Nando menatap Sandi untuk meminta kepastian.
“Bagaimana? Kau berminat?”
Sandi termenung. Ia memikirkan ajakan Nando yang mungkin bisa melepaskannya dari tunggakan uang sekolah, tapi beresiko tinggi.
“Kau hanya perlu melakukannya sekali saja untuk melunasi tunggakan uang SPPmu itu, San.”
Sandi menatap temannya itu. Teman yang selama ini menjadi tempatnya berbagi.
“Resikonya tinggi, Nan. Bagaimana kalau aku ketangkap. Kau tahu sendiri kan kalau akhir-akhir ini polisi sering melakukan razia. Apalagi yang kita lakukan itu ilegal.”
Nando menarik napas berat lalu membuangnya keras-keras. “Tapi tidak ada cara lain lagi. Seandainya aku punya uang, aku pasti akan membantumu. Tapi, kau tahu sendiri bagaimana kondisi keluargaku. Ayahku hanya pegawai rendahan yang uangnya cukup makan dan membiayai sekolahku dan adikku, Nindi.”
Sandi ikut menarik napas. Nando benar. Ia tidak punya cara lain lagi untuk mendapatkan uang yang jumlahnya lumayan besar dalam waktu yang singkat, selain cara yang diusulkan Nando.
“Seperti yang kubilang tadi, kau hanya perlu sekali untuk ikutan, pasti tidak bakalan ada razia. Bagaimana?” tanya Nando sekali lagi.
“Aku pikirkan dulu, Nan,” jawab Sandi.
Nando menepuk bahu temannya itu. “Kau pikirkan saja dulu. Tapi, kalau kau setuju, kau bisa datang ke rumahku. Biar kita sama-sama pergi ke tempat itu.”
Sandi mengangguk dengan senyuman hambar.
***
Sandi sampai rumah dalam keadaan benar-benar lelah. Cuaca yang sedang terik membuat perjalanan dari sekolah ke rumah terasa amat panjang baginya. Kini seragamnya sudah basah oleh keringat.
Sandi segera menuju dapur. Ia butuh minuman segar untuk mengganti ion tubuhnya yang hilang karena perjalanan pulang tadi. Ternyata di dapur sudah ada Ibu yang sedang mengaduk adonan bakwan, risoles, pastel, dan lain-lainnya untuk dijual nanti sore.
Sandi baru saja menghabiskan satu gelas air saat Ibu menyadari kehadirannya.
“Kau sudah pulang, San?” Sandi mengangguk sambil meletakkan gelas di atas meja.
“Kau makanlah. Tadi Ibu sudah masak sambal teri goreng dan tumis kangkung kesukaanmu. Kau pasti sudah lapar kan?” lanjut Ibunya sambil tersenyum. Tapi, Sandi bisa melihat kelelahan di wajah Ibunya.
Melihat ibunya Sandi jadi teringat kejadian di sekolah. Tadi, pada jam istirahat ia dipanggil ke ruang guru oleh wali kelasnya. Ia dipanggil karena belum melunasi kewajibannya selama tiga bulan. Wali kelasnya mengatakan Sandi harus segera melunasi uang SPPnya yang menunggak. Sekolah tidak bisa lagi memberinya keringanan. Kalau dalam minggu ini Sandi tidak membayar uang SPPnya, pihak sekolah terpaksa meliburkannya sementara waktu sampai ia melunasi uang sekolahnya itu. Inilah yang membuat Sandi pusing.
Dulu, Sandi tidak pernah merasa sepusing ini memikirkan uang sekolahnya. Bapaknya selalu membayarkannya tepat waktu di setiap bulannya. Tapi, setahun Bapak meninggal. Saat hendak pergi bekerja, Bapak ditabrak oleh anak pejabat yang mengemudikan mobil ugal-ugalan dalam kondisi mabuk. Sejak kepergian Bapak kehidupan mereka menjadi sulit. Tidak ada lagi kini yang menjadi tulang punggung bagi keluarga mereka.
Memang, Pejabat itu memberi uang duka sebagai permintaan maaf. Dan, anak pejabat itupun bebas dari tuntutan hukum. Beginilah kehidupan di negar ini sekarang, yang berkuasa dan punya uang selalu menang. Yang miskin, terpaksa menerima takdir diri.
