Rabu, 19 Februari 2014

PEDOMAN PENCEGAHAN BUNUH DIRI

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

1.    Besaran Masalah
Bunuh diri di banyak negara merupakan tiga penyebab terbesar kematian pada penduduk usia 15 - 35 tahun (WHO 2003).  Berdasarkan catatan WHO 2003, setiap tahun terdapat 1 juta orang bunuh diri.
Di Indonesia data nasional mengenai bunuh diri belum terkumpul secara resmi. Berikut ini laporan dari berbagai daerah yang dapat menggambarkan bahwa bunuh diri merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian cukup serius.

   Data yang didapatkan dari kasus bunuh diri di Bali periode Januari hingga 22 September 2005 mencapai 115 kasus, dan kasus serupa selama tahun 2004 tercatat 121 kali dengan pelaku bunuh diri terdiri atas pria 82 orang dan perempuan 33 orang. Sedangkan pelaku bunuh diri dari kelompok anak-anak 7-15 tahun, tercatat delapan orang, kelompok usia lanjut  sebanyak delapan orang juga (Media Indonesia Online: Edisi Kesehatan, 7 Februari 2005).
Menurut Prayitno, angka bunuh diri di Jakarta sepanjang 1995-2004 mencapai 5,8/100.000 penduduk. Mayoritas dilakukan oleh kaum pria. Dari 1.119 korban bunuh diri, 41% di antaranya gantung diri, 23% dengan minum racun serangga, dan sisanya 356 orang meninggal karena overdosis NAPZA (berdasarkan jumlah mayat yang diperiksa di Bagian Forensik RSUPN Cipto Mangunkusumo).
Data kasus bunuh diri di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah selama tahun 2004 menunjukkan 20 kasus bunuh diri, korbannya berusia 51-75 tahun (Media Indonesia Online: Edisi Kesehatan, 7 Februari 2005).
Data bunuh diri dari Kabupaten Gunung Kidul, DIY, tercatat 74 kasus terhitung dari tahun 2003-2005. Rentang usia pelaku bunuh diri  adalah 25-85 tahun (Media Indonesia Online: Edisi Kesehatan, 7 Februari 2005).
Bunuh diri merupakan masalah yang kompleks karena tidak diakibatkan oleh penyebab atau alasan tunggal.  Tindakan tersebut adalah akibat dari interaksi yang kompleks dari faktor biologik, genetik, psikologik, sosial, budaya dan lingkungan. Sulit untuk menjelaskan mengenai penyebab beberapa orang memutuskan untuk melakukan bunuh diri, sedangkan yang lain dalam kondisi yang sama bahkan lebih buruk tetapi tidak melakukannya.  Meskipun demikian, tindakan bunuh diri (terdiri atas bunuh diri dan percobaan bunuh diri) pada umumnya dapat dicegah.

Pada saat ini bunuh diri merupakan masalah kesehatan masyarakat di banyak negara. 
Memberdayakan pelayanan kesehatan dasar untuk mengidentifikasi, menilai, mengelola dan merujuk orang yang berisiko tinggi untuk melakukan tindakan bunuh diri di masyarakat, merupakan langkah penting dalam pencegahan bunuh diri. 

Karena pentingnya masalah pencegahan bunuh diri tersebut, IASP (International Association for Suicide Prevention) dan WHO (World Health Organization) telah mendeklarasikan di Stockholm pada tanggal 10 September 2003 sebagai Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia (World Suicide Prevention Day) yang selanjutnya akan diperingati pada tanggal tersebut setiap tahun.

2.    Pentingnya peran petugas kesehatan dalam pencegahan bunuh diri

Petugas kesehatan mempunyai kontak yang lama dan erat dengan masyarakat, sehingga banyak mengetahui perilaku dan masalah yang ada di masyarakat, serta biasanya diterima dengan baik oleh penduduk setempat. Petugas kesehatan mempunyai kaitan yang penting dalam komunitas dan sistem pelayanan kesehatan.

Di samping itu mereka seringkali menjadi titik awal (entry point) untuk mendapatkan pelayanan kesehatan pada pasien yang membutuhkan. Pada umumnya, petugas kesehatan di pelayanan dasar selalu tersedia, mudah diakses, memiliki pengetahuan dan keterampilan dan bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesehatan di daerahnya. 

B.    Pengertian Bunuh Diri

1. Definisi.
Menurut WHO (tahun 2001) yang mengacu pada pendapat Emile Durkheim (seorang sosiolog), membagi bunuh diri menjadi  empat kategori sosial yaitu bunuh diri egoistik, altruistik, anomik dan fatalistik.  

Bunuh diri egoistik terjadi pada orang yang kurang kuat integrasinya dalam suatu kelompok sosial.  Misalnya orang yang hidup sendiri lebih rentan untuk bunuh diri daripada yang hidup di tengah keluarga, dan pasangan yang mempunyai anak merupakan proteksi yang kuat dibandingkan yang tidak memiliki anak. Masyarakat di pedesaan lebih mempunyai integritas sosial daripada di perkotaan. 

Bunuh diri altruistik terjadi pada orang-orang yang mempunyai integritas berlebihan terhadap kelompoknya, contohnya adalah tentara Jepang dalam peperangan dan pelaku bom bunuh diri. 

Bunuh diri anomik terjadi pada orang-orang yang tinggal di masyarakat yang tidak mempunyai aturan dan norma dalam kehidupan sosialnya (contoh).

Bunuh diri fatalistik terjadi pada individu yang hidup di masyarakat yang terlalu ketat peraturannya.

Dalam hal ini individu dipandang sebagai bagian di masyarakat dari sudut  integrasi atau disintegrasi yang akan membentuk dasar dari sistem kekuatan, nilai-nilai, keyakinan dan moral dari budaya tersebut.

Sigmund Freud (1856-1939) mengatakan bahwa bunuh diri merupakan agresi yang membalik kepada dirinya terhadap suatu obyek cinta.

Karl Menninger (1938) mengatakan bahwa bunuh diri sebagai pembunuhan terbalik karena kemarahan terhadap orang lain diarahkan kepada dirinya. 

Perkembangan terakhir dari ilmu bunuh diri telah memberikan pandangan baru berdasarkan interaksi dari faktor biologis (biokimia dan neuroendokrin), psikologis (perasaan dan keadaan emosional) dan sosial dari seseorang. Pandangan ini memberikan pengertian yang lebih baik tentang bunuh diri dan penatalaksanaannya yang bersifat lebih komprehensif.

Definisi operasional:

a.    Petugas Kesehatan adalah dokter, perawat, bidan dan kader kesehatan yang bekerja di pelayanan kesehatan seperti di Puskesmas, RSU, klinik di perusahaan dan praktek dokter swasta.

b.    Tindakan bunuh diri  atau suicidal act adalah tindakan yang meliputi bunuh diri  dan percobaan bunuh diri.

c.    Bunuh diri  atau suicide atau committed suicide adalah tindakan merusak diri sendiri atau menggunakan zat (obat atau racun) yang mengakibatkan kematian.
·         Bunuh diri mikro (microsuicide): kematian akibat perilaku bunuh diri misalnya bunuh diri “pelan-pelan” atau yang terdapat pada orang-orang yang dengan sengaja tidak mau berobat meskipun menderita sakit, mogok makan, diet berlebihan dan sebagainya.
·         Bunuh diri terselubung (masked suicide): orang yang sengaja melakukan tindakan yang mengakibatkan kematian dengan cara terselubung, misalnya mendatangi tempat kerusuhan sehingga terbunuh, olah raga yang berbahaya, overdosis pada pasien ketergantungan zat dan sebagainya.

d.    Percobaan bunuh diri  atau attempted suicide adalah tindakan dengan sengaja merusak diri sendiri atau menggunakan zat (obat atau racun) dengan tujuan mengakhiri kehidupan yang tidak mengakibatkan kematian, namun membutuhkan intervensi medik psikiatrik.

e.    Risiko bunuh diri adalah suatu keadaan meningkatnya tendensi untuk melakukan bunuh diri.

f.     Pencegahan bunuh diri meliputi pencegahan primer, sekunder dan tersier:
1)            Pencegahan primer adalah tindakan mencegah sebelum orang mempunyai niat melakukan tindakan bunuh diri dengan memperhatikan faktor-faktor risikonya.
2)            Pencegahan sekunder adalah deteksi dini dan terapi yang tepat pada orang yang telah melakukan percobaan bunuh diri.
3)            Pencegahan  tersier adalah tindakan untuk mencegah berulangnya percobaan bunuh diri.  



Perbedaan antara percobaan bunuh diri dan bunuh diri:


Percobaan bunuh diri
Bunuh diri

Umumnya terjadi pada kelompok usia muda
Dewasa dan usia lanjut
Lebih umum terjadi pada wanita muda yang tak menikah
Lebih umum terjadi pada pria (Lebih banyak pada bujangan, bercerai atau duda)
Bersifat ambivalen (mendua)
Bersifat tegas
Menggunakan metode yang tidak mematikan
Menggunakan metode yang lebih mematikan
Berkaitan dengan perilaku menarik perhatian
Berkaitan dengan keinginan yang kuat untuk mati
Cara yang sering dipakai adalah dengan meminum racun
Cara yang sering dipakai adalah menggantung diri, minum racun keras atau membakar diri
Stresor seringkali berupa konflik interpersonal atau konflik dalam keluarga
Stresor bervariasi meliputi sakit stadium terminal dan faktor sosioekonomi


  1. Mitos dan Fakta Bunuh Diri
Mitos dan fakta mengenai bunuh diri adalah sebagai berikut :

No
Mitos
No
Fakta

1.





