnawati, D.
1990. Hubungan Keasertifan Dengan Penerimaan Diri atas Kecacatan yang Disandang
Oleh Para Penyandang Cacat Tubuh di PRPCT. Skripsi
(Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Univarsitas Gajah Mada.
Saseno. 2001. Kumpulan Materi Perkuliahan Perawatan
Kesehatan Mental. Magelang : Akper Depkes
Sadarjoen,S.S. 2004. Konsultasi Psikologi.
www.kompas.com
Subekti, D.A. 1993. Pengaruh Pencemaran Lingkungan Terhadap Respon Stres. Anima, Indonesian Psychological Journal.
Vol IX – No 33, Oktober-Desember
Soeharjono,L.B,
Tjokroprawiro,A., Adi,S. 2002. Diabetes Mellitus Tergantung Insulin (DM-TI):
Aspek Psikologik Penderita dan Keluarga. Anima,
Indonesian Psychological Journal. Vol 17, no 2, 161-169
Soeharjono,L.B,
Tjokroprawiro,A., Margono,H., Tandra,H. 1993. Status Mental Penderita Diabetes
Mellitus Type II. Anima, Indonesian
Psychological Journal. Vol 19, no 4, 399-406
Tanumidjojo,Y.,
Basoeki,S.L., Yudiarso,A. 2004. Stres dan Perilaku Koping Pada Remaja
Penyandang Diabetes Mellitus Tipe I. Anima,
Indonesian Psychological Journal. Vol 19, no 4, 399-406
Tjokroprawiro,
A. 2004. Hidup Sehat dan Bahagia Bersama
Diabetes. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
__________. 1998. Apa itu stres? www.geocities.com
__________.
2001. Gejala dan Penyebab
Stres. www.e-smartcool.com
__________.
Mengapa Kita Harus Peduli
Diabetes ?. www.kompas.co.id
__________. 2005. Memahami Konsep Kendiri.
www.pts.com
__________. Semedi 1 (Stres Management 1). www.anandkhrishna.org
__________. Diabetes Mellitus dari Wikipedia
Indonesia. www.sportindo.com
LAMPIRAN A
1. Skala Uji Coba
2. Skala
Penelitian
FORMULIR “INFORMED
CONSENT”PENELITIAN KESEHATAN
JUDUL
PENERIMAAN DIRI DAN TINGKAT STRES PADA
PENDERITA DIABETES MELLITUS
Yang bertanda tangan dibawah ini :
- Nama
calon subjek penelitian :
Alamat :
Jenis Kelamin : umur : th
Lama menderita :
- Peneliti
yang memberi informasi penelitian :
Nama : Kartika Novvida S
Alamat : Jl. Kaliurang km 7.3 Jurugsari III/6
Yogyakarta
- Saksi
:
Nama :
Alamat : umur : th
Hubungan dengan subjek penelitian :
Istri/Suami/Ayah/Ibu/Keluarga (lingkari yang sesuai).
Dengan sesungguhnya serta sejujurnya, telah
berdiskusi, tanya jawab, atas informasi penelitian yang akan dilakukan, yang
memilih saya sebagai subjek penelitian, dalam hal :
(Hitamkan bulatan informasi yang telah didiskusikan)
o
Lama
penderita mengalami diabetes mellitus
o
Tujuan
penelitian o Cara penelitian
Lain-lain : .........
Menyatakan
dengan sesungguhnya, bahwa melalui diskusi informasi penelitian yang akan
berlanjut selama penelitian, tanpa paksaan, tekanan, dengan kesadaran dan
pemahaman informasi dengan sukarela memberikan :
PERNYATAAN BERSEDIA MENGIKUTI TATA LAKSANA
PENELITIAN TELAH DIDISKUSIKAN SEBAGAI SUBJEK PENELITIAN YANG TERPILIH
.................,
.............................
Tanda
tangan dan nama jelas
Subjek Peneliti Saksi
:(suami/isteri/anak/ibu/bapak)
........................ ...........................
Peneliti
yang memberi informasi
(
Kartika Novvida S )
E.
PETUNJUK PENGISIAN
1. Bacalah dan pahamilah tiap
pernyataan dan jawablah sesuai dengan keadaan diri Anda, dengan cara menyilang
(X) kotak-kotak sesuai huruf yang dipilih, yaitu :
SS :
Sangat Setuju
S : Setuju
KS :
Kurang Setuju
TS :
Tidak Setuju
2. Tiap pernyataan hanya ada satu
jawaban dan tiap jawaban yang Anda berikan tidak ada yang benar maupun yang
salah, sepanjang sesuai dengan keadaan diri Anda.
