E-Therapy untuk Meningkatkan Efikasi Akademik dan Menurunkan Stres Pada Remaja
dengan Konflik Orangtua-Anak
Aswendo Dwitantyanov Neila
Ramdhani
Universitas Gadjah Mada Universitas
Gadjah Mada
ABSTRAK
Efikasi diri sebagai
keyakinan terhadap kemampuan yang dibutuhkan pelajar untuk dapat memenuhi
tuntutan akademiknya. Permasalahan hubungan orangtua-anak merupakan stresor yang
dapat menurunkan efikasi akademik yang kemudian menghambat pencapaian tujuan
akademis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran etherapy berbasis humanistik dalam meningkatkan efikasi akademik
serta menurunkan stres pada remaja yang mengalami konflik hubungan
orangtua-anak. Hipotesis dalam penelitian ini yaitu etherapy dapat meningkatkan efikasi akademik dan menurunkan stres
pada remaja yang mengalami konflik hubungan orangtua-anak. Partisipan dalam
penelitian ini adalah 5 orang remaja yang mengalami konflik hubungan dengan
orangtua. Penelitian ini menggunakan desain subjek tunggal B-A-B. Data diukur
dengan menggunakan skala efikasi akademik (α= 0,862), Depression Anxiety Stress Scale atau DASS-21 (α= 0,720), dan behavioral checklist untuk memantau
perkembangan klien setiap sesi terapi. Observasi dan wawancara digunakan untuk
melengkapi data penelitian secara kualitatif. Analisis data menggunakan teknik
inspeksi visual dan analisis kualitatif berdasarkan rekam percakapan terapi dan
wawancara tindak lanjut. Penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh etherapy dalam meningkatkan efikasi
akademik dan menurunkan stres remaja yang mengalami konflik hubungan
orangtua-anak.
Kata Kunci : e-therapy, efikasi akademik, stres,
konflik orangtua-anak
Every student needs to have self-efficacy of their own abilities to
cope with burdens and academic demands. Relationship problem between
parent-children can be the stressor that will affect self-efficacy and academic
achievement. The aim of this research is to find out the role of internet
support group therapy based on humanistic approach method for improving
self-effication and reducing stress level on adolescent who have
parent-children conflict. The participants of this research are five adolescents
who have parent-children conflict. This research will use single-case subject
method with B-A-B desing. All datas will be collected by self-efficacy’s scale (α=
0,862, DASS-21 (α= 0,720), Ana checklist as additional tools to control
individual’s complaint between sessions of the intervention. For getting more
richer result from qualitative data, this research will be equipped with
interview and observation technique. Hypothesis was tested by using visual
inspection and qualitative analysis based on documents during the process of
therapy and follow-up interview. The results showed a change in the dependent. Stress
levels in each participant has decreased and academic self-efficacy in each
participant experiencing an increase.
Keywords : e-therapy, academic self-efficacy, stress, parent-children
conflict
E-therapy dengan Perspektif
Psikologi Humanistik
E-therapy
merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses terapi yang
dilakukan melalui media perantara, sehingga tidak terjadi tatap muka langsung
antara terapis dan klien. Kemajuan ilmu pengetahuan mendorong semakin besarnya
kebutuhan terhadap layanan kesehatan mental (Kidd & Keengwe, 2010). Sekitar
47,7% individu mencari informasi kesehatan dan bantuan profesional melalui
internet dan 50% diantaranya remaja usia sekolah (Maples & Han, 2008; Cline
& Haynes, 2001). Berkembangnya model etherapy
mengurangi kendala demografis dan ketersediaan waktu baik dari terapis maupun
klien (Maples & Han, 2008; Riva, 2004).
Penelitian mengenai e-therapy menunjukkan efektivitas dan manfaatnya untuk diterapkan
dalam bidang psikologi, misalnya terkait masalah fobia (Riva, 2004), stres (Houghton,
2008, Riva, 2004), gangguan kecemasan serta depresi (Spek, Cuijpers, Nyklícek,
dkk, 2007; Marks, Kenwright, McDonough, dkk, 2004; Riva, 2004), dan masalah
terkait keluarga (King, Bambling, Reid, dkk, 1998; Wang, Zhou, Lu, dkk, 2011).
Pendekatan humanistik dalam terapi kelompok berbasis
internet cukup efektif untuk mengatasi masalah-masalah emosional dan stres, terutama
pada remaja (Gackenbach, 2011). Rogers (1959) menekankan pendekatan humanistik
berfokus untuk memfasilitasi perasaan klien melalui genuineness, realness or cogruence; acceptance or caring or prizing –
unconditional positive regard, serta
empathic understanding. Etherapy dalam penelitian ini menekankan
proses di dalam kelompok, sehingga klien mampu mengekspresikan pengalaman dan
perasaannya, serta mampu menilai sendiri makna di balik kejadian tersebut dan
menghadapinya.
Efikasi Akademik
Efikasi
diri merupakan keyakinan
seseorang akan kemampuannya untuk mengatur dan melakukan tindakan-tindakan
yang seharusnya dilakukan
untuk mendapatkan hasil
yang diharapkan (Bandura, 1997). Individu dengan efikasi akademik yang tinggi
cenderung memotivasi dirinya, memusatkan perhatian dan mengerahkan usaha serta
berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialami.
Efikasi diri berkaitan dengan level proses
yang kompleks yaitu kognitif, motivasional, afeksi dan seleksi perilaku
(Bandura, 1997). Studi menunjukkan efikasi diri dapat ditingkatkan melalui penerapan
komunikasi di dalam keluarga yang terbuka, memberikan dukungan emosional, serta
monitoring dan manajemen emosional (Caprara, Scabini, & Regalia, 2006). Remaja
yang mengalami konflik dengan orangtua rentan terhadap masalah penyesuaian diri,
kecemasan, depresi, perilaku agresif, perilaku antisosial, rendahnya
kepercayaan diri, rendahnya efikasi diri, dan masalah-masalah psikososial
lainnya (Qin, Rak, Rana, dkk, 2012; Yeh, Tsao, & Chen, 2010; ; Gerard,
Krishnakumar, & Buehler, 2009; Buehler & Gerard, 2002). Efikasi akademik
remaja berhubungan dengan kedekatan emosional terhadap keluarganya (Bandura,
1997). Konflik yang terjadi di dalam keluarga menyebabkan orangtua kurang
toleran terhadap anak, sehingga anak mudah mengalami kondisi distres dan berpotensi
menumbuhkan perasan tidak bahagia yang menyebabkan remaja cenderung memiliki
efikasi yang rendah.
