Kamis, 22 Oktober 2015

Ah!


Esok, aku genap berumur 17. Atau harus aku sebut ganjil? Aku yang tak bisa tidur bak setusuk sate yang dibolak-balik di atas panggangan. Gelisah. Perayaan ulang tahun yang marak diperingati anak-anak remaja, mengundang teman, yang terkasihi, berpesta pora sampai larut, mengenakan pakaian kurang bahan, Hedonisme. Kebodohan macam apa itu? Bersenang-senang untuk menikmati jatah umurmu yang berkurang setahun? Sudahlah, kutuk aku si tukang kritik, layaknya seorang Denmas pada sebuah monolog karya Agus Noor.
Aku hanya seorang siswi kelas dua sekolah menengah atas, lalu akan naik kelas tiga, lalu dapat KTP, lalu ikut pemilu, pesta demokrasi. Lalu bagaimana jika pesta demokrasi itu pada hakikatnya cuma sekedar propaganda politik berkerah putih? aku pernah sewaktu-waktu melihat iklan kampanye dan mengutip bahwa: “menang kalah bukan soal, kemenangan adalah milik seluruh rakyat Indonesia.”
Sungguh, itu mengacaukan hati seorang remaja berhati lemah, atau siapapun berhati lemah untuk sekedar memilihnya. Tahu apa aku soal politik?
Jika berbicara soal politik dan demokrasi, tak akan ada penyelesaiannya, tak akan ada habisnya. Semakin dibicarakan, semakin keruh. Seperti seekor anjing yang sedang mengejar ekornya, berputar-putar, terus, sampai akhirnya jatuh. Terguling. Terguling ya? Teringat pada penggulingan presiden Mesir, Mursi oleh rezim militer. Menyulut ketegangan GCC layaknya sebuah korek yang menyulut sumbu bom yang sangat panjang, dalam perjalanannya menuju bom, percik api itu melewati bahkan menyulut sumbu-sumbu bom lainnya. Bayangkan sebuah mekanisme, sistem. Ya! bom-bom tersebut Pasti akan menghasilkan ledakkan masif, super masif. Bukankah sudah jelas? ‘Mereka’ bahkan menarik duta-duta besar dari Qatar yang ter-hegemoni oleh Barat.
Masih terngiang-ngiang perkataan guru PKn yang cukup aku segani itu, “jika ada negara yang menarik duta besarnya, berarti kedua negara tersebut sedang tegang, atau bahkan akan perang.” katanya dengan tangan mengacung-ngacung ke udara. Entah kenapa, aku suka gayanya berbicara, ia menyelipkan entah apa ke dalam setiap kata-katanya. Yang tak akan buat kau berhenti mendengarnya.
Sungguh, sejak kapan dunia jadi begitu rumit? Bukankah perkembangan zaman menuntut segalanya lebih praktis? Aku bukan seorang antropolog, mana tahu? Tak ayal cuma seorang remaja naif, yang ingin tahu segalanya, ingin coba semuanya. Tahu apa aku soal dunia orang dewasa? Nihil.
Aku pernah bertanya pada temanku yang bukan seorang muslim.
“Bram, memang apa bedanya katolik dengan protestan?” Aku bahkan menyumpahi diriku saat itu.
Pembicaraan ini sedikit sensitif. Aku kira ia akan marah dan memberiku bogem seketika. Aku tidak menutup mata, karena kalau memang perkiraanku benar, akan terasa lebih sakit jika aku tak tahu kapan bogem tersebut mendarat. Bila aku tetap membuka mata, setidaknya aku hendak bersiaga dan bersiap-siap menerima rasa sakit itu.
Tapi ia memberikanku jawaban yang mengejutkan.
“Aku juga gak terlalu tahu tuh ya, bingung, kayak kau kalau ditanyai apa bedanya Islam dan Islam Muhammadiyah.”
Aku tercenung. Terhenyak.
Loh? Berhak apa seorang manusia berprasangka kalau-kalau manusia lain kafir? Kalau-kalau manusia lain sesat? Bukankah hubungan kerohanian itu terjalin antar seorang manusia dengan Tuhannya?
Ah tahu apa aku soal agama, aku hanya seorang remaja setengah matang yang salatnya masih kalang kabut, yang doa dan ngajinya masih bolong-bolong. Mana pantas bicara soal agama? ‘Tuhan memang satu, kita yang tak sama’ lagu Peri Cintaku-nya Marcell yang kerap disenandungkan oleh temanku, Lala (aku tak tahu pasti sebenarnya ia bersenandung, berteriak atau bernanyi). Sebuah pelarian dari kenyataan akan orang yang dikasihinya. Pertentangan agama, moral, budaya yang mungkin akan menghadang jika mereka memutuskan untuk melangkah lebih jauh.
Cinta ya? Selama 17 tahun kurang satu hari umurku ini, belum pernah aku merasakan cinta anak muda yang menggebu-gebu, kau pikir remaja tak menyenangkan dan berpikiran kolot ini mudah bergaul? Mana ada. Aku hanya bisa mendominasi percakapan, membunuh punch-line sama dengan mematikan api klimaks dari sebuah percakapan lucu. Aku tak bisa membuat orang tertawa. Aku hanya akan membuat mereka takut akan presepsiku, pandanganku, omonganku. Aku bahkan tak mencoba untuk menakuti mereka, mungkin aku akan lulus dari Monster University secara cumlaude.
Lalu bagaimana pendamping hidupku nanti? Ah sudahlah. Remaja macam apa aku ini yang menjadikan ini semua pemikiran sebelum tidur? Apa kalian juga merasakan pikiran kalian yang melayang liar saat kalian hendak tidur? Tak apalah, bukankah negara merdeka memerdekakan pikiran-pikiran rakyatnya juga? Sejak kecil, aku bahkan tak pernah memimpikan unicorn. Ah aku cuma sekedar stress menantikan hari esok, menjadikannya seperti kafein yang ikut mengalir dalam darah, membuat jantung lelah, bahkan bolak balik kamar mandi.
Esok hari, aku beranjak dewasa. Aku sungguh tak siap. Aku adalah contoh berhasilnya seorang Ayah mendoktrin putrinya, keluargaku dokter 2 turunan, bagaimana mungkin aku seorang putri sulung tak memikul beban yang sangat besar untuk melanjutkannya? Analogikanlah diriku ini sebagai seorang Atlas. Niscaya kau akan mengerti rasanya jika semuanya tak berhasil ku capai saat aku dewasa nanti.
Jika kalian mendapatkan apa yang kalian mau detik itu juga, apa gunanya kau cape-cape hidup? Setidaknya pemikiran itu membuatku merasa hidup. Ah sudahlah, aku hanya berharap umur yang panjang untuk membuat pemikiran itu berwujud, untuk dapat mengalami itu semua, merealisasikan pikiran-pikiran merdeka yang resah. Apa gunanya anekdot barusan jika umur panjang pun aku tak punya? Aku tak tahu persis kapan aku benar-benar terlelap.
Tamat
Cerpen Karangan: Tania Safira Rosalinda

0 komentar:

Posting Komentar

jadwal-sholat