2.





3.





4.








5.




6



7






8







orang yang bicara mengenai bunuh diri, tidak akan melakukannya.


orang dengan kecenderungan bunuh diri (suicidal people) berkeinginan mutlak untuk mati.

bunuh diri terjadi tanpa peringatan.

perbaikan setelah suatu krisis berarti risiko bunuh diri telah berakhir.



tidak semua bunuh diri dapat dicegah.







sekali seseorang cenderung bunuh diri, ia selalu cenderung bunuh diri.

hanya orang miskin yang bunuh diri



bunuh diri selalu terjadi pada pasien gangguan jiwa





menanyakan tentang pikiran bunuh diri dapat memicu orang untuk bunuh diri
1.





2.





3.





4.








5.



6.




7






8








kebanyakan orang yang bunuh diri telah memberikan peringatan yang pasti dari keinginannya.

mayoritas dari mereka ambivalen (mendua, antara keinginan untuk bunuh diri tetapi takut mati)

orang dengan kecenderungan bunuh diri seringkali memberikan banyak indikasi.

banyak bunuh diri terjadi dalam periode perbaikan saat pasien telah mempunyai energi dan kembali ke pikiran putus asa untuk melakukan tindakan destruktif.

sebagian besar bunuh diri dapat dicegah.







pikiran bunuh diri tidak permanen dan untuk beberapa orang tidak akan melakukannya kembali.

bunuh diri dapat terjadi pada semua orang tergantung pada keadaan sosial, lingkungan, ekonomi dan kesehatan jiwa

pasien gangguan jiwa mempunyai risiko lebih tinggi untuk bunuh diri, tapi bunuh diri dapat juga terjadi pada orang yang sehat fisik dan jiwanya


bertanya tentang bunuh diri tak akan memicu bunuh diri. Bila tak menanyakan pikiran bunuh diri, tak akan dapat mengiden-tifikasi orang yang berisiko tinggi untuk bunuh diri

C.   Tujuan

1.    Tujuan Umum
Meningkatnya pemahaman dan kemampuan petugas kesehatan dalam melakukan   pencegahan bunuh diri di masyarakat.

2.    Tujuan Khusus.
a.    Meningkatnya pemahaman petugas kesehatan terhadap faktor risiko terjadinya tindakan bunuh diri.
b.    Meningkatnya pemahaman dan kemampuan petugas kesehatan dalam deteksi dini kecenderungan tindakan bunuh diri dan penatalaksanaannya. 
c.    Meningkatnya pemahaman dan kemampuan petugas kesehatan dalam upaya pencegahan tindakan bunuh diri.
d.    Meningkatnya pemahaman dan kemampuan petugas kesehatan tentang sistem rujukan kasus tindakan bunuh diri secara berjenjang

D.   Landasan Hukum 

1.    Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
2.    Undang-undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
3.    Kepmenkes No 220/Menkes/SK/III/ 2002  tentang Pedoman Umum Tim Pembina, Tim Pengarah, Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat (TP-KJM)


E.    Ruang Lingkup
Buku ini membahas mengenai pengenalan, deteksi dini, penatalaksanaan dan pencegahan terjadinya kasus bunuh diri baik primer, sekunder maupun tersier.

 

BAB II

PENYEBAB DAN FAKTOR RISIKO BUNUH DIRI


A.  PENYEBAB BUNUH DIRI

Sampai saat ini belum didapatkan penyebab yang pasti dari bunuh diri. Bunuh diri merupakan interaksi yang kompleks dari faktor-faktor genetik, organobiologik, psikologik, dan sosiokultural. Faktor-faktor itu dapat saling menguatkan atau melemahkan terjadinya tindakan bunuh diri pada seorang individu. 

Pada abad ke dua puluh, bunuh diri dianggap disebabkan oleh disintegrasi sistem sosial. Di daerah dengan masyarakat yang mencela perbuatan bunuh diri, maka angka bunuh diri di tempat itu relatif rendah, sedangkan di tempat yang menganggap perbuatan bunuh diri sebagai suatu hal yang berani, maka angka bunuh diri di tempat tersebut jadi tinggi (misalnya di Jepang).

Individu merupakan makluk yang unik. Perilaku individu untuk bunuh diri ditentukan oleh kelemahan atau kekuatan jiwa individu tersebut dan situasi kehidupan yang mereka alami. Beberapa faktor yang mempengaruhi bunuh diri adalah:
  • Kurang tahan terhadap frustrasi
  • Cepat marah (hostilitas tinggi)
  • Sering mengalami konflik interpersonal dengan anggota keluarga atau teman
  • Mengalami masalah kesehatan jiwa (depresi, skizofrenia, gangguan afektif)
  • Penyalahgunaan alkohol atau NAPZA lainnya
  • Menderita penyakit kronis atau sakit terminal (misalnya penyakit kanker, HIV/AIDS)
  • Faktor lingkungan lainnya

Beberapa orang akan bereaksi secara impulsif, sementara yang lainnya melalui proses yang bertahap. Ide dan keinginan bunuh diri semakin lama semakin besar yang mengakibatkan individu menjadi tak berdaya, putus asa dan akhirnya sampai pada suatu keadaan merusak diri.

Dengan mengetahui seseorang yang akan berusaha atau kemungkinan berpikir tentang bunuh diri, maka kita dapat membantu melakukan pencegahan agar mereka tidak bunuh diri. Petugas kesehatan perlu mengetahui ciri atau faktor risiko individu yang rentan untuk melakukan bunuh diri atau percobaan bunuh diri. Riset menunjukkan bahwa dimungkinkan untuk mengidentifikasi individu yang akan bunuh diri, jika petugas kesehatan peka terhadap kata-kata atau perilaku dan tanda-tanda yang ditunjukan oleh calon pelaku bunuh diri.
   
B.  FAKTOR RISIKO BUNUH DIRI

INDIVIDU DENGAN RISIKO TINGGI
·               Kehilangan status pekerjaan dan mata pencaharian.
·               Kehilangan sumber pendapatan secara mendadak karena migrasi, gagal panen, krisis moneter, kehilangan pekerjaan, bencana alam.
·               Kehilangan keyakinan diri dan harga diri.
·               Merasa bersalah, malu, tak berharga, tak berdaya, dan putus asa.
·               Mendengar suara-suara gaib dari Tuhan untuk bergabung menuju surga.
·               Mengikuti kegiatan sekte keagamaan tertentu.
·               Menunjukkan penurunan minat dalam hobi, seks dan kegiatan lain yang sebelumnya dia senangi.
·               Mempunyai riwayat usaha bunuh diri sebelumnya.
·               Sering mengeluh adanya rasa bosan, tak bertenaga, lemah, dan tidak tahu harus berbuat apa.
·               Mengalami kehilangan anggota keluarga akibat kematian, tindak kekerasan, berpisah, putus hubungan.
·               Pengangguran dan tidak mampu mencari pekerjaan khususnya pada orang muda.
·               Menjadi korban kekerasan rumah tangga atau bentuk lainnya khususnya pada perempuan.
·               Mempunyai konflik yang berkepanjangan dengan diri sendiri, atau anggota keluarga.
·               Baru saja keluar dari RS khususnya mereka dengan gangguan jiwa (depresi, skizofrenia) atau penyakit terminal lainnya (seperti kanker, HIV/AIDS, TBC, dan cacat).
·               Tinggal sendirian di rumah dan menderita penyakit terminal tanpa adanya dukungan keluarga ataupun dukungan ekonomi.
·               Mendapat tekanan dari keluarga untuk mencari nafkah atau mencapai prestasi tinggi di sekolah.
·               Mendapat tekanan/bujukan  dari organisasi/ kelompoknya.

Individu dengan risiko tinggi ini umumnya menunjukkan perilaku tertentu. Perilaku tersebut adalah kurangnya minat dalam kehidupan dan adanya kebimbangan terhadap hidup atau  mati (bersifat ambivalen).

Sebagian besar individu yang mengalami gangguan jiwa seperti depresi, skizofrenia, gangguan afektif, penyalahgunaan alkohol/NAPZA lainnya, menunjukkan berbagai gejala yang spesifik yang dapat diidentifikasi terhadap penyakitnya.

Terdapat gejala umum yang ditemukan pada orang yang cenderung bunuh diri:
·               Merasa sedih
·               Sering menangis
·               Anxietas dan gelisah
·               Perubahan mood(senang berlebihan sampai sedih berlebihan)
·               Perokok dan peminum alkohol berat
·               Gangguan tidur yang menetap atau berulang
·               Mudah tersinggung, bingung
·               Menurunnya minat dalam kegiatan sehari-hari
·               Sulit mengambil keputusan
·               Perilaku menyakiti diri
·               Mengalami kesulitan hubungan dengan pasangan hidup atau anggota keluarga lain
·               Menjadi ”sangat fanatik terhadap agama” atau jadi ”atheis”
·               Membagikan uang atau barangnya dengan cara yang khusus


KELUARGA DENGAN RISIKO TINGGI

Terdapat pula sejumlah keluarga yang berisiko tinggi untuk melakukan bunuh diri. Karena keluarga berada dalam keadaan krisis, maka gejala yang terdapat pada salah seorang anggota keluarga tidak dapat terlihat oleh anggota keluarga lainnya.