Stres
Stres didefinisikan sebagai kondisi tekanan
atau tuntutan yang dialami individu agar mampu menyesuaikan diri dengan
perubahan yang terjadi di lingkungan (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Stres
bersumber dari primary appraisals,
yaitu penilaian terhadap suatu kejadian dan secondary
appraisals, yaitu potensi dalam diri untuk menanggulangi stres (Lazarus
& Folkman, 1984).
Stres berarti suatu mekanise fisiologis yang
biasanya dialami sebagai kondisi emosi negatif yang melibatkan perilaku,
perubahan neuroendokrin, dan respons fisiologis akibat penilaian situasi yang
dianggap mengancam, bahaya, atau penuh ketegangan (Lazarus & Folkman, 1984).
Konflik yang terjadi di dalam keluarga menyebabkan remaja kurang mendapatkan
dukungan emosional, sehingga berpengaruh pada tingginya tingkat stres remaja
(Auerbach, Bigda-Peyton, Eberhart, dkk,
2011; Nevid, Rathus, & Greene, 2005; Lazarus & Folkman, 1984). Konflik
yang dirasakan anak berkaitan dengan buruknya strategi coping dalam menghadapi masalah (Watzlawick, 1967) serta rendahnya
efikasi akademik (Caprara, Scabini, & Regalia, 2006).
Model terapi dalam penelitian ini berfokus
pada dinamika kelompok dalam membantu partisipan menemukan insight terhadap masalah dan saling memotivasi menghadapi masalah,
serta mengaktualisasikan diantara para klien (Corey, Corey, & Corey, 2010).
Proses ini dilakukan dengan bantuan media internet, yaitu chatroom. Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh Etherapy untuk meningkatkan efikasi akademik
dan menurunkan stres remaja yang mengalami konflik hubungan orangtua-anak.
Metode Penelitian
Variabel
Penelitian ini memiliki tiga variabel, yang
terdiri dari satu variabel bebas yaitu Etherapy
berbasis humanistik serta dua variabel tergantung yaitu stres dan efikasi akademik.
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah 5 orang remaja yang menempuh pendidikan
sekolah menengah pertama (usia 15-18 tahun) yang berdomisili di wilayah Sleman,
Yogyakarta. Kriteria pemilihan partisipan adalah (a) mengalami konflik dengan
orangtua, baik ayah maupun ibu; (b) belum menikah dan secara finansial masih
bergantung dari orangtua; (c) partisipan juga harus memenuhi kriteria tingkat
stres yaitu minimal dalam kategori sedang (skor DASS-21 yaitu 8-9) dan efikasi akademik
dalam kategori minimal sedang (skor skala efikasi akademik yaitu 13-38).
Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan beberapa instrumen
penelitian yaitu (a) DASS-21 (n=21 item, α= 0,720) merupakan instrumen yang
digunakan untuk melihat tingkat stres dan merupakan versi ringkas dari DASS-42.
(b) Skala efikasi akademik (n=13 item, α= 0,862) disusun berdasarkan
aspek-aspek efikasi diri yang dikemukakan oleh Bandura (1997) yaitu level, strength, dan generality. (c) Behavioral checklist
berisi indikator perilaku yang menunjukkan kondisi stres dan rendahnya efikasi akademik.
Pengukuran
Pengukuran yang dilakukan dalam beberapa
tahap, yaitu pra observasi, sebelum dan sesudah intervensi, selama proses
intervensi, serta follow-up 2 minggu
dan 4 minggu. Pengukuran pra observasi merupakan pengukuran yang digunakan
untuk melihat kondisi variabel yang diukur yang berguna sebagai data awal klien.
Pengukuran pra observasi dilakukan 2 kali. Pengukuran pra observasi, sebelum
dan sesudah intervensi, serta follow-up
menggunakan skala efikasi akademik, DASS-21, dan behavioral checklist. Sedangkan, pengukuran selama proses
intervensi hanya menggunakan behavioral checklist.
Desain Penelitian
Penelitian ini menerapkan BAB single-case experiment design (n= 5 partisipan), yaitu diawali dengan
pemberian intervensi (fase B1), kemudian mengganti dengan kondisi baseline (fase A), hingga pemberian
intervensi kembali (fase B2).
Analisis Data
Analisis data menggunakan inspeksi visual,
yaitu metode yang digunakan pada penelitian single-case
dengan tujuan untuk melihat perubahan kondisi selama proses pemberian terapi
secara terus menerus dengan melakukan analisis perubahan level, stabilitas
level, serta trend (Sunanto, Takeuchi,
& Nakata, 2005; Creswell, 2002; Barlow & Hersen, 1984). Analisis didukung
oleh data kualitatif yaitu rekaman percakapan proses terapi dan wawancara
tindak lanjut.
1. Uji coba skala efikasi akademik pada remaja
dengan karakteristik serupa dengan partisipan dalam penelitian (n=60). Dari
hasil uji coba, jumlah item yang gugur untuk skala efikasi diri yaitu sebanyak
7 item dari 20 item yang disusun (rix > 0,3;
α =0,862), sehingga
jumlah item total skala efikasi akademik yaitu 13 item. Tabel 1 menunjukkan item skala efikasi akademik sebelum
dan sesudah seleksi, dan tabel 2 menunjukkan kategorisasi skor skala efikasi
akademik berdasarkan norma hipotetik:
Tabel 1: Item Skala Efikasi Akademik Sebelum dan Sesudah Seleksi
No
|
Aspek
|
Item
Sebelum
|
∑
|
Item
Sesudah
|
∑
|
Favorabel
|
Unfavorabel
|
Favorabel
|
Unfavorabel
|
1
|
Level
|
3, 14, 20
|
1, 15,17
|
6
|
3, 10, 13
|
1, 12
|
5
|
2
|
Generality
|
2, 18, 19
|
7, 8, 10, 12
|
7
|
2
|
5, 7, 9
|
4
|
3
|
Strength
|
4, 6, 11
|
5, 9, 13, 16
|
7
|
4, 8
|
6, 11
|
4
|
|
Jumlah
|
9
|
11
|
20
|
6
|
7
|
13
|
Tabel 2: Kategorisasi Skor Skala Efikasi Akademik Berdasarkan
Norma Hipotetik
Skor Sub Skala
|
Skor
Total Skala
|
Kategori
|
X < (µ-SD)
|
0-12
|
Rendah
|
(µ-SD) ≤ X < (µ+SD)
|
13-25
|
Sedang
|
(µ+SD) ≤ X
|
26-39
|
Tinggi
|
*. µ = (39/2) dan SD= (39/6).
