Pernah nggak anda mendengar orang tua yang putus asa karena si anak rapornya banyakan merahnya ? Atau pihak sekolah sering memanggil ortu gara-2 si anak suka bikin masalah di sekolah, dari mulai mengganggu teman, ramai di kelas, suka bolos, tidur di kelas, gak perhatian sama penjelasan guru, terlalu banyak tanya, dsb ?
Sebaliknya, anak-2 yang dianggap patuh, selalu rajin menggarap PR, nilai ulangan selalu tinggi, angka raport membanggakan, ternyata belum tentu berbahagia ketika dewasa. Hal ini akan dibahas lebih lanjut.
Pernah nonton film Gilmore Girls ? Si cantik yang sedari kecil termasuk anak yang rajin dan tampak gemar ke sekolah, ternyata memilih drop out dari perguruan tinggi favoritnya setelah bertemu sang pacar. Si Mama, yang single mother dan selalu bangga pada kedekatannya dengan si anak, menjadi sedih dan akhirnya hubungannya sempat merenggang dengan si anak setelah si anak merasa keputusannya utk tidak kuliah dulu dan ingin berhura-hura sebagaimana layaknya anak seusianya, tidak disetujui oleh mamanya.
Nah, jika ada anak yang bermasalah di sekolah, orangtua kerapkali kelabakan dan mencari tahu apa yang salah. Umumnya para ortu akan membawa anaknya ke psikolog. Kebanyakan setelah dites, anak dicap sebagai anak yang begini begitu, cap yang negatif. Tahukah anda bahwa cap negatif pada anak besar pengaruhnya pada perkembangan kejiwaan dia hingga dia mencapai usia dewasa ? Sedikit sekali anak-anak yang bisa menekan rasa kecewanya, ketika mendapat penilaian negatif dari orang disekitarnya bahwa dia memang punya masalah sehingga diprediksikan akan gagal dalam hidupnya. Orang-orang besar yang berhasil menekan rasa negatif tersebut, bisa kita temui dalam sejarah.
Beethoven misalnya, ternyata sempat dianggap gurunya tidak mungkin menjadi compositor musik. Orang tua Bill Cosby masih menyimpan raport anaknya di kelas 6 yang mendapat tulisan bahwa Bill adalah anak yang paling mengganggu di kelasnya. Thomas Alfa Edison adalah anak yang “malas” ke sekolah sehingga dia adalah contoh hasil drop-out yang “berhasil”. Benjamin Franklin, ternyata hanya sempat mengenyam pendidikan formal di sekolah di grade 8-10 saja (kira-2 setingkat dengan SMP kelas 2 hingga SMU kelas 1). Banyak sekali contoh-contoh orang terkenal yang pada masa sekolahnya dulu dianggap bermasalah dan bahkan diperkirakan akan gagal dalam hidupnya di masa depan.
Jika anda merasa anak anda termasuk yang bermasalah di sekolah, jangan cepat-cepat
mencari kesalahan pada si anak. Bahkan jangan cepat down dengan cap negatif dari psikolog, misalnya si anak ternyata hiperaktif kek, ADD kek, dsb. Kecuali jika jelas-jelas anda tahu sendiri, si anak memang secara genetik terlahir sebagai anak yang berbeda dengan anak-anak lainnya. Namun inipun jangan diremehkan. Allah SWT Maha Adil lho. Biarpun seorang anak dicap down syndrome, autis dsb; bisa jadi dia punya kelebihan luar biasa dalam suatu hal yang tidak bisa dicapai oleh anak-anak lain yang dianggap normal.
Yang salah siapa dong ?
Sekarang jika kita merasa kesalahan bukan pada diri si anak, lantas pada siapa kita bisa menyalahkan mengapa si anak menjadi bermasalah. Ayo, sebelum bicara hal ini lebih lanjut, tengoklah masa lalu anda saat masih di sekolah dulu. Jika anda dulu termasuk anak yang rajin dan tak bermasalah di sekolah, mungkin anda bisa sedikit berempati pada teman sekelas anda yang dulu sering dianggap bermasalah. Coba tengok sekarang dia bagaimana. Bisa jadi dia ternyata menjadi businessman yang sukses, punya perusahaan yang berjalan dengan baik, anak buah yang respek pada dia. Atau ternyata dia punya keahlian yang membuat dia terkenal, padahal dulunya bukan hanya teman sekelas, guru dan ortunya pun mengira dia bakalan gagal dalam hidupnya.