Keluarga tersebut mempunyai ciri:
·               Mempunyai anggota keluarga dengan gangguan jiwa, atau sakit berat, penyakit stadium terminal atau mempunyai anak yang cacat.
·               Sedang berkabung.
·               Hidup bersama dengan seseorang yang mengalami ketergantungan alkohol atau kecanduan NAPZA.
·               Terdapat anggota keluarga yang pernah berusaha atau telah melakukan bunuh diri pada masa yang lalu.
·               Hubungan dalam keluarga yang retak atau keadaan emosi yang terganggu.
·               Penghasilan sangat rendah, pengangguran (kehilangan pekerjaan mendadak).
·               Hidup dalam lingkungan yang berbahaya (kriminal atau tidak aman).
·               Baru saja pindah ke daerah perkotaan dan hidup dalam situasi tanpa adanya dukungan sosial.


MASYARAKAT DENGAN RISIKO TINGGI

Mungkin pula dapat diindentifikasi masyarakat atau lokasi atau tempat spesifik yang didefinisikan sebagai area geografis dengan kecenderungan bunuh diri yang tinggi.

Tempat tersebut adalah:
·               Kantong-kantong tertentu dalam area geografis dengan angka bunuh diri yang tinggi.
·               Masyarakat ekonomi miskin (populasi di daerah kumuh dan migran).
·               Masyarakat yang sering mengalami bencana alam (banjir, badai, gunung meletus dan tanah longsor).
·               Masyarakat petani yang mengalami gagal panen.
·               Daerah dengan masyarakat yang mengalami kekerasan politik dan sosial.
·               Masyarakat dengan angka prostitusi, tindak kekerasan, penggunaan alkohol dan penyalahgunaan NAPZA lainnya yang tinggi.
·               Tempat risiko tinggi tertentu seperti penjara, kantor polisi, tempat terpencil, hotel dan bahkan rumah sakit.

Perilaku bunuh diri merupakan interaksi dari faktor risiko (yang merupakan stresor) dan daya tahan individu tersebut.

Berikut ini grafik yang menggambarkan taraf berat stresor dengan terganggu atau tidaknya seseorang.

Keterangan:
Semakin dekat seseorang berada di area tidak sakit/terganggu makin kecil risiko kecenderungan bunuh diri dan sebaliknya

Daya tahan terdiri atas:
1)        Daya tahan biologis (termasuk kondisi neurotransmiter), misalnya kecenderungan biologis untuk menderita depresi endogen.

2)        Daya tahan psikologis meliputi:
a)        Kematangan kepribadian.
b)        Persepsi subjektif menghadapi stressor yang dialami (misalnya mempersepsi kematian dari pasangan yang dicintainya sebagai cobaan yang harus ia lewati atau sebaliknya sebagai keruntuhan dunianya).
c)        Kemampuan adaptasi terhadap problem kehidupan atau menghadapi stresor yang dialaminya.
d)        Fleksibilitas menghadapi permasalahan kehidupannya.

3)  Daya tahan sosiokultural meliputi:
a)        Peran dalam keluarga dan masyarakat.
b)        Ikatan atau keakraban dalam keluarga dan 
Masyarakat.
c)  Penghayatan dan ketakwaan terhadap agama.


KARAKTERISTIK KEPRIBADIAN
Terdapat 3 gambaran utama kepribadian pelaku bunuh diri:
1.     Ambivalensi
Keinginan untuk tetap hidup dan keinginan untuk mati berkecamuk pada pelaku bunuh diri. Terdapat dorongan untuk lari dari pedihnya kehidupan, sekaligus terdapat pula keinginan untuk bertahan hidup. Banyak pelaku bunuh diri sesungguhnya tidak ingin mati, hanya saja mereka tidak merasa bahagia dengan kehidupannya. Bila diberikan dukungan dan keinginan untuk hidup ditingkatkan, maka risiko bunuh diri akan berkurang.

2.     Impulsivitas
Bunuh diri juga merupakan tindakan impulsif. Sebagaimana juga impuls lain, impuls bunuh diri juga bersifat sementara dan berlangsung hanya beberapa menit atau beberapa jam. Biasanya dicetuskan oleh peristiwa sehari-hari yang negatif. Dengan mengatasi keadaan krisisnya serta mengulur waktu, maka petugas kesehatan dapat menolong mengurangi keinginan bunuh diri.

3.     Rigiditas
Pada saat melakukan tindakan bunuh diri, pikiran, perasaan dan perilakunya terbatas. Mereka terus memikirkan bunuh diri saja dan tidak dapat menemukan jalan ke luar lain dari masalahnya. Mereka berpikir secara kaku.


BAB III
DETEKSI DINI  KECENDERUNGAN BUNUH DIRI DAN PENATALAKSANAANNYA

Untuk melakukan deteksi dini kecenderungan bunuh diri dan memberikan pertolongan yang tepat, maka kita perlu menilai risiko kecenderungan bunuh diri dan memahami cara pendekatan dan melakukan wawancara dengan mereka.


A. IDENTIFIKASI  PELAKU TINDAKAN BUNUH DIRI
Sebelum menerapkan tatalaksana pencegahan tindakan bunuh diri, ada hal–hal yang perlu diperhatikan dan diketahui oleh petugas kesehatan dalam mengidentifikasi pelaku tindakan bunuh diri yaitu:

  1. Mengidentifikasi faktor risiko bunuh diri (lihat BAB II)
Cara menilai risiko kecenderungan bunuh diri
Pada saat tenaga kesehatan menduga adanya kemungkinan tindakan bunuh diri, faktor-faktor yang dinilai adalah:
a.        Kondisi kejiwaan saat ini, pikiran tentang kematian dan bunuh diri.
b.        Seberapa siap dan secepat apa akan melakukan rencana bunuh diri.
c.        Dukungan orang-orang terdekat (keluarga, teman dan sebagainya).
d.        Menilai tingkat risiko
Menilai tingkat risiko merupakan hal penting untuk menentukan langkah selanjutnya. Perlu digali dan dinilai apakah risiko bunuh diri tinggi, sedang atau rendah.

  1. Memahami karakteristik pelaku tindakan bunuh diri
a.Menghadapi sifat ambivalensi pelaku, petugas kesehatan berempati terhadap perasaannya, dapat memberikan dukungan dan mendampingi mereka melewati masa-masa sulit tersebut. Bila dukungan diberikan dan keinginan untuk hidup ditingkatkan, risiko tindakan bunuh diri akan berkurang.
b.Menghadapi sifat impulsivitas pelaku, petugas kesehatan dapat membantu mengurangi keinginan bunuh diri dengan berusaha mengatasi krisisnya dan mengulur-ulur waktu.
c.Menghadapi sifat rigiditas pelaku, petugas kesehatan hendaknya dapat membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Jangan memberi harapan palsu tapi doronglah mereka untuk menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang konstruktif.

  1. Memperhatikan Pernyataan Niat Pelaku Tindakan Bunuh Diri
Sebagian besar pelaku bunuh diri mengutarakan pikiran dan niatnya untuk bunuh diri. Biasanya mereka memberikan tanda melalui pernyataan–pernyataan yang menggambarkan rasa tidak berguna hidup di dunia dan keinginan untuk mati. Semua pernyataan ini jangan dianggap enteng dan perlu diperhatikan karena sebenarnya merupakan ekspresi dari perasaan putus asa dan keinginan untuk ditolong.


B. TEKNIK WAWANCARA
Cara terbaik untuk mengetahui seseorang akan melakukan bunuh diri adalah dengan bertanya langsung (autoanamnesis). Hal ini bertolak belakang dengan apa yang dipercaya masyarakat selama ini, bahwa membicarakan bunuh diri akan menginspirasi mereka untuk melakukan tindakan bunuh diri. Pada kenyataannya mereka sangat senang dan lega dapat membicarakan secara terbuka mengenai dirinya dan pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam diri mereka.

Tidaklah mudah untuk bertanya pada seseorang tentang ide bunuh diri. Akan sangat membantu jika membicarakan masalah tersebut secara bertahap.

1. Beberapa pertanyaan yang perlu ditelusuri
            Apakah orang tersebut:  
a.        Merasa sedih
b.        Merasa tidak ada orang yang peduli.
c.        Merasa hidup tidak berharga.
d.        Akan menyukai tindakan bunuh diri.
e.        Telah bulat tekadnya untuk bunuh diri.
f.         Sudah punya waktu yang tepat untuk melaksanakan niatnya.
g.        Sudah mempunyai cara  yang akan digunakan.

Untuk menelusuri hal tersebut di atas, dengan cara mengajukan pertanyaan terbuka, agar mereka dapat bebas untuk memberikan jawabannya. Misalnya: ”Bagaimana perasaan saudara” atau ”Apa yang saudara rasakan”, atau ”Bisa saudara ceritakan kepada saya apa yang saudara pikirkan”. Untuk memastikan keadaan, sekali-sekali dapat juga diajukan pertanyaan tertutup.

2. Kapan saat bertanya yang tepat?
a.        Pada saat seseorang telah memiliki perasaan bahwa dia dimengerti.
b.        Pada saat seseorang merasa nyaman membicarakan perasaan-perasaannya.
c.        Pada saat seseorang tengah membicarakan perasaan negatif seperti rasa sepi, tidak berdaya dan sebagainya.