2. Professional judgement modul etherapy humanistik dan
checklist yang dilakukan oleh 2 orang
psikolog. Skor pada behavioral checklist
dikategorisasikan sebagai berikut.
Tabel
3: Rentang Kategori Skor Behavioral Checklist
Rumus
|
Rentang Skor
|
Kategori
|
X < (µ-SD)
|
0-20
|
Rendah
|
(µ-SD) ≤ X < (µ+SD)
|
21-41
|
Sedang
|
(µ+SD) ≤ X
|
42-63
|
Tinggi
|
3. Peneliti melatih seorang terapis dan observer
penelitian. Terapis dalam penelitian ini yaitu psikolog di sebuah Puskesmas di
Kabupaten Sleman, Yogyakarta menguasai teknik psikoterapi humanistik serta
terampil menggunakan media internet dan komputer. Observer adalah seorang
mahasiswa Magister Profesi Psikologi dan telah berpengalaman sebagai pengamat
dalam penelitian serta terampil menggunakan media internet.
4. Uji coba modul dilakukan oleh terapis terhadap
3 orang partisipan yang memiliki karakteristik serupa dengan partisipan.
5. Seleksi partisipan dilakukan terhadap sejumlah
remaja. Proses ini dilakukan melalui konseling psikologis dan mengukur tingkat
stres dan efikasinya. Dari calon partisipan yang memenuhi kriteria tersebut,
kemudian inform consent dilakukan untuk
meminta persetujuan individu untuk terlibat dalam kegiatan kelompok. Dari hasil
seleksi, diperoleh 5 partisipan sebagai partisipan penelitian.
6. Membangun jalinan kepercayaan (rapport) melalui pertemuan antara
terapis dan partisipan. Panjangnya proses rapport
dilakukan selama 4 sesi pertemuan dengan alokasi waktu 30-45 menit tiap
sesinya.
7. Proses intervensi dilakukan (fase B1)
selama 4 sesi yang dilakukan dengan jarak persesi adalah 3 hari. Alokasi waktu
setiap sesi disesuaikan dengan proses psikoterapi humanistik pada umumnya yaitu
50-60 menit (Rogers, 1959). Setelah fase B1 berakhir, intervensi
ditarik dan memasuki fase A, hingga intervensi diberikan kembali (fase B2). Pada awal memasuki fase B1 dan
diakhir fase B2, terapis mengadministrasikan skala efikasi akademik dan
DASS-21. Dalam setiap sesi (fase A dan B), terapis mengadministrasikan checklist untuk memantau perkembangan partisipan.
Terapi diakhiri dengan tatap muka sebagai bentuk evaluasi dan sharing proses yang dilakukan dalam
penelitian. Dalam sesi terakhir, peneliti mengadministrasikan kembali skala
efikasi akademik dan DASS-21. Follow-up
dilakukan 2 minggu dan 4 minggu setelah proses penelitian berlangsung.
Hasil Penelitian
Analisis Kuantitatif
Tingkat Stres
Efek
pemberian intervensi terapi terhadap variabel tergantung stres pada
masing-masing secara kuantitatif dilihat dari perubahan skor pengukuran sebagai
berikut:
Tabel 4: Perubahan Skor
Tingkat Stres Partisipan
Skor
tingkat stres pada pengukuran sebelum dan sesudah intervensi mengalami penurunan
dari kategori tinggi menjadi rendah pada kelima partisipan. Skor pada
pengukuran follow up 2 minggu juga
relatif stabil, meskipun terjadi penurunan skor stres pada partisipan Bil dan
Al yaitu masing-masing 2 poin. Grafik perbandingan skor stres pada
masing-masing remaja antara pra observasi, sebelum intervensi, sesudah
intervensi, dan follow-up 2 minggu
digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1: Grafik Perubahan
Skor Tingkat Stres Partisipan
Efikasi Akademik
Efek
pemberian intervensi terapi terhadap variabel tergantung efikasi akademik pada
masing-masing partisipan secara kuantitatif dilihat dari perubahan skor
pengukuran sebagai berikut:
Tabel 5: Perubahan Skor
Efikasi Akademik Partisipan
Skor
pada pengukuran sebelum dan sesudah intervensi mengalami peningkatan dari
kategori rendah menjadi tinggi pada semua partisipan. Dari data skor follow-up penelitian, terlihat bahwa
masing-masing partisipan mengalami peningkatan skor. Akan tetapi, peningkatan
skor tersebut tidak signifikan dari skor perolehan pada sesudah intervensi,
sehingga masih dikatakan cukup stabil. Grafik perbandingan skor stres pada
masing-masing remaja antara pra observasi, sebelum intervensi, sesudah
intervensi, dan follow-up 2 minggu
digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2: Grafik Perubahan
Skor Efikasi Akademik Partisipan
Perubahan
yang terjadi pada masing-masing partisipan baik pada tingkat stres maupun
efikasi akademik juga didukung oleh data pengukuran behavioral checklist yang dilakukan secara berkala dalam setiap
sesi terapi. Berikut adalah perubahan skor behavioral
checklist pada masing-masing partisipan.
Gambar 3: Skor Checklist Partisipan Pra Observasi, Fase
B1, Fase A, Fase B2, dan Follow-up
Berdasarkan
hasil analisis level, terlihat data masing-masing partisipan selama pra
penelitian (o1 dan o2) cenderung stabil. Pada fase
intervensi pertama (B1, B2, B3, dan B4)
data cenderung variabel atau tidak stabil, dengan level stabilitas
masing-masing partisipan adalah 50%. Hal ini dapat diartikan bahwa intervensi
memiliki efek terhadap tingkat stres dan efikasi akademik masing-masing
partisipan. Hal ini didukung dengan data perbandingan hasil pengukuran checklist pada pra penelitian (o1
dan o2) dan fase intervensi pertama, yaitu B1, B2,
B3, dan B4, terlihat bahwa skor masing-masing partisipan
pada o1 dan o2 mengalami penurunan saat memasuki fase
intervensi pertama yaitu B1 hingga B4. Penurunan skor ini
berarti adanya penurunan tingkat stres dan peningkatan efikasi akademik
partisipan. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh proses terapi terhadap
tingkat stres dan efikasi akademik partisipan.