Sebaliknya jika anda dulu termasuk murid yang “rata-rata”, artinya raport tidak selalu tinggi tapi tidak juga rendah nilainya, tidak selalu mendapat pujian guru, tapi juga tak mendapat masalah di sekolah; coba diingat lagi apakah dulu anda termasuk senang masuk sekolah ? Pernahkah di masa lalu, anda sempat merasa malas masuk sekolah, mencoba mencari cara agar bisa bolos sekolah, pura-pura sakit kek, gak enak badan kek, dsb.
Sekarang jika anda termasuk anak yang bermasalah saat anda masih kecil, apakah hal itu mempengaruhi masa kini anda ? Apakah anda tetap bermasalah sekarang ? Bisakah anda menekan rasa bersalah karena dicap sebagai anak bermasalah, dan kini anda menjadi orang sukses ?
Awal dari semua masalah di sekolah sebetulnya bukan berasal dari si anak, seperti banyak orang berpendapat. Cobalah anda pikir sejenak, jika anda memiliki anak lebih dari satu anda akan mulai menilai betapa berbedanya anak yang satu dengan yang lain. Si kakak suka mencari perhatian dan sangat aktif bergerak, adiknya kalem luar biasa, mungkin pula anak ketiga suka menangis dan tersinggung tetapi suka menolong kakak-kakaknya. Ini hanya contoh.
Jadi dari segi kepribadian, watak dan karakter, tiap anak itu unik, begitu pula kita yang telah dewasa. Sayangnya sedikit sekali orang yang mengetahui bahwa keunikan ini mempengaruhi gaya belajar anak, dan ini bisa terbawa hingga dewasa dalam berbagai hal, termasuk belajar beradaptasi dengan lingkungan kerja, tugas-tugas di kantor, maupun dalam bermasyarakat.
Jika dipikir lagi lebih jauh mengapa anak sempat dicap bermasalah di sekolah, maka coba tengoklah ke sistem pengajaran di sekolah itu sendiri. Berapa banyak murid yang diajar di sekolah tersebut, berapa perbandingan guru dan murid di kelas, bagaimana cara guru mengajarkan sesuatu pada si anak, bagaimana kurikulum di sekolah, bagaimana guru menilai kepandaian dan kemahiran anak ?
Sekolah adalah sebuah institusi yang mengajarkan segala sesuatu dengan cara yang bisa disebut sama untuk semua muridnya. Sebagai orang tua saja kita harus mengakui, bahwa kita tidak bisa menerapkan sistem mendidik yang sama pada anak-anak kita, karena setiap anak berbeda reaksi dan cara penyerapannya. Lantas bagaimana mungkin sekolah bisa memastikan anak-anak semuanya akan bisa menyerap pelajaran dengan baik, sedangkan setiap anak itu unik gaya belajarnya ?
Di USA saja, menurut pengarang buku Discover Your Child’s Learning Style; Mariaemma Willis, MS dan Victoria Kindle Hodson Ma, terdapat sistem yang mengejutkan di sekolah. Terdapat grafik yang dianggap normal jika hasilnya seperti bell; ini didasarkan oleh penemuan Abraham De Moivre pada tahun 1733 yang disebut The Bell Curve. Pada sistem ini, anak-2 yang ditemukan di atas score dianggap pintar dan cerdas, anak-2 yang berada di tengah-tengah score
dianggap normal dan seperti diduga yang mendapat score dibawah rata-rata dianggap tidak terlalu pintar, alias bodoh atau gagal.
