A. Biografi Tokoh
Erik H. Erikson adalah salah satu tokoh psikoanalisa yang lahir di Frankurt,
Jerman, 15 Juni 1902. Ayah kandung Erikson adalah seorang pria kebangsaan
Denmark yang meninggalkan Erikson pada usia tiga tahun sehingga ibu Erikson
yang bernama Karla Abrhamsen menikah lagi dengan Theodore Homberger yang
menjadi ayah tiri Erikson dan nama Hamberger kini menjadi bagian dari nama
Erikson. Setelah lulus SMA, Erikson menjadi seniman namun tidak mengambil kuliah
seni dan memelih berkeliling Eropa untuk menikmati dan belajar seni.
Erikson menjadi guru pada sekolah yang dikelolah Dorothy Burlingham, teman
Anna Freud yang direkomendasikan oleh Peter Blos pada usia 25 tahun. Tahun 1927
– 1933, Erikson belajar sebagai Child Analyst di Vienna Psycholoanalytic Institute
bersama Anna Freud dan menikahi Joan Serson pada tahun 1930 serta memiliki tiga
orang anak. Selama tahun tersebut, Erikson mendapat sertifikan dari Motessori
Education dan Vienna Psychoanalityc Society. Tahun 1933 ketika Nazi berkuasa,
Erikson Pindah ke Copenhagen, lalu pindah ke Denmark dan ke Boston, Amerika.
Erikson mengajar di Harvard Medical School dan membuka praktik psikoanalisis
anak-anak. Di sinilah Erikson bertemu Henry Murray dan Kurt Lewin serta tokoh-
tokoh besar lainnya. Selanjutnya, Erikson mengajar di University of California di
Berkeley dan melakukan penelitian tentang kehidupan modern dalam suku Lakota
dan Yurok. Tahun 1939, Erikson mengubah namanya dari Erik Homberger menjadi
Erik H. Erikson. Pada tahun 1950, Erikson membuat Childhood and Society, analisis
Maxim Gorky dan Adolph Hitler, diskusi “Kepribadian Amerika”, beberapa ringkasan
teori Freudian, dan Gandhi’s Truth yang memenangkan Award dan National Book
Award.
Beberapa tahun kemudian, Erikson meninggalkan Berkeley kemudian bekerja
dan mengajar di sebuah klinik di Massachussets selama 10 tahun, dan 10 tahun
kemudian kembali ke Harvard. Tahun 1970, Erikson menulis dan melakukan
penelitian bersama istrinya dan akhirnya meninggal pada tahun 1994.
B. Struktur Kepribadian
Erikson (Alwisol, 2009:85-88) menyatakan bahwa struktur kepribadian manusia
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Ego Kreatif
Ego kreatif adalah ego yang dapat menemukan pemecahan kreativitas atas
masalah baru pada setiap tahap kehidupan. Apabila menemukan hambatan atau
konflik pada suatu fase, ego tidak menyerah tetapi bereaksi dengan menggunakan
kombinasi antara kesiapan batin dan kesempatan yang disediakan lingkungan. Ego
yg sempurna memiliki 3 dimensi, yaitu faktualisasi, universalitas dan aktualitas.
a. Faktualisasi adalah kumpulan sumber data dan fakta serta metode yang dapat
dicocokkan atau diverifikasi dengan metode yang sedang digunakan pada suatu
peristiwa. Dalam hal ini, ego berisikan kumpulan hasil interaksi individu dengan
lingkungannya yang dikemas dalam bentuk data dan fakta.
b. Universalitas adalah dimensi yang mirip dengan prinsip realita yang
dikemukakan oleh Freud. Dimensi ini berkaitan dengan sens of reality yang
menggabungkan pandangan semesta/alam dengan sesuatu yang dianggap konkrit
dan praktis.
c. Aktualitas adalah metode baru yang digunakan oleh individu untuk
berhubungan dengan orang lain demi mencapai tujuan bersama. Dalam hal ini,
ego merupakan realitas masa kini yang berusaha mengembangankan cara baru
untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapi, menjadi lebih efektif,
progresif, dan prospektif.