3. Jangan sampai ada pernyataan yang
terlewati dan silahkan mengisi formulir Informed Consent terlebih dahulu.
Terima kasih dan selamat
mengerjakan… !!!
1.
|
Saya mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam
diri saya dengan baik walaupun tanpa bantuan orang lain.
|
|
|
|
|
2.
|
Saya ragu apakah teman-teman saya menyukai saya dengan
tulus.
|
|
|
|
|
3.
|
Saya merasa tidak percaya diri jika berkenalan dengan orang
lain.
|
|
|
|
|
4.
|
Saya mudah untuk dimintai pertolongan.
|
|
|
|
|
5.
|
Saya bangga dengan kelebihan dan kekurangan saya.
|
|
|
|
|
6.
|
Saya merasa berharga dihadapan teman-teman.
|
|
|
|
|
7.
|
Saya merasa orang lain memuji saya hanya untuk
menyenangkan hati saya saja, saya rasa mereka tidak tulus.
|
|
|
|
|
8.
|
Saya merasa tidak yakin dapat mewujudkan rencana-rencana
untuk masa depan saya.
|
|
|
|
|
9.
|
Saya merasa kecil dihadapan orang lain.
|
|
|
|
|
10.
|
Saya mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.
|
|
|
|
|
11.
|
Saya merasa apa yang telah saya lakukan untuk membantu
orang lain, tidak ada artinya.
|
|
|
|
|
12.
|
Saya siap menghadapi resiko atas keputusan-keputusan yang
saya ambil.
|
|
|
|
|
NO
|
ITEM
|
SS
|
S
|
KS
|
TS
|
13.
|
Saya khawatir ada teman yang membenci saya karena
kekurangan yang saya miliki.
|
|
|
|
|
14.
|
Saya cukup memiliki kepercayaan diri dalam menghadapi
hal-hal yang akan terjadi pada diri saya.
|
|
|
|
|
15.
|
Saya memilih tidak banyak berbicara pada saat awal
perkenalan.
|
|
|
|
|
16.
|
Jika bertemu dengan orang lain, saya lebih memilih
memberikan senyuman daripada menyapanya.
|
|
|
|
|
17.
|
Apa yang saya lakukan adalah tanggungjawab saya sendiri.
|
|
|
|
|
18.
|
Saya senang
jika teman-teman menilai diri saya.
|
|
|
|
|
19.
|
Saya tidak pernah menutup-nutupi kekurangan yang ada pada
diri saya.
|
|
|
|
|
20.
|
Saya merasa teman-teman membutuhkan kehadiran saya.
|
|
|
|
|
21.
|
Bila saya bisa
memilih saya akan lebih suka menyendiri daripada berkumpul dengan
teman-teman.
|
|
|
|
|
22.
|
Saya yakin orang lain mengkritik saya untuk kebaikan saya.
|
|
|
|
|
23.
|
Saya merasa puas dengan apa yang telah saya lakukan.
|
|
|
|
|
24.
|
Saya selalu mengabaikan saran-saran orang lain.
|
|
|
|
|
NO
|
ITEM
|
SS
|
S
|
KS
|
TS
|
25.
|
Saya merasa diri saya masih banyak kekurangan.
|
|
|
|
|
26.
|
Saya kesal dengan sifat pemalu saya.
|
|
|
|
|
27.
|
Saya takut terjadi suatu hal yang buruk terhadap diri
saya.
|
|
|
|
|
28.
|
Saya mempunyai keberanian untuk mengakui
kesalahan-kesalahan yang saya buat.
|
|
|
|
|
29.
|
Saya tidak tahan jika seseorang mengkritik saya.
|
|
|
|
|
30.
|
Saya merasa percaya diri.
|
|
|
|
|
31.
|
Saya cernderung menghindar jika ketahuan bersalah.
|
|
|
|
|
32.
|
Saya menerima setiap masukan yang baik atau yang buruk
bagi diri saya.
|
|
|
|
|
33.
|
Saya merasa belum optimal dalam memanfaatkan diri saya.
|
|
|
|
|
34.
|
Saya selalu berhasil membuat keputusan yang mendesak.
|
|
|
|
|
35.
|
Saya tidak pernah merasa rendah diri.
|
|
|
|
|
36.
|
Saya tidak pernah merasa malu untuk berbicara jika berada
dalam suatu kelompok.
|
|
|
|
|
37.
|
Saya merasa berat hati jika harus meminta maaf kepada
orang lain.
|
|
|
|
|
NO
|
ITEM
|
SS
|
S
|
KS
|
TS
|
38.
|
Saya tidak yakin saya
bisa menghadapi semua permasalahan pada diri saya.
|
|
|
|
|
39.