3. Komunikasi petugas dengan pelaku tindakan bunuh diri

Hal–hal yang perlu diperhatikan dan diketahui oleh petugas kesehatan dalam persiapan untuk berkomunikasi
a.      Kontak  pertama dengan pelaku tindakan bunuh diri sangat menentukan berhasil atau tidaknya upaya mencegah tindakan bunuh diri. 
b.      Tempat pertemuan (salah satu ruangan di Rumah Sakit atau Puskesmas) perlu bersifat pribadi, tenang dan nyaman sehingga percakapan tentang hal-hal yang pribadi dapat dilakukan, tanpa takut diketahui oleh orang lain.
c.      Petugas kesehatan sebaiknya menyediakan waktu yang cukup dan siap untuk menghadapi gejolak emosi yang mungkin diperlihatkan oleh pelaku tindakan bunuh diri.
d.      Petugas kesehatan harus bisa menjadi pendengar yang baik, bisa merasakan apa yang sedang mereka alami tanpa ada upaya merendahkan apalagi memojokkan (berempati).
e.      Berikan dukungan emosional, biasanya mereka akan bersikap lebih terbuka sehingga keinginan bunuh diri dapat diperkecil.
f.        Kemampuan komunikasi yang baik dari seorang petugas kesehatan akan sangat membantu, karena pada saat seseorang merasa tidak mempunyai harapan lagi, kehadiran orang lain sebagai tempat berbagi, akan meringankan penderitaannya.

  1. Cara melakukan komunikasi yang baik
a.        Bersikap empatik (kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan  orang lain tanpa menjadi terlarut),ctenang dan mendengar dengan penuh perhatian.
b.        Hargai pendapatnya dan nilai–nilai yang dianutnya.
c.        Berbicara dengan tulus dan beri  kesan semua   yang dilakukan karena didasari oleh perasaan ingin membantu.
d.        Perlihatkan sikap penuh perhatian dan penuh kehangatan.
e.        Pesan–pesan non verbal melalui gerak tubuh, hendaknya mencerminkan penghargaan dan penerimaan, bukan penolakan.
f.         Cara bicara yang tenang, penuh perhatian, tidak menilai dan menerima apa yang dikatakan merupakan hal–hal yang dibutuhkan untuk terjadinya komunikasi yang baik.
g.        Dengarkan keluhannya, perlihatkan bahwa kita memahami apa yang sedang dihadapinya dengan tetap bersikap tenang.
h.        Berikan dukungan, perhatian dan jaga kerahasiaan.
i.          Tanyakan percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan sebelumnya.
j.          Tanyakan rencana bunuh diri yang ingin dilakukan.
k.        Ulur waktu dan buatlah perjanjian kesepakatan (misalnya menelpon petugas bila akan melakukan bunuh diri), membuka pikiran orang yang mempunyai rencana untuk bunuh diri bahwa masih ada jalan keluar lain selain bunuh diri.
l.          Telusuri dukungan sosial lain yang mungkin dimilikinya.
m.       Bila memungkinkan, jauhkan pelaku dari sarana atau alat yang dapat dipakai untuk melakukan tindakan bunuh diri.
n.        Lakukan sesuatu (misalnya beritahu orang lain dalam hal ini keluarga atau orang terdekat berdasarkan  kesepakatan dengan pasien) dan berilah pertolongan yang sesuai keadaan pelaku.

  1. Cara–cara yang harus dihindari oleh petugas kesehatan  dalam berkomunikasi
a.        Sering memotong pembicaraan.
b.        Mengabaikan percobaan bunuh diri.
c.        Menantang si pelaku untuk melanjutkan niatnya bunuh diri.
d.        Membuat persoalan menjadi lebih rumit.
e.        Memberikan keyakinan yang salah.
f.         Mengatakan bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja.
g.        Memperlihatkan rasa terkejut, malu atau panik  dan bersikap emosional.
h.        Memperlihatkan kesan sibuk dan tidak ingin diganggu.
i.          Menghakimi, menyalahkan, melecehkan dan memojokkan sehingga menambah rasa bersalah.
j.          Terlalu dominan atau otoriter.
k.        Memberikan jawaban–jawaban yang tidak jelas.
l.          Pertanyaan yang bersifat interogatif.
m.       Terlalu banyak bertanya.
n.        Meninggalkan pelaku tindakan bunuh diri seorang diri tanpa pengawasan.


C. Rencana tindak lanjut terhadap pasien dengan risiko bunuh diri

1. Penilaian dan penatalaksanaan
Setelah tenaga kesehatan mengidentifikasi orang dengan kecenderungan bunuh diri, maka perlu dilakukan penilaian:

a.    Tingkat risiko terjadinya bunuh diri:

1) Risiko tingkat rendah
Orang yang telah mempunyai pikiran bunuh diri, mengatakan ”Saya tidak sanggup lagi”, ”Lebih baik saya mati”, tetapi belum memiliki rencana apapun.

               Cara penanganan
a)        Memahami pikiran dan perasaan orang yang akan bunuh diri serta menawarkan dukungan emosional. Semakin terbuka orang membicarakan tentang kehilangan, keterasingan dan perasaan tidak berharga, semakin sedikit gangguan emosi yang terjadi. Ketika gangguan emosi tersebut sudah kembali normal, mereka akan lebih mawas diri (reflective). Proses mawas diri ini amat penting artinya.
b)        Pembicaraan difokuskan pada kelebihan atau kemampuan mereka untuk menyelesaikan masalah terdahulu tanpa adanya keinginan untuk bunuh diri.
c)        Merujuk orang tersebut ke psikiater, psikolog klinis atau dokter.
d)        Menjalani konseling secara teratur


2) Risiko tingkat menengah
Orang yang mempunyai rencana dan keinginan bunuh diri, tetapi rencana tersebut tidak akan dilakukan dalam waktu dekat.

Cara penanganan
a)        Menawarkan dukungan emosional, memahami pikiran dan perasaan orang yang akan bunuh diri. Fokuskan pada kelebihan mereka, kemudian dilanjutkan dengan langkan-langkah di bawah ini:
b)        Bila pasien dalam keadaan ambivalen, maka tenaga kesehatan perlu menggarap hal tersebut sehingga secara bertahap keinginan untuk hidup akan semakin kuat.
c)        Menggali cara penyelesaian masalah: petugas kesehatan harus berusaha menggali untuk mencari beberapa cara penyelesaian masalah, sehingga pasien dapat mempertimbangkan salah satu cara yang dianggap cocok untuk dirinya.
d)        Membuat perjanjian. Membantu (kalau perlu dibujuk) orang tersebut untuk bertekat tidak akan melakukan bunuh diri:
1)        dalam jangka waktu tertentu
2)        tanpa menghubungi tenaga kesehatan
e)        Merujuk secepatnya ke psikiater, dokter, psikolog klinis atau konselor.
f)         Menghubungi keluarga, kerabat atau teman untuk meminta dukungan mereka.

3) Risiko tingkat tinggi
Orang ini memiliki rencana dan metode yang jelas, dan akan melakukannya dalam waktu dekat.

Cara penanganan
a)        Mendampingi orang tersebut dan tidak boleh meninggalkannya sendirian.
b)        Berbicara dengan lemah lembut kepadanya agar ia mau membicarakan masalahnya.
c)        Menyingkirkan semua benda yang membahayakan seperti obat-obatan, racun, benda tajam, pistol.
d)        Membuat perjanjian seperti di atas.
e)        Menghubungi psikiater, psikolog klinis atau dokter secepatnya dan membawa pasien ke rumah sakit untuk dirawat (jika dibutuhkan perawatan yang lebih intensif).
f)         Memberitahu pihak keluarga, kerabat atau teman dan minta dukungan mereka.

D. Beberapa tips  yang  diberikan  kepada pasien  untuk mencegah tindakan bunuh diri
1.      Ceritakan masalah anda kepada dokter, sahabat, anggota keluarga atau orang yang anda anggap dapat menolong anda.
2.            Jauhkan diri anda dari hal atau benda yang dapat digunakan untuk bunuh diri. Misalnya bila anda berpikir bunuh diri menggunakan obat dengan dosis berlebihan, maka serahkanlah obat tersebut kepada keluarga dan biarlah mereka yang memberikannya kepada anda setiap hari.
3.            Jauhkan benda atau senjata yang dapat membahayakan anda.
4.            Jauhi penggunaan alkohol atau NAPZA lainnya.
5.            Tetapkan tujuan hidup anda secara realistik dan kerjakan secara bertahap.
6.            Tuliskan rencana kerja anda setiap hari dan     bekerjalah sesuai dengan rencana tersebut. 
7.            Tetapkan prioritas yang perlu didahulukan. Dengan menuliskan rencana kerja, anda akan merasa dapat  memprediksi dan mengendalikannya.
8.            Sediakan waktu untuk beribadah dan menikmati hobi anda, misalnya mendengarkan atau bermain musik, latihan relaksasi atau meditasi, membaca majalah kesayangan anda, permainan, mengerjakan pekerjaan tangan, menonton televisi, berkebun, memelihara binatang, berjalan-jalan.
9.            Perhatikan kesehatan anda: makan dengan gizi berimbang, istirahat dan tidur yang cukup, serta olah raga secara teratur.
10.        Berjemur di sinar matahari pagi selama 30 menit akan berdampak baik bagi penderita depresi.
11.        Bersosialisasi dan berbincang-bincang dengan orang sekitar anda.
12.        Makan obat sesuai petunjuk dokter.

E.  Cara memberi tahu keluarga:
1.            Meminta persetujuan pasien dengan tindakan bunuh diri untuk mengetahui orang-orang  terdekat yang dapat dihubungi. Setelah mendapatkan alamatnya segera menghubungi mereka.
2.            Sekalipun pasien tidak mengizinkan, cobalah untuk mencari orang yang bersimpati pada penderitaan dan mau menolongnya. Segera hubungi mereka, katakan sebelumnya dan jelaskan bahwa kadang-kadang lebih mudah untuk berbicara dengan orang lain dibandingkan dengan anggota keluarga. Dengan demikian pasien tidak akan merasa diabaikan atau sakit hati bila sikap keluarga tidak sesuai dengan yang diharapkan.
3.            Bicaralah pada keluarga secara baik-baik tanpa menuduh atau membuat mereka merasa bersalah.
4.            Buatlah daftar mengenai hal-hal yang bisa dilakukan oleh keluarga untuk meringankan beban pelaku bunuh diri.
5.            Tetap memperhatikan kebutuhan keluarga.