Erikson (Alwisol, 2009:86) berpendapat bahwa sebagian ego yang ada pada
individu bersifat tak sadar, mengorganisir pengalaman yang terjadi pada masa lalu
dan pengalaman yang akan terjadi pada masa mendatang. Dalam hal ini, Erikson
menemukan tiga aspek yang saling berhubungan, yaitu body ego, ego ideal dan ego
identity, yang umumnya akan mengalami perkembangan pesat pada masa dewasa
meskipun ketiga aspek tersebut terjadi pada setiap fase kehidupan.
a. Body ego merupakan suatu pengalam individu terkait dengan tubuh atau
fisiknya sendiri. Individu cenderung akan melihat fisiknya berbeda dengan fisik
tubuh orang lain.
b. Ego ideal merupakan suatu gambaran terkait dengan konsep diri yang sempurna.
Individu cenderung akan berimajinasi untuk memiliki konsep ego yang lebih
ideal dibanding dengan orang lain.
c. Ego identity merupakan gambaran yang dimiliki individu terkait dengan diri
yang melakukan peran sosial pada lingkungan tertentu.
2. Ego Otonomi Fungsional
Ego otonomi fungsional adalah ego yang berfokus pada penyesuaian ego terhadap
realita. Contohnya yaitu hubungan ibu dan anak. Meskipun Erikson sependapat
dengan Freud mengenai hubungan ibu dan anak mampu memengaruhi serta menjadi hal terpenting dari perkembangan kepribadian anak, tetapi Erikson tidak
membatasi teori teori hubungan id-ego dalam bentuk usaha memuaskan kebutuhan
id oleh ego. Erikson (Alwisol, 2009:86) menganggap bahwa proses pemberian
makanan pada bayi merupakan model interaksi sosial antara bayi dengan
lingkungan sosialnya.
Lapar adalah menifestasi biologis, dan konsekuensinya akan menimbulkan kesan
terhadap dunia luar bayi ketika mendapat pemuasan id yang dilakukan oleh ibu.
Bayi belajar untuk mengantisipasi interaksi dalam bentuk basic trust pada saat
diberi makan oleh ibunya. Basic trust yang dimaksud yaitu suatu kepercayaan dasar
anak yang memandang kontak dengan manusia dan dunia luar adalah hal yang
sangat menyenangkan karena pada masa lalu (bayi) hubungan tersebut
menimbulkan rasa aman dan menyenangkan terhadap dirinya.
3. Pengaruh Masyarakat
Pengaruh masyarakat adalah pembentuk bagian tersebesar ego, mesikipun
kapasitas yang dibawa sejak lahir oleh individu juga penting dalam perkembangan
kepribadian. Erikson mengemukakan faktor yang memengaruhi kepribadian yang
berbeda dengan Freud. Meskipun Freud menyatakan bahwa kepribadian
dipengaruhi oleh biologikal, Erikson memandang kepribadian dipengaruhi oleh
faktor sosial dan historikal. Erikson (Alwisol, 2009:88) menyatakan bahwa potensi
yang dimiliki individu adalah ego yang muncul bersama kelahiran dan harus
ditegakkan dalam lingkungan budaya. Anak yang diasuh dalam budaya masyakarat
berbeda, cenderung akan membentuk kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai
dan kebutuhan budaya sendiri.
C. Dinamika Kepribadian
Feist dan Feist (2008, 215-217) menyatakan bahwa perwujudan dinamika
kepribadian adalah hasil interaksi antara kebutuhan biologis yang mendasar dan
pengungkapannya melalui tindakan-tindakan sosial. Hal ini berarti bahwa
perkembangan kehidupan individu dari bayi hingga dewasa umumnya dipengaruhi
oleh hasil interaksi sosial dengan individu lainnya sehingga membuat individu
menjadi matang baik secara fisik maupun secara psikologis. Erikson (Alwisol,
2009:87) menyatakan bahwa ego adalah sumber kesadaran diri indvidu. Ego
mengembangkan perasaan yang berkelanjutan diri antara masa lalu dengan masa
yang akan datang selama proses penyesuaian diri dengan realita.