Begitupun keluarga Sandi. Berbekal uang duka dari pejabat tersebut mereka menyambung hidup. Namun, uang yang diberikan itu tidak cukup di tengah harga barang yang serba melejit. Sekarang, untuk membiayai kehidupan keluarga Ibu terpaksa bekerja sebagai penjual gorengan. Sandi pernah mengutarakan pada Ibu untuk berhenti sekolah saja agar ia bisa membantu Ibu bekerja. Tapi, Ibu menolaknya tegas. Ibunya ingin Sandi tetap sekolah. Karena hanya itu yang nantinya akan mengubah nasib keluarga mereka.
Tapi sekarang, apakah Sandi akan bisa tetap bersekolah jika kehidupan mereka terus-terusan seperti ini? Jangankan untuk membiayai sekolahnya, untuk makan saja mereka susah. Gorengan yang dibuat Ibu akhir-akhir ini sering tidak laku.
“Kau sedang memikirkan apa, San?” tanya Ibunya membuat Sandi tersadar dari lamunannya.
“Tidak ada, Bu,” jawab Sandi memilih untuk berbohong.
“Kalau tidak ada, segeralah kau makan.”
Sandi mengangguk. Ia berjalan menuju rak untuk mengambil piring. Saat Sandi hendak menyendok nasi ke dalam piring, Ibunya berkata, “San, bulan ini sepertinya Ibu belum bisa membayar uang sekolahmu. Kalau gurumu nagih, kau minta tangguh lagi, ya. Bilang Ibu akan membayarnya bulan depan.”
Sandi tidak jadi menyendok nasinya. Ia menoleh pada Ibu, dan melihat rasa bersalah di wajah ibunya. Hal itu membuat dada Sandi sesak.
“Iya, Bu,” akhirnya hanya itu yang bisa ia katakan dengan suara serak.
Kini ia kembali menatap nasi, sambal teri goreng dan tumis kangkung di hadapannya. Mendadak selera makannya hilang.
***
“Jadi kau setuju?” tanya Nando saat sore hari Sandi datang ke rumahnya. Saat itu mereka sedang duduk di teras rumah Nando yang teduh karena dilindungi pohon mangga.
Sandi mengangguk. Ia tidak punya cara lain lagi. Jadi, kalau ia ingin tetap bersekolah, ia harus melakukan ini. Meski beresiko tinggi.
“Kalau begitu nanti kita ke sana jam 7 malam. Masalah motor, kau jangan risau. Kau pakai saja motorku ini. Cuma itu yang bisa kulakukan untuk membantumu, San.”
Sandi tersenyum. “Makasih, Nan. Kau memang teman terbaikku.”
“Kau sudah izin sama Ibumu akan pulang malam, kan?” tanya Nando.
“Sudah. Tadi aku bilang belajar kelompok di rumahmu.”
Sekarang masih jam setengah enam. Jadi, masih ada waktu satu jam lebih sebelum mereka pergi ke tempat yang telah mereka sepakati.
Tepat jam 7 mereka sudah bersiap-siap. Setelah minta izin pada orangtua Nando dengan alasan belajar di rumah Sandi mereka berangkat. Tentu saja orang tua Nando percaya karena selama ini Nando memang sering belajar di rumah Sandi, begitupun sebaliknya.
Ternyata tempat yang mereka datangi adalah terminal bus yang pada malam hari ramai oleh anak-anak muda untuk mengikuti balapan liar. Saat mereka datang, beberapa orang langsung menyambut mereka. Ternyata mereka teman-teman Nando.
“Sudah mulai balapannya?” tanya Nando pada cowok jangkung yang tadi menyambut mereka.
“Belum. Sebentar lagi sepertinya. Kau sudah kangen ingin balapan lagi, ya?” tanya cowok itu sambil mengisap rokoknya.
“Bukan aku, Don. Tapi, temanku ini.” Nando menunjuk Sandi. Cowok itu hanya mengangguk.
Beberapa menit kemudian orang-orang mulai membariskan motor mereka. Balapan akan segera dimulai. Cowok jangkung tadi ikut membariskan motornya.
“Kau siap?”