Lebih
lanjut, selama fase pemberhentian sementara intervensi (A1, A2, dan A3), level
stabilitas masing-masing partisipan adalah 100% yang menunjukkan data cenderung
stabil yang menunjukkan tidak adanya perubahan yang signifikan pada tingkat
stres dan efikasi akademik masing-masing partisipan.
Memasuki
fase intervensi kedua (B5, B6, B7, dan B8),
pada masing-masing partisipan terlihat bahwa level data cenderung variabel atau
tidak stabil. Variasi level beragam mulai dari 0% (pada partisipan Al) hingga
50% (pada partisipan Ade dan Fe). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian terapi
memberikan efek pada tingkat stres dan efikasi akademik partisipan.
Analisis
terhadap trend (kecenderungan
arah) dengan menggunakan metode Split-middle
yaitu menggunakan nilai median masing-masing belahan data, terlihat bahwa trend masing-masing partisipan
menunjukkan efek intervensi proses terapi.
Pada
pengukuran follow-up terlihat bahwa
data masing-masing partisipan relatif stabil. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa etherapy berbasis humanistik
berpengaruh positif untuk menurunkan tingkat stres dan meningkatkan efikasi akademik
partisipan.
Analisis Kualitatif
Berikut
ini adalah bahasan mengenai perubahan pada masing-masing partisipan selama
proses intervensi terapi diberikan.
Partisipan
Al
Al
mengalami perubahan pada tingkat stres sebesar 20 poin dan efikasi akademik
sebesar 23 poin. Sebelum mengikuti proses terapi, Al dalam menghadapi
masalahnya cenderung menggunakan pola perilaku membangkang dan membantah.
Perilaku ini muncul sebagai bentuk mencari perhatian yang disebabkan perasaan
diabaikan oleh kedua orangtuanya. Selama proses terapi, Al belajar dan
menemukan pemahaman bahwa perilaku membangkang dan membantah ini adalah bentuk coping stress yang kurang efektif, sebab
dengan membangkang dan membantah, Al hanya akan mendapatkan masalah baru
lainnya.
Melalui
proses terapi, Al menyadari dan belajar menemukan coping stress yang lebih efektif. Partisipan Al mampu mengalihkan
rasa tidak nyamannya dengan mencoba memaafkan perilaku orangtuanya dan mengatur
jadwal kegiatan sehari-hari. Dengan
belajar memaafkan, Al mampu menciptakan unconditional
positif self-regardnya sendiri. Pengaturan jadwal harian, mengarahkan pencapaian
harapan pribadi. Al merasa setelah mengikuti proses terapi dirinya lebih merasa
rileks yang membantunya lebih mudah berkonsentrasi dalam belajar. Al juga lebih
mudah tidur, sehingga di pagi hari dirinya merasa lebih segar dan bersemangat. Perubahan ini didukung oleh skor perolehan checklist Al yang menurun 45 poin, sebagai
indikasi menurunnya tingkat stres dan meningkatnya efikasi akademik.
Partisipan
Bil
Bil
mengalami perubahan pada tingkat stres sebesar 20 poin dan efikasi akademik
sebesar 30 poin. Bil merasa tidak nyaman saat berada di rumah, sebab kedua
orangtuanya sering bertengkar. Jika sedang marah, orangtua Bil sering turut
memarahinya meskipun Bil tidak melakukan kesalahan. Kondisi ini menyebabkan Bil
memendam rasa marah kepada orangtuanya. Saat memendam masalah, Bil merasa tidak
nyaman karena jantungnya sering berdebar-debar. Selain itu, Bil mengeluhkan
sering pusing dan susah berkonsentrasi saat belajar, terutama saat berada di
rumah.
Saat
Bil merasa tidak nyaman di rumah, Bil sering menghabiskan waktu untuk bermain
di luar rumah. Melalui proses terapi, Bil mendapatkan pemahaman bahwa rasa
pusing dan jantung berdebar-debar yang dirasakan Bil selama ini disebabkan
dirinya memendam rasa marah terhadap orangtuanya selama ini. Perasaan marah partisipan
terhadap orangtua menjadi tidak tersalurkan dan menubuhkan Lack of unconditional positif regard. Melalui proses kelompok, Bil
menyadari perlunya keterbukaan untuk menyatakan perasaan yang dipendamnya
selama ini. Setelah mengikuti proses terapi, Bil menyatakan dirinya lebih banyak
mengabaikan pertengkaran orangtuanya dan menghabiskan waktu belajar di rumahnya
dengan belajar kelompok bersama teman-temannya. Keluhan mudah pusing dan
jantung mudah berdebar-debar yang dirasakan sebelum proses terapi, dirasakan
berkurang selama proses terapi. Perubahan didukung oleh skor checklist Bil yang menurun 45 poin, yang
mengindikasikan menurunnya tingkat stres dan meningkatnya efikasi akademik pada
Bil. Penurunan pada Bil merupakan penurunan yang terbesar dibandingkan pada
partisipan lainnya. Hal ini disebabkan tingkat keterlibatan Bil selama proses
terapi dan keterbukaan diri Bil untuk bercerita di dalam kelompok yang tinggi
dibandingkan dengan partisipan lainnya.
Partisipan
Pan
Pan
mengalami perubahan pada tingkat stres sebesar 14 poin dan efikasi akademik
sebesar 25 poin. Pan menceritakan bahwa dirinya merasa kurang diperhatikan oleh
kedua orangtuanya, karena mereka sibuk bekerja. Pan juga sering menemukan kedua
orangtuanya bertengkar di rumah yang membuatnya jenuh berada di rumah sehingga
Pan lebih banyak menghabiskan waktu bermain di luar hingga larut malam. Sepulangnya
ke rumah, Pan dimarahi oleh orangtuanya. Pan merasa orangtuanya tidak bertanggung
jawab terhadap dirinya, karena mengabaikan dirinya selama ini. Pan merasa
kecewa dan marah pada kedua orangtuanya, tetapi dipendamnya, karena saat Pan
menyatakan kekecewaannya, orangtua justru memarahinya. Pan juga mengeluhkan
saat tidur dirinya mudah terbangun di malam hari, sehingga saat bangun pagi badannya
terasa kurang bugar.