Seperti diduga, anak-anak yang berada di bawah normal tersebut akan mendapat perhatian ekstra agar bisa mengejar ketinggalan dan berada di barisan standard alias anak-anak normal. Sebaliknya anak-anak yang diatas normal, akan mendapat perhatian ekstra pula karena para guru akan bangga sekali jika menghasilkan murid yang dianggap ber-IQ tinggi, dan berhasil di sekolah. Banyak sekali orang tua dan guru yang sampai saat ini mengukur keberhasilan di sekolah dengan keberhasilan di luar sekolah, terutama masa depan anak. Padahal berbagai penelitian membuktikan bahwa anak yang dianggap berhasil di sekolah karena dianggap ber-IQ tinggi belum tentu bisa berhasil di masa depannya, kecuali pada bidang-bidang tertentu. Kini bahkan banyak yang setuju dengan pendapat Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence, bahwa EQ lebih membawa pengaruh pada keberhasilan seseorang dalam hidupnya dibanding IQ.
Who C.A.R.E.S ?
Sekarang para orang tua tak perlu bersedih hati jika anak dianggap bermasalah di sekolah. Rasulullah SAW bersabda bahwa para ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anak. Maka jika anak dianggap bermasalah di sekolah, adalah tugas para ibu sebagai sekolah anak-anak yang pertama dan ayah sebagai “kepala sekolah” di rumah, untuk mengarahkan anak-anaknya agar tidak menjadi terpengaruh oleh cap negatif dari luar, supaya tetap menjadi anak-anak yang berhasil dalam hidupnya.
Metode yang disarankan di buku Discover Your Child’s Learning Style untuk para orang tua adalah C-A-R-E-S. Mari kita bahas satu demi satu.
==================================================================
C = Celebrate your child’s uniqueness (Rayakan keunikan anak anda)
==================================================================
Jadi daripada ikut menjadi negatif karena guru atau orang luar menganggap anak kita bermasalah (dan jika kita merasa negatif pada anak kita, si anak akan bisa merasakannya dan menjadi tak percaya diri), cobalah rubah menjadi positif dengan “merayakan” keunikan anak anda. Bagaimana anda bisa merayakannya jika anda tidak merasa ada yang perlu dirayakan ? Insya Allah hal ini akan dibahas tersendiri.
Maka kunci pertama adalah = Celebrate Vs Criticize. Artinya berbahagialah dengan keunikan anak anda, jangan mengkritik si anak jika dianggap bermasalah.
==================================================================
A = Accept your role as a teacher (Terimalah tugas anda sebagai guru)
==================================================================
Ya, anda adalah guru bagi anak anda, diakui maupun tidak. Mungkin banyak orang tua yang merasa tak percaya diri menjadi guru bagi anak-anaknya karena tidak mendapat pendidikan formal sebagai guru, sehingga tak tahu apa yang harus dilakukan untuk menjadi guru. Tetapi cepat atau lambat anda akan mengakui bahwa anda bisa mendidik anak anda biarpun tanpa pernah menginjak bangku kuliah di jurusan perguruan (IKIP misalnya). Anda adalah model yang dicontoh anak anda sejak dia lahir ke dunia. Adalah tugas anda untuk terus mendidiknya hingga dewasa kelak, apalagi anak adalah amanat dari Allah SWT.
Maka disini kuncinya Accept Vs Avoid. Terimalah tugas menjadi guru ini dibanding menghindarinya. Anak memang akan sekolah tetapi dia akan pulang kerumah, dan dirumahlah proses belajar yg sesungguhnya terjadi. Belajar untuk hidup secara praktis, bukan teoritis semata.
===================================================================
R = Respond rather than React (Beri respon daripada bereaksi)
===================================================================
Orang tua yang responsive adalah orang tua yang selalu tanggap pada perilaku anak, cara berpikir, opini anak, kebiasaan anak, hobby dsb. Jadi mereka akan memberi perhatian pada kebutuhan anak, pendapat dan perasaan anak; lalu mengarahkannya ke arah yang benar. Pada anak yang dianggap bermasalah, orang tua yang responsive akan lebih besar keberhasilannya untuk mengarahkan “masalah” anaknya di sekolah tadi, sehingga anak akan tetap sukses di kemudian hari. Sebaliknya orang tua yang Reactive malah suka mengancam, membandingkan, menyalahkan, memberi cap negatif pada anaknya bahkan menghukum jika si anak dianggap bermasalah di sekolah. Pernah mengenal orang tua tipe ini ? Cobalah perhatikan, jika dia mendapat surat panggilan dari sekolah yang mengatakan si anak begini dan begitu, dia akan menghukum anak, menceramahinya, memarahinya dsb tanpa memberi kesempatan pada si anak untuk menjelaskan mengapa dia begini dan begitu. Kalaupun si anak mendapat kesempatan untuk menjelaskan, orang tua model begini hanya menganggap si anak membela diri dan berusaha membenarkan diri sendiri. Ujung-ujungnya si anak tetap saja mendapat perlakuan negatif dari orang tuanya. Jadi kini bukan saja di sekolah, namun juga di rumah si anak akan merasa bahwa dia dianggap bermasalah. Padahal belum tentu begitu.