Friedman dan Schustack (2006, 156) mengemukakan bahwa ego berkembang
mengikuti tahap epigenik, artinya tiap bagian dari ego berkembang pada tahap
perkembangan tertentu dalam rentang waktu tertentu. Menurutnya, semua yg
berkembang mempunyai rencana dasar, dan dari perencanaan ini muncul bagian-
bagian, masing-masing bagian mempunya waktu khusus utk menjadi pusat perkembangan, sampai semua bagian muncul untuk membentuk keseluruhan
fungsi.
D. Tahap Perkembangan
Teori psikososial dari Erik Erikson meliputi delapan tahap yang saling berurutan
sepanjang hidup. Hasil dari tiap tahap bergantung pada hasil tahapan sebelumnya,
dan resolusi yang sukses dari tiap krisis ego adalah pentingnya bagi individu untuk
dapat tumbuh secara optimal. Ego harus mengembangkan kesanggupan yang
berbeda untuk mengatasi tiap tuntutan penyesuaian dari masyarakat (Berk, 2003).
Berikut adalah delapan tahapan perkembangan psikososial menurut Erik Erikson
(Berk, 2003):
1. Tahap I : Trust versus Mistrust (0-1 tahun)
Dalam tahap ini, bayi berusaha keras untuk mendapatkan pengasuhan dan
kehangatan, jika ibu berhasil memenuhi kebutuhan anaknya, sang anak akan
mengembangkan kemampuan untuk dapat mempercayai dan mengembangkan asa
(hope). Jika krisis ego ini tidak pernah terselesaikan, individu tersebut akan
mengalami kesulitan dalam membentuk rasa percaya dengan orang lain sepanjang
hidupnya, selalu meyakinkan dirinya bahwa orang lain berusaha mengambil
keuntungan dari dirinya.
2. Tahap II: Autonomy versus Shame and Doubt (l-3 tahun)
Dalam tahap ini, anak akan belajar bahwa dirinya memiliki kontrol atas
tubuhnya. Orang tua seharusnya menuntun anaknya, mengajarkannya untuk
mengontrol keinginan atau impuls-impulsnya, namun tidak dengan perlakuan yang
kasar. Mereka melatih kehendak, tepatnya otonomi. Harapan idealnya, anak bisa
belajar menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sosial tanpa banyak kehilangan
pemahaman awal mereka mengenai otonomi, inilah resolusi yang diharapkan.
Alwisol (2009:93) melanjutkan bahwa apabila anak tidak berhasil melewati fase ini,
maka anak tidak akan memiliki inisiatif yang dibutuhkan pada tahap berikutnya dan
akan mengalami hambatan terus-menerus pada tahap selanjutnya.
3. Tahap III : Initiative versus Guilt (3-6 tahun)
Pada periode inilah anak belajar bagaimana merencanakan dan melaksanakan
tindakannya. Resolusi yang tidak berhasil dari tahapan ini akan membuat sang anak
takut mengambil inisiatif atau membuat keputusan karena takut berbuat salah. Anak
memiliki rasa percaya diri yang rendah dan tidak mau mengembangkan harapan-
harapan ketika ia dewasa. Bila anak berhasil melewati masa ini dengan baik, maka
keterampilan ego yang diperoleh adalah memiliki tujuan dalam hidupnya.
4. Tahap IV: Industry versus Inferiority (6-12 tahun)
Pada saat ini, anak-anak belajar untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan dari menyelesaikan tugas khususnya tugas-tugas akademik. Penyelesaian yang
sukses pada tahapan ini akan menciptakan anak yang dapat memecahkan masalah
dan bangga akan prestasi yang diperoleh. Keterampilan ego yang diperoleh adalah
kompetensi. Di sisi lain, anak yang tidak mampu untuk menemukan solusi positif
dan tidamencapa apa yang diraih teman-teman sebaya akan merasa
inferior.