Seperti halnya pelaku tindakan bunuh diri, keluarga maupun orang-orang yang dekat dengan mereka juga membutuhkan bantuan karena mereka juga mengalami perasaan kehilangan, terpukul, bersalah, malu atau marah. Petugas kesehatan sebaiknya memperlakukan mereka dengan baik, berusaha memberikan dukungan, dan turut merasakan perasaan kehilangan atau rasa malu.

Perlu diberikan penjelasan bahwa keluarga perlu bekerja sama dalam menangani anggota keluarga mereka karena kemungkinan tindakan bunuh diri yang gagal dapat terulang lagi pada masa yang akan datang.

Tekankan bahwa keluarga merupakan sumber dukungan terbesar, oleh sebab itu sikap-sikap positif dari keluarga seperti kasih sayang, perhatian, dan sikap yang tidak memojokkan amat dibutuhkan untuk membantu proses pemulihan pelaku tindakan bunuh diri.



BAB IV
UPAYA PENCEGAHAN BUNUH DIRI DI MASYARAKAT

Bunuh diri dapat dicegah dan semua anggota masyarakat dapat melakukan tindakan yang akan menyelamatkan kehidupan dan mencegah bunuh diri.
Sangat dibutuhkan kerjasama yang erat antara individu, keluarga, masyarakat, profesi dan pemerintah untuk bersama mengatasi masalahnya.


A.  UPAYA PENCEGAHAN YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH INDIVIDU

Bila menemukan orang dengan ciri risiko tinggi, maka individu dapat melakukan:
  • Coba menjalin kontak  dan mengenali pelaku tindakan bunuh diri beserta latar belakangnya.
  • Dengarkan dengan penuh perhatian dan biarkan pelaku tindakan bunuh diri berbicara mengenai perasaannya.
  • Coba mengenali masalah dan memahami perasaannya.
  • Hargai pemikirannya dan jangan menyalahkan keputusan mereka untuk bunuh diri.
  • Telusuri situasi yang dialami sekarang dan pengalaman serta keyakinannya pada masa lalu.
  • Telusuri pilihan alternatif yang positif yang mungkin dan dapat dilakukan sesuai dengan diri, nilai dan hal yang disenangi oleh orang tersebut.
  • Identifikasi cara terbaik yang dapat dilakukan untuk menolong mereka dalam situasi krisis.
  • Beri mereka harapan dan optimisme.
  • Bantu mereka mengurangi beban pikirannya.
  • Libatkan mereka dalam kegiatan sosial dan rekreasi seperti bertemu orang, berbicara kepada teman, mendengarkan radio, menonton televisi (bukan yang menayangkan tentang bunuh diri), menghadiri pertemuan sosial dan lain-lain. Semua usaha tersebut  dalam rangka meningkatkan perasaan sejahtera.
  • Rujuk mereka kepada konselor atau tenaga kesehatan jiwa (psikiater, psikolog atau pekerja sosial).
  • Ikuti saran dari dokter atau konselor, khususnya kepatuhan terhadap terapi.
  • Dampingi dan bantu mereka dengan segala cara yang mungkin dilakukan.
  • Teruskan berinteraksi, mendengarkan dan menawarkan dukungan.

Bila situasi krisis sudah berlalu, penting untuk tetap memberikan dukungan agar mereka mampu mengatasi tantangan hidup dengan cara yang positif. Jika pikiran bunuh diri tetap ada, diperlukan dukungan konselor dan profesional lain, jadi mereka perlu dirujuk ke tenaga yang tepat. Semua anggota masyarakat sebenarnya dapat bertindak sebagai konselor yang terbatas yaitu dengan cara berkomunikasi, berempati, memberi dukungan dan menunjukkan arahan yang positif bagi orang tersebut.


B.  UPAYA PENCEGAHAN YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH KELUARGA

Keluarga merupakan pusat dari semua kegiatan dalam kehidupan individu. Konflik interpersonal, hubungan yang terganggu dan kehidupan yang tidak harmonis merupakan faktor pencetus yang penting dalam tindakan bunuh diri. Keluarga perlu memberi dukungan dan melakukan upaya untuk mencegah bunuh diri. Anggota keluarga dapat melakukan upaya yang efektif dengan berbagai cara, antara lain:
  • Mengidentifikasi tanda-tanda dari stres dan kecenderungan bunuh diri. Karena ekspresinya sangat unik untuk setiap budaya, maka keluarga harus mengenali kecenderungan tersebut.
  • Membina hubungan yang erat dengan pelaku, penuh perhatian, mendengarkan, menghargai perasaan serta memahami emosinya.
  • Tunjukkan bahwa keluarga ingin menolongnya.
  • Lebih baik membangun potensi kekuatan pelaku dari pada terpaku pada kelemahannya.
  • Jangan tinggalkan seorang diri anggota keluarga  yang mempunyai keinginan bunuh diri.
  • Menjauhkan pelaku dari benda yang membahayakan dirinya seperti: obat-obatan, racun, benda tajam, tali dan lain-lain.
  • Secara bertahap bangkitkan kembali keinginan untuk hidup (untuk beberapa situasi dapat terjadi dengan cepat).
  • Ajari dan praktekkan metode penyelesaian masalah dan timbulkan rasa optimis.
  • Mencoba untuk meminimalkan konflik di rumah dan mengembangkan latihan pemecahan masalah bersama dengan anggota keluarga yang lain.
  • Mendorong anggota keluarga tersebut untuk mencari pertolongan profesional, rumah sakit atau LSM (lihat lampiran) yang tepat. Mereka yang mempunyai masalah kesehatan jiwa tidak mau dilabel dengan ”gangguan jiwa”. Oleh karena itu persuasi merupakan faktor kunci untuk membawanya ke dokter. Konsultasi dengan dokter tidak cukup hanya satu kali. Untuk mendapatkan perubahan yang bermakna diperlukan konsultasi yang teratur dan perlu mengikuti saran yang diberikan oleh dokter.
  • Membantu anggota keluarga tersebut untuk mengatasi krisis dengan berbagai cara yang realistik dan cocok dengan yang bersangkutan.
  • Tetap mengobservasi dan mewaspadai tindakan, reaksi dan perilakunya.
  • Perhatian khusus diberikan pada usia lanjut, penyakit terminal, gangguan jiwa (depresi, alkoholisme, tindak kekerasan dan lain-lain) dan penderita cacat.
  • Identifikasi lembaga atau tokoh dalam masyarakat untuk membantu kasus spesifik (misalnya sekolah, lembaga tenaga kerja, lembaga sosial, institusi kesehatan, tokoh agama dan sesepuh atau tokoh masyarakat).
  • Dengan memberikan perhatian yang penuh kasih sayang, pengertian dan dukungan (selain dari memberi pengobatan yang diperlukan secara teratur), dapat mencegah terjadinya tindakan bunuh diri.
C.  UPAYA PENCEGAHAN YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH MASYARAKAT DAN JARINGAN YANG LEBIH LUAS

Masyarakat mempunyai tanggungjawab yang besar untuk mencegah tindakan bunuh diri. Masyarakat seharusnya menciptakan norma perilaku untuk membantu anggota masyarakat bertumbuh dengan cara yang positif, sehat dan merasa sejahtera. Jadi pengaruh positif dari masyarakat dapat mempengaruhi individu untuk berhenti dari perilaku merusak.

Problem besar pada masyarakat yang sedang dalam transisi adalah menurunnya sistem nilai secara bertahap, perubahan yang cepat yang diikuti oleh konflik yang disebabkan oleh adanya peluang baru dan frustrasi yang timbul akibat dari perubahan sosial masyarakat. Jadi setiap institusi dan individu di dalamnya dapat memainkan peranan yang amat penting untuk mencegah tindakan bunuh diri. Masyarakat perlu membangun mekanisme pertahanan sosial yang meliputi pencegahan, terapi dan pelayanan ”after care” untuk mengurangi tindakan bunuh diri.

Masyarakat, organisasi dan LSM mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengembangkan pelayanan pencegahan, pelayanan gawat darurat, pelayanan ”after care”dan program pencegahan. Mendata dukungan dari kelompok lokal merupakan langkah penting dalam membuat program dan mengidentifikasi sumberdaya yang ada.

Masyarakat lokal dapat membantu program pencegahan bunuh diri dengan cara mengangkat isu lokal, masalah dan penyebab bunuh diri kepada pengambil keputusan (misalnya memperbaiki kualitas hidup masyarakat ekonomi lemah, mengurangi tindak kekerasan dan kriminalitas, menghilangkan stigma, menghilangkan sikap diskriminasi, mempengaruhi media massa lokal dan memperbaiki informasi data tentang bunuh diri).