|
Jika seseorang
mengkritik saya secara langsung, saya merasa direndahkan dan tidak berharga.
|
|
|
|
|
40.
|
Jika melakukan
kesalahan saya jarang merasa menyesal.
|
|
|
|
|
NO
|
ITEM
|
SS
|
S
|
KS
|
TS
|
1.
|
Sulit bagi saya untuk
memfokuskan diri pada sesuatu.
|
|
|
|
|
2.
|
Saya merasa cepat
lelah.
|
|
|
|
|
3.
|
Saya merasa bersalah.
|
|
|
|
|
4.
|
Saya merasa sukar
untuk mengingat-ingat suatu hal.
|
|
|
|
|
5.
|
Saya sering merasa
kesepian.
|
|
|
|
|
6.
|
Jantung saya terasa
berdebar-debar.
|
|
|
|
|
7.
|
Saya merasa tertekan.
|
|
|
|
|
8.
|
Saya mempunyai harapan
yang besar terhadap cita-cita saya.
|
|
|
|
|
9.
|
Pola makan saya tidak
pernah terganggu.
|
|
|
|
|
10.
|
Tidur saya terasa
nyenyak.
|
|
|
|
|
11.
|
Kegagalan yang saya
alami tidak merisaukan saya.
|
|
|
|
|
12.
|
Saya sering mengalami
mimpi buruk.
|
|
|
|
|
13.
|
Saya ingin pergi dari
semua hal yang menimpa diri saya.
|
|
|
|
|
14.
|
Tidur saya gelisah dan
sering terjaga.
|
|
|
|
|
15.
|
Saya merasa hidup saya
lebih baik daripada orang lain.
|
|
|
|
|
16.
|
Saya tidak bisa
memutuskan sesuatu dengan cepat.
|
|
|
|
|
17.
|
Saya merasa tubuh saya
segar.
|
|
|
|
|
NO
|
ITEM
|
SS
|
S
|
KS
|
TS
|
||||||
18.
|
Saya benar-benar dapat menikmati hidup ini.
|
|
|
|
|
||||||
19.
|
Saya menerima diri saya apa adanya.
|
|
|
|
|
||||||
20.
|
Saya bisa mengatur emosi saya jika sedang marah.
|
|
|
|
|
||||||
21.
|
Terkadang saya bersikap masa bodoh dengan masa depan saya.
|
|
|
|
|
||||||
22.
|
Saya merasa seluruh badan saya terasa tegang.
|
|
|
|
|
||||||
23.
|
Saya dapat mengambil keputusan dengan baik tanpa
ragu-ragu.
|
|
|
|
|
||||||
24.
|
Saya bersikap santai dalam menghadapi hidup ini.
|
|
|
|
|
||||||
25.
|
Saya sering mengalami migraine (sakit kepala).
|
|
|
|
|
||||||
26.
|
Saya merasa optimis dengan hal-hal yang datang dalam
kehidupan saya.
|
|
|
|
|
||||||
27.
|
Maag (lambung) saya sering sakit.
|
|
|
|
|
||||||
28.
|
Selera makan saya berkurang.
|
|
|
|
|
||||||
29.
|
Belakangan ini saya merasa kesehatan saya menurun.
|
|
|
|
|
||||||
30.
|
Seringkali saya merasa jenuh dengan rutinitas saya.
|
|
|
|
|
||||||
31.
|
Saya mudah tersinggung jika ada orang yang mengkritik
saya.
|
|
|
|
|
||||||
32.
|
Saya merasa tidak mempunyai keluhan apapun.
|
|
|
|
|
||||||
33.
|
Saya merasa hidup saya bahagia.
|
|
|
|
|
||||||
34.
|
Saya mudah putus asa jika mengalami kegagalan.
|
|
|
|
|
||||||
|
|||||||||||
NO
|
ITEM
|
SS
|
S
|
KS
|
TS
|
||||||
35.
|
Saya tidak pernah mengalami sakit kepala yang hebat.
|
|
|
|
|
||||||
36.
|
Walaupun dalam keadaan genting, saya tetap dapat berpikir
dengan baik.
|
|
|
|
|
||||||
37.
|
Walaupun ada masalah saya dapat tidur nyenyak.
|
|
|
|
|
||||||
38.
|
Saya tidak pernah mengalami sesak nafas walaupun sedang
merasa sangat kecewa.
|
|
|
|
|
||||||
39.
|
Saya selalu berpikir santai dalam menghadapi
masalah-masalah.
|
|
|
|
|
||||||
40.
|
Jika sedang ada masalah, saya bisa tidur melebihi jam
tidur semestinya.
|
|
|
|
|
||||||
0 komentar:
Posting Komentar