i-Doser, Tak Terbukti Timbulkan Adiksi
Kamis, 15 Oktober 2015 | 20:15 WIB
KOMPAS.com - Sebuah produk musik binaural atau yang dikenal dengan i-doser sedang ramai dibicarakan. Pasalnya, produk musik ini memunculkan kekhawatiran memiliki efek serupa dengan narkotika, yang menyebabkan ketagihan, terutama i-doser dengan nama-nama narkotika seperti i-Doser coccain, i-Doser heroin, Helium, Zero Gravity, Free Falling, Trip Mind of Journey,danEcstasy Uncontrollable.
Tak sedikit orangtua yang mulai khawatir dengan ramainya i-Doser ini. Apalagi, berbeda dengan narkotika pada umumnya yang sulit didapat, i-Doser bisa diperoleh dengan sangat mudah. Pasangheadphones, unduh i-Doser di website, lalu dengarkan irama tersebut dengan rileks sampai selesai di tempat yang tenang. Untuk menikmati i-Doser ini, pendengar diminta menggunakanheadphones berkualitas bagus, karena suara di telinga kanan dan kiri akan berbeda.
Lalu, bagaimana cara kerjanya? Bernarkah berbahaya?
Dr. Helane Wahbeh, asisten profesor Oregon Health and Science University menjelaskan, bahwa suara yang disebut ketukan binaural dikirimkan ke suaraheadphones, yang kemudian dapat menciptakan pengalaman berbeda.
Ia menjelaskannya sebagai berikut: “Ketukan Binaural terjadi ketika kedua telinga menerima dua gelombang suara berbeda. Normalnya, perbedaan suara antara setiap telinga membantu seseorang mendapatkan informasi langsung tentang sumber suara. Tapi, ketika Anda mendengarkan suara ini dengan stereo headphones, pendengar akan merasakan perbedaan antara dua frekuensi sebagai ketukan berbeda, sehingga seakan suara tersebut muncul dari dalam kepala.”
Terdengar menarik memang, tapi ini takkan membuat pendengarnya “melayang”. “ Kami melakukan kontrol studi dengan empat orang, dan kami tidak melihat adanya aktivitas gelombang otak bergeser sesuai ketukan binaural yang didengarkan oleh orang-orang,” jelasnya.
Menurut Sekretaris Jenderal Masyarakat Neurosains Indonesia Taufiq Pasiak, bagian otak yang bertanggung jawab pada munculnya kebergantungan atau adiksi disebut nucleus accumbens yang mengatur fungsi kognitif. "Nucleus accumbens letaknya di tengah otak bagian bawah. Saya rasa akan susah dicapai oleh gelombang suara saja," ujarnya.
Secara teoritis, menurut Taufiq, zat yang masuk ke dalam tubuh dengan cara ditelan, dihirup, atau disuntik akan memberikan efek jauh lebih intens ketimbang suara, karena ada zat kimia yang dilepas dan berikat dengan zat kimia lain di otak. Dia belum pernah menemukan referensi ilmiah yang menyebut kaitan suara dengan kebergantungan kepada seseorang.
Contohnya adalah musik. Mereka yang mendengar tidak akan ketagihan meski sang penyanyi adalah idolanya. Berbeda dengan adiksi lainnya, seperti makanan, alkohol, obat-obatan, atau seks.
Efek sugesti diri
Dosen Sinyal dan Audio Fakultas Teknik Elektro Universitas Kristen Satya Wacana, Matias HW Budhianto, juga menegaskan bahwa gelombang suara pada frekuensi tertentu memang bisa memengaruhi otak, seperti menimbulkan rasa tenang, tetapi itu tidak lepas dari pengguna sendiri yang menyugesti dirinya sendiri sewaktu mendengarkan musik itu. Hanya saja, efeknya tidak akan berlangsung lama.
"Kalau kita mendengarkan musik lantas rileks, jika diteruskan mungkin akan tertidur saja," kata Matias.
Seiring dengan itu, praktisi hipnoterapi dan metafisika, Inunk Nastiti, mengatakan, dirinya pernah mendampingi penelitian di sebuah klinik gigi di Yogyakarta dan mendapati bahwa musik klasik karya Mozart yang diputar di ruang tunggu terbukti mampu membuat pasien lebih rileks dan mengurangi kecemasan.
"Semua tergantung pada sugestibilitas atau seberapa mudah orang menerima sugesti. Hipnoterapi apa pun hanya bisa dilakukan apabila orang tersebut mau menerima sugesti," katanya.
Ia sepakat dengan para praktisi hipnoterapi, bahwa irama binaural yang marak dibicarakan itu bukanlah narkoba digital.
0 komentar:
Posting Komentar