Selain dari hal tersebut di atas dapat pula dilakukan kegiatan sebagai berikut:
  • Membentuk ”hotline” (yang dapat mendengarkan keluhan dan menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan) sesuai dengan kebutuhan setempat. Mengembangkan sistem informasi dan komunikasi misalnya layanan telepon 24 jam yang dapat dihubungi langsung oleh yang membutuhkan (misalnya menyediakan nomor telepon khusus untuk anak atau khusus untuk perempuan yang disediakan oleh kepolisian).
  • Menyebarluaskan publikasi tentang ”hotline”  dan mendorong masyarakat untuk memanfaatkannya.
  • Membentuk relawan lokal yang dapat memberikan pertolongan darurat terhadap penderita distres atau mereka yang membutuhkan dalam situasi krisis.
  • Mengumpulkan masyarakat lokal dari berbagai LSM untuk mengembangkan sistem dukungan intersektoral berdasarkan masalah yang ditemukan di masyarakat dan sumberdaya yang tersedia.
  • Mengorganisasikan kegiatan promosi kesehatan jiwa dan sosial di sekolah, perguruan tinggi,  industri, rumah sakit, dan masyarakat risiko tinggi dengan melibatkan individu dan keluarga.
  • Memberikan informasi yang bermakna kepada media massa lokal tentang penyebab, situasi dan keadaan bunuh diri dan meningkatkan pengamanan pada tempat dengan risiko tinggi tindakan bunuh diri.
  • Mengembangkan program pendidikan dengan menggunakan bahasa dan dialek setempat sesuai kebutuhan.


D.    MEWASPADAI TEMPAT RISIKO TINGGI

Bunuh diri juga sering terjadi di beberapa tempat seperti rumah sakit, panti werda, penjara dan penginapan. Oleh  karena itu perlu mengembangkan mekanisme pencegahan tindakan bunuh diri pada tempat-tempat tersebut dengan upaya khusus.
·         Perlu mengidentifikasi individu berisiko tinggi untuk bunuh diri pada tempat-tempat itu dan mengembangkan program intervensi yang ditujukan pada individu tersebut.
·         Staf pada tempat tersebut perlu dilatih untuk mengidentifikasi dan tetap mewaspadai mereka. Perlu dilakukan pelatihan periodik untuk mengatasi masalah dan melakukan metode pencegahan.
·         Perlu meningkatkan kepekaan petugas penerima tamu dan petugas lainnya untuk dapat mendeteksi adanya kemungkinan risiko tinggi bunuh diri pada calon dan penghuninya.
·         Dalam memberikan pertolongan perlu melibatkan tenaga kesehatan, psikolog, pengacara, polisi, pekerja sosial dan konselor.
·         Perlu kerjasama antara keluarga, sahabat, pemuka agama, staf rehabilitasi dan konselor profesional dalam memberikan intervensi.
·         Perlu menyediakan alat/materi untuk pertolongan pertama bila tiba-tiba terjadi usaha bunuh diri yang tak diduga sebelumnya.
·         Orang dengan risiko tinggi ditempatkan bersama dengan orang lain, bila tidak merupakan ancaman terhadap orang lain.
·         Tempatkan pada tempat yang aman dan singkirkan benda yang dapat digunakan untuk bunuh diri.
·         Tingkatkan pemeriksaan keamanan lingkungan khususnya pada penginapan dan hotel.
·         Perlu meningkatkan interaksi sosial yang sehat dan melibatkan mereka dalam kegiatan rekreasi (seperti menyanyi, olah raga, mendengar radio, menonton televisi, membaca), berdoa, meditasi.


E.        UPAYA YANG PERLU SEGERA DILAKUKAN OLEH SEKTOR KESEHATAN

Sampai saat ini belum ada program yang spesifik atau terfokus pada pencegahan bunuh diri. Disamping itu, juga tidak ada program tunggal yang 100 % berhasil untuk mencegah bunuh diri. Agar lebih berhasil, diperlukan program yang terintegrasi dan kerjasama dari berbagai pihak.

Bunuh diri bukan semata-mata merupakan fenomena sosial, budaya atau agama. Agar menjadi mitra kerja yang aktif dalam upaya pencegahan bunuh diri, sektor kesehatan perlu meluaskan peran dan tanggung jawabnya. Sektor kesehatan seharusnya memprakarsai untuk melakukan riset multi sektoral, karena dengan memahami masalah, faktor risiko dan metode yang dilakukan, merupakan isu kunci dalam intervensi dan pencegahan bunuh diri yang efektif.

Agar upaya pencegahan menjadi efektif, maka sektor kesehatan perlu melakukan:
  • Program pengembangan sumber daya untuk penanganan bunuh diri dengan cara meningkatkan pengetahuan, kemampuan, teknik dan strategi dalam memberikan pelayanan.
  • Memperbaiki fasilitas gawat darurat dan pelayanan segera terhadap pasien dengan percobaan bunuh diri dikombinasikan dengan pelayanan rujukan dan rehabilitasi.
  • Mengintegrasikan pelayanan kesehatan jiwa ke sistem pelayanan kesehatan dasar. Dengan melakukan identifikasi, penatalaksaan dan rujukan segera terhadap pasien (khususnya mereka yang menderita depresi, penyalahgunaan alkohol dan gangguan jiwa lainnya), bersamaan dengan meningkatkan sikap yang positif dari masyarakat, akan sangat menolong mengurangi angka bunuh diri.
  • Memberikan arahan kepada insan media massa dan sektor lain untuk mengembangkan kebijakan penyebarluasan informasi yang realistik agar terbentuk sikap yang positif pada masyarakat.
  • Mengembangkan program pencegahan bunuh diri lintas sektor yang terintegrasi dan terkoordinasi (sektor kesehatan, pendidikan, agama, pertanian, tenaga kerja, kepolisian, hukum dan lain-lain).
  • Mengembangkan pusat ”keracunan” yang dapat memberikan informasi dan saran kepada mereka yang keracunan.

Perilaku bunuh diri seringkali dilaporkan oleh keluarga dekat, tetangga, atau teman. Sarankan untuk segera mengubungi fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan pertolongan medis. Di beberapa kota besar tersedia ”hotline service”  yang dapat dihubungi 24 jam.

Penatalaksanaan segera tergantung pada usia, jenis kelamin, keadaan fisik, jenis dan jumlah racun yang digunakan, cara bunuh diri (membakar diri, gantung diri dan lain-lain). Yang sangat penting adalah reaksi segera tergantung situasi pasien. Rumah sakit seharusnya dapat melakukan penatalaksanaan lebih spesifik dan lebih efektif terhadap pasien bunuh diri (sebagai tempat rujukan).


F.        UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH RUMAH SAKIT DAN PUSKESMAS

  • Segera berikan pertolongan setelah pasien datang ke rumah sakit. Beberapa rumah sakit tidak melayani pasien bunuh diri atau percobaan bunuh diri dengan alasan akan membebani kerja mereka, pasien hanya mencari perhatian dan takut masalah mediko-legal. Sikap penolakan dari rumah sakit ini akan menyebabkan orang enggan mencari pertolongan ke rumah sakit.
  • Berikan obat atau lakukan konseling sesuai dengan keadaan dan kebutuhan pasien. Pasien perlu dievaluasi secara teratur untuk mengamati reaksi obat.
  • Jangan menghentikan atau mengubah secara mendadak pemberian obat tanpa alasan.
  • Menyebarluaskan informasi ke masyarakat tentang cara memberikan pertolongan pertama dan tentang pusat layanan yang memberikan pertolongan gawat darurat khususnya untuk mengatasi keracunan dan luka bakar. Walaupun demikian jangan sampai terlambat membawa pasien ke rumah sakit.
  • Perlu menyediakan fasilitas minimal di Puskesmas untuk mengatasi keadaan gawat darurat. Pertimbangkan waktu yang dibutuhkan untuk membawa pasien dari pedesaan ke kota.
  • Dokter dan perawat perlu dilatih dalam penatalaksanaan pasien yang melakukan percobaan bunuh diri, khususnya di daerah pedesaan, karena pengiriman ke rumah sakit di kota akan menyebabkan terlambatnya pengobatan. Selain dari memberikan keterampilan, perlu pula memperbaiki pelayanan gawat darurat dengan cara memperkuat fasilitas dan sumber daya untuk pengobatan.
  • Bersamaan dengan penanganan segera, tenaga medis perlu pula dilatih untuk memberikan pelayanan pasca rawat (”after care”). Pada saat dipulangkan status kesehatan pasien perlu diperiksa kembali. Jika dibutuhkan, sarankan kepada keluarga untuk mendapatkan pertolongan selanjutnya seperti rujukan, konseling dan intervensi lainnya.
  • Rujukan ke tenaga kesehatan jiwa seperti psikiater, psikolog, perawat dan pekerja sosial harus merupakan bagian yang integral dari ”after care” untuk menjamin agar usaha bunuh diri tidak terulang.
G.           UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH TENAGA KESEHATAN SELAIN PEMBERIAN OBAT

Sampai saat ini masalah bunuh diri tidak dianggap sebagai masalah kesehatan yang serius dan menganggap bahwa percobaan bunuh diri lebih merupakan masalah sosial, agama atau budaya. Oleh karena itu pemikiran semacam ini perlu dirombak dan tenaga kesehatan perlu lebih dekat dengan masyarakat untuk mengenal penduduknya dengan baik agar dapat memberikan pelayanan yang lebih efektif kepada mereka dengan pikiran dan perilaku bunuh diri, dan kepada keluarga dengan riwayat anggota keluarganya yang bunuh diri.

Tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan dasar dan rujukan memegang peranan yang efektif dalam upaya pencegahan, penatalaksanaan atau rehabilitasi pasien dengan kecenderungan bunuh diri, mereka yang melakukan percobaan bunuh diri atau keluarga mereka. Biasanya sektor kesehatan merupakan orang yang pertama berkontak dengan pasien yang melakukan percobaan bunuh diri (selain keluarga). Sebaliknya karena adanya sikap stigmatisasi dari masyarakat, mungkin pula petugas kesehatan merupakan kontak terakhir dengan pasien percobaan bunuh diri setelah mencoba usaha lainnya.