Selama
proses terapi, Pan belajar untuk memahami bahwa di balik perilaku orangtuanya
yang dianggap mengabaikan dirinya, Pan menyadari orangtuanya sibuk bekerja agar
Pan bisa bersekolah. Meskipun dirinya merasa kecewa dan marah terhadap perilaku
orangtuanya, Bil berusaha memaafkan dan memahaminya. Dinamika kelompok terapi
membantu Pan untuk memandang masalah dengan lebih optimis dan berfokus pada
cita-citanya, yaitu menjadi sukses untuk membahagiakan orangtuanya yang telah
berusaha keras bekerja untuk dirinya selama ini. Pan berusaha menyusun jadwal
harian, sehingga dirinya mampu mengatur waktu bermain dan belajar. Setelah
mengikuti proses terapi, Pan merasa lebih mudah tidur dan nyenyak dalam tidur,
serta lebih bersemangat terutama dalam belajar. Perubahan didukung oleh skor checklist Pan yang menurun 41 poin.
Partisipan
Ade
Ade
mengalami perubahan pada tingkat stres sebesar 16 poin dan efikasi akademik
sebesar 23 poin. Ade menceritakan dirinya menyimpan perasaan marah terhadap
ayah yang telah mengabaikan ibu, dirinya, dan saudara-saudaranya. Selama proses
terapi, Ade memahami bahwa dirinya terlalu memikirkan masalahnya, sehingga
mengganggu aktivitasnya, terutama dalam belajar. Ade juga belajar memaafkan
figur ayah dan berfokus pada harapan pribadinya, yaitu membahagiakan
orangtuanya dengan sukses meraih prestasi di sekolah. Melalui proses terapi,
Ade mendapatkan dukungan emosional yang membuat dirinya lebih bersemangat dan
lebih percaya diri. Perubahan dirasakan disambut baik oleh guru-guru dan beberapa
temannya di sekolah, sehingga membuat dirinya semakin termotivasi dalam belajar.
Perubahan didukung oleh skor checklist
Ade yang menurun 37 poin, sebagai indikasi menurunnya tingkat stres dan
meningkatnya efikasi akademik.
Partisipan
Fe
Fe
mengalami perubahan pada tingkat stres sebesar 10 poin dan efikasi akademik
sebesar 19 poin. Klien menyatakan bahwa dirinya merasa marah terhadap ayahnya
yang dianggap tidak bertanggung jawab kepada keluarga, karena sering berjudi
dan marah di rumah. Fe juga sering dimarahi oleh ayahnya karena kesalahan
kecil, misalnya saat membantah perintah ayahnya. Saat marah, ayah Fe mengumpat
dan menggunakan kata-kata kasar kepadanya. Untuk menghindari ayahnya, Fe
menghabiskan waktu untuk bermain di luar rumah hingga larut malam. Sepulang
dari bermain, klien tetap dimarahi oleh ayahnya. Klien merasa tidak berdaya
melawan ayahnya, sehingga menutupi rasa marahnya dengan keluar dari rumah.
Masalah ini dirasakan klien terus-menerus termasuk saat di sekolah, sehingga
dirinya sukar berkonsentrasi saat belajar.
Selama proses terapi, Fe untuk menerima
masalah yang dirasakan dan menemukan aktivitas yang menunjang proses
belajarnya. Fe belajar untuk memandang masalah sebagai proses untuk memperbaiki
diri menjadi lebih baik. Fe merasa lebih lega setelah menceritakan masalahnya
di dalam kelompok terapi, karena sebelumnya dirinya memendam masalah sendiri. Fe
menyatakan dirinya makin bersemangat belajar untuk membahagiakan ibu yang
selama ini memberikan kasih sayang kepadanya. Fe merasa perasaannya lebih
nyaman, sehingga dirinya dapat berkonsentrasi dalam belajar. Terbentuknya
perasaan nyaman ini tidak lepas dari peranan dukungan emosional yang diberikan
oleh anggota kelompok yang lain melalui refleksi empati selama proses terapi
berlangsung. Perubahan ini didukung oleh skor checklist yang menurun 45 poin, sebagai
indikasi menurunnya tingkat stres dan meningkatnya efikasi akademik pada Ade.
Penurunan skor Fe yang lebih rendah dibandingkan partisipan lain disebabkan
tingkat keterlibatan selama proses terapi dan keterbukaan diri untuk bercerita
di dalam kelompok yang cenderung rendah dibandingkan dengan partisipan lainnya.
Diskusi
Secara
umum, etherapy humanistik yang
dilaksanakan terbagi dalam empat tahapan, yaitu self-disclosure, menerima, pemaknaan diri, dan memperdalam. Dalam
tahap self-disclosure, partisipan
dipandu untuk mengungkapkan diri dan masalah yang dirasakannya dan menyadari
mengenai pengaruh masalah tersebut terhadap aktivitasnya sehari-hari serta
memahami emosi yang menyertai masalah tersebut. Selama proses terapi, anggota
kelompok terapi terlihat saling memberikan dukungan emosional dan feedback, sehingga membantu proses
penerimaan diri.
Para
partisipan di dalam keluarga merasa tidak nyaman, kurang diperhatikan, sedih,
benci, dan tidak berdaya. Perasaan-perasaan seperti ini bervariasi pada
masing-masing partisipan, misalnya pada partisipan Fe yang merasa tidak nyaman
karena sering dimarahi oleh ayahnya dan Al yang merasa benci kepada kedua
orangtuanya karena dirinya merasa dianggap seperti anak tiri. Perasaan seperti
ini dapat menghadirkan conditional
positive regard, sehingga mempengaruhi kehidupan partisipan yang lebih
luas, diantaranya sekolah. Pada dasarnya, partisipan memiliki keingnan yang
kuat untuk menyelesaikan masalah yang dirasakannya selama ini, tetapi belum
menemukan cara yang efektif, sehingga menumbuhkan lack of unconditional positive regard terhadap figur orangtuanya.
Pola
penyelesaian masalah pada tiap individu berbeda-beda, misalnya memendam
sendiri. Memendam secara terus-menerus menyebabkan munculnya rasa tidak nyama,
sehingga mengganggu aktivitas partisipan sehari-hari.