5. Tahap V : Identity versus Identity Confusion (12-20 tahun)
Pada tahap ini, terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis seperti
orang dewasa sehingga tampak adanya kontraindikasi bahwa di lain pihak anak
dianggap dewasa tetapi di sisi lain dianggap belum dewasa. Tahap ini merupakan
masa stansarisasi diri yaitu anak mencari identitas dalam bidang seksual, umur dan
kegiatan. Peran orang tua sebagai sumber perlindungan dan nilai utama mulai
menurun. Adapun peran kelompok atau teman sebaya tinggi. Apabila anak tidak
sukses pada fase ini, maka akan membuat anak mengalami krisis identitas,
begitupun sebaliknya.
6. Tahap VI: Intimacy versus Isolation (masa dewasa muda, 20-30 tahun)
Dalam tahap ini, orang dewasa muda mempelajari cara berinteraksi dengan
orang lain secara lebih mendalam. Ketidakmampuan untuk membentuk ikatan sosial
yang kuat akan menciptakan rasa kesepian. Bila individu berhasil mengatasi krisis
ini, maka keterampilan ego yang diperoleh adalah cinta.
7. Tahap VII: Generativity versus Stagnation (masa dewasa menengah, 30-65 tahun)
Pada tahap ini, individu memberikan sesuatu kepada dunia sebagai balasan dari
apa yang telah dunia berikan untuk dirinya, juga melakukan sesuatu yang dapat
memastikan kelangsungan generasi penerus di masa depan. Ketidakmampuan untuk
memiliki pandangan generatif akan menciptakan perasaan bahwa hidup ini tidak
berharga dan membosankan. Bila individu berhasil mengatasi krisis pada masa ini
maka ketrampilan ego yang dimiliki adalah perhatian, sedangkan bila individu tidak
sukses melewatinya maka akan merasa bahwa hidupnya tidak berarti.
8. Tahap VIII: Ego Integrity versus Despair (masa dewasa akhir, 65 tahun ke atas)
Pada tahap usia lanjut ini, mereka juga dapat mengingat kembali masa lalu dan
melihat makna, ketentraman dan integritas. Refleksi ke masa lalu itu terasa
menyenangkan dan pencarian saat ini adalah untuk mengintegrasikan tujuan hidup
yang telah dikejar selama bertahun-tahun. Apabila individu sukses melewati faase
ini maka akan timbul perasaan puas akan diri, sedangkan apabila mengalami
kegagalan dalam melewati tahapan ini akan menyebabkan munculnya rasa putus
asa.
E. Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan:
1. Erikson menekankan kesadaran individu untuk menyesuaikan diri dengan Sri Utami Halman at 10/09/2014 04:27:00 am
pengaruh sosial.
2. Erikson memandang ego sebagai struktur kepribadian yang otonom, serta
berfokus pada kualitas ego yang muncul di setiap periode perkembangan.
3. Tahap perkembangan lebih kompleks karena mengembangkan teori insting
Freud. Namun Erikson tidak memusatkan seks sebagai hal yg mendasari manusia.
4. Menekankan bahwa perubahan pada setiap tahap perkembangan sangat penting
sehingga individu berusaha semampu mungkin untuk melewatinya.
Kekurangan
1. Nilai ilmiah penelitian yang dilakukan Erikson tidak begitu akurat. Observasi dan
analisis penelitian hanya dilakukan secara subjektif seperti halnya tokoh
psikoanalisis yang lain.
Daftar Pustaka
Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian (edisi revisi). Malang: UMM Press.Feist, J. &
Feist, G. (2008). Theories of Personality (Edisi keenam). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Berk, L. (2003). Child Development. Berlin: Pearson Education, Inc.
Boeree, C. G. (1997). Personality Theories: An Introduction oleh Dr. C. George Boeree.
Psychology Department Shippensburg University.
Dworetzky, J. P. (1990). Introduction to Child Development. New York: West Publishing
Company.
Feist, J. & Feist, G. (2008). Theories of Personality (Edisi keenam). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Friedman, H. S. & Schuctack M. W. (2006). Kepribadian: Teori klasik dan riset modern
(edisi ketiga). Jakarta: Erlangga.
0 komentar:
Posting Komentar