Upaya yang dapat dilakukan antara lain:
  • Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tentang penatalaksanaan dan pencegahan bunuh diri serta teknik konseling. Mereka perlu mengidentifikasi sumber daya yang dibutuhkan (baik lokal maupun nasional).
  • Belajar dan menerapkan metode pemeriksaan kesehatan jiwa yang sederhana untuk mengidentifikasi mereka yang berpotensial mengalami masalah psikiatrik dan psikososial.
  • Meningkatkan kesehatan jiwa di wilayah kerja mereka. Dalam menilai dan memberi pertolongan kepada kelompok risiko tinggi bunuh diri, perlu dipertimbangkan adanya komorbiditas gangguan jiwa yang perlu penanganan.
  • Beri perhatian khusus terhadap individu dan keluarga yang anggota keluarganya mengalami depresi, ketergantungan alkohol, skizofrenia dan gangguan kepribadian (gangguan perilaku dan gengguan perasaan). Karena mereka merupakan kelompok risiko tinggi, mereka perlu tetap dimonitor dan mendapatkan pelayanan yang diperlukan. Mereka yang mempunyai riwayat HIV/AIDS, lumpuh, epilepsi, penyakit terminal/kronik, dan penderita cacat perlu mendapatkan dukungan terus menerus atau konseling.
  • Sebagai langkah awal, membina kontak dengan pasien, dengarkan mereka dengan penuh perhatian, jangan membantah atau menginterupsi pembicaraan mereka. Beri kesempatan pasien berbicara tanpa melakukan penilaian. Menelusuri situasi dan memahami perasaannya, akan memberikan rasa aman, harapan dan arahan terhadap individu dan keluarganya. Libatkan keluarga dan teman dekatnya.
  • Mengembangkan program rujukan dan rehabilitasi bekerjasama dengan pelayanan sosial dan kesehatan jiwa terdekat. Pada daerah geografis dengan risiko tinggi, sebagian besar dari mereka tak dapat ditangani  di tempat, maka perlu dirujuk ke pelayanan spesialistik. Mungkin sebagian besar pasien tidak mau dirujuk ke rumah sakit, oleh karena itu tenaga kesehatan perlu membujuk dan memberikan pengertian akan pentingnya pelayanan lebih lanjut.
  • Mengumpulkan mereka yang pernah melakukan tindakan bunuh diri dan membentuk kelompok ”tolong diri” untuk berbagi rasa tentang pikiran, perasaan dan pengalaman mereka. Bantu mereka untuk mengembangkan sikap yang positif, empatik, berbagi rasa dan saling membantu satu sama lain. Dengan berinteraksi, dapat mengubah perasaan dan pikiran mereka dan dengan cara berbagi rasa dan saling belajar satu sama lain, dapat menghilangkan stigma, rasa bersalah, malu dan rasa kesepian.
  • Petugas kesehatan perlu berkontak secara teratur dengan individu dan keluarga untuk mengevaluasi keadaan pelaku.
  • Waspadai masalah potensi bunuh diri pada daerah yang baru mengalami bencana alam, gagal panen atau gejolak pada kelompok sempalan agama (sekte).
  • Dapatkan informasi masalah bunuh diri di masyarakat melalui tokoh masyarakat, pengobat tradisional, dan pemuka agama.


H.           UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH MEDIA MASSA

Media massa (cetak dan elektronik) berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat. Walaupun media punya kebebasan untuk menayangkan berita, namun mereka harus menyadari akibat dari berita tersebut terhadap masyarakat.

Sejumlah novel, televisi, film, majalah dan surat kabar melaporkan peristiwa bunuh diri sebagai tindakan yang berani dan menjelaskan secara rinci cara bunuh diri yang dilakukan oleh individu atau kelompok. Data menunjukkan bahwa dengan penayangan demikian ternyata angka bunuh diri di masyarakat menjadi meningkat. Jadi media dapat berperan negatif atau positif dalam membentuk pemikiran dan perilaku masyarakat.

Media massa sebaiknya melakukan hal berikut:
  • Laporan tentang bunuh diri perlu menekankan bahwa setiap bunuh diri merupakan kerugian bagi masyarakat.
  • Hati-hati menayangkan ”celebrity suicide”, jangan dianggap sebagai tindakan pahlawan. Berikan publikasi yang minimal terhadap hal tersebut.
  • Hindari memberikan penjelasan yang rinci tentang cara dan tempat bunuh diri, karena masyarakat ingin tahu dan melihat tempat tersebut dan mungkin pula melakukannya dengan motif dan cara yang sama. Bila terdapat tempat dengan risiko tinggi, maka media perlu menekankan bagaimana cara membuatnya lebih aman.
  • Bunuh diri tidak terjadi karena faktor tunggal. Jangan menyalahkan korban, karena tindakan tersebut disebabkan oleh kombinasi berbagai penyebab. Tekankan bahwa gagal bercinta, tidak lulus ujian, tidak jadi ke luar negeri bukan merupakan penyebab bunuh diri. Masyarakat perlu diberi informasi bagaimana cara menghindari tindakan bunuh diri.
  • Pemberitaan bunuh diri di media massa merupakan beban yang memalukan bagi keluarga.
  • Beritakan tanda-tanda  yang perlu diwaspadai yaitu bencana sosial, masalah ekonomi dan gangguan jiwa (khususnya depresi). Pada situasi tersebut perlu kerjasama yang erat dengan petugas kesehatan.
  • Berikan penjelasan dampak bunuh diri kepada individu yang selamat, pegawai dan keluarganya serta akibat terhadap individu baik jangka pendek maupun jangka panjang.
  • Jelaskan tentang miskonsepsi, budaya, keyakinan dan mitos tentang bunuh diri. Menimbulkan kewaspadaan dan mengubah pemikiran masyarakat merupakan salah satu dari tanggung jawab media.
  • Media lokal dapat memberikan informasi tentang ”hotline service”, pusat pencegahan krisis, pusat pengobatan keracunan, atau LSM yang dapat memberikan bantuan kepada individu dan keluarganya.
  • Pemilihan kalimat seperti ”bunuh diri yang berhasil” atau ”bunuh diri yang lengkap” dapat mengubah persepsi masyarakat.
  • Media massa perlu bekerja sama yang erat dengan petugas kesehatan sebelum menayangkan berita.
 I.          UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH GURU

Belakangan ini bunuh diri pada anak dan remaja semakin meningkat. Penyebab utama adalah kegagalan di sekolah, masalah tekanan dari orangtua, tuntutan prestasi sekolah terlalu tinggi, putus cinta dan konflik.

Perilaku merusak pada remaja seperti merokok, minum alkohol dan kegiatan seks bebas juga semakin meningkat. Sekolah dan perguruan tinggi berfungsi sebagai tempat membangun kehidupan individu dan dapat memainkan peranan penting dalam mencegah perilaku merusak diri tersebut. Membangun sistem nilai, menyiapkan aspirasi individu yang dapat diterima dan menanamkan mekanisme tujuan yang sesuai, merupakan hal yang penting dalam mencegah tindakan bunuh diri pada kelompok usia muda.

Yang dapat dilakukan guru antara lain:
  • Memberikan pendidikan keterampilan hidup yang dikombinasikan dengan pendekatan pemecahan masalah merupakan modal untuk menghadapi dan mengatasi kehidupan dengan cara yang realistik dan optimistik.
  • Periode transisi dari masa kanak ke remaja selalu merupakan fase yang bergejolak. Berbagai masalah perilaku seringkali ditemukan pada masa ini (afek yang tak stabil, impulsif, kesulitan dalam pertahanan diri, sedang mencari identitas diri, berfantasi, perilaku merusak, marah, anxietas, perasaan yang kompleks tentang diri sendiri dan orang lain serta ketertarikan pada sesama jenis). Perlu dibantu terbentuknya citra dan identitas diri yang mantap agar dapat mengatasi krisis masa peralihan ini dengan efektif.
  • Penganiayaan anak juga merupakan masalah yang seringkali timbul yang disebabkan oleh masalah di rumah atau di lingkungan. Anak tersebut sering menjadi korban dan mengalami trauma serta takut untuk berbagi masalahnya dengan orang lain, karena alasan keluarga dan budaya. Mereka membutuhkan dukungan dan bantuan untuk mengatasi stres mental mereka dan belajar mekanisme pertahanan diri.
  • Remaja tertentu memerlukan perhatian khusus di sekolah karena mereka mempunyai risiko tinggi untuk tindakan bunuh diri. Ciri anak tersebut adalah: kurang minat dalam bidang pelajaran dan sekolah, menurunnya prestasi akademis, sering tidak masuk sekolah, sering terlibat perilaku merusak, perokok berat, alkohol atau NAPZA lain, harga diri rendah, gangguan makan dan tidur serta meningkatnya derajat kecemasan.
  • Anak khususnya yang berasal dari lingkungan keluarga yang berantakan, orangtua tunggal, orangtua bercerai, konflik perkawinan, orangtua pengangguran dan keluarga besar dengan penghasilan rendah merupakan kelompok risiko tinggi untuk bunuh diri. Dalam hal ini guru perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan untuk mengubah sikapnya agar mampu bertindak sebagai media untuk mengubah perilaku siswa (”agents of change”).
  • Guru perlu menjadi lebih adaptif secara sosial dan psikologis untuk mengubah realitas. Guru harus mengidentifikasi ”anak yang mengalami krisis” sejak dini dan guru perlu melakukan konseling atau merujuk mereka ke pelayanan yang sesuai.
  • Anak perlu dilengkapi dengan keterampilan sosial, membangun rasa percaya diri, saling berbagi situasi krisis dengan yang lain, mencari saran dan bahan pertimbangan untuk membuat pilihan dan terbuka untuk pengetahuan baru. Guru perlu menciptakan lingkungan yang sehat untuk interaksi yang positif diantara siswa dan guru.
  • Meningkatkan harga diri siswa dan membantu mereka mengatasi situasi stres dengan berbagi pengalaman hidup yang positif, mengurangi tekanan yang ditimbulkan oleh sekolah dan berkomunikasi dengan cara yang positif dengan anak-anak merupakan hal yang sangat diperlukan.
  • Menciptakan sekolah agar menjadi tempat yang sehat melalui pengembangan kegiatan sekolah yang lebih baik, membina hubungan interpersonal dan mencegah perilaku berbahaya akan meningkatkan interaksi yang lebih baik diantara siswa dan guru.
  • Mengupayakan program intervensi krisis untuk menyelesaikan konflik interpersonal, membantu anak-anak yang mengalami gangguan penggunaan NAPZA dan meningkatkan komunikasi yang saling mempercayai merupakan intervensi yang vital di institusi pendidikan.
  • Mengembangkan pelayanan konseling secara teratur dan segera merujuknya ke sarana yang tepat bila guru sendiri tidak mampu mengatasi masalah tersebut.
  • Membina komunikasi dan interaksi antara orangtua dan guru untuk membicarakan perkembangan kepribadian anak secara keseluruhan, tidak hanya sekedar membicarakan pencapaian atau kegagalan akademik.
  • Mengidentifikasi anak dengan risiko tinggi dan melibatkan orangtua serta teman untuk mengatasi masalahnya, akan mengurangi risiko tindakan bunuh diri pada anak.