Gambar 4:
Dinamika Masalah Partisipan
Lebih
lanjut, tumpukan perasaan kesal, marah, benci, dan kecewa yang tidak
tersalurkan menyebabkan gejala fisik pada tubuh partisipan, misalnya pada Pan,
ketika merasa jengkel kepada orangtuanya, tubuhnya merasa gemetar dan seperti
mau pingsan. Di sini terlihat hubungan antara masalah yang dirasakan
partisipan, kondisi emosional, dan kondisi fisik partisipan. Gejala yang
dirasakan merupakan indikator perilaku stres secara umum. Lack of unconditional positive regard membuat partisipan merasa
kurang percaya diri dan takut akan kegagalan, serta melihat peristiwa yang
terjadi dari sisi buruk.
Pada
masing-masing partisipan, terlihat bahwa tingkat stres berkorelasi terhadap efikasi
akademik. Tingkat stres yang tinggi menandakan rendahnya efiaksi akademik. Efikasi diri bersumber pertama kali
dari keluarga sebagai modal persuasi sosial bagi individu (Bandura, 1997). Konflik
di dalam keluarga dapat menjadi predikator rendahnya efikasi akademik individu. Rendahnya efikasi akademik masing-masing partisipan, terlihat dari
skala efikasi akademik, yang
termainfestasi dalam perilaku membolos di sekolah, sukar berkonsentrasi, dan rendahnya
motivasi belajar. Dalam hal ini, terlihat hubungan antara konflik yang
dirasakan partisipan, tingkat stres dan rendahnya efikasi diri partisipan di
sekolah. Reaksi stres juga memunculkan beberapa masalah fisik seperti pusing,
pingsan, gangguan dalam pola tidur, dan mudah lelah.
Pendekatan
humanistik dalam terapi kelompok berbasis online
terlihat efektif dalam membantu partisipan untuk menurunkan tingkat stres
dan meningkatkan efiaksi akademik. Membangkitkan motivasi dengan menanyakan
keinginan pribadi partisipan saat ini mampu memotivasi partisipan untuk melihat
masalah dari perspektif yang berbeda, yaitu potensi yang ada di dalam dirinya.
Partisipan belajar untuk mengambil manfaat di balik masalah dan menjadikannya
bahan pembelajaran pribadi.
Refleksi
empati, penerimaan tanpa syarat di dalam kelompok terapi, serta saling
memberikan dukungan emosional memberikan rasa nyaman, memunculkan insight, serta menciptakan unconditional positif regard pada klien
dalam menghadapi masalahnya. Terciptanya unconditional
positif regard menumbuhkan rasa berdaya dan nyaman partisipan dalam
menghadapi masalahnya. Rasa berdaya dan nyaman berkorelasi positif dengan
keyakinan akan kemampuan diri sendiri untuk dapat mencapai harapan-harapan
pribadi terutama berkaitan dengan akademik, sehingga gejala-gejala stres yang
terjadi dapat direduksi. Insight yang
diperoleh dari proses kelompok terapi membantu partisipan dalam menemukan coping stress yang lebih efektif dan potensi
diri serta mendukung tercapainya harapan-harapan pribadi.
Dari
perkembangan para partisipan, peneliti melihat adanya perubahan dalam pola coping stress yang dilakukan oleh para partisipan.
Perubahan ke pola yang lebih adaptif dengan berfokus pada harapan-harapan
pribadi menimbulkan efek positif yaitu menurunnya gejala stres dan meningkatnya
efikasi akademik. Perubahan yang terjadi
seperti yang disampaikan oleh partisipan selama proses terapi didukung oleh
data pengukuran skala dan checklist
penelitian.
Hasil
penelitian menunjukkan adanya perubahan variabel dependen tingkat stres dan
efikasi akademik, yang terlihat dari hasil pengukuran kuantitatif berdasarkan
hasil skala pengukuran. Tingkat stres pada masing-masing partisipan mengalami
penurunan dan efikasi akademik pada masing-masing partisipan mengalami
peningkatan. Berdasarkan analisis kualitatif, partisipan menyatakan perubahan
yang dialami selama proses terapi terlihat cukup signifikan dirasakan oleh
dirinya, misalnya lebih bersemangat dalam belajar dan berkurangnya gejala fisik
yang mengganggu seperti mudah pusing.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian
ini sangat tidak dapat dilepaskan dari keterbatasan. Berikut adalah
keterbatasan penelitian ini.
1. Keterbatasan
kemampuan terapis dalam memfasilitasi partisipan sejumlah 5 orang dalam satu
sesi kelompok terapi.
2. Keterbatasan
yang paling nyata dalam melakukan penelitian menggunakan desain single-case (jumlah partisipan yang
terbatas) adalah tidak dapat dilakukan generalisasi atas hasil penelitian
(Barlow & Hersen, 1984).
3. Keterbatasan
yang terdapat pada skala penelitian, yaitu tidak tercantumnya instruksi terkait
rentang waktu yang relevan dengan simtom atau pernyataan pada masing-masing
item skala DASS-21 dan efikasi akademik. Instruksi ini secara lisan disampaikan
saat terapis memandu pengisian skala, tetapi tidak tertulis di dalam petunjuk
pengisian skala. Hal ini dapat mengancam integritas penelitian terkait variabel
tergantung.
Kesimpulan
dan Saran
Kesimpulan
Hasil
penelitian menunjukkan adanya perubahan variabel dependen tingkat stres dan
efikasi diri ke arah yang lebih baik. Hal ini terlihat dari hasil pengukuran
kuantitatif berdasarkan data skala efikasi akademik, DASS-21, dan checklist penelitian. Berdasarkan uraian
di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa hipotesis penelitian terbukti,
yaitu:
E-therapy
dapat menurunkan tingkat stres pada remaja yang memiliki konflik hubungan
orangtua-anak.
Etherapy
dapat meningkatkan efikasi diri pada remaja yang memiliki konflik hubungan
orangtua-anak.
Saran
Bagi
peneliti selanjutnya
1. Peneliti
selanjutnya yang ingin melakukan generalisasi hasil penelitian dapat
menggunakan jumlah partisipan yang lebih banyak.
2. Pengukuran
tindak lanjut dilakukan dalam jeda yang lebih panjang atau lebih dari 2 kali
pengukuran.
3. Peneliti
selanjutnya diharapkan lebih memperhatikan hal-hal rinci yang dapat mengancam
integritas penelitian, seperti instruksi alat ukur secara tertulis yang tidak
sesuai dengan saat pelaksanaan intervensi.