Cara untuk menjadi orang tua yang responsive sebenarnya mudah :
1. Dengarkan
Anak yang berusaha menjelaskan sesuatu, jangan langsung dihakimi. Seorang anak yang menganggap bahwa pendapat, perasaan dan dirinya didengar oleh orang tuanya, akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri. Biarpun mungkin si orang tua tidak setuju dengan pendapat si anak, cobalah bertahan dengan cara mendengar ini. Jika ini anda lakukan berkali-kali, anak akan merasa aman untuk mengeluarkan uneg-unegnya pada orang tua dan di kemudian hari akan berguna untuk memonitor perkembangan dan perilaku anak, secara langsung dari si anak sendiri, bukan dari penilaian orang lain saja.
2. Pahami
Proses mendengarkan si anak adalah langkah awal, namun jika kita mendengarkan dengan sungguh-sungguh dan berusaha memahami cara berpikirnya maupun alasannya berbuat sesuatu (terutama dikaitkan pada keunikan si anak, watak dan kebiasaannya); maka si anak akan merasa bahwa dia benar-benar didengar dan dimengerti. Memahami anak bukan selalu berarti anda akan setuju dengan dia. Anda akan menunjukkan pada si anak bahwa apapun yang ia lakukan atau ceritakan adalah hal penting bagi si anak. Jangankan anak-anak, orang dewasa saja ingin dimengerti. Henry James menulis “Keinginan yang mendalam pada setiap jiwa manusia adalah untuk dimengerti”.
3. Belajarlah menunggu
Disini, jika si anak mulai memberanikan diri mengungkapkan perasaannya, cara berpikirnya, alasannya berbuat sesuatu dsb; jangan terburu memotong dan memberi penjelasan. Tunggulah barang sejenak, sampai semua uneg-uneg anak keluar.
Jika si anak merasa anda mendengarkan tetapi terburu-buru memotong pembicaraan mereka, dia akan merasa anda tidak benar-benar mendengarkan dan berusaha memahami. Dia akan berhenti menjelaskan lebih jauh dan di lain waktu dia mungkin akan merasa ogah menjelaskan sesuatu pada anda.
Ingatlah ini :
Jika anda mulai mendengar dan memahami mereka, anak-anak akan mulai mendengar dan memahami anda pula.
4. Ikuti
Beri kesempatan si anak untuk meng-explore dan menemukan hal-hal baru. Anak yang merasa bahwa orang tuanya memahami keinginannya untuk meng-explore dan menemukan hal-hal yang ia anggap baru, akan merasa mantap dan semakin ingin untuk belajar. Ikutilah ke arah mana anak ingin menemukan hal-hal baru dalam hidupnya. Dengan meraih kepercayaan anak karena kita berusaha mendengar, memahami dan selalu menunggu agar si anak mengeluarkan seluruh isi hatinya; kita mulai mendapat kepercayaan dari si anak. Maka si anak akan merasa senang jika aktifitasnya untuk mempelajari hal-hal baru diikuti oleh orang tuanya tanpa secara langsung dikoreksi jika ada yang salah (tentu kecuali pada kondisi tertentu).
Lihatlah seorang anak balita yang berusaha memakai pakaiannya sendiri. Jika belum-belum si orang tua merasa tak sabar karena si anak pasti melakukan banyak kesalahan, si anak mungkin menjadi malas mencoba lagi. Namun jika si orang tua memberi semangat anaknya untuk mencoba lagi dan lagi, tanpa langsung turun tangan memakaikan baju pada si anak (misalnya hanya dengan mengingatkan kalau baju itu dibalik mungkin tampak bagus karena ada gambar boneka kucing di dada, daripada di punggung) si anak akan memahami bahwa baju itu ia pasang terbalik. Biarkan dia sendiri yang membuka baju dan memperbaikinya. Jika kita buru-buru turun tangan membalik baju itu sendiri, si anak akan merasa bahwa dia salah dan tak akan pernah berhasil memakai baju sendiri dengan baik.