J.        UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PEMU-KA AGAMA DAN PENGOBAT TRADISIONAL

Tokoh agama dan pengobat tradisional mempunyai posisi yang unik di masyarakat karena pamor, posisi, kebijakan dan kemampuan mereka untuk mempengaruhi nilai-nilai dan keyakinan masyarakat. Sementara dimensi spiritual dan religi dari tindakan bunuh diri masih diperdebatkan, namun perlu disadari bahwa kehidupan manusia itu sangat berharga. Karena masyarakat mempunyai keyakinan, penghargaan dan kepercayaan yang besar terhadap tokoh agama, maka tokoh agama dan pengobat tradisional perlu menekankan kenyataan bahwa bunuh diri dapat dicegah dan individu dapat ditolong melalui konseling, pengobatan dan pemberian dukungan. Tokoh agama perlu menekankan akan pentingnya kehidupan dan makna kehidupan itu sendiri dengan meningkatkan nilai-nilai dan keyakinan yang positif tanpa bersikap menghakimi.

Pengobat tradisional perlu dilibatkan dalam kegiatan pencegahan bunuh diri di tingkat masyarakat karena mereka seringkali merupakan kontak pertama terhadap berbagai masalah kesehatan. Jika mereka dapat memainkan peran yang positif dalam mengenali perilaku dan pikiran bunuh diri, keadaan depresi serta dapat memberikan dukungan emosional kepada masyarakat, maka hal ini merupakan langkah yang amat penting. Beberapa cara penanganan yang biasa dilakukan adalah berdoa, meditasi, puasa dan lain-lain. Walaupun belum ada penelitian yang dilakukan untuk mengevaluasi efektivitasnya dalam mengatasi masalah psikologis tertentu, namun cara tersebut telah diterima secara luas di masyarakat. Sangat penting untuk mengembangkan pengertian yang lebih baik tentang peran dari sistem ini digabungkan dengan metode yang positif, tidak berbahaya dan dapat diterima oleh masyarakat. Keterlibatan tokoh agama dalam kegiatan pengambilan keputusan di masyarakat akan membantu meningkatkan solidaritas di masyarakat.

BAB V
RUJUKAN

 A. Batasan dan Pengertian

Rujukan adalah upaya pelimpahan tanggung jawab timbal balik secara vertikal maupun horizontal dari tingkat pelayanan dasar kepada tingkat pelayanan rujukan atau sebaliknya sehingga gangguan jiwa memperoleh pelayanan yang lebih sesuai dengan kebutuhan.
Pada umumnya gangguan kesehatan jiwa dapat dilayani di sarana pelayanan kesehatan dasar, namun pada kasus yang berat (yang membahayakan pasien atau orang lain) seperti TBD yang membutuhkan perawatan di rumah sakit, dapat dirujuk ke sarana pelayanan rawat-inap. Begitu juga pasien yang membutuhkan terapi yang lebih mendalam (psikoterapi) dapat dirujuk kepada tenaga ahli kesehatan jiwa. Rujukan juga dapat dilakukan dengan cara konsultasi melalui media komunikasi seperti surat, telepon, fax, e-mail kepada tenaga ahli terdekat. Sebaliknya rujukan juga dilakukan terhadap pasien yang telah dirawat di pelayanan rawat-inap kepada puskesmas untuk dilakukan perawatan lanjutan.
  
Menurut Sistem kesehatan Nasional, upaya rujukan kesehatan pada dasarnya meliputi :

1. Rujukan Kesehatan
Upaya ini menitikberatkan pada upaya promotif dan preventif, misalnya
-    bantuan teknologi, misalnya buku-buku pedoman: penyuluhan, pelayanan, terapi, rehabilitasi tentang pencegahan TBD
-    bantuan sarana, misalnya obat obatan psikotropik, peralatan seperti TKL (terapi kejang listrik) untuk TBD dengan latar belakang depresi
-    bantuan operasional, misalnya bantuan pelaksanaan survei kesehatan jiwa, termasuk survei angka TBD di wilayah kerja Puskesmas.

2. Rujukan Medik

Menitikberatkan pada upaya kuratif dan  rehabilitatif, terdiri atas, misalnya:
-    pelimpahan pasien jiwa rujukan,
-    alih pengetahuan dan keterampilan melalui pelatihan
-    bimbingan teknis bikonsultasi dokter spesialis kedokteran jiwa ke puskesmas, dalam rangka meningkatkan pengetahuan tenaga puskesmas dalam penanganan kasus gangguan kesehatan jiwa yang dapat dilakukan di puskesmas

Bentuk rujukan ini dapat di lakukan secara berkala melalui kerjasama antara Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota dan RSUD  

§    Indikasi utama pelaku TBD yang dirujuk adalah yang memiliki :
1.      Gangguan psikiatri dan atau adanya riwayat bunuh diri pada masa lalu
2.      Adanya riwayat keluarga yang melakukan bunuh diri, mengkonsumsi alkohol atau gangguan jiwa
3.      Riwayat kesehatan fisik yang buruk
4.      Tidak punya dukungan sosial

§    Sikap tenaga kesehatan sewaktu merujuk:
1.      Tenaga kesehatan harus menjelaskan kepada orang dan keluarga tersebut alasan mengapa mereka dirujuk.
2.      Mengatur pertemuan dengan psikiater atau dokter.
3.      Menjelaskan bahwa tindakan merujuk tersebut bukan berarti tenaga kesehatan lepas tangan terhadap masalah ini.
4.      Mengunjungi  orang tersebut setelah melakukan konsultasi.
5.      Melakukan kontak secara periodik terhadap pelaku BD dan keluarganya.



BAB VI
PENUTUP


Pedoman Pencegahan Bunuh Diri diperuntukkan bagi petugas kesehatan yang  berada di Puskesmas dan UGD karena mereka merupakan petugas yang berada di garda terdepan dalam menangani kasus bunuh diri. Dengan adanya pedoman ini diharapkan agar para petugas tersebut dapat melakukan prevensi dan mencegah terulang kembalinya TBD, dan bilamana mereka menemui kasus yang mengarah pada TBD maka dapat merujuk pasien untuk mendapatkan bantuan secara profesional (Psikiater/Psikolog).

Komitmen, kepekaan, pengetahuan dan kepedulian terhadap orang lain, keyakinan bahwa kehidupan ini adalah anugerah yang harus dipelihara sebaik-baiknya, kesemua itu adalah modal dasar petugas kesehatan dalam memperkaya keterampilannya dalam membantu mencegah suatu TBD. 

Diharapkan Buku Pedoman ini dapat dipergunakan sebagai acuan dalam melaksanakan tugas dalam pelayanan kesehatan masyarakat dalam upaya pencegahan dan penatalaksanaan Tindakan Bunuh Diri.


DAFTAR PUSTAKA


Allebeck P, Allgulander C. Psychiatric diagnoses as
predictors of suicide; a comparison of diagnoses at
conscription in Psychiatric care in a cohort of 50,465
young men. Br. J.Psychiatry 1990;157:339-344

Mann JJ. Psychobiologic predictors of suicide. J Clin
Psychiatry 1987;48 (Suppl 12) : 39-43

Media Indonesia Online: Edisi Kesehatan, 7 Februari
2005. Angka Bunuh Diri di Jakarta 5,8 %

Tempo Interaktif, Jumat 13 Februari 2005: Kasus
Bunuh Diri di Gunung Kidul 95 % dengan Cara
Gantung Diri.

US Department of Health & Human Services:
Pragmatic Considerations of Culture in Preventing
Suicide, September 9-10, 2004. Philadelphia PA

WHO. Suicide Prevention : Emerging from Darkness.
2001.

WHO.World Helath Prevention Day- 10 Sep: Suicide
Huge but preventable public health problem.


0 komentar:

Posting Komentar

jadwal-sholat