Bagi
praktisi
1. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan psikologi.
2. Kalangan
profesional dapat menerapkan intervensi ini terbatas pada konteks yang sesuai
dengan penelitian.
3. Terapis
perlu membekali diri dengan konsep etherapy
humanistik secara menyeluruh, mengikuti tahapan secara runtut, sehingga
dapat menjaga kesinambungan antar sesi.
4. Terapi
dapat dilakukan dengan jumlah sesi yang fleksibel sesuai dengan proses yang
dijalani partisipan.
Daftar Pustaka
Amichai-Hamburger, Y.
(Ed.). (2009). Technology and psychological well-being. Cambridge
University Press.
Auerbach, R. P.,
Bigda-Peyton, J. S., Eberhart, N. K., Webb, C. A., & Ho, M. H. R. (2011).
Conceptualizing the prospective relationship between social support, stress,
and depressive symptoms among adolescents. Journal of abnormal child
psychology, 39(4), 475-487.
Bakar, A., Noh, W., &
Arifin, M.Y. (2011). Hubungan Komunikasi Keluarga Dalam Menangani Konflik Dalam
Kalangan Remaja. Jurnal Pengajian Media
Malaysia, 13(1), 73-89.
Bandura, A. (1997). Self‐efficacy.
John Wiley & Sons, Inc.
Barlow, D. H., &
Hersen, M. (1984). Single case experimental designs. New York:
Pergamon Press.
Baron, J., Bierschwale,
D., & Bleiberg, J. R. (2006). Clinical implications of students' use of
online communication for college psychotherapy. Journal of College
Student Psychotherapy, 20(3), 69-77.
Bee, P., Bower, P.,
Lovell, K., Gilbody, S., Richards, D., Gask, L., & Roach, P. (2008).
Psychotherapy mediated by remote communication technologies: a meta-analytic
review. BMC psychiatry, 8(1), 60-70.
Bosmans, G., Braet, C.,
Van Leeuwen, K., & Beyers, W. (2006). Do parenting behaviors predict
externalizing behavior in adolescence, or is attachment the neglected 3rd
factor?. Journal of Youth and Adolescence, 35(3), 354-364.
Buehler, C., &
Gerard, J.M. (2002). Marital conflict, ineffective parenting, and children's
and adolescents' maladjustment. Journal of Marriage and Family, 64(1),
78-92.
Buchanan, T., &
Smith, J. L. (1999). Using the Internet for psychological research: Personality
testing on the World Wide Web. British Journal of Psychology, 90(1),
125-144.
Caprara, G. V., Scabini,
E., & Regalia, C. (2006). The impact of perceived family efficacy beliefs
on adolescent development. Self-efficacy beliefs of adolescents, 97-116.
Castelnuovo, G.,
Gaggioli, A., Mantovani, F., & Riva, G. (2003). From psychotherapy to
e-therapy: the integration of traditional techniques and new communication
tools in clinical settings. CyberPsychology & Behavior, 6(4),
375-382.
Cline, R. J., &
Haynes, K. M. (2001). Consumer health information seeking on the Internet: the
state of the art. Health education research, 16(6),
671-692.
Cook, T. D., Campbell, D.
T., & Day, A. (1979). Quasi-experimentation: Design & analysis
issues for field settings. Boston: Houghton Mifflin.
Corey, M.S., Corey, G.,
& Corey, C. (2010). Groups. Belmont, CA: Cengage Learning.
Corey, G., (2010). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi.
Bandung: Refika Aditama.
Creswell, J. W. (2002). Educational research: planning, conducting,
and evaluating quantitative & qualitative research. New Jersey: Pearson
Education.
Elgán, T. H., Hansson,
H., Zetterlind, U., Kartengren, N., & Leifman, H. (2012). Design of a
Web-based individual coping and alcohol-intervention program (web-ICAIP) for
children of parents with alcohol problems: study protocol for a randomized
controlled trial. BMC public health, 12(1), 35-58.
Faber, A. J., Edwards, A.
E., Bauer, K. S., & Wetchler, J. L. (2003). Family structure: Its effects on
adolescent attachment and identity formation. The American Journal of
Family Therapy, 31(4), 243-255.
Finn, J., & Barak, A.
(2010). A descriptive study of e-counsellor attitudes, ethics, and
practice. Counselling and Psychotherapy Research, 10(4),
268-277.
Geldard, K., &
Geldard, D. (2010). Konseling Remaja;
Pendekatan Proaktif untuk Anak Muda. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gackenbach, J. (Ed.).
(2011). Psychology and the Internet: Intrapersonal, interpersonal, and
transpersonal implications. London: Elsevier Academic Press.
Gerard, J. M.,
Krishnakumar, A., & Buehler, C. (2006). Marital Conflict, Parent-Child
Relations, and Youth Maladjustment A Longitudinal Investigation of Spillover
Effects. Journal of Family Issues, 27(7), 951-975.
Haug, S., Sedway, J.,
& Kordy, H. (2008). Group processes and process evaluations in a new
treatment setting: Inpatient group psychotherapy followed by Internet-chat
aftercare groups. International Journal of Group Psychotherapy, 58(1),
35-53.
Houghton, V. T.
(2008). A quantitative study of the effectiveness of mindfulness-based
stress reduction treatment, using an internet-delivered self-help program, for
women with generalized anxiety disorder. United States of America: UMI
Microform.
Juariyah, L. (2011).
Pengaruh Konflik Pekerjaan-Keluarga terhadap Perilaku Withdrawal Pasangan Suami
Istri yang Bekerja. Jurnal Ekonomi
Bisnis, 16(1), 53-62.
Kidd, T. T., &
Keengwe, J. (2010). Adult Learning in the
Digital Age: Perspectives on Online Technologies and Outcomes. United States
of America: IGI Global.
King, R., Bambling, M.,
Reid, W., & Thomas, I. (2006). Telephone and online counselling for young
people: A naturalistic comparison of session outcome, session impact and
therapeutic alliance. Counselling and Psychotherapy Research, 6(3),
175-181.
Lazarus, R. S., &
Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York, NY: Springer
Publishing Company.
Luxton, D. D., McCann, R.
A., Bush, N. E., Mishkind, M. C., & Reger, G. M. (2011). mHealth for mental
health: Integrating smartphone technology in behavioral healthcare. Professional
Psychology: Research and Practice, 42(6), 505.