Sebaliknya tentu ada kondisi tertentu kita harus langsung turun tangan mengoreksi anak. Misalnya jika si anak berusaha untuk berjalan sendiri, ikuti dulu kemana ia pergi. Seandainya anda tahu si anak hendak menyeberang jalan, tentu anda harus langsung turun tangan menyetopnya dan menjelaskan apa yang berbahaya dari menyeberang sendirian sampai dia cukup umur untuk bisa menyeberang.
Jadi prinsip mengikuti ini seperti tarik-ulur layang-layang. Ada kalanya kita ulur, kita biarkan dia mengexplorasi sesuatu tetapi ada kalanya kita tarik jika perlu.
===================================================================
E = Expand Your View of where learning takes place
===================================================================
Disini, jangan terlalu kaku menganggap anak hanya harus belajar di bangku sekolah atau lewat kursus saja. Dalam 24 jam, proses belajar anak bahkan orang dewasa bisa berlaku dimana saja. Bahkan saat menonton TV pun sebetulnya anak belajar sesuatu, walaupun dia tidak merasa sedang belajar. Itu sebabnya, kita mesti mengarahkan agar si anak bisa belajar apa saja dan dimana saja, asalkan itu benar. Disini peran orang tua sangat besar sekali, karena selepas dari sekolah atau tempat kursus, anak akan pulang kerumah dan kitalah yang mengajarnya.
Katakan saja dia menonton TV atau bermain game, coba perhatikan film apa yang ia tonton, game apa yang ia mainkan. Proses tarik ulur terjadi disini. Jika film itu anda nilai bagus dan ada nilai edukatifnya, biarkan saja sambil sekali-sekali mengikutinya, lalu mengajak anak berdiskusi sesudah film itu selesai. Ini karena sekarang banyak sekali film yang mendapat rating film anak-anak ternyata tidak cocok dibuat untuk anak-anak, misalnya ada diselipkan kekerasan, kata-kata kotor, tidak menghormati orang yang lebih tua, menindas yang lebih muda dsb. Bahkan
sebagai muslim kita juga mesti berhati-hati karena produk edukasi dari non muslim, banyak diselipi ajaran-ajaran yang bertentangan dengan aqidah. Misalnya saja, biarpun Dora The Explorer ada nilai edukatifnya, namun kita mesti hati-hati saat salah satu topiknya membahas kesyirikan (hal ini sempat saya bahas disini). Itu baru Dora, padahal ada 1001 produk film maupun buku dari non muslim, yang menyelipkan aqidah yang merusak.
Jika kita tak mengikuti, alias menganggap semua buku dan film edukatif dari non muslim itu bagus semua; bukan tidak mungkin kita menyesal di kemudian hari ketika si anak mulai menganggap hal-hal yang bertentangan dengan aqidah itu adalah hal normal dan baik.
==================================================================
S = Stop Vs Support
==================================================================
Disini kita perlu berhenti untuk beranggapan jika si anak dianggap bermasalah di sekolah berarti kelak dia akan mengalami kegagalan dalam hidupnya. Sebaliknya kita perlu mensupport anak yang dianggap bermasalah ini, dengan memahami ada apa dibalik “masalah tersebut”. Apa yang perlu kita pahami disini adalah tiap anak itu unik dalam berbagai hal dan ini mempengaruhi cara dan gaya dia belajar. Agar kita bisa memberi support yang tepat, ada baiknya kita memahami apa saja yang mempengaruhi gaya belajar anak.
Jika anda tertarik untuk tahu apa saja yang mempengaruhi gaya belajar anak (bahkan orang dewasa seperti kita pun mempunyai gaya belajar yang berbeda-beda), insya Allah kelak akan saya sharing di blog berikutnya.
Semoga berguna.
0 komentar:
Posting Komentar