Sandi menelan ludah. Tiba-tiba ia ragu. Apakah ia yakin untuk melakukan hal beresiko seperti ini demi mendapatkan uang?
“San,”
Sandi menatap Nando. Ia tidak mungkin mundur lagi. Akhirnya ia mengangguk. Nando menyerahkan kunci motornya pada Sandi. Sandi menerimanya lalu ikut berbaris. Hatinya berdebar-debar saat melakukan ini.
Sebelum acara balapan dimulai, seorag cowok berkepala plontos mengenakan jaket kulit hitam menerangkan tentang rute balapan. Lalu ia juga menyebutkan bahwa hadiah bagi pemenang balapan ini adalah uang sebesar 1 juta rupiah.
Setelah mengumumkan hal itu, cowok itu menepi. Ia memberi aba-aba untuk memulai acara balapan.
Satu. Dua. Tiga ….
Puluhan motor yang tadi berbaris melaju dengan kecepatan tinggi. Termasuk Sandi. Dengan kemampuannya yang pas-pasan ia melajukan motor Nando secepat mungkin. Ia harus memenangkan balapan ini. Ia harus mendapatkan hadiah uang itu untuk tetap bisa bersekolah.
Baru saja balapan memasuki lap kedua, tiba-tiba terdengar suara serine mobil polisi yang melakukan razia penertiban. Para pembalap yang tadi melaju mengikuti rute, kini berhamburan ke segala arah. Sebisa mungkin mereka menyelamatkan diri. Para penontonpun ikut berlarian ke sana-sini menyelamatkan diri dari tangkapan polisi.
Sandi juga begitu. Ia juga tidak lagi memikirkan tentang balapan dan uang hadiah. Sekarang yang ia inginkan hanya menyelamatkan diri dari kejaran polisi. Tapi kedatangan polisi yang mendadak membuat pikiran Sandi kalut. Ia tidak tahu harus lari kemana agar selamat. Ia bahkan tidak peduli dengan Nando yang entah pergi kemana.
Tapi, kemanapun mereka lari percuma. Ternyata polisi telah merencanakan kegiatan razia ini. Balapan liar yang dilakukan di terminal itu sudah jadi incaran mereka karena sering membuat warga sekitar resah. Makanya razia malam ini mereka telah mengepung titik-titik yang kemungkinan menjadi jalan bagi para pembalap melarikan diri.
Sandi yang sudah berusaha untuk kabur ternyata tertangkap juga. Dirinya diringkus bersama tiga orang pembalap liar lainnya. Motor Nando yang ia pakai sudah diamankan polisi. Saat dirinya dibawa untuk naik ke mobil patroli ia bertemu dengan Nando. Ternyata Nando juga tertangkap. Temannya itu menatapnya ketakutan dan tubuh gemetaran. Sama seperti dirinya.
Mobil patroli kini membawa mereka ke kantor polisi. Selama perjalanan kepala Sandi tertunduk. Ia teringat tentang masalah yang ia hadapi, teringat tentang ibunya yang sudah bekerja keras untuk kehidupan mereka selama ini, dan juga teringat dengan uang untuk membayar SPPnya jika memenangkan balapan ini.
Tapi kini semua sia-sia. Ia tidak akan mendapatkan uang sepeserpun. Ia pasti akan diberhentikan karena telah melakukan balapan liar yang termasuk tindakan criminal karena telah mengganggu keamananan dan kenyamanan masyarakat.. Lebih buruknya lagi ia akan membuat ibunya sedih dan kecewa karena keputusannya yang memilih jalan pintas untuk mendapatkan uang banyak dalam waktu singkat.
“Biarpun kita orang susah, San, jangan sesekali berpikiran untuk mendapatkan uang secara jalan pintas dengan tindakan kriminal, seperti mencuri atau menipu orang. Jangan sesekali melakukan itu. Karena ibu pasti akan kecewa.”
Sandi teringat kembali pesan yang sering disampaikan Ibu padanya. Air mata sandi jatuh. Ia menangis. Sandi menyesal telah menyetujui Nando untuk ikut balapan liar ini demi mendapatkan uang.
Tapi, semua sudah terjadi. Dan, penyesalan tidak pernah mengubah keadaan.
0 komentar:
Posting Komentar