Maltby, J., & Day, L.
(2004). Forgiveness and defense style. The
Journal of Genetic Psychology, 165(1), 99-109.
Maples, M. F., & Han,
S. (2008). Cybercounseling in the United States and South Korea: Implications
for counseling college students of the millennial generation and the networked
generation. Journal of Counseling & Development, 86(2),
178-183.
Marks, I. M., Kenwright,
M., McDonough, M., Whittaker, M., & Mataix-Cols, D. (2004). Saving
clinicians' time by delegating routine aspects of therapy to a computer: a
randomized controlled trial in phobia/panic disorder. Psychological medicine, 34(1),
9-18.
Martin, G. W., &
Rehm, J. (2012). The Effectiveness of Psychosocial Modalities in the Treatment
of Alcohol Problem in Adults: A Review of the Evidence. Canadian Journal of Psychiatry, 57(6),
350-358.
Mattison, M. (2012).
Social Work Practice in the Digital Age: Therapeutic E-Mail as a Direct Practice
Methodology. Social work, 57(3), 249-258.
Maxwell, S. E., &
Delaney, H. D. (2004). Designing experiments and analyzing data: A
model comparison perspective. United States of America: Lawrence Erlbaum
Associates.
Mustanski, B., Lyons, T.,
& Garcia, S. C. (2011). Internet use and sexual health of young men who
have sex with men: A mixed-methods study.Archives of Sexual Behavior, 40(2),
289-300.
Naito, A. (2007).
Internet suicide in Japan: implications for child and adolescent mental
health. Clinical Child Psychology and Psychiatry, 12(4),
583-597.
Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. (2005). Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga.
Niven, N. (2000). Psikologi Kesehatan. Jakarta: EGC.
Pajares, F., &
Schunk, D. (2001). The development of
academic self-efficacy. San
Diego: Purdue University Academic Press.
Postel, M. G., De Haan,
H. A., & De Jong, C. A. (2010). Evaluation of an e-therapy program for
problem drinkers: a pilot study. Substance Use & Misuse, 45(12),
2059-2075.
Qin, D. B., Rak, E., Rana,
M., & Donnellan, M. B. (2012). Parent–child relations and psychological
adjustment among high-achieving Chinese and European American
adolescents. Journal of adolescence, 35(4), 863-873.
Ragusea, A. S., &
VandeCreek, L. (2003). Suggestions for the ethical practice of online
psychotherapy. Psychotherapy: Theory, Research, Practice, Training, 40(1),
94-102.
Reivich K., Shatte, A.
(2002). The Resilience Factor: 7 Keys to
Finding Your Inner Strength and Overcoming Life's Hurdles. London: Broadway
Books.
Reynolds, D. A. J.,
Stiles, W. B., & Grohol, J. M. (2006). An investigation of session impact
and alliance in internet based psychotherapy: Preliminary results. Counselling
and Psychotherapy Research, 6(3), 164-168.
Riva, G. (Ed.).
(2004). Cybertherapy: Internet and virtual reality as assessment and
rehabilitation tools for clinical psychology and neuroscience. New York: IOS
Press.
Rogers, Carl. (1959). A
Theory of Therapy, Personality and Interpersonal Relationships as Developed in
the Client-centered Framework. In S. Koch (Eds.), Psychology: A Study of a Science: Formulations of the Person and the
Social Context (pp. 184-256). New
York: McGraw Hill.
Rogers, V. L., Griffin,
M. Q., Wykle, M. L., & Fitzpatrick, J. J. (2009). Internet versus
face-to-face therapy: Emotional self-disclosure issues for young adults. Issues
in mental health nursing, 30(10), 596-602.
Sánchez-Ortiz, V. C.,
Munro, C., Stahl, D., House, J., Startup, H., Treasure, J., & Schmidt, U.
(2011). A randomized controlled trial of internet-based cognitive-behavioural
therapy for bulimia nervosa or related disorders in a student population. Psychological
medicine, 41(2), 407-421.
Santrock, J. W. (2003). Life-Span Development: Perkembangan Masa
Hidup. Jakarta: Erlangga.
Shadish, W. R., Cook, T. D.,
& Campbell, D. T. (2002). Experimental
and quasi-experimental designs for generalized causal inference. Boston:
Houghton Mifflin Company.
Skinner, A. E., &
Latchford, G. (2006). Attitudes to counselling via the Internet: A comparison
between in-person counselling clients and Internet support group users. Counselling
and Psychotherapy Research, 6(3), 158-163.
Snyder, C. R., &
Lopez, S. J. (2007). Positive psychology:
the scientific and practical explorations of human strengths. California:
Sage Publications, Inc.
Spek, V., Cuijpers, P. I.
M., Nyklícek, I., Riper, H., Keyzer, J., & Pop, V. (2007). Internet-based
cognitive behaviour therapy for symptoms of depression and anxiety: a
meta-analysis. Psychological medicine, 37(3), 319-328.
Stummer, G. (2009). Client
contact styles in online therapeutic work via e-mail. Counselling
Psychology Review, 24(2), 14-29.
Stutzman, S. V., Bean, R.
A., Miller, R. B., Day, R. D., Feinauer, L. L., Porter, C. L., & Moore, A.
(2011). Marital conflict and adolescent outcomes: A cross-ethnic group
comparison of Latino and European American youth. Children and Youth
Services Review, 33(5), 663-668.
Tate, D. F., &
Zabinski, M. F. (2004). Computer and Internet applications for psychological
treatment: update for clinicians. Journal of clinical psychology, 60(2),
209-220.
Wang, H., Zhou, X., Lu,
C., Wu, J., Deng, X., & Hong, L. (2011). Problematic internet use in high
school students in Guangdong province, China. PloS one, 6(5),
133-151.
Wangberg, S. C., Gammon,
D., & Spitznogle, K. (2007). In the eyes of the beholder: exploring
psychologists' attitudes towards and use of e-therapy in Norway. Cyber Psychology
& Behavior, 10(3), 418-423.
Watzlawick, P., Beavin,
J. & Jackson, D. (1967). Family
communication and delinquency. New York: Free Press.
Yeh, K. H., Tsao, W. C.,
& Chen, W. W. (2010). Parent–child conflict and psychological
maladjustment: A mediational analysis with reciprocal filial belief and
perceived threat. International Journal of Psychology, 45(2